Soal Hati, tentang Husein dan Mina
Husein berusia 18 tahun, di Budapest...
Husein yang sudah beranjak dewasa, mata sipitnya terus menatap langit kamar dengan nanar. Bibir tipisnya itu mengatup, sekali lagi ia membuka ponsel lamanya yang berisi pesan masuk dari sosok gadis yang sangat dia cintai sedari dulu, Mina. Dadanya sangat sakit, bukan tak ingin membalas rindu tapi Husein di usianya yang sekarang mulai mencari-cari tentang jati diri sebenarnya.
Sampai ia menemukan fakta menyakitkan, bahwa ayah kandungnya yang pernah hampir menghancurkan orang-orang terkasihnya, termasuk keluarga Mina.
Jarinya sudah hampir mengetuk satu kata per kata, Mina apa kabar?
tapi ia menghapusnya lagi. Menutup rapat ponselnya lalu memejam rapat matanya sampai terlelap, bersama rindu yang ia kurung dengan rasa bersalah.
Maafin aku, Mina...
“Bang, kamu tahu gak Ibra sama Mina udah lulus SMA? kamu gak mau dateng ke Indonesia buat ikut selamatan?” ibundanya mengirim undangan melalui chat, Husein membuka isi chatnya lesu.
“Kuliah aku lagi padet-padetnya, Bun, kalau Ayah sama Bunda yang dateng juga gapapa kok.”
“Ini justru Ibra sama Mina nanyain kamu lho, mereka kangen banget sama kamu, emang kamu gak kangen main sama mereka, Bang?”
“Bunda, kita udah bukan anak kecil lagi. Aku punya kesibukan sendiri, dan nanti mereka juga bakalan sibuk pas udah masuk kuliah.”
“Ya gak ada salahnya kan ketemu sebentar buat jaga silaturahmi? emang kamu masih kontak-kontakan sama mereka?!”
Husein skakmat. Sebuah fakta dia yang memutus semua komunikasi dengan orang-orang di Indonesia membuatnya tak berkutik bicara, melainkan ia melengos pergi meninggalkan Angel yang terus menyahut namanya. Bukan karena tak peduli, tapi ada rasa malu yang harus ia tanggung karena nasib dari turunannya.
Ia juga tak menginginkan lahir dari seorang ayah penjahat, tapi ia harus menanggung beban aib seumur hidup atas perbuatan ayah kandungnya sendiri.
Husein, sekarang...
Sekarang pria itu tengah membuka ulang semua buku hariannya yang berkaitan dengan Mina, dan semua memori dari album-albumnya. Senyuman lebarnya terlukis indah di wajah tampannya, tiap memori yang ia ratap dalam-dalam dengan segenap cintanya, akhirnya pria itu memiliki keberanian lagi untuk mengakui perasaan rindunya. Rindu, cinta juga kekuatan yang menyatu sebagai tekadnya.
“Mina... maaf kalau terlambat tapi akhirnya... aku bisa mengabulkan janji kita, 12 tahun yang lalu....” “Maaf, udah buat kamu menunggu lama.”
Ia menarik nafasnya dalam-dalam, lalu meletakkan semua buku dan memori-memori indah lamanya. Ia bangkit dari duduknya, bergegas ke musholla rumahnya untuk mendirikan shalat malam.
Husein memang sejak dini sudah di ajarkan untuk rutin shalat tahajjud, karena sebagaimana kita tahu bahwa waktu sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Ilahi, apalagi perihal keinginan. Husein di ajarkan, bahwa doa pada waktu tahajjud ibarat kita menembak panah tepat pada sasarannya sehingga pemuda itu tak pernah mau melewatkan sedikitpun waktu mulia tersebut.
Di sepertiga malam ini, Husein harap masih ada kesempatannya untuk mewujudkan cinta pertama menjadi cinta terakhir dan seumur hidupnya.