shinelyght

“Kalian hati-hati ya,” Adit mengantarkan tas tenteng Mina setelah sampai di depan gerbang Boarding karena sebentar lagi Ibra dan Mina akan segera check in.

“Mina baik-baik ya disana sayang, pokoknya sukses terus sama semua tulisan dan pekerjaan kamu, Ibrahim juga ya, kamu harus amanah jadi pimpinan perusahaan! Pokoknya sukses buat kalian berdua!” Angel memeluk erat tubuh Mina lalu menepuk bahu Ibra. Keduanya berjalan sambil melambaikan tangannya, namun Mina tak henti menatap ke belakang sana...

Berharap akan seseorang datang mengucap perpisahan sebelum ia benar-benar pergi.

“Kak?” panggil Ibra, menyadarkan Mina dari lamunannya.

“Ah iya maaf, ayo kita berangkat.”

“AMINAHHHHHHH!!!!!”

Mina langsung menoleh ke sumber suara yang tak ia duga-duga. Ibrahim ikut kaget bukan main.

“Lah?! Bang Husein?!” decak Mina kaget, apalagi dengan melihat Husein yang berjaket tebal lengkap dengan tas tenteng besar yang ia bawa di bahunya memberikan beribu tanda tanya.

“Aduh abang ini telat kan jadinya?!”

“Maaf, Bun, aku ketiduran di rumah sakit langsung lari kesini, masih belum boarding kan?!”

“Belum, cepetan kamu check in sana sama Ibra-Mina.”

“Aku pamit ya, Ayah, Ibu!”

Mina dan Ibra masih mematung disana, tak mengerti dengan situasi yang terjadi dan terlebih kenapa Husein ikut mereka pulang ke Jakarta?! Apa maksudnya?!

“Ba-Bang Husein ikut ke Jakarta?! Ada perlu apa?!” tanya Mina masih tak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.

Husein mengatur nafasnya, lalu menoleh dengan senyum penuh kemenangan, “Aku mau ngelamar cewek!”

“HAAHHHH??!!”

“Santai aja dong, gak usah shock gitu.”

Ibra menyanggah, “Ya iyalah shock, lu mau ngelamar siapa?!”

Husein melirik Mina, “Ngelamar cinta pertama gue, langsung ke bokapnya.”

Ibra makin heboh, “HAAAAHHHH???!!!”

Husein menghadap Mina dan menatap lemat-lemat tiap inci fitur wajah gadis tambatan hatinya.

“Mina, kemarin aku ingin bilang sesuatu sama kamu sebenarnya tapi karena aku kaget kamu udah di lamar sama Aaron duluan itu membuat aku kehilangan semua kepercayaan diri aku.” “Sekarang, aku udah punya keberanian dan aku mau langsung menghadap Om Haidar untuk melamar kamu.”

Ibra masih menimpal, “Lah terus, lamaran si Aaron gimana?!” tanyanya ke Mina.

“Aku tolak lamarannya kemarin.”

“HAAAHHH???!!!”

Husein menambah lagi kalimatnya, “Apa kamu... masih mau kasih aku kesempatan, Aminah?”

Mina mengatup bibirnya rapat, menyembunyikan senyum sumringahnya bersama air mata yang membasahi pipinya.

“Aku bagaimana kata abi aja, Bang.”

“Kalau Om Haidar bilang iya, kamu mau terima aku?”

Mina terkekeh, “Bagaimana bisa aku tolak pinangan dari cinta pertama aku, Bang Husein?”

Husein tersenyum sumringah dan mendecak YES kencang-kencang. Tangannya hampir ingin memeluk Mina tapi dengan sigap Ibra memisahkan keduanya, memberi jarak sekitar 3 meter dari posisinya masing-masing.

“BELUM HALAL! TEMUIN DULU BOKAP GUE!!”

Husein langsung mengacak rambut Ibra usil.

“Siap dilaksanakan, adik ipar!”

“BELOMMM!!!!”

lagniappe 3 ; end January 09th, 2022

Hembusan angin dingin yang perlahan menghangat, gadis berjilbab hitam dengan riasan natural cantiknya menatap langit dengan pandangan harap. Ia melekukkan senyum kecil.

“Terima kasih, kota Budapest, banyak memori suka dan duka yang bisa ku jadikan cerita....”

Lalu ia melangkah maju ke kelasnya. Disana sudah ada para murid yang berdiri dengan setangkai bunga hasil tangan mereka masing-masing, ada bunga matahari, bunga tulip, bunga mawar dan berbagai macam bunga yang melambangkan keindahan.

“Selamat pagi anak-anak....” Mina menyapa murid-muridnya, mereka semua menatap sendu guru kesayangannya yang sudah menjadi teman cerita selama 3 bulan. Dengan kompak, mereka berlari memeluk Mina erat.

“We will gonna miss you, Bu Mina!” serempak anak-anak satu kelas, membuat sang guru menitikkan air mata haru yang tak berbendung. Tangannya membalas pelukan dari tubuh-tubuh mungil hangat yang masih enggan melepas pelukan mereka juga.

Dari belakang, Aaron menyaksikan bagaimana suasana hangat dari perpisahan Mina bersama murid-muridnya. Memang, kasih sayang Mina sebagai guru tersampaikan dengan sangat baik, dan mungkin kalau ia berkenan ingin menawarkan posisi guru tetap kepada Mina disini.

Tapi gadis ini merindukan tanah airnya.

Setidaknya, 3 bulan Mina disini bisa menjadi cerita manis yang akan ia jadikan sebagai kenangan.

Tadinya Aaron ingin mengajak Mina bicara lagi tentang jawaban lamarannya tempo lalu tapi sepertinya hari ini akan menjadi hari perpisahannya bersama anak-anak. Aaron mengurungkan niatnya, lalu melangkah mundur dan pergi.



Mina udah selesai? aku udah di depan sekolah.

Mina menghela nafasnya panjang, sejujurnya ia tak siap untuk bertatap muka lagi dengan sosok lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya, dimana ada kenangan pahit yang ia ukir disini bersamanya, di malam salju dingin yang menusuk dada.

Ia ingin menyelesaikan persoalan hati, sebelum akhirnya ia memulai lembaran baru di negeri asalnya.

Sekarang kedua insan itu saling bertatapan, yang satu pemuda itu tersenyum lebar seolah bahagia sekali menyambut kedatangan sosok yang ia tunggu-tunggu selama ini, dan yang satu... gadis itu menatap nanar dengan lekukan senyum pasi.

“Mina...” bibirnya mengucap nama sang gadis dengan lirih.

“Iya, Bang Husein, kita mau ngobrol dimana?” di jawab Mina dengan datar, lalu Husein cepat mempersilahkan Mina masuk ke mobilnya terlebih dahulu dan membawa mereka ke suatu tempat yang sudah di rencanakan.

Danube River, tempat mereka menghabiskan waktu pada pertama kalinya.

Husein langsung menuntun Mina untuk duduk di kursi kayu yang letaknya tak jauh dari Danube River, hembusan angin alam makin terasa meskipun masih ada dingin yang menusuk. Pipi Mina mulai membeku, tak turun salju tapi suhu dinginnya sangat luar biasa.

TUK!

Husein menempelkan segelas kopi hangat di pipi Mina, ia terkekeh geli.

“Cuaca hari ini lagi dingin banget, nih minum!” ujar Husein.

“Makasih....” Mina menerimanya dengan kikuk, keduanya duduk bersanding menikmati suasana yang tak begitu ramai di sekitarnya. Husein melirik pelik Mina dengan wajah cantiknya yang meneduhkan. Ibra benar, wanita secantik dan selembut Mina tak mungkin tak ada yang menginginkan hatinya. Pesona Mina yang di balut dengan ketaatannya kepada Sang Pencipta, kecerdasannya dan kehangatannya sebagai perempuan, siapa yang tak akan jatuh hati dengan wanita bagai malaikat ini?

“Aminah,” Husein mulai membuka pembicaraannya, “Aku... mau minta maaf untuk semuanya.”

Mina mendelik, ia menoleh cepat ke Husein, “Minta maaf... maksudnya?”

“Untuk semuanya, yang udah aku perbuat sama kamu dan juga soal janji kita 12 tahun yang lalu.”

Hati Mina langsung tergores mendengarnya. Memang bukan main sakitnya, tapi gadis itu berusaha netral dan perlahan mengikhlaskan semua dengan yang sudah terjadi.

“Sudahlah, aku kan udah bilang sama Bang Husein, mari kita mulai semuanya dari awal—”

“Ada banyak hal yang harus aku ceritain sama kamu, Mina.”

Mina tersontak, “A-Apa?”

Husein membuka ponselnya, ia membuka isi percakapannya dengan Elena dan menunjukkan semuanya kepada Mina.

“Hubungan aku sama Elena tidak seperti yang kamu pikir.”

Mina membaca chat Elena dari sangat awal, bahkan terlihat isi chat itu sudah ada sejak 5 tahun yang lalu. Matanya memencak, begitu banyak hinaan, cacian bahkan bentuk perendahan lainnya terhadap Husein karena ia merupakan anak dari ayah seorang kriminal. Elena sendiri menyebutkan dirinya adalah korban dari kebengisan ayah kandung Husein, dan bisa di lihat Husein benar-benar menghabiskan banyak tenaga dan uang hanya karena untuk menembus semua dosa-dosa ayahnya di masa lalu.

“Elena itu korban dari ayah kandung aku. Ibunya, Veronica, anak dari seorang dokter yang dibunuh di tangan ayah kandung aku. Kehidupan mereka kacau semenjak kasus PT. Soetomo itu selesai, dan Elena sendiri juga korban dari kekerasan Ibunya, Mina....” Husein menundukkan kepalanya, “Sebenarnya banyak yang harus aku tembus dari semua dosa ayah kandung aku, kadang aku gak bisa tidur karena memikirkan itu semua. Awalnya aku gak mau mengusut semuanya tuntas, tapi sayang... yang namanya darah keturunan itu memang gak bisa di bohongi, Mina.”

Husein mengusap wajahnya gusar, “Wajah aku, benar-benar mirip sama ayah kandung aku. Bunda juga selalu bilang gitu, dan aku tahu Bunda sangat trauma dengan ayah kandung aku. Beberapa sifat ayah kandung aku pasti juga menurun sama aku bukan? dan yang semakin buat aku terguncang... ketika aku mengetahui fakta bahwa ayah kandung aku yang menghancurkan hidup Om Haidar dulu, dan juga kamu, Tante Anela, dan Ibra....”

Hati Mina terenyuh, sejarah kelam yang merenggut kebahagiaan keluarganya dulu ternyata menjadi beban bagi Husein di masa sekarang.

“Bang Husein, hei—”

“Izinin aku cerita sampai selesai ya?”

Mina menghela nafas panjangnya, lalu mengangguk.

“Aku memutus kontak, enggan menghubungi kamu lagi, karena aku takut sekaligus malu, Mina. Berani-beraninya aku jatuh cinta sama kamu sedangkan apa yang diperbuat ayah kandung aku sangatlah tak termaafkan. Ketika aku bicara sama Ibra soal ini, dia marah besar, disitu aku mikir apa reaksi kamu akan sama? dan aku berhak untuk menerima itu. Aku udah gak ada nyali lagi untuk mengakui perasaan aku sama kamu, Mina, karena banyak hal yang aku khawatirkan... dan yang paling aku takutkan adalah.... aku akan menyakiti kamu karena darah ayah kandungku yang mengalir.”

“Astagfirullah hal adzim, Bang Husein—”

“Iya emang berlebihan kesannya, tapi itu fakta, Mina. Aku benar-benar takut putri kesayangan keluarga Soetomo yang di besarkan dengan penuh kemuliaan menangis karena aku, si anak dari Jovian, pelaku kriminal kelas kakap—”

“Stop! Stop! Cukup sampai situ, Bang Husein!!”

Mina memekik keras, akhirnya Husein menghentikan kalimatnya dengan nafas panjangnya.

“Bang Husein, dulu aku pernah bilang kan kalau Bang Husein ini adalah abang yang terbaik buat aku sama Ibra?! Bang Husein itu kayak malaikat penjaga, Bang Husein itu yang sering berkorban uang jajan buat kita yang udah Bang Husein anggap kayak adik sendiri, buat kita tersenyum lebar, Bang Husein sering bantu sebrangin kita tiap pulang sekolah, temenin kita, ceritain kita banyak hal yang gak kita tahu. Seribu kebaikan Bang Husein apa harus luntur karena sebuah fakta bahwa Bang Husein memiliki ayah kandung seorang kriminal?!” “Oke ayah kandung kamu memang seorang penjahat, tapi Bang Husein enggak... mana bisa aku samakan Bang Husein yang sebaik ini dengan seorang penjahat kelas kakap?”

Husein memencak matanya, dan terlihat Mina sudah meneteskan air matanya.

“Aku gak pernah berpikir, kalau Bang Husein akan menyakiti aku... karena aku sepenuhnya percaya sama kamu.”

Mina mengusap cepat wajahnya, “Jujur, aku kecewa sama kamu karena kamu seenaknya mengingkari janji dan meninggalkan aku tanpa penjelasan. Setidaknya, kalau memang kamu jatuh cinta dengan wanita lain, aku gapapa kok! aku ikhlas, tapi tolong... cerita sama aku. Semua tindakan kamu membuat aku bingung!”

“Mina, aku berani bersumpah, selama disini aku gak jatuh cinta lagi sama siapapun.”

Mina diam mematung, sorot mata Husein berubah menjadi serius.

“Kamu tahu kenapa aku akhirnya mengingkari janji itu, Mina?” Husein menarik nafasnya dalam-dalam, “Karena aku pikir, tingkat tertingginya dalam perihal mencintai seseorang adalah mengikhlaskan, dan aku mengikhlaskan kamu bersama pria yang jauh lebih baik dari aku.”

DHEG!! Ungkapan itu menyayat hati Mina bahkan sudah hampir menghancurkan.

“Bang Husein....”

“Sebesar itu aku mencintai kamu, Mina, dan perasaanku gak berubah sedikitpun sejak dulu... hingga sekarang.”

Tangisan Mina lagi-lagi pecah.

“Mina—”

“Cukup.”

Mina menyudahi kalimat Husein, lalu gadis itu langsung berdiri dari tempat duduknya.

“Aku pulang tanggal 27, tiga hari lagi. Besok banyak hal yang mau aku urus sebelum pulang jadi...” Mina membalik badannya, “Ayo kita habisin waktu sama-sama hari ini, aku mau main ke banyak tempat disini sebelum aku pulang... sama kamu.” “Lupakan semua yang menyakitkan, aku mau perpisahan kita itu dengan senyuman.”

Husein ikut berdiri, “Kalo gitu ayo kita pergi ke banyak tempat.”



Mina dan Husein benar-benar menghabiskan waktunya bersama. Mereka berkeliling ke tempat-tempat kastil tua yang memiliki banyak sejarah, meng-explore makanan dan es krim. Husein masih ingat betul kesukaan Mina, es krim mint choco yang rasanya super aneh.

“Masih gak berubah ya, kesukaan kamu tetep es krim rasa odol,” ejek Husein.

“Enak aja! Ini tuh fresh banget tau!” balas Mina sebal.

“Iya deh emang fresh, nanti kalau mau sikat gigi tinggal makan aja es krim mint choco.”

“Ish, Bang Husein ngeselin banget!”

DUK!! Tiba-tiba keramaian membuat tubuh Mina terpental, sontak Husein langsung mengangkat tubuh Mina dan menuntunnya berdiri, “Kamu gapapa?!”

“E-Enggak, gapapa kok...” Husein langsung menarik tangan Mina dan mengaitkannya di lengan kekar pemuda itu.

“Karena ramai, pegangan dulu ya, disini badannya pada gede-gede.”

Jantung Mina langsung berdesir tak menentu, parfum maskulinnya yang membuat Mina lupa bahwa Husein sudah menjadi seorang pria, bukan lagi Bang Husein mungil yang dulu selalu menomorsatukan dirinya dengan lugu. Tingginya yang menjulang, otot tangannya yang sudah membesar, dan juga suara baritonnya. Rasanya Mina ingin cepat-cepat melepaskan tangannya.

Kalau bukan karena ramai...

tapi ada sedikit rasa aman dalam benaknya.

Bang Husein... ternyata gak berubah....


Tak terasa hari menjelang malam, Ibra sudah memberikan peringatan keras kepada Mina agar pulang sebelum gelap. Mobil Husein sudah sampai di depan apartemen Mina dengan sempurna.

“Makasih untuk hari ini, Bang Husein,” ucap gadis itu.

“Iya, makasih juga, Mina.”

Keduanya diam, harusnya Mina melangkah cepat memasuki kamarnya tapi entah kenapa ia masih berdiam diri.

“Mina!”

“Bang Husein!”

Keduanya saling bersahutan nama, Husein langsung terkekeh geli.

“Yaudah kamu dulu deh, kenapa?” Husein mengalah. Mina masih mengatup bibirnya rapat-rapat lalu mendekat lagi ke Husein.

“Aku... masih mau ngucapin terima kasih untuk semuanya.” “Terima kasih, atas semua kebaikan Bang Husein selama di Indonesia dan juga di sini. Bang Husein harus ingat, sedikitpun aku gak pernah menganggap Bang Husein ini penjahat, enggak sama sekali. Kemarin aku menghindar karena aku bingung sama perlakuan Bang Husein, dan cukup terintimidasi dengan sikap Elena juga....”

“Ah, aku minta maaf soal Elena....”

“Iya gapapa, sekarang aku udah paham situasinya.”

Husein menunduk, “Elena... juga udah berangkat ke Italia, Mina.”

Mina mendecak, “O-Oh iya?! Kapan?!”

“2 minggu yang lalu kurang lebih, dia mau tinggal disana.”

Gadis itu tersenyum simpul, “Alhamdulillah, kalau dia sudah menemukan hidupnya.”

Sekali lagi suasana canggung memenuhi keduanya.

“Bang Husein....” Mina menatap nanar kedua netra Husein, “Terima kasih sudah mencintai aku sebesar itu. Terima kasih, sudah memberitahu aku bagaimana rasanya jatuh cinta lalu suka dukanya perasaan cinta, semuanya buat aku indah.” “Makasih ya?”

Bibir Husein kelu untuk membalas, gadis itu sudah membalik tubuhnya untuk perlahan jalan meninggalkannya namun...

“Bang Husein....”

Husein mendongak.

“Beberapa minggu yang lalu, aku di lamar sama Kak Aaron.”

Mata Husein membulat lebar. Dadanya bagai di sambar petir, hatinya berkecamuk hebat bahkan hancur melebur.

“Aku belum kasih jawaban untuk lamarannya, dan besok... aku mau kasih jawaban pasti untuk Kak Aaron.”

Bibir Husein bergetar, “A-Apa jawaban kamu?”

“Maaf, aku gak bisa bilang apa jawabanku.”

“Mina....”

“Makanya, aku mau bilang terima kasih... karena Bang Husein sudah mencintai aku sebesar itu dan mengikhlaskan aku untuk pilihanku....” Mina mengusap air matanya, “See you, when i see you, Bang Husein.”

Seiring langkah kaki Mina pergi ke dalam apartemennya, lutut Husein langsung melemas di tempat. Sekotak cincin kecil yang sudah ia genggam di saku langsung terjatuh bersama isinya, menandakan pupus harapan cintanya yang ingin ia awali sebagai kebahagiaan hidupnya.

Sekarang menjadi kepedihan yang maha menyakitkan melebihi apapun.

Husein... berada di titik hidup terendahnya.

Sedang gadis yang ada di balik pintu, menangis meraung-raung setelah melepas cintanya selama 12 tahun. Ternyata perihal mengikhlaskan memang tak mudah, bagaimana bisa ada insan yang membiarkan cintanya pergi dengan penuh sukacita? Ini begitu menyakitkan bagi siapapun yang merasakannya.

Mina masih menangis kencang, di bawah pelukan Ibra sang adik yang ikut merasakan sakit di dadanya.

Akhirnya, pelajaran keduanya soal mencintai... sudah usai disini.

Husein berusia 18 tahun, di Budapest...

Husein yang sudah beranjak dewasa, mata sipitnya terus menatap langit kamar dengan nanar. Bibir tipisnya itu mengatup, sekali lagi ia membuka ponsel lamanya yang berisi pesan masuk dari sosok gadis yang sangat dia cintai sedari dulu, Mina. Dadanya sangat sakit, bukan tak ingin membalas rindu tapi Husein di usianya yang sekarang mulai mencari-cari tentang jati diri sebenarnya.

Sampai ia menemukan fakta menyakitkan, bahwa ayah kandungnya yang pernah hampir menghancurkan orang-orang terkasihnya, termasuk keluarga Mina.

Jarinya sudah hampir mengetuk satu kata per kata, Mina apa kabar?

tapi ia menghapusnya lagi. Menutup rapat ponselnya lalu memejam rapat matanya sampai terlelap, bersama rindu yang ia kurung dengan rasa bersalah.

Maafin aku, Mina...


“Bang, kamu tahu gak Ibra sama Mina udah lulus SMA? kamu gak mau dateng ke Indonesia buat ikut selamatan?” ibundanya mengirim undangan melalui chat, Husein membuka isi chatnya lesu.

“Kuliah aku lagi padet-padetnya, Bun, kalau Ayah sama Bunda yang dateng juga gapapa kok.”

“Ini justru Ibra sama Mina nanyain kamu lho, mereka kangen banget sama kamu, emang kamu gak kangen main sama mereka, Bang?”

“Bunda, kita udah bukan anak kecil lagi. Aku punya kesibukan sendiri, dan nanti mereka juga bakalan sibuk pas udah masuk kuliah.”

“Ya gak ada salahnya kan ketemu sebentar buat jaga silaturahmi? emang kamu masih kontak-kontakan sama mereka?!”

Husein skakmat. Sebuah fakta dia yang memutus semua komunikasi dengan orang-orang di Indonesia membuatnya tak berkutik bicara, melainkan ia melengos pergi meninggalkan Angel yang terus menyahut namanya. Bukan karena tak peduli, tapi ada rasa malu yang harus ia tanggung karena nasib dari turunannya.

Ia juga tak menginginkan lahir dari seorang ayah penjahat, tapi ia harus menanggung beban aib seumur hidup atas perbuatan ayah kandungnya sendiri.



Husein, sekarang...

Sekarang pria itu tengah membuka ulang semua buku hariannya yang berkaitan dengan Mina, dan semua memori dari album-albumnya. Senyuman lebarnya terlukis indah di wajah tampannya, tiap memori yang ia ratap dalam-dalam dengan segenap cintanya, akhirnya pria itu memiliki keberanian lagi untuk mengakui perasaan rindunya. Rindu, cinta juga kekuatan yang menyatu sebagai tekadnya.

“Mina... maaf kalau terlambat tapi akhirnya... aku bisa mengabulkan janji kita, 12 tahun yang lalu....” “Maaf, udah buat kamu menunggu lama.”

Ia menarik nafasnya dalam-dalam, lalu meletakkan semua buku dan memori-memori indah lamanya. Ia bangkit dari duduknya, bergegas ke musholla rumahnya untuk mendirikan shalat malam.

Husein memang sejak dini sudah di ajarkan untuk rutin shalat tahajjud, karena sebagaimana kita tahu bahwa waktu sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Ilahi, apalagi perihal keinginan. Husein di ajarkan, bahwa doa pada waktu tahajjud ibarat kita menembak panah tepat pada sasarannya sehingga pemuda itu tak pernah mau melewatkan sedikitpun waktu mulia tersebut.

Di sepertiga malam ini, Husein harap masih ada kesempatannya untuk mewujudkan cinta pertama menjadi cinta terakhir dan seumur hidupnya.

Ibra dan Mina sudah berdiri di depan restoran dengan pakaian terbaiknya. Mina menggunakan dress hitam dipadukan blazer putih elegan, dengan Ibra yang mengenakan sweater hitam dilapisi jas coklat tebal. Dua insan bersaudara ini tak berhenti mendecak kagum dengan restoran yang di hadiri keduanya.

“Boleh juga nih bos lu, kak,” cicir Ibra dengan senyuman remehnya, di balas Mina dengan senggolan siku kesal. Keduanya masuk dan mengikuti arahan pelayan yang menyambut kedatangannya.

“Selamat malam, Tuan dan Nona, apa sebelumnya sudah melakukan reservasi?” tanya sang pelayan dengan bahasa Hungaria.

“Ah saya datang untuk memenuhi undangan, atas nama Aaron?” balas Mina.

“Oh iya, kalau begitu mari ke arah sini.”

Ibra kembali mendecak kagum, “Tiga bulan disini lancar juga ngomongnya, udah kayak penduduk asli.”

“Apa sih Ibra lebay banget!”

Ibra lagi-lagi menyungging senyum usilnya, “Ini mah pertanda, kak, jodoh lu orang sini.”

BUK!! Mina memukul lengan Ibra keras-keras.

“AW! Gak usah mukul ish, masih aja lu bar-barnya...”

“Lo ngeselin tahu gak?!”

Mina berhenti bicara begitu sosok pemuda berjas abu-abu rapih bersama kemeja putihnya yang begitu menawan. Jujur saja, jantung Mina tak bisa berhenti berdegup kencang, dan Ibra juga ikut diam mematung.

Aaron dengan kesungguhan hatinya, berdiri menyambut kehadiran orang yang akan merubah hidupnya. Atau mungkin, sebagaimana restu Sang Maha Pencipta terhadap takdir?

“Silahkan duduk,” Aaron mempersilahkan Mina duduk terlebih dahulu, begitu satu kursi lagi hendak Aaron geser dari bawah meja untuk Ibra, “E-Eh sorry, kayaknya saya mau hirup udara segar. Jadi saya tunggu di luar aja ya?”

Mina melotot, “Hah? Kamu nunggu di luar dimana?!”

“Ituuu disitu! gak jauh dari sini, gue lihatin dari sana aja!” Ibra bergegas ke luar yang menampilkan pemandangan malam dengan hujan salju yang mengguyur kota Budapest. Mina sekarang duduk dengan perasaan gugup yang luar biasa, suasana malam ini cukup berbeda dari biasanya.

Keduanya terdiam canggung.

Di balik sikap cool Aaron saat ini, kaki kanannya gak berhenti menghentak cemas karena takut akan ada sesuatu yang mengacaukan momen pentingnya malam ini. Terlebih, Mina tampil sangat anggun malam ini.

“Kamu... mau pesen makanan?” tawar Aaron, di balas anggukan kikuk Mina dan tangannya meraih menu yang diberikan pemuda di hadapannya.

“Kakak mau makan apa?” tanya Mina memastikan.

Aaron terkekeh, dia tahu Mina sedang kebingungan, “Kalau gitu aku pesenin menu spesial aja ya buat kita berdua?” ucapnya dengan lembut.

Kita berdua katanya.... Mina mengatup bibirnya rapat-rapat, menahan rasa malu yang mungkin akan terlukis di pipinya. Dia mengangguk pelan, lalu Aaron cepat memanggil pelayan disana dan segera memesan 'menu spesial' yang ia sebut barusan, entah apa itu, tapi yang Mina pikirkan semoga saja halal (ya iyalah....)

Aaron kembali menatap lurus ke arah Mina, lelaki itu menaruh tangannya di saku, dimana ada sekotak merah kecil berisi cincin untuk wanita pujaan hatinya. Hatinya tak berhenti mengucap doa, berharap takdir berpihak pada cintanya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Gimana kesan kamu selama mengajar disini, Mina?” kalimat pembuka mulai keluar dari bibir Aaron.

“Alhamdulillah, sangat menyenangkan, aku harap sih bisa lebih lama untuk ngajar disini tapi masih banyak hal yang harus aku kerjain di Indonesia hehehe....” Mina melanjutkan kalimatnya, “Aku harus selesaikan satu buku juga, jadi gak bisa lama-lama disini.”

“Kamu nulis apa kali ini? cerita untuk anak-anak atau yang lain?”

Mina tersenyum simpul, “Ini cerita tentang aku.”

Aaron mendegup, “Tentang kamu tuh, maksudnya apa?”

“Bisa dibilang soal perasaan hati? hahaha aku kan perempuan yang pernah jatuh cinta, dan aku ingin menceritakan semuanya di novelku.” “Dan novel itu baru bisa aku selesaikan begitu aku pulang ke Indonesia.”

Kalimat itu membuat Aaron ketar-ketir, siapa sosok pria yang di ceritakan Mina? Betapa beruntungnya dia, si pria yang ditulis oleh Mina dalam bukunya.

“Kalau aku penasaran dengan isi buku itu, mau gak kamu ceritakan sedikit aja? hitung-hitung kasih sedikit spoiler gitu, hahaha... pasti nanti aku borong buku kamu setelah itu,” ujar Aaron.

Mina terkekeh geli, “Hmm... boleh aja sih...” gadis itu menangkup dagu dengan satu tangannya, “Ini cerita tentang seorang gadis yang jatuh cinta dengan seorang laki-laki, laki-laki itu benar-benar menjaga dia dengan baik, memperlakukannya seperti seorang putri dan apa ya, mungkin bisa dibilang laki-laki ini menjadi safe place buat si gadis tokoh utama ini? mereka udah temenan dari kecil juga, sampai akhirnya sebelum sang laki-laki pergi... dia berjanji sama si gadis tokoh utama... kalau dia akan datang melamar ketika mereka sudah besar nanti.”

Wajah Mina berubah menjadi sendu, namun ia kuatkan dengan senyuman cantiknya, “Tapi begitu mereka bertemu lagi, tiba-tiba si laki-laki ini berubah, bahkan dia melupakan janjinya dulu dan bilang untuk lupakan semua janji yang dia bilang dulu karena situasinya sudah berbeda. Siapa yang tidak patah hati? pastinya hati si gadis itu hancur banget, sampai akhirnya ya si gadis ini berusaha untuk move on dengan fokus sama dirinya....” Mina mengakhiri kalimatnya, setelah dua hidangan lezat sudah datang di atas mejanya.

“Itu... cerita kamu?” tanya lagi Aaron.

Mina mengangguk malu, “Malu sih sebenernya ngakuin itu hehe, tapi iya, itu kisahku.... CUMAN AKU UDAH GAPAPA KOK, gimana ya, mungkin aku bisa lebih ikhlas terima semuanya.” gadis itu cepat meraih garpu dan pisaunya, “Ayo kita makan dulu, nanti makanannya keburu dingin hehe...”

Aaron menatap nanar gadis pujangga hatinya, terlihat sekali kalau Mina sedang berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia tak menyangka, wanita sebaik dan secantik Mina pernah merasakan patah hati sehebat itu.

“Aminah,” panggil Aaron.

“Hm?” Mina merespon dengan mulutnya yang sudah penuh dengan daging.

“Setelah patah hati itu, apa kamu memberi kesempatan untuk pria lain... mengisi hati kamu?”

Mina berhenti melahap makanannya, tangannya juga ikut terhenti mengiris dan ia meletakkan kedua alat makannya di sisi piring.

“Aku gak tahu, tapi yang jelas aku gak mungkin menutup hati aku selamanya. Ini hanya sedih sementara, ya galau bentar doang lahh masa gitu aja aku langsung putus asa? masih banyak hal yang harus aku syukuri, dan dari patah hati itu aku belajar banyak kok!” sahut Mina dengan riang. Sisi cerianya memang sangat menghangatkan hati, rasanya Aaron ingin melindungi senyuman itu.

Aaron ikut tersenyum, “Habiskan dulu deh makanannya, nanti keburu dingin lho, hahaha...” ia mengurungkan niatnya, masih ada beberapa menit terakhir untuk ia jadikan momen yang tepat. Mina mengangguk semangat dan melanjutkan aktivitas makannya dengan lahap.


Ibra dari luar, memerhatikan semua gerak-gerik kedua insan yang tengah duduk berdua disana. Bukannya lepas tanggung jawab, Ibra juga gak bisa bohong kalau hatinya merasa miris untuk duduk di tengah-tengah dua sejoli. Ia tidak berminat untuk menonton drama romansa secara langsung.

“Bosen nih, enaknya ngapain ya?” Ibra membuka ponselnya, lalu tersontak begitu ada notifikasi panggilan masuk dari Ayudia yang sudah berdering sebanyak 2 kali sejak tadi siang.

“Astagfirullah, lupa banget ngechat Ayu tadi siang, kalau sekarang ngechat gapapa kali ya?”

Ibra : Assalamualaikum Ayu, maaf saya baru buka handphone soalnya banyak yang harus di urus disini. Gimana di kantor? aman kan? Ibra : Ada yang bisa saya bantu?

Begitu Ibra mengirim pesannya, balasan langsung masuk membuat Ibra terkaget-kaget.

Ayudia : Waalaikumsalam kak, gapapa kok... saya cuman mau ngabarin ada beberapa kesalahan laporan yang dikasih sama Bu Gabriella dan tadi agak pusing aja sih :') saya panik makanya langsung telpon kakak... Ayudia : Eh maaf, maksud saya Pak Ibrahim...

Ibra mengernyit dahinya, “Bentar, bukannya di Jakarta sekarang udah tengah malem ya?”

Ibra : Iya gapapa, ini diluar kantor panggil saya senyamannya kamu aja. Pukul 2 siang di Jakarta kita meeting ya, biar kita bereskan semuanya. Ibra : Disana bukannya udah tengah malam ya? kenapa belum tidur?

Ayudia : Saya lagi kerjain laporan tadi yang salah, masih banyak banget kak...

Ibra : Udah, soal itu nanti kita selesaikan sama-sama besok, sekarang kamu tidur. utamakan kesehatan kamu. Ibra : Saya gak mau ada karyawan yang overworked.

Ayudia : Ah oke kak...

Ibra : Maaf saya baru balas chatnya juga malam-malam, kalau gitu selamat istirahat.

Ayudia : Iya kak gapapa, selamat istirahat juga... hati-hati disana

Ibra menghela nafasnya panjang. Sosok Ayu dibenaknya bagai adik kecil polos yang harus ia jaga, dan entah kenapa ia sangat memperdulikan kondisi Ayu seperti saat ini, ia sangat khawatir begitu dengar Ayu yang begadang mengerjakan laporan pekerjaannya.

“Anak itu selalu bikin khawatir...”



Aaron dan Mina sudah menyelesaikan makan malamnya. Senyuman puas Mina menyungging sempurna di wajah cantiknya, membuat Aaron ikut bernafas lega.

“Makanannya enak banget, alhamdulillah...” ucap Mina dengan riang.

Aaron tak mau melewatkan momen ini, “Ehem,” ia mendeham. Mina langsung mendongakkan kepalanya.

“Kenapa, kak?” tanya Mina heran— dengan tatapan serius Aaron yang tertuju ke arahnya.

“Uhm, aku mau melanjutkan kalimat aku... soal tadi,” ucapnya, di balas kerutan satu alis Mina, “Soal apa?”

“Kesempatan untuk pria lain mengisi hati kamu,” Aaron menarik nafasnya dalam-dalam, “Kalau itu aku orangnya, apa kamu mau kasih kesempatan itu untuk aku?”

Aaron langsung berdiri dari tempat duduknya, ia meraih sekotak cincin dari saku jasnya lalu berlutut di hadapan Mina. Gadisnya tentu shock bukan main, tak ada angin apapun tiba-tiba Aaron berlutut dengan cincin permata indah di hadapannya.

“Cincin ini hanya simbolis, kalau kamu mau menerima cincin ini dan memberi jawabannya nanti juga gapapa, tapi setidaknya aku ingin menyampaikan perasaanku langsung sama kamu, Mina,” Aaron melanjutkan kalimatnya, “Aminah Haliza Azzahra, sejak awal kita bertemu, aku sudah jatuh cinta sama kamu dan hati aku cuman menginginkan kamu sebagai bagian dari hidup aku jadi... maukah kamu menjadi pendamping hidupku?”

Mina terpaku diam, membisu seribu bahasa. Jantungnya berdesir, ia tak tahu harus berucap apa bahkan kepalanya tak bisa berpikir jernih untuk kali ini.

“Aku gak paksa kamu untuk jawab hari ini juga, tapi setidaknya... bisakah kamu kasih aku kepastian sebelum kamu pulang ke Indonesia? biar aku bisa datang langsung untuk menemui orang tua kamu disana.”

Gadis itu masih membisu.

“Aku tahu kamu pasti kaget banget, tapi aku memang tulus sayang sama kamu, Mina. Aku janji, aku tidak akan menjadi patah hatimu yang kedua kalinya.”

Biarkan Mina berpikir, karena gadis ini masih larut dengan lamunannya.

Gue... harus apa ini?

Mata Ibra masih tak bisa berkedip, melihat adegan dimana gadis berambut pirang yang tampak familiar baginya memeluk erat tubuh Husein sepihak. Pemuda berkacamata disana hanya diam mematung dengan tatapan kosong. Tangan Ibra mengepal keras, emosinya bergemuruh di dadanya—kepalan itu hendak ia daratkan tepat di wajah Husein namun ia mengurungkan niatnya.

Inikah jawaban dari semuanya?

“I miss you so much,” ucap Elena dengan lirih.

“Kita kemarin baru ketemu, Elena,” jawab Husein datar, dingin dan menusuk dada Elena. Ia cepat melepas pelukan dari gadis di hadapannya.

“Kedepannya kita gak akan ketemu lagi,” Elena menunjukkan sebuah tiket pesawat yang ada di ponselnya ke Husein, “3 hari lagi, aku sudah harus berangkat ke Italia.”

“Secepat itu? Kenapa kamu gak bilang?” Husein menyanggah. Elena memberikan senyum kecil, menggenggam lagi tangan Husein erat.

“Kalau aku bilang, apa kamu mau nyusul kesana dan bahagia bersamaku?”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat, gadisnya di depan terkekeh sambil menepuk bahu Husein pelan.

“Aku gak tahu apa disana bisa cepet move on dari kamu, tapi setidaknya disana bisa menjadi halaman baru untuk aku. Aku yakin, Italia bisa menerimaku dengan baik,” Elena perlahan mundur, “Terima kasih untuk semuanya, Husein. Aku gak akan pernah melupakan ketulusan hati kamu selama ini.”

Elena mulai menitikkan air matanya, ia membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main dengan kehadiran pemuda berparas eksotis yang mendekati mereka berdua. Elena kenal betul siapa pemuda ini.

“Lho?! Mas kan yang di kafe waktu itu?!” ucap Elena kaget, dan sambutan itu tak di indahkan Ibra sama sekali melainkan pemuda itu langsung menghampiri Husein dengan tatapan tajamnya yang menusuk kedua mata Husein.

“Setidaknya kalo emang lo punya pacar kasih kejelasan sama kakak gue! bukannya bikin kakak gue kebingungan!” Ibra mendorong bahu Husein dengan kasar, “Jauh-jauh gue kesini buat jagain Mina, dan sekarang gue tahu kenapa dia udah gak mau lihat muka lo lagi!”

Ibra menoleh ke Elena, ia mengambil kartu nama yang pernah diberikan gadis di hadapannya tempo lalu dan menyerahkannya kembali, “Saya udah bilang kan gak perlu di balas? Udah cukup pertemuan kemarin itu sebagai pertemuan terakhir kita.”

Ibra melengos pergi dengan amarahnya yang menyulut tanpa ampun. Kenapa? Karena sebenarnya, pemuda itu lebih percaya dengan perasaan Husein ketimbang Aaron yang baru saja hadir di kehidupan kakaknya. Ia kecewa, bahwa orang yang sangat ia percayakan, ternyata tak bisa memegang kata-katanya. Mina adalah orang yang sangat berharga bagi Ibra.

Siapapun yang berani menghancurkan hati Mina, dia berurusan dengan Ibra.

Namun ia tak menyangka, kenapa harus Husein orangnya?

Mata Ibra masih tak bisa berkedip, melihat adegan dimana gadis berambut pirang yang tampak familiar baginya memeluk erat tubuh Husein sepihak. Pemuda berkacamata disana hanya diam mematung dengan tatapan kosong. Tangan Ibra mengepal keras, emosinya bergemuruh di dadanya—kepalan itu hendak ia daratkan tepat di wajah Husein namun ia mengurungkan niatnya.

Inikah jawaban dari semuanya?

“I miss you so much,” ucap Elena dengan lirih.

“Kita kemarin baru ketemu, Elena,” jawab Husein datar, dingin dan menusuk dada Elena. Ia cepat melepas pelukan dari gadis di hadapannya.

“Kedepannya kita gak akan ketemu lagi,” Elena menunjukkan sebuah tiket pesawat yang ada di ponselnya ke Husein, “3 hari lagi, aku sudah harus berangkat ke Italia.”

“Secepat itu? Kenapa kamu gak bilang?” Husein menyanggah. Elena memberikan senyum kecil, menggenggam lagi tangan Husein erat.

“Kalau aku bilang, apa kamu mau nyusul kesana dan bahagia bersamaku?”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat, gadisnya di depan terkekeh sambil menepuk bahu Husein pelan.

“Aku gak tahu apa disana bisa cepet move on dari kamu, tapi setidaknya disana adalah halaman baru. Aku yakin, Italia bisa menerimaku dengan baik,” Elena perlahan mundur, “Terima kasih untuk semuanya, Husein. Aku gak akan pernah melupakan ketulusan hati kamu selama ini.”

Elena mulai menitikkan air matanya, ia membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main dengan kehadiran pemuda berparas eksotis yang mendekati mereka berdua. Elena kenal betul siapa pemuda ini.

“Lho?! Mas kan yang di kafe waktu itu?!” ucap Elena kaget, dan sambutan itu tak di indahkan Ibra sama sekali melainkan pemuda itu langsung menghampiri Husein dengan tatapan tajamnya yang menusuk kedua mata Husein.

“Setidaknya kalo emang lo punya pacar kasih kejelasan sama kakak gue! bukannya bikin kakak gue kebingungan!” Ibra mendorong bahu Husein dengan kasar, “Jauh-jauh gue kesini buat jagain Mina, dan sekarang gue tahu kenapa dia udah gak mau lihat muka lo lagi!”

Ibra menoleh ke Elena, ia mengambil kartu nama yang pernah diberikan gadis di hadapannya tempo lalu dan menyerahkannya kembali, “Saya udah bilang kan gak perlu di balas? Udah cukup pertemuan kemarin itu sebagai pertemuan terakhir kita.”

Ibra melengos pergi dengan amarahnya yang menyulut tanpa ampun. Kenapa? Karena sebenarnya, pemuda itu lebih percaya dengan perasaan Husein ketimbang Aaron yang baru saja hadir di kehidupan kakaknya. Ia kecewa, bahwa orang yang sangat ia percayakan, ternyata tak bisa memegang kata-katanya. Mina adalah orang yang sangat berharga bagi Ibra.

Siapapun yang berani menghancurkan hati Mina, dia berurusan dengan Ibra.

Namun ia tak menyangka, kenapa harus Husein orangnya?

5 tahun yang lalu...

Netra cantik Elena tak berhenti menatap punggung besar dari sosok pemuda berparas tampan—dia menoleh, dengan senyuman tipis bersama mata sipitnya yang berbentuk bulan sabit. Hari itu cuaca kota Budapest sedang hangat, kemeja birunya ia gulung setengah menampilkan lengan kekarnya. Tangan itu terlihat besar dan hangat, pikir Elena.

“Orang Indonesia? Saya Husein, salam kenal.”

“Itu... saya bukan orang Indonesia asli, saya lahir dan besar disini.”

“Tapi bahasa Indonesia kamu lancar?”

“Ibu saya orang Indonesia asli.”

Husein terkekeh, “Oh gitu, gapapa, setidaknya ibu kamu tahu enaknya rendang.”

Jantung Elena kian berdegup kencang.



“KENAPA KAMU BERTEMAN DENGAN LAKI-LAKI SIALAN ITU????!!!!”

Sudah berapa jenis barang melukai tubuh mungil Elena. Bibirnya membisu nan bergetar hebat, amukan luar biasa dari ibunya kembali menjadi mimpi buruk. Rambut pirangnya yang sudah acak-acakan kembali di jambak kasar, air mata perih yang sudah terkuras habis tak sanggup lagi menahan sakit yang merujam tubuh ringkihnya.

“Dia... KELUARGANYA SUDAH MENGHANCURKAN KITA ELENA!!” BUK!! Elena menahan lengannya, tubuhnya terhempas kencang ke lantai dan terlihat ada sedikit darah yang mengalir dari hidungnya. Ibunya masih menatap sang putri dengan tatapan murka, namun seketika ia melekukan senyum mengerikan sehingga Elena bergedik ngeri.

“Ibu... i'm so sorry... maafin Elena bu....”

“Kejar dia, sayang....”

Mata Elena memencak lebar.

“Setidaknya, putra dari laki-laki jahannam itu bisa menembus penderitaan kita....”

Elena masih tak mengerti ucapan ibunya, sampai akhirnya Husein datang sendiri dengan tubuhnya yang membungkuk sempurna di hadapan keluarganya. Elena masih membisu setelah Husein mengatakan yang sebenarnya mengenai kondisi keluarganya yang dulu di porak-porandakan oleh ayah kandung lelaki yang ia kagumi sebelumnya.

Tak ada ampun, rasa cinta itu berubah menjadi api dendam yang tak terbendung.

Husein harus menembus semuanya.

“Kamu anak dari Jovian?” ibu dari Elena bangkit, menatap sinis Husein yang masih membungkuk dengan rasa penyesalan, “Banyak hal yang harus kamu pertanggungjawabkan, setidaknya 5 tahun kamu harus menembus semua dosa ayahmu, sebagaimana 5 tahun kesepakatan Jovian kepada ayah saya dan merenggut nyawa ayah saya seperti makhluk hina.”

Elena menoleh cepat kepada sang ibu, masih menatap mimik wajah wanita paruh baya itu yang sangat murka terhadap kehadiran Husein.

“5 tahun akan saya penuhi semua kewajiban saya, untuk menembus semua kesalahan ayah saya.” jawab Husein lugas.

“Kesalahan ayah kamu gak akan pernah bisa ditembus oleh apapun, tapi setidaknya dengan ada kamu sebagai putranya... ada beberapa hal yang bisa kamu bantu untuk menembus semuanya.” “Tapi satu hal yang harus menjadi prioritas kamu, bahagiakan Elena karena dialah korban yang sebenarnya dari kekejian ayahmu.”



Sekarang angin malam menerpa anak rambut dari wanita cantik itu yang tengah berdiri menantikan kehadiran dari sosok Husein. Dadanya berkecamuk luar biasa, ia tak terima bahwa Husein akan segera mengakhiri semuanya. Baginya ini masih belum selesai. Masih banyak hal yang harus lelaki itu lakukan untuk mewujudkan kebahagiaannya yang semu.

“Elena,” suara bariton itu membuat yang dipanggil tersenyum sumringah, ia berlari kecil mendekati pria yang ia nantikan. “Setelah ini, udah ya?”

Senyuman Elena praktis memudar. “U-Udah, maksud kamu apa?”

“Kita bener-bener akhiri semuanya, seperti janji Ibu kamu kan? 5 tahun ini saya sudah memenuhi semua kewajiban sama kamu, bahkan beberapa hal seperti jaminan kesehatan itu berlaku untuk selamanya.”

Hati Elena hancur berkeping-keping. Husein... benar-benar mencintai wanita itu?

“Husein,” Elena menarik ujung jaket Husein, matanya menatap sendu kedua netra Husein yang membalas tatapannya dengan lurus, “Aku... sayang sama kamu.”

“Maaf, Elena.”

“Aku gak bisa hidup tanpa kamu, Husein!”

“Elena, please....”

“Gak bisa kah kamu buka hati sedikiiit aja untuk aku? kenapa kamu lebih mencintai gadis itu? apa aku kurang baik untuk kamu?”

“Elena, hati saya gak bisa di paksa. Maaf....”

“Husein, kamu tahu semua gimana penderitaan aku selama disini. Kamu itu obat dari semua rasa sakit yang aku terima dari rumah, aku lebih kuat menghadapi gilanya ibu aku karena kehadiran kamu! Awalnya memang iya aku marah sama kamu karena perbuatan ayah kamu dulu, tapi selama 5 tahun ini berjalan... aku jadi sadar dengan ketulusan hati kamu....” “Please... kasih aku kesempatan, Husein, kalau kamu mau aku berubah menjadi wanita yang lebih baik, seperti anak dari Haidar El Fatih itu, aku mau... asalkan kamu gak pergi dari sisi aku....”

Elena menyandarkan kepalanya di bahu bidang Husein, menumpahkan tangisannya yang sudah tak bisa ia bendung. Rasa kecewa, sesak dan amarah melebur menjadi kesedihan yang mencekik bagi wanita itu, tak ada lagi yang ia harapkan selain keberadaan Husein yang selama ini selalu ia rindukan.

Rindu yang dibalut benci, membuatnya terlambat untuk mengakui kata cinta.

Husein menghela nafas panjang, jemari besarnya menangkup lengan Elena perlahan. Menahan tubuh ringkih wanita di hadapannya agar tetap kuat.

“Elena, maaf... kehadiran saya ini gak lebih tentang pertanggungjawaban atas perbuatan ayah saya. Saya tahu aslinya kamu itu wanita yang baik, hanya saja di lingkungan yang salah, setidaknya kamu harus bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa bergantung sama orang.” “Saya bukanlah jawaban dari kebahagiaan yang kamu cari.”

Elena menggeleng, “Enggak, selama kamu di samping aku, aku bahagia!”

“Enggak, kamu hanya belum menemukan kebahagiaanmu. Saya yakin ada,” Husein perlahan menurunkan tangan Elena yang masih mengait di ujung jaketnya, “Dan saya yakin, ada laki-laki yang lebih pantas mendampingi kamu dari saya. Saya hanyalah seorang putra dari laki-laki brengsek yang menghancurkan hidup keluarga kamu.”

Lutut Elena melemas di tempat namun dengan cepat Husein menahan tubuhnya, menuntun tiap langkahnya menuju mobil membiarkan wanita itu menangis kencang. Laki-laki itu tak bicara sepatah kata pun, membiarkan hening dan lalu lalang jalanan yang menemani tangisan Elena yang kian menjadi.

Sampai di tengah jalan, Elena terlelap dengan tidurnya.

Sudah 15 menit lebih pria berparas eksotis itu menunggu kehadiran kakaknya dan sejak tadi, belum ada tanda-tanda sedikitpun Mina pulang.

“Emang tempat belanjanya jauh ya? kok lama banget sih?” Ibra mennyeruput kopi panasnya di tengah cuaca dingin di kota Budapest. Kepalanya masih melayang akibat jet-lag, istirahat di hotel pun tak membuat tubuhnya itu rileks malah ia mengkhawatirkan kakaknya itu yang sedang belanja sendirian.

Drrt...drrtt Aminah is calling....

“Halo, dimana?”

“Aku udah di apartemen, mau masak dulu nanti aja kamu kesininya pas udah selesai masaknya.”

“Eh enggak, gue langsung kesana.”

“Ihh kamu istirahat dulu aja di hotel, kamu masih jetlag kan?”

“Gue udah nungguin di kafe deket apartemen lo, udah gapapa gue kesana sekarang.”

TUT! Ibra mematikan telepon sepihak, cepat ia merogoh dompet di saku celananya dan hendak mengantri untuk bayar namun....

“Sebentar, saya lupa taruh dompetnya!” tiba-tiba di depannya seorang wanita berambut pirang di depan Ibra tengah kelimpungan mencari sesuatu di dalam tasnya. Pemuda itu menatap intens, sejak tadi wanita itu dengan sang kasir berbicara bahasa Hungaria yang tak ia mengerti.

“Cepatlah! Ada pelanggan lain yang antri mau bayar!” pekik sang kasir.

“Sebentar, saya yakin dompet saya disini!”

Ibra membuka lengan jaketnya, melihat jarum jam yang sudah menunjukkan angka 6 sore.

“Astagaa, bisa-bisanya aku lupa bawa dompet!”

Ibra mendelik begitu dengar wanita di hadapannya berbicara bahasa Indonesia.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ibra.

“A-Ah, orang Indonesia?” wanita itu tertawa pasi, “Maaf, saya kelupaan bawa dompet, sedangkan harus cepat bayar minumannya... kalau mas mau bayar duluan gapapa kok, saya pulang dulu.” begitu wanita itu membalikkan tubuhnya, dengan cepat Ibra menahan lengan jaket tebal wanita tersebut.

“Tunggu sebentar.”

Ibra mengeluarkan kartunya, “Let me pay the bill, how much?” suara serak tenor Ibra membuat jantung wanita itu berdetak kencang. Ia tak menyangka bahwa akan ada laki-laki baik hati yang bantu membayarkan makanannya.

“2909 Forint, sir.”

Wanita itu masih diam mematung, begitu Ibra menyelesaikan transaksinya malah pemuda itu pergi tanpa mengucapkan sepatah dua kata sama sekali.

“Tu-tunggu sebentar!”

Ibra menoleh, lalu wanita itu membungkuk sedikit, “Makasih banyak, Mas! i-itu saya perlu ganti berapa?!”

“Gak perlu, belum tentu kita ketemu lagi.”

“Aduh gak bisa gitu, Mas, saya gak enak....”

Pemuda itu terkekeh pelan, “Serius gak usah, itu gak seberapa kok. Lain kali hati-hati mbak, besok-besok gak akan ada orang yang bisa bantu bayarin lagi.”

Wanita itu tetap gigih, ia merogoh lagi saku di tasnya dan memberikan selembar kartu nama untuk Ibra.

“Pokoknya kalau masnya selama disini dan butuh bantuan, bisa langsung hubungi saya! Ini kantor agensi saya, dan di bawahnya ada nomor telepon saya. Jangan sungkan hubungi saya ya, saya masih menganggap ini hutang.”

“E-Eh jangan gitu, Mbak! Beneran gapapa—”

Ibra belum menyelesaikan kalimatnya, wanita cantik itu sudah pergi duluan.

“Elena... Bailey, oh dia model toh. Gak nyangka dia orang Indonesia,” pemuda itu menyimpan kartu namanya di dompet.



Mina selesai menghidangkan beberapa masakan simple sebagai sambutan dari kedatangan sang adik kesayangan. Ibra masih menatap lurus punggung kakaknya, dengan berbagai pikiran kusut yang mengganggu kepalanya.

“Aku cuman bisa masak ini, tapi aku seneng bikinnya! Besok kalo mau cari restoran enak ayo!” decak Mina senang. Ibra tak menjawab dan masih menatap kedua netra kakaknya itu dalam, “Bra? apaan sih lihat aku kayak gitu?”

Ibra menghela nafasnya panjang, “Kak, ayo pulang.”

Jantung Mina langsung tersentak.

“Bra... aku tinggal beberapa minggu lagi kok disini....”

“Pulang, ini peringatan serius.”

Mina mengusap mukanya gusar, “Bra, aku tahu kamu khawatir sama aku, dan kemarin aku juga agak ketakutan pas kamu belum kesini tapi kalau aku pulang duluan tanpa menyelesaikan semuanya... aku gak enak.”

“Lu gak tahu gimana khawatirnya abi sama lo disini, dan gue juga tadinya gak mau ambil pusing tapi ngelihat dua cowok kemarin terus-terusan berusaha ngedeketin lo... itu udah gak aman.” “Mina, lo harus tahu kalau lo ini perempuan dan tinggal sendiri disini! Baik Aaron atau Husein, gue tetep gak percaya karena mereka tetap laki-laki, dan mereka bisa curi-curi kesempatan untuk bisa berduaan sama lo karena lo sendirian!” “Jangan sampai ada fitnah, Kak, abi itu udah ngejagain lo sepenuh hati.”

“Kamu pikir aku cewek yang hobi berdua-duaan sama laki-laki?!”

“Lo tuh terlalu lugu, Mina!”

Mina menghempas nafasnya kasar, “Aku gak sebodoh itu, aku tahu batasan dan aku tahu apa yang ada di kepala mereka.”

“Kalau lo tahu semuanya, pulang!!”

Intonasi bicara Ibra sudah meninggi dan ini tak seperti biasanya. Pemuda itu tak pernah bicara dengan sangat emosional seperti ini. Sangat jarang. Ibra itu dikenal sangat tenang menghadapi situasi apapun.

“Ibra...” lirih Mina ketakutan. Cepat adiknya itu mengucap istighfar, menenangkan hatinya dan menepuk bahu kakaknya.

Sorry, gue kelepasan,” Ibra meneguk air minumnya, “Hah... kira-kira kapan tanggal pastinya lo bisa pulang ke Indonesia?”

“Aku gak tahu tapi yang pasti, di awal minggu ketiga itu jadwal terakhir aku ngajar di sekolah.”

“Tentuin tanggal pastinya, biar gue cancel flight selanjutnya.”

Mina mengernyit kedua alisnya, “Ha-hah? maksudnya?”

“Kita pulang sama-sama ke Indonesia.”

Mina menganga, “Kerjaan kamu gimana?! Ih jangan gitu, Ibra!”

“Ada Trian di kantor, kerja juga bisa sambil disini. Amanah abi lebih utama di banding yang lain.”

Gadis mungil itu tak bisa berkata-kata lagi dengan apa yang diputuskan adiknya. Entah ia harus bersyukur atau apa, tapi yang jelas hatinya itu berat.

“Maaf, aku... ngerepotin kamu, Bra...”

Ibra menggeleng, “Enggak, emang udah jadi tanggung jawab. Lo kakak perempuan gue satu-satunya.”

Mina mengerucut bibirnya, malah ia mencubit gemas pipi adiknya yang biasa ia kenal si tengil rese, sekarang sudah tumbuh dewasa dan menjadi pelindungnya.

Di tengah keramaian bandara, Ibrahim disana tengah duduk sambil memangku tangannya di atas koper. Jarum jam sudah menunjuk angka pukul setengah 3 dan belum ada tanda-tanda kehadiran Mina dengan Aaron ataupun Husein.

Memikirkannya membuat pemuda itu geleng-geleng.

“Gila ya, untung aja gue dateng kesini. ngelihat kondisi Mina udah kayak gini,” batinnya.

Tak lama sosok gadis berhijab coklat lari tergopoh-gopoh ke arahnya dengan raut sumringah, senyumnya lebar dan di balas pula oleh senyuman simpul Ibrahim.

“Ibraaaa!” Mina langsung lompat memeluk adiknya itu, “Capek yaa? sini aku bawain barangnya!”

Netra sang adik tertuju ke arah pria muda di belakang Mina, sosok Aaron yang akhirnya ia temui secara langsung dan memberikan tatapan penuh introgasi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ibra ingin memberi sedikit tes.

“Aduh capek banget, tapi gue gak tega nyuruh lo bawa barangnya, harus cowok ini mah,” ucap Ibra— praktis matanya melirik ke Aaron, untungnya pria muda itu cepat menangkap sinyal Ibra.

“Biar saya yang bawakan,” tawar Aaron, lalu ia membawa beberapa barang Ibra.

“Ya ampun, aku aja kaak! aku gak enak!”

“Udah lah, itu barang gede harus di bawa sama cowok.”

Mina memicing matanya tajam ke Ibra, “Ih! dia tuh bos aku tahu, jangan seenaknya nyuruh-nyuruh!” bisik Mina mengecam.

Ibra hanya tersenyum miring.

“Ibrahim!”

Suara bariton itu membuat nafas Mina tercekat. Ketiga insan disana menoleh ke arah sumber suara, dan Mina tak menyangka Husein datang juga untuk menjemput Ibra.

“Ba-Bang Husein?!” decak Mina kaget.

“Aminah?!” lalu matanya teralih ke Aaron, “Lo ngapain disini?!”

“Gak lihat gue lagi jemput adeknya Mina?” balas Aaron sinis.

“Lo kan atasannya Mina, kok bisa-bisanya mau ngejemput adeknya Mina?” Husein melirik ke barang-barang yang di bawa Aaron, “Itu barang-barangnya Ibra kan? lo gak pantes bawain barang kayak gitu, mending gue aja.”

“Gak usah, gue gak keberatan.”

“Bertindaklah sebagai atasan yang bener, mana ada bos mau bawain barang kayak gitu.”

“Gue kesini bukan sebagai atasannya Mina.”

“Terus apa?!”

“Menurut lo hubungan yang tepat apa, Husein?” Aaron menyungging senyuman penuh arti, yang tentu membuat Husein jengkel setengah mati.

“Ehem!”

Dehaman singkat Ibrahim membuat keduanya mendelik.

“Gue kesini gak mood nonton sinetron, capek banget nih habis perjalanan panjang. Mending kita cari makan dulu yang enak, gimana?” cicir Ibra dengan tengil khasnya. Ia menatap sang kakak yang hanya diam mematung melihat pertikaian kedua pemuda di depannya.

“Boleh, nanti biar saya yang tunjukkin tempat makan enak disini,” ucap Aaron.

Husein tak mau kalah, “Kalo gitu gue ikut.”

Aaron mengerut alisnya tak senang, namun Husein tak peduli.

Situasi saat ini membuat kepala Mina ingin pecah.

Ih cowok-cowok gak jelas....

Haidar, putramu ini jenius! dia bisa jadi harapan keluarga kita.

“Saya gak mau terusin perusahaan Eyang.”

Ibrahim remaja, masih berusia 17 tahun menatap serius netra Ayahnya—semi geram. Tangannya mengepal keras, sekali lagi, Ibra harus mendengar orang menaruh beban di pundaknya.

“Ibra sayang, duduk tenang, jangan tatap mata Abi kamu kayak gitu,” sang ibunda berusaha menenangkan putranya itu, tapi kepalang marah, Ibra malah menghempas tangan sang ibunda.

“Ibrahim, duduk. kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin.” Haidar ikut berdiri untuk menegaskan posisinya, akhirnya Ibra menuruti apa kata sang ayah dan duduk dengan wajah menegang.

Puncak emosi Ibra sudah mencapai limit, rasanya ingin berteriak. Ia meratapi secarik kertas yang terbuka disana, yakni surat penerimaan Ibra di salah satu kampus Turki, negeri impiannya.

“Pertama, kamu tidak pernah mendiskusikan soal ini kepada Abi dan kamu datang-datang hanya minta tanda tangan persetujuan?! kamu gak butuh doa restu orang tua kamu, Ibrahim?!”

“Kalau saya beritahu abi, apa abi mengizinkan saya?!”

“Karena sudah seperti ini, sangat di sayangkan abi tidak mengizinkan kamu pergi ke Turki!!”

Mata Ibra memencak lebar, hatinya hancur bukan main dan yang hanya bisa dilakukan Ibrahim... menunduk. sang ibunda menatap iba putranya itu, suaranya tak mungkin bisa merubah keputusan Haidar yang sudah bulat.

“Ibrahim, saya tidak pernah melarang apapun mimpi kamu, hanya saja situasi memberikan satu atau dua amanah untuk kamu karena seperti Eyang bilang, kamu ini anak yang istimewa!”

“Anak istimewa? lalu hak istimewanya di kasih sama Aminah?!”

“Ibrahim jaga bicara kamu!”

“Abi, sudah cukup dengan alasan saya ini anak istimewa, anak jenius karena di mata abi ini, saya hanyalah anak nakal pembuat onar yang harus di pesantrenkan! apa selama ini abi mau dengar saya? bahkan waktu untuk mendengar saya aja gak ada, pernah abi ngajak saya ngobrol soal masa depan? enggak!” “Dari kecil, abi hanya fokus sama Aminah, bukan sama saya! Abi mengabulkan semua permintaan Aminah, apapun yang Aminah pilih abi iyakan sedangkan saya? perkara sepele soal ekskul, abi larang saya ini itu, fokus sama hafalan. Sekarang urusan kuliah abi tidak izinkan saya, lalu nanti kalau saya menikah, saya memilih wanita apa abi masih larang-larang juga?!”

“Ibrahim, bicara kamu sudah kemana-mana. Tenang dulu.”

“SAYA CAPEK ABI!!!”

“IBRAHIM!”

Ibra tersentak dengan gertakan ayahnya, keduanya saling membelelakkan kedua mata. Pemuda berusia 17 tahun itu mulai menitikkan air matanya.

“Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak pernah melarang apapun pilihan kamu dan kalau saya sudah berkata tidak berarti memang itu bukan pilihan yang baik untuk kamu!”

“Abi tahu apa soal saya?!”

Anela langsung menepuk pundak putranya, “Ibra... turunkan suaranya....”

“Abi... gak pernah mau tahu apapun soal saya, jadi jangan pernah bertindak seolah abi tahu semuanya tentang saya!!”

Kalimat itu mengiris hati sang ayahanda. Bagaimana tidak? penolakan itu keluar secara langsung dari bibir sang putra, namun ia tak bisa menepiknya karena memang betul... sejujurnya Haidar masih tak tahu apa-apa soal Ibrahim, putranya.

Punggung pemuda yang beranjak dewasa itu mengingatkan dirinya di masa lalu. sama persis, ketika dirinya muda yang diberi harapan dan amanah besar oleh sekelilingnya, sekarang seolah roda berputar di kehidupan keluarganya. Ibrahim menjadi dirinya dulu.

Dan Haidar tak tahu harus apa.



Keesokannya, Ibrahim merenungi semua perbuatannya kepada sang ayah dan meminta maaf atas semua yang ia lakukan. Ayah mana yang tak luluh ketika anaknya memeluk erat tubuhnya seraya meneteskan air mata penuh penyesalan? Seribu maaf untuk buah hati tak pernah habis, hanya saja butuh perbaikan. Kalimat menyakitkan Ibra sangat membekas di hati Haidar, sampai akhirnya pria paruh baya itu berkata dengan nada lirih...

“Tentukan pilihanmu nak, tak ada lagi tembok yang menghalangi jalan kamu untuk mengejar mimpi-mimpi kamu.” “Abi sudah menghancurkan mimpi kamu ke Turki, dan itu terakhir kalinya.”

Ibrahim mencium tangan Ayahnya sekali lagi, “Dan ini terakhir kalinya saya merajuk sama abi, kalau memang ada amanah untuk saya, saya akan tanggung jawab.” “Saya tidak akan lagi melawan, kalau memang saya adalah harapan dari keluarga.”

Sejak itu, Ibrahim menjalani hidup dengan takdirnya sebagai 'harapan' dari orang-orang terkasihnya.