Last Day, with Last Memories

Hembusan angin dingin yang perlahan menghangat, gadis berjilbab hitam dengan riasan natural cantiknya menatap langit dengan pandangan harap. Ia melekukkan senyum kecil.

“Terima kasih, kota Budapest, banyak memori suka dan duka yang bisa ku jadikan cerita....”

Lalu ia melangkah maju ke kelasnya. Disana sudah ada para murid yang berdiri dengan setangkai bunga hasil tangan mereka masing-masing, ada bunga matahari, bunga tulip, bunga mawar dan berbagai macam bunga yang melambangkan keindahan.

“Selamat pagi anak-anak....” Mina menyapa murid-muridnya, mereka semua menatap sendu guru kesayangannya yang sudah menjadi teman cerita selama 3 bulan. Dengan kompak, mereka berlari memeluk Mina erat.

“We will gonna miss you, Bu Mina!” serempak anak-anak satu kelas, membuat sang guru menitikkan air mata haru yang tak berbendung. Tangannya membalas pelukan dari tubuh-tubuh mungil hangat yang masih enggan melepas pelukan mereka juga.

Dari belakang, Aaron menyaksikan bagaimana suasana hangat dari perpisahan Mina bersama murid-muridnya. Memang, kasih sayang Mina sebagai guru tersampaikan dengan sangat baik, dan mungkin kalau ia berkenan ingin menawarkan posisi guru tetap kepada Mina disini.

Tapi gadis ini merindukan tanah airnya.

Setidaknya, 3 bulan Mina disini bisa menjadi cerita manis yang akan ia jadikan sebagai kenangan.

Tadinya Aaron ingin mengajak Mina bicara lagi tentang jawaban lamarannya tempo lalu tapi sepertinya hari ini akan menjadi hari perpisahannya bersama anak-anak. Aaron mengurungkan niatnya, lalu melangkah mundur dan pergi.



Mina udah selesai? aku udah di depan sekolah.

Mina menghela nafasnya panjang, sejujurnya ia tak siap untuk bertatap muka lagi dengan sosok lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya, dimana ada kenangan pahit yang ia ukir disini bersamanya, di malam salju dingin yang menusuk dada.

Ia ingin menyelesaikan persoalan hati, sebelum akhirnya ia memulai lembaran baru di negeri asalnya.

Sekarang kedua insan itu saling bertatapan, yang satu pemuda itu tersenyum lebar seolah bahagia sekali menyambut kedatangan sosok yang ia tunggu-tunggu selama ini, dan yang satu... gadis itu menatap nanar dengan lekukan senyum pasi.

“Mina...” bibirnya mengucap nama sang gadis dengan lirih.

“Iya, Bang Husein, kita mau ngobrol dimana?” di jawab Mina dengan datar, lalu Husein cepat mempersilahkan Mina masuk ke mobilnya terlebih dahulu dan membawa mereka ke suatu tempat yang sudah di rencanakan.

Danube River, tempat mereka menghabiskan waktu pada pertama kalinya.

Husein langsung menuntun Mina untuk duduk di kursi kayu yang letaknya tak jauh dari Danube River, hembusan angin alam makin terasa meskipun masih ada dingin yang menusuk. Pipi Mina mulai membeku, tak turun salju tapi suhu dinginnya sangat luar biasa.

TUK!

Husein menempelkan segelas kopi hangat di pipi Mina, ia terkekeh geli.

“Cuaca hari ini lagi dingin banget, nih minum!” ujar Husein.

“Makasih....” Mina menerimanya dengan kikuk, keduanya duduk bersanding menikmati suasana yang tak begitu ramai di sekitarnya. Husein melirik pelik Mina dengan wajah cantiknya yang meneduhkan. Ibra benar, wanita secantik dan selembut Mina tak mungkin tak ada yang menginginkan hatinya. Pesona Mina yang di balut dengan ketaatannya kepada Sang Pencipta, kecerdasannya dan kehangatannya sebagai perempuan, siapa yang tak akan jatuh hati dengan wanita bagai malaikat ini?

“Aminah,” Husein mulai membuka pembicaraannya, “Aku... mau minta maaf untuk semuanya.”

Mina mendelik, ia menoleh cepat ke Husein, “Minta maaf... maksudnya?”

“Untuk semuanya, yang udah aku perbuat sama kamu dan juga soal janji kita 12 tahun yang lalu.”

Hati Mina langsung tergores mendengarnya. Memang bukan main sakitnya, tapi gadis itu berusaha netral dan perlahan mengikhlaskan semua dengan yang sudah terjadi.

“Sudahlah, aku kan udah bilang sama Bang Husein, mari kita mulai semuanya dari awal—”

“Ada banyak hal yang harus aku ceritain sama kamu, Mina.”

Mina tersontak, “A-Apa?”

Husein membuka ponselnya, ia membuka isi percakapannya dengan Elena dan menunjukkan semuanya kepada Mina.

“Hubungan aku sama Elena tidak seperti yang kamu pikir.”

Mina membaca chat Elena dari sangat awal, bahkan terlihat isi chat itu sudah ada sejak 5 tahun yang lalu. Matanya memencak, begitu banyak hinaan, cacian bahkan bentuk perendahan lainnya terhadap Husein karena ia merupakan anak dari ayah seorang kriminal. Elena sendiri menyebutkan dirinya adalah korban dari kebengisan ayah kandung Husein, dan bisa di lihat Husein benar-benar menghabiskan banyak tenaga dan uang hanya karena untuk menembus semua dosa-dosa ayahnya di masa lalu.

“Elena itu korban dari ayah kandung aku. Ibunya, Veronica, anak dari seorang dokter yang dibunuh di tangan ayah kandung aku. Kehidupan mereka kacau semenjak kasus PT. Soetomo itu selesai, dan Elena sendiri juga korban dari kekerasan Ibunya, Mina....” Husein menundukkan kepalanya, “Sebenarnya banyak yang harus aku tembus dari semua dosa ayah kandung aku, kadang aku gak bisa tidur karena memikirkan itu semua. Awalnya aku gak mau mengusut semuanya tuntas, tapi sayang... yang namanya darah keturunan itu memang gak bisa di bohongi, Mina.”

Husein mengusap wajahnya gusar, “Wajah aku, benar-benar mirip sama ayah kandung aku. Bunda juga selalu bilang gitu, dan aku tahu Bunda sangat trauma dengan ayah kandung aku. Beberapa sifat ayah kandung aku pasti juga menurun sama aku bukan? dan yang semakin buat aku terguncang... ketika aku mengetahui fakta bahwa ayah kandung aku yang menghancurkan hidup Om Haidar dulu, dan juga kamu, Tante Anela, dan Ibra....”

Hati Mina terenyuh, sejarah kelam yang merenggut kebahagiaan keluarganya dulu ternyata menjadi beban bagi Husein di masa sekarang.

“Bang Husein, hei—”

“Izinin aku cerita sampai selesai ya?”

Mina menghela nafas panjangnya, lalu mengangguk.

“Aku memutus kontak, enggan menghubungi kamu lagi, karena aku takut sekaligus malu, Mina. Berani-beraninya aku jatuh cinta sama kamu sedangkan apa yang diperbuat ayah kandung aku sangatlah tak termaafkan. Ketika aku bicara sama Ibra soal ini, dia marah besar, disitu aku mikir apa reaksi kamu akan sama? dan aku berhak untuk menerima itu. Aku udah gak ada nyali lagi untuk mengakui perasaan aku sama kamu, Mina, karena banyak hal yang aku khawatirkan... dan yang paling aku takutkan adalah.... aku akan menyakiti kamu karena darah ayah kandungku yang mengalir.”

“Astagfirullah hal adzim, Bang Husein—”

“Iya emang berlebihan kesannya, tapi itu fakta, Mina. Aku benar-benar takut putri kesayangan keluarga Soetomo yang di besarkan dengan penuh kemuliaan menangis karena aku, si anak dari Jovian, pelaku kriminal kelas kakap—”

“Stop! Stop! Cukup sampai situ, Bang Husein!!”

Mina memekik keras, akhirnya Husein menghentikan kalimatnya dengan nafas panjangnya.

“Bang Husein, dulu aku pernah bilang kan kalau Bang Husein ini adalah abang yang terbaik buat aku sama Ibra?! Bang Husein itu kayak malaikat penjaga, Bang Husein itu yang sering berkorban uang jajan buat kita yang udah Bang Husein anggap kayak adik sendiri, buat kita tersenyum lebar, Bang Husein sering bantu sebrangin kita tiap pulang sekolah, temenin kita, ceritain kita banyak hal yang gak kita tahu. Seribu kebaikan Bang Husein apa harus luntur karena sebuah fakta bahwa Bang Husein memiliki ayah kandung seorang kriminal?!” “Oke ayah kandung kamu memang seorang penjahat, tapi Bang Husein enggak... mana bisa aku samakan Bang Husein yang sebaik ini dengan seorang penjahat kelas kakap?”

Husein memencak matanya, dan terlihat Mina sudah meneteskan air matanya.

“Aku gak pernah berpikir, kalau Bang Husein akan menyakiti aku... karena aku sepenuhnya percaya sama kamu.”

Mina mengusap cepat wajahnya, “Jujur, aku kecewa sama kamu karena kamu seenaknya mengingkari janji dan meninggalkan aku tanpa penjelasan. Setidaknya, kalau memang kamu jatuh cinta dengan wanita lain, aku gapapa kok! aku ikhlas, tapi tolong... cerita sama aku. Semua tindakan kamu membuat aku bingung!”

“Mina, aku berani bersumpah, selama disini aku gak jatuh cinta lagi sama siapapun.”

Mina diam mematung, sorot mata Husein berubah menjadi serius.

“Kamu tahu kenapa aku akhirnya mengingkari janji itu, Mina?” Husein menarik nafasnya dalam-dalam, “Karena aku pikir, tingkat tertingginya dalam perihal mencintai seseorang adalah mengikhlaskan, dan aku mengikhlaskan kamu bersama pria yang jauh lebih baik dari aku.”

DHEG!! Ungkapan itu menyayat hati Mina bahkan sudah hampir menghancurkan.

“Bang Husein....”

“Sebesar itu aku mencintai kamu, Mina, dan perasaanku gak berubah sedikitpun sejak dulu... hingga sekarang.”

Tangisan Mina lagi-lagi pecah.

“Mina—”

“Cukup.”

Mina menyudahi kalimat Husein, lalu gadis itu langsung berdiri dari tempat duduknya.

“Aku pulang tanggal 27, tiga hari lagi. Besok banyak hal yang mau aku urus sebelum pulang jadi...” Mina membalik badannya, “Ayo kita habisin waktu sama-sama hari ini, aku mau main ke banyak tempat disini sebelum aku pulang... sama kamu.” “Lupakan semua yang menyakitkan, aku mau perpisahan kita itu dengan senyuman.”

Husein ikut berdiri, “Kalo gitu ayo kita pergi ke banyak tempat.”



Mina dan Husein benar-benar menghabiskan waktunya bersama. Mereka berkeliling ke tempat-tempat kastil tua yang memiliki banyak sejarah, meng-explore makanan dan es krim. Husein masih ingat betul kesukaan Mina, es krim mint choco yang rasanya super aneh.

“Masih gak berubah ya, kesukaan kamu tetep es krim rasa odol,” ejek Husein.

“Enak aja! Ini tuh fresh banget tau!” balas Mina sebal.

“Iya deh emang fresh, nanti kalau mau sikat gigi tinggal makan aja es krim mint choco.”

“Ish, Bang Husein ngeselin banget!”

DUK!! Tiba-tiba keramaian membuat tubuh Mina terpental, sontak Husein langsung mengangkat tubuh Mina dan menuntunnya berdiri, “Kamu gapapa?!”

“E-Enggak, gapapa kok...” Husein langsung menarik tangan Mina dan mengaitkannya di lengan kekar pemuda itu.

“Karena ramai, pegangan dulu ya, disini badannya pada gede-gede.”

Jantung Mina langsung berdesir tak menentu, parfum maskulinnya yang membuat Mina lupa bahwa Husein sudah menjadi seorang pria, bukan lagi Bang Husein mungil yang dulu selalu menomorsatukan dirinya dengan lugu. Tingginya yang menjulang, otot tangannya yang sudah membesar, dan juga suara baritonnya. Rasanya Mina ingin cepat-cepat melepaskan tangannya.

Kalau bukan karena ramai...

tapi ada sedikit rasa aman dalam benaknya.

Bang Husein... ternyata gak berubah....


Tak terasa hari menjelang malam, Ibra sudah memberikan peringatan keras kepada Mina agar pulang sebelum gelap. Mobil Husein sudah sampai di depan apartemen Mina dengan sempurna.

“Makasih untuk hari ini, Bang Husein,” ucap gadis itu.

“Iya, makasih juga, Mina.”

Keduanya diam, harusnya Mina melangkah cepat memasuki kamarnya tapi entah kenapa ia masih berdiam diri.

“Mina!”

“Bang Husein!”

Keduanya saling bersahutan nama, Husein langsung terkekeh geli.

“Yaudah kamu dulu deh, kenapa?” Husein mengalah. Mina masih mengatup bibirnya rapat-rapat lalu mendekat lagi ke Husein.

“Aku... masih mau ngucapin terima kasih untuk semuanya.” “Terima kasih, atas semua kebaikan Bang Husein selama di Indonesia dan juga di sini. Bang Husein harus ingat, sedikitpun aku gak pernah menganggap Bang Husein ini penjahat, enggak sama sekali. Kemarin aku menghindar karena aku bingung sama perlakuan Bang Husein, dan cukup terintimidasi dengan sikap Elena juga....”

“Ah, aku minta maaf soal Elena....”

“Iya gapapa, sekarang aku udah paham situasinya.”

Husein menunduk, “Elena... juga udah berangkat ke Italia, Mina.”

Mina mendecak, “O-Oh iya?! Kapan?!”

“2 minggu yang lalu kurang lebih, dia mau tinggal disana.”

Gadis itu tersenyum simpul, “Alhamdulillah, kalau dia sudah menemukan hidupnya.”

Sekali lagi suasana canggung memenuhi keduanya.

“Bang Husein....” Mina menatap nanar kedua netra Husein, “Terima kasih sudah mencintai aku sebesar itu. Terima kasih, sudah memberitahu aku bagaimana rasanya jatuh cinta lalu suka dukanya perasaan cinta, semuanya buat aku indah.” “Makasih ya?”

Bibir Husein kelu untuk membalas, gadis itu sudah membalik tubuhnya untuk perlahan jalan meninggalkannya namun...

“Bang Husein....”

Husein mendongak.

“Beberapa minggu yang lalu, aku di lamar sama Kak Aaron.”

Mata Husein membulat lebar. Dadanya bagai di sambar petir, hatinya berkecamuk hebat bahkan hancur melebur.

“Aku belum kasih jawaban untuk lamarannya, dan besok... aku mau kasih jawaban pasti untuk Kak Aaron.”

Bibir Husein bergetar, “A-Apa jawaban kamu?”

“Maaf, aku gak bisa bilang apa jawabanku.”

“Mina....”

“Makanya, aku mau bilang terima kasih... karena Bang Husein sudah mencintai aku sebesar itu dan mengikhlaskan aku untuk pilihanku....” Mina mengusap air matanya, “See you, when i see you, Bang Husein.”

Seiring langkah kaki Mina pergi ke dalam apartemennya, lutut Husein langsung melemas di tempat. Sekotak cincin kecil yang sudah ia genggam di saku langsung terjatuh bersama isinya, menandakan pupus harapan cintanya yang ingin ia awali sebagai kebahagiaan hidupnya.

Sekarang menjadi kepedihan yang maha menyakitkan melebihi apapun.

Husein... berada di titik hidup terendahnya.

Sedang gadis yang ada di balik pintu, menangis meraung-raung setelah melepas cintanya selama 12 tahun. Ternyata perihal mengikhlaskan memang tak mudah, bagaimana bisa ada insan yang membiarkan cintanya pergi dengan penuh sukacita? Ini begitu menyakitkan bagi siapapun yang merasakannya.

Mina masih menangis kencang, di bawah pelukan Ibra sang adik yang ikut merasakan sakit di dadanya.

Akhirnya, pelajaran keduanya soal mencintai... sudah usai disini.