shinelyght

Keluarga Haidar sudah mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Budapest Ferihegy. Lalu lalang para pengunjung membuat mereka sangat antusias untuk mengeksplor lebih jauh Kota Budapest.

“Yaudah, saya sama Desra mau lihat dulu ke depan sana, siapa tahu udah dijemput.” Ibrahim cepat menarik kopernya bersama laki-laki pemilik tinggi 170 cm di atasnya yang ikut bergerak di belakang. Ibra menatap ponselnya sebentar, hatinya harap-harap cemas agar bisa cepat sampai ke hotel dan istirahat. Matanya terus menoleh kanan-kiri, mencari siapa yang bawa papan nama kakaknya itu.

BRUK!!

“Aw... DAMN IT!” suara halus melengking itu mengumpat, sontak membuat Ibra bangkit dan melotot ke arah wanita itu. Ibra merintih kesakitan, matanya terbelelak begitu ia mendapati kopernya ketumpahan kopi dan ia menoleh geram ke wanita anggun berkacamata hitam.

“Argh...! watch your step!” decak Ibrahim kesal.

“Is this my fault?!” wanita itu melengos pergi, “Weird...” dia memutar kedua bola matanya malas dan Ibra ditinggal menganga.

“Wah, bau-baunya tuh cewek CEO, Bra.” cicir Desra di samping.

“Kalo cowok gue ajak berantem, asli.”



15 menit berlalu, penjemput keluarga Haidar masih belum juga tiba dan membuat mereka mengeluh kesahnya. Bagaimana tidak? perjalanan jauh yang melelahkan tentu membuat mereka ingin cepat-cepat sampai ke hotel lalu istirahat total, terutama Haidar yang tubuhnya sudah tak sekuat dulu, wajah kusutnya terlukis jelas.

“Aminah, telepon deh atasan kamu itu, kalau emang gak ada penjemputan mending kita naik taksi sendiri.” ucap Haidar gerah.

“Apa minta Kak Adit aja, Mas?” tanya Anela.

“Jangan, dia pasti lagi kerja, Husein juga pasti sibuk.”

Mendengar nama Husein di ucap, Mina langsung mengatup bibirnya rapat-rapat. Ibra melirik, lalu mencibir sikap kakaknya, “Denger nama Husein aja lu kesemsem.”

“Apa sih, Ibra?!”

Haidar menitah putranya lagi, “Ibrahim, kamu cek lagi deh kesana.”

“Abi.... saya capek, Desra aja udah. Kan Desra penanggungjawabnya.”

Desra memukul lengan Ibra, “Apa lo suruh-suruh gue?! Ayo bareng!”

“Ah, Desra!”

Desra menarik tangan Ibrahim ke depan gerbang kedatangan lagi, berharap sudah ada yang mau menjemput mereka namun keramaian membuat mereka susah melihat papan nama yang dibawa.

Ibra menoleh ke samping, mendapati wanita cantik yang tak asing sedang bercakap dengan bahasa Indonesia. Perhatiannya mulai intens terhadap wanita di samping.

“Mah, tolong banget ini jangan sampai Samuel tahu aku di sini. Bilang aja aku pulang ke Kanada buat ketemu Papa, okay?” “Cuman Mama yang ngertiin Rose, aku gak akan pernah mau nikah sama laki-laki manipulatif kayak dia!”

Wanita yang di perhatikan sadar dengan tatapan Ibra, dia mendecih sinis lalu pergi meninggalkan kesan buruk terhadap Ibra.

Lah sombong amat?

Ibrahim merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa ruangan TV. Sorenya yang panjang ia pakai untuk menonton seri anime yang belum ia habiskan sejak lama karena sibuk. Dibalik wajah datarnya, rasanya ini bagai surga dunia. Sudah lama Ibra ini tak merasakan lapang seperti ini.

Ia berharap waktu berjalan lambat agar bisa menikmati tiap detik istirahatnya.

SET! Tanpa permisi, Mina merebut remot TV dan menguasai penuh dengan memindah channel ke drama Korea.

“Ah! Gua duluan!” protes Ibra.

“Bentar, bentar, ini dramanya Jaemin baru keluar!” balas Mina.

“Gak mau, gua duluan! Episode kemaren belum gua tonton!”

“Ih ngalah dong sama cewek!”

“Orang mah ngalah sama adek!”

Mina memaut bibirnya cemberut, alih-alih mematikan TV nya dan menyembunyikannya di bawah pahanya sehingga Ibra tak bisa meraih remotnya itu.

“Sumpah, lu ganggu banget waktu istirahat gua!!” pekik Ibra kesal bukan main.

“Denger dulu!”

“Apaan?!”

“Gue mau curhat!”

Ibra geleng-geleng, “Ogah ah! gak mood!”

“IHH YAUDAH GAK USAH NONTON YA?!”

“YAUDAH CEPETAN, MAU CURHAT APA?!”

Mina menundukkan lagi kepalanya, “Ma-Masa.... tadi ada anak murid yang tiba-tiba minta gue jadi ibunya di depan ayahnya.”

Ibra langsung tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal.

“IHHH KOK KETAWA SIHHH????”

“Terima aja sih, lumayan kan dapet satu gratis satu.”

Mina langsung melempar bantal oranye kecilnya ke wajah Ibra.

“Rese lo!”

“Lah bener kan? Umi suka ceritain gimana sakitnya melahirkan, nah kalo lu dapetin duda anak satu gak usah mikir-mikir lagi kudu punya anak!”

Mina memicing matanya sebal, “Sependek itu pemikiran lo, Bra? Please deh, lo tuh udah gede.”

Ibra mencibir kakaknya ngejek, “Ya itu solusi cepat namanya, kalo gamau yaudah bukan urusan gue.”

Mina mendengus kesal, ia kembali menatap laptop di pangkuannya, membuka beberapa e-mail masuk dari sang editor yang menagih naskah tenggat waktunya.

“Ya ampun, deadline-nya masih lama tapi gue udah di tagih-tagih kayak gini sama si Desra!” Mina mengeluh lagi kesahnya sambil mengibas rambut sepunggungnya emosi.

“Kan promosi buku lu yang kemarin masih belum selesai?” tanya Ibra.

“Makanya! Argh, bikin stres aja nih!”

“Block aja udah.”

Mina memutar bola matanya malas, “Lemes banget mulut lo, Bra, asli.”

Ibra terkekeh geli, “Pusing ah ngomong ama lu, gua mau nonton di kamar aja.” dia beranjak dari tempatnya menuju kamar tidurnya meninggalkan Mina sendirian disana. Sudah biasa mendengar kabar kakaknya ini yang terus mendapat tawaran atau lamaran secara tak langsung dari beberapa pria di sekitar, bahkan Gibran, tetangga Ibra pernah menaruh hati dengan Mina namun di tolak karena hati Mina yang masih terpaut dengan lelaki di sebrang benua sana.

“HAAAHHHHHHH???!!!!”

Pekikan Mina mengejutkan seisi rumah bahkan sampai seluruh keluarganya serempak keluar dari kamarnya.

“Kenapa, Mina?!”

“Woy kenape lu?!”

“Ya ampun, Mina, kamu kenapa—”

“MINA DI UNDANG KE BUDAPEST!!!”

Haidar mengerut kedua alisnya, “Ha-hah? Apa?”

“MINA DI UNDANG UNTUK NGAJAR DI SEKOLAH INTERNASIONAL DI BUDAPEST SELAMA 3 BULAN, BII!!” decak lagi Mina kegirangan.

Ibra menganga, “Lu-lu di undang buat ngajar di Budapest?”

“IYAA, YA AMPUNNN!! SENENG BANGET, PADAHAL MINA KAN NGE-SUBMIT ARTIKEL DI WEBSITE ITU KARENA DISURUH DESRAA!!” “Fix aku harus kasih tau Desra dulu!”

Ketiga orang yang diberi kabar masih mematung, sampai 5 menit kemudian...

“HEH, KAMU MAU TINGGAL DI BUDAPEST 3 BULAN SENDIRIAN?? YANG BENER AJA KAMU!!” — Haidar

“Lho emang kenapa sih?! 3 bulan doang kok!! Fasilitas juga semuanya di kasih sama pihak sana!!” — Mina

“Mas! Disana kan ada Kak Adit sama Angel! Kita hubungi aja mereka!” — Anela

“Udah fix, Abi, kita gak bisa biarin nih Mina sendirian dulu disana jadi kita kudu liburan sekeluarga disana sekalian mampir ke tempatnya Om Adit!” — Ibra

“Seenak jidat kamu kalo ngomong, emang kamu pikir Abi gak ada kerjaan disini?” — Haidar

“Ih bener juga ya, Mas, liburan 2 minggu disana cukup kali... tempatnya bagus-bagus deh.” — Anela

“Ah kalian ini otaknya liburan mulu, kalau memang harus kesana juga kan untuk memastikan Mina aman disana!” — Haidar

“Jadi kita pergi gak nih, Bi?!” — Ibra

“Ya... ya mau gimana lagi, kalau memang 2 minggu cukup untuk mastiin Mina aman semuanya.” — Haidar

“Yey!! Suamiku memang yang terbaik!! Ibra, akhirnya kita bisa liburan ke tempatnya Tante Angel!! Aku mau hubungin Angel dulu disana!” — Anela

“Oh ya aku juga harus hubungin Trian dulu buat hold proyek yang di minta Om Jeffry.” — Ibra

Mina geleng-geleng heran,

“Anu, tolong ya... ini Mina ke Budapest bukan untuk liburan oi... ini Mina buat kerjaan ....”

Suara mobil Ibra membuat kedua anak muda yang sedang duduk di teras depan tersenyum sumringah, terutama gadis kecil berambut panjang lurus itu langsung lari mengejar sosok yang ia nantikan sejak tadi.

“BANG IBRAAA!!” sahut riang gadis pemilik nama Acha itu, Ibra tersenyum simpul sambil menepuk pucuk kepala sang gadis. di belakangnya ada Ali, pemuda berusia 17 tahun yang langsung tos dengan kakak sepupunya itu.

“Nih, croffle,” Ibra menyodorkan satu kotak berisi 4 croffle berbagai rasa. Mata Acha langsung berubah berbinar, dan Ali juga ikut menyambut oleh-oleh Ibra.

Tak lama sosok wanita berusia 40 tahunan itu muncul dengan lambaian tangannya yang semangat. Ibra bergumam dalam hatinya, tantenya itu gak pernah berubah enerjiknya. di belakang ada sosok Anela—ibunda yang membuat pemuda itu spontan lari menyusuli mereka, mencium tangan satu per satu.

“Aduh, udah sibuk kerja aja ini si bocah tengil, ponakan kesayangan tante Aisyah!” sapa Aisyah sambil mencubit pipi Ibra gemas.

“A-Aw! ya udahlah, emangnya saya bakalan kecil terus?!” cetus Ibra.

Aisyah mengernyit, “Lah, gaya ngomongnya sama persis ama bapaknya.”

Anela terkekeh, “Iya nih, makin gede, makin kelihatan cetakan abinya. padahal dulu bandelnya mirip umi.”

Ibra tertawa renyah, kakinya melangkah masuk dan menjumpai kedua pria paruh baya yang sedang asyik ngobrol di taman belakang bersama dua cangkir kopi panas. Pemuda itu langsung menyapa keduanya dengan menciumi tangan lagi, laki-laki berkacamata yang dikenal sebagai Om Naresh, mendecak kagum dengan perkembangan Ibra.

“Wih si bocah nakal udah jadi bapak CEO nih ceritanya?!” decak Naresh.

Ibra mendelik, “A-Anu, bukan, Om.... saya cuman bantu Trian aja.”

Haidar menimpal, “Dia cuman bantu ngawasin aja bareng Trian, sambil coba-coba siapa tahu tertarik kan?” dan dibalas anggukan paham Naresh.

Sekali lagi manik Ibra diperhatikan Naresh, wajah letihnya dengan lengan kemeja maroon yang ia lipat setengah lengan. Terlintas ada sesuatu yang ingin di sampaikan oleh sang paman tapi...

“Ibrahim,” panggil Naresh.

“Ya, om?” balas Ibra.

Naresh melirik ke arah Haidar, dan pria itu malah mengurung niatnya, “Ah nanti aja, kapan-kapan kita ngopi ya di luar?”

Ibra mengangguk kikuk, entah ia setuju atau tidak. Kakinya berbalik arah ke kamar, pemuda itu langsung melempar barang-barangnya ke atas kasur dan merebahkan tubuh lelahnya di atas. Matanya terpejam sebentar, meresapi semua letih dari beban punggungnya, sedikit demi sedikit mulai luruh. Ibra menarik napasnya lagi dalam-dalam, seolah hati ada kekosongan yang ingin ia isi, tapi ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Jiwanya mulai terasa hampa.

“Ah, sebelum tidur ngaji dulu deh.”

Ibrahim dengan jas hitam rapihnya bersama kemeja maroon. Ia menaikkan kacamatanya dan menatap satu per satu karyawan yang ada di kantor.

“Halo semuanya, disini kita punya Pak Ibrahim yang akan membantu saya untuk mengawasi kalian, juga kalau ada perlu apa-apa bisa konsultasi dengan beliau. Dan saya mau minta tolong ya sama bagian HRD untuk buka lowongan kerja untuk sekretaris Pak Ibrahim, syarat dan ketentuannya kayak biasa aja. Tolong seleksi baik-baik.” Trian yang mengambil posisi memperkenalkan sosok Ibra di sampignya.

“Baik, Pak.”

Ibra maju, “Oke, saya mau minta tiap divisi datang ke ruangan saya untuk kasih laporan kemajuannya ya, nanti akan saya check satu per satu barangkali ada yang harus di tambahkan.”

Di belakang sana, terlihat beberapa karyawati yang kasak-kusuk membicarakan sosok Ibra yang begitu mempesona. Kharismanya begitu kuat, membuat banyak kaum hawa yang terbius oleh aura dari sosok Ibrahim El Fatih.

“Ini mah gawat banget gak sih kalau dua cowok ganteng yang jadi atasan kita?”

“Duh mana dua-duanya masih lajang juga, gue shalawatin boleh kali ya?”

“Kira-kira tipe idealnya Pak Ibrahim kayak apa ya?”

Kasak-kusuk itu tentu tak terdengar, tapi dari gestur dan gerakannya sangat mudah terbaca oleh Ibra. Ia cuman geleng-geleng heran.

Ya ampun, lagi perkenalan aja masih ada yang gosip....



“Bra, kita lagi ngerjain proyek pembangunan komplek di sektor yang udah di tentuin ini. Kebetulan ini ada link dari bokap gue juga, jadi lo mungkin bisa bantu maintain ya.”

Ibra membaca satu per satu proposal yang diberikan Trian. Ia mencerna tiap tujuan yang ada di paragraf sebelum menetapkan satu keputusan.

“Udah berapa persen progressnya?”

“Masih dikit lah, 20% mungkin? Makanya pas banget lo join sama kita disini, gue butuh juga arahan dari lo, kan lo anak arsitek juga.”

Ibra menoleh, “Ada politik gak?”

“Ha-hah?” Trian menjawab kikuk.

“Campur tangan politik, buat naikin harga.”

Trian menggeleng cepat, “ENGGAK LAH!! Ini masih bersih kok! belum ada campur tangan siapapun, investornya juga aman semua dari bokap, santai aja lah!”

“Kalo lo butuh arahan dari gue, jangan pernah bawa campur tangan politik disini. Sekali kertas itu kotor, semua jadi kotor, dan kemungkinan gagalnya jauh lebih besar.” Ibrahim meletakkan proposalnya, “Kayaknya bakal banyak berkas yang harus gue kerjain. Tolong di percepat ya untuk sekretarisnya.”

“Oh iya santai, sebenernya kita punya kandidat-kandidat kuat dari sebelumnya jadi untuk penyeleksiannya gak bakal lama.”

Ibrahim mengangguk-angguk paham. Ia membuka ponselnya dan membuka satu per satu e-mail masuk, matanya tertuju ke satu e-mail yang selama ini ia nantikan namun....

Congratulations!

Dear Ibrahim El Fatih,

We are pleased to inform you that you have been accepted as an master-degree student at Ankara University, Faculty of Architecture for the first semester...

Pemuda itu menghela nafas panjang, sampai akhirnya dengan tangan yang gemetar ia menggeser e-mail nya.

Are you sure want to delete this e-mail?

Yes.

Deleted.

Ibra POV

“Laki-laki itu sudah di takdirkan menjadi punggung harapan banyak orang. Imam besar, pemimpin, dan juga kepala keluarga, maka itu kamu harus belajar untuk amanah dengan harapan tersebut.”

Sejak kecil gue harus mendengar kalimat itu sebagai bahan perenungan bersama angin pagi yang satu-satunya membuat gue rileks. Tak ada yang salah, hanya saja gue yang merasa kalau semesta menuntut gue untuk jadi sosok yang sempurna di muka bumi ini.

Melalui abi.

Siapa yang gak kenal Haidar El Fatih? Memang, beliau itu disebut sempurna dalam segala aspek. Harapan bagi banyak orang, pemuka agama yang di kenal luas masyarakat, bahkan pernah menjabat sebagai direktur utama perusahaan sekelas PT. Soetomo Group dengan amanah hingga akhirnya bisa terus bertahan memimpin sektor perekonomian bangsa. Gue lahir bersama gemerlapnya hak istimewa dari kedua orang tua gue,

tapi tanpa sadar karena hak istimewa itu.... memberikan gue beban.

Anaknya Haidar El Fatih ya?

Wah anaknya Haidar El Fatih, pasti bisa lah kuasain ini!

Wih anaknya ustadz, pasti anak baik-baik!

Tapi ketika gue melakukan satu kesalahan....

Ck, gimana sih padahal anak ustadz?

Lho kok anak ustadz bandel gini sih? bertingkah mulu.

Gak mungkin, padahal dari keluarga anak baik-baik kok kelakuan blangsak gini.

Padahal kesalahan itu seharusnya wajar di mata manusia, bahkan hanya ekspresi dari seorang anak usia remaja.

Hanya karena gue anak dari Haidar El Fatih....

Semua meminta gue untuk menjadi duplikat dari sosok abi, bahkan dalam rumah sekalipun. Abi cuman ngehukum gue, yang sering di rehab ke pesantren cuman gue, seolah gue ini anak bandel yang kerasukan setan dan perlu di ruqyah.

Tapi dari situ gue sadar....

Bahwa takdir yang membawa gue jadi punggung harapan orang-orang, dan gak ada pilihan lagi selain memenuhi harapan tersebut.

Hanya saja, gue membutuhkan satu hal...

Gue butuh tempat pulang.


Author POV

“Ibrahim, kamu imam shalat maghrib hari ini ya,” Ibrahim mengangguk nurut dengan perintah sang ayah seraya menyeruput kopi susunya, mulutnya aktif melahap pisang goreng yang ada di saung. Pemuda itu segera membuka jam tangannya, jarum jam sudah menunjuk angka 6 dimana sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.

“Agil! siap-siap adzan kamu!” Ibrahim meminta santrinya itu bersiap-siap untuk mengumandangkan adzan sesuai piketnya, setelah piringnya sudah kosong ia cepat ke belakang menaruh piring pada tempatnya, lalu ia mengenakan peci hitamnya cepat. Tanpa pemuda itu sadari, sejak tadi eksistensinya sudah di perhatikan oleh para santriwati remaja. Bagaimana tidak? pesona dari Ibrahim memang tak bisa di tepik, apalagi pemuda itu juga masih lajang.

“Ganteng banget ya, Ustadz Ibrahim....”

“Hush! bilang Masha Allah kamu, Lis!”

“E-Eh, Masha Allah... ciptaan Engkau yang maha indah ini....”

“Astagfirullah jaga pandangan kita hey, kalau ketahuan di tegur ntar!”

“Susah banget nunduknya ini....”

Tak lama sosok Ibrahim keluar, dengan rambut basahnya setelah mengambil air wudhu dan telapak tangan yang mengadah mengucap doa setelah berwudhu. Sekali lagi, para gadis disana jatuh dengan pesona Ibra.

“Hey, mending cepetan ke masjid daripada ngelihatin yang bukan mahram kayak gitu!” Suara lembut dari Aminah— kakak kembar dari Ibrahim, mengejutkan keempat santriwati barusan. Mereka tertangkap basah, dan tentu Aminah hanya bisa tertawa geli melihat tingkah gadis-gadis remaja di hadapannya.

“Astagfirullah hal adzim, Kak Mina....” salah satunya terkesiap, tatapan intens Mina cukup mengintimidasi keempatnya hingga mereka lari terbirit-birit ke dalam masjid.

Ckckck... Ibra, Ibra....



Selepas shalat maghrib, Ibrahim menyudahi kegiatannya di pondok dan membereskan barang-barangnya. Langkah kakinya terhenti begitu Haidar, sang ayahanda memanggil namanya dari kejauhan.

“Ibrahim,” pria paruh baya itu menepuk bahu sang putra, “Kamu sudah pertimbangin soal tawarannya Om Jeffry?”

Jantungnya tersentak, pemuda itu merunduk dan tangannya mengepal kuat.

“Abi, bukannya Trian aja yang pegang perusahaan dibanding saya? abi bilang saya gak perlu mengemban amanah perusahaan eyang Indra?” Ibra menghela nafasnya gusar, “Saya bukannya—”

“Ini demi kebaikan keluarga, Ibrahim.”

“Lalu saya bagaimana?”

Haidar tertegun dengan kalimat terakhir putranya. Sebenarnya ia pun tak ingin memaksa kehendaknya kepada Ibrahim, tapi kalau bukan karena permintaan keluarga besar Soetomo.

“Begini saja, Ibrahim,” Haidar menepuk lagi bahu sang putra, “Kamu gak perlu ambil posisi eksekutifnya di kantor tapi setidaknya kamu ikut mendampingi Trian disana. Trian sendiri juga butuh kamu, dan dia masih menimbang-nimbang untuk mengambil posisi CEO di perusahaan.”

“Trian lebih pantas menjadi CEO, dia sekolah bisnis di Amerika.”

“Tapi faktanya, yang tahu semua tentang perusahaan itu kamu.”

“Karena abi mantan direktur utamanya.”

“Bukan, tapi kamu mau mempelajarinya, bukan semata-mata karena abi.”

Ibrahim mengepal lagi tangannya kuat-kuat, pemuda itu menegangkan rahangnya menahan kesal tapi ia harus ingat kalau memang bahunya ini di ciptakan untuk menompang beban harapan orang-orang.

Bukannya ia sudah terbiasa untuk itu?

“Ibrahim, saya tidak melarang kamu untuk memiliki cita-cita lain, tidak. hanya saja abi minta tolong satu hal ini saja, kalau semuanya sudah selesai silahkan kamu kejar mimpi kamu.”

Ibrahim tersenyum simpul dengan hati yang teriris.

“Saya coba yang terbaik, abi.”

Selalu itu yang keluar dari mulut abi, padahal faktanya... semua itu menghalangi mimpi saya....

“Mina kenapa? kok mukanya tegang gitu?”

Gadis itu menggeleng cepat sambil berusaha menyantap makanannya dengan rileks. Dari belakang terasa ada hawa kehadiran sosok yang sangat tak di inginkan.

“Aminah?” suara itu membuat Mina menghela nafasnya panjang. Ia menoleh ke belakang, mendapati sosok pria bertubuh tegap bersama gadis berambut pirang yang ada di sampingnya—tampak seperti sepasang kekasih. Nafas Mina tercekat, sorot matanya berubah muram. Apalagi sosok gadis yang di sanding Husein itu menyungging senyuman miring.

“Oh, Husein? lo kesini juga?” Aaron ikut menyapa, di balas senyuman pasi Husein seraya kedua pemuda itu berjabat tangan, “Wah, bawa gandengan juga ternyata hahaha....”

Husein menatap sekilas Elena, “Gue cuman bawa temen aja kok, kebetulan dia suka masakan Indonesia.” Mendengar kalimat itu, Elena langsung mengerucut bibirnya kesal.

Sedang Aaron menatap penuh arti sosok Mina yang ada di sampingnya, ia berharap lebih. Kehadiran Mina di sisinya sekarang bukanlah sekedar teman, ini tersirat ada doa yang ingin menjadikan Mina sebagai miliknya.

Sinyal itu tertangkap oleh Husein, sebagai sesama laki-laki.

“Mina sendiri datang kesini nemenin Aaron atau gimana?” matanya beralih ke Aaron, “Tahu gitu, mending aku ajak Mina aja.”

Jantung Aaron tersentak, sunggingan senyum penuh arti Husein membuat egonya tersentil.

“A-Apaan sih?! Kayak aku bakal mau aja di ajak Bang Husein!”

Husein mendelik, bisa-bisanya jawaban tak di harapkan yang keluar dari bibir manis gadis kasihnya. Mina melengos sebal, ia beralih melahap makanannya lagi mengacuhkan kehadiran Husein.

“Wah, kena telak banget tuh...” Aaron terkekeh geli, sekaligus merasa menang.

Husein tak mau kalah, dia mengambil kursi di samping Mina dengan cepat. Meja berbentuk bundar itu langsung penuh, di isi oleh 4 piring dari masing-masing insan yang saling duel.

Husein tak berhenti memerhatikan gerak-gerik Aaron dan Mina sambil menyantap makanannya, sedang Elena juga terus memerhatikan Husein dan Mina. Gadis berambut pirang itu merasa di acuhkan, sampai akhirnya ia memiliki ide topik pembicaraan.

“Aaron sama Mina ada hubungan apa? kok bisa-bisanya di ajak ke acara kayak gini?” tanya Elena antusias.

Mina meneguk minumnya cepat, “Gak ada, cuman rekan kerja.”

“Ini acara bukan sembarang acara lho, orang-orang disini berpasang-pasangan semua...”

“Kamu sama Bang Husein sendiri gak ada apa-apa kan? Apa bedanya sama hubungan kalian dengan kita?”

Telak. Skak mat. Gak ada yang bisa mengalahkan perkataan Mina disitu.

Mina mulai merasa tidak nyaman dengan atmosfir acaranya, gadis itu langsung berdiri dari duduknya, “Mina kamu mau kemana?!” sahut Aaron.

“Cari makanan manis, sekalian cari angin.”

Aaron hendak menyusul gadisnya namun Husein dengan cepat menahan lengannya, “Gak usah di kejar, dia bilang mau cari angin.”

“Bukan urusan lo, lepas.”

“Urusan gue, Mina itu kenalan lama gue.”

“Gara-gara lo dateng, dia jadi badmood.

“Oh ya? kalo emang gara-gara gue, berarti tujuan gue udah selesai.” Husein melangkahkan kakinya, mendekati Aaron dan menatap tajam mata sipit Aaron, “Lo suka kan sama Mina, Ron?”

“Kalo iya kenapa? udah gue bilang ini bukan urusan lo—”

“Gue juga suka sama Mina.”

Mata Aaron terbelelak sempurna.

“Terus? apa yang harus gue lakukan soal itu?”

“Nyerah.”

Aaron menggertak giginya.

“Husein, ini tempat umum jadi tolong—”

“Kenapa? mau pukul gue disini?” Husein semakin maju menantang amarah Aaron, “Semakin lo menunjukkan, semakin terlihat kalau lo itu kalah, Aaron. Lo lihat sendiri dia badmood kan? gue kesini cuman memastikan, apa dia cemburu dengan kedatangan gue dan Elena—”

GREP!! Aaron langsung menarik kerah baju Husein kasar, “Jaga mulut lo! gak seharusnya lo berbuat kayak gitu!”

“Karena gue juga cemburu lihat Mina sama lo!!”

Husein melotot, semua perhatian pengunjung tertuju ke pertikaian antara Husein dan Aaron. Mina tak sadar, dia keburu buta dengan hidangan makanan manis yang ada disana.

“Asal lo tahu, Mina itu cinta pertama gue dan gue adalah cinta pertama dia! sampai kapanpun, Mina itu punya gue!”

“Bukan gitu caranya, Mina itu perempuan baik-baik! kalau memang lo mau milikin dia ya datang dengan gentle dan istimewakan dia, Husein!”

“Banyak hal yang harus gue selesaikan, tapi bukan berarti gue lupa sama Mina!” Husein melirik ke Elena, “Gue gak mau Mina kenapa-kenapa karena sesuatu yang belum gue selesaikan!”

“Kalau gitu selesaikan sampai tuntas! Lo gak yakin bisa bahagiain Mina kan?”

Ucapan itu menohok dada Husein.

“Kalau gak yakin, mending lo aja yang nyerah,” ujar Aaron dengan senyuman remeh.

Husein mengeratkan cengkramannya di kerah baju Aaron, “Jaga mulut lo!”

“Hey, hey, apa ini ribut-ribut di pesta saya?!” sang tuan rumah langsung turun tangan melerai pertengkaran kedua pria muda itu. Mereka saling beradu tatap ingin membunuh, namun rasa malu yang meredam amarah keduanya sampai Mina kembali lagi dengan wajah polosnya.

“Aku udah kenyang, aku pulang duluan ya?” gadis itu mengambil tasnya.

“Aku anterin!” kedua pemuda itu serempak menyahut, lalu saling beradu tatap tajam lagi.

“Apa sih? aku bukan anak kecil, aku banyak kerjaan soalnya belum selesai ngerjain tulisan. kalian nikmatin aja pestanya, dah...” Mina melangkah sendirian keluar. Kehadiran dua pemuda itu sekarang membuat Mina kurang nyaman, apalagi Elena tadi sempat berpikir yang enggak-enggak soal hubungannya dengan Aaron.

Ini kali ya yang Abi bilang bisa memicu fitnah, kayaknya aku harus jaga jarak sama Kak Aaron atau Bang Husein... huwe.... jadi pengen cepet pulang....

Setelah makan malam, kedua orang tua Husein meminta putranya mengantar Mina pulang ke apartemennya. Salju turun semakin deras membuat jari gadis itu memucat, ia tak berhenti meniupkan tangannya memberi kehangatan. Suhu kota Budapest menunjukkan angka 3°C.

Tahu gitu gapapa deh pake koyo selama di rumah Bang Husein tadi, dingin banget cuaca hari ini!

Ckiit! Mobil Husein berhenti di dekat sungai, “Lho, kok berhenti disini?”

“Mau beli kopi panas dulu, kamu mau gak?”

Mina mengangguk mantap, “Mau, mau!!”

Husein beli kopi bukan sekedar dia yang kedinginan, tapi ia tak ingin gadis terkasihnya menggigil karena kedinginan.


Sekarang Mina sudah tenang dengan segelas kopi latte hangat yang di bawakan Husein, keduanya duduk di samping sungai sambil menatap bintang yang bersinar terang di atas. Hujan salju turun deras meninggalkan beberapa jejak di atas kopi keduanya, tapi setidaknya malam yang indah di kota Budapest membuat keduanya lupa dengan rasa dingin yang menusuk tulangnya barusan.

Mina menoleh dikit ke arah Husein. Fitur wajah tampannya yang membuat jantungnya berdebar, mata sipitnya yang di tiap ia tersenyum membentuk bulan sabit, dan senyuman tulus yang menjadi favoritnya.

Tak ada yang bisa membuat Mina jatuh sedalam ini selain Husein.

“Bang Husein,” panggil Mina.

“Hm?” Husein mendeham, sambil meneguk kopinya dengan khidmat.

Mina menunduk, “Gak kerasa aku udah disini sebulan lebih....” ucapnya basa-basi dengan hati yang bergemuruh.

“Udah hampir 2 bulan sih.”

“Iya ya,”

Suasana kembali canggung, entah kenapa ketampanan Husein hari ini cukup membuat Mina malu-malu kucing. Gadis itu jadi ingin cepat pulang.

“Um, Bang, kita pulang yuk?”

Husein terdiam.

“Bang Husein?”

Husein berdiri dari duduknya, dia berdiri menatap serius netra Mina.

“Aminah.” Husein menarik nafasnya dalam-dalam, “Aku mau tarik semua ucapan aku waktu itu, ketika pertama kali kita bertemu disini.”

Angin dingin mulai berhembus menerpa rambut Husein yang mulai terselimut rintikan salju. Mina diam mematung, langkah kaki besar Husein menghampiri Mina dengan gagah.

“Aminah,” panggil lagi pria itu dengan gagah.

“I-Iya, kenapa?” jawab Mina bingung.

Sekali lagi Husein menyiapkan kalimatnya, “Ayo kita menikah, Mina.”

WUUUUUUUSSSSSHHHHHHH!!!!!

Seketika angin musim salju meniup kencang hingga tubuh mungil Mina hampir terlempar. Sedikit demi sedikit ada es yang berjatuhan, cepat keduanya lari ke dalam mobil. Nafas Mina tersengal-sengal, ia merasakan ada lecet di wajahnya akibat es yang turun barusan.

“Aw! kok ada hujan es gitu sih... bahaya banget....” ucap Mina sambil menyentuh luka di pipinya, “Ayo, Bang, kita pulang dulu!”

“Mana sini lukanya? mau di obatin dulu gak?”

“Pulang aja! Mina juga kedinginan banget ini!”

Husein bergeming panjang. Mina... denger gak sih tadi gue ngomong apa?

Mina menarik nafasnya dalam-dalam begitu kakinya sudah berhenti di depan pintu kayu dari rumah klasik, di tuliskan Blok 19 dan dengan penuh keraguan, gadis itu berjalan memasuki rumah. Angel meletakkan beberapa tas dan barang-barangnya di atas sofa, “Ah ya, buku resepnya ada di atas lagi....” terlihat wanita paruh baya di hadapannya mengusap punggung rentanya.

“Tante Angel gapapa...?” ucap Mina khawatir.

“Ah biasa, penyakit orang kalo udah mau pertengahan 40 gini hahaha....” Angel berusaha melangkahkan kakinya ke tangga, namun rasa sakit yang amat sangat di punggungnya kembali menyengat, “Aduh!!”

“Aduh, ada yang bisa saya bantu, Tante?! Kayaknya sakit banget ya punggungnya?!” decak Mina panik.

“Gak usah repot-repot, sayang....”

“Gapapa! Mina bantu ambilin kalau mau, Tante mau ambil apa di atas??”

Angel tak ada pilihan lagi, “Ya sudah, bisa minta tolong ambilkan buku resep warna hijau di meja kerjanya Husein? Kemarin Husein bawa ke atas cuman lupa di taruh lagi disini.”

Mina mengangguk mantap, lalu ia mengalih kakinya naik ke tangga seperti yang di pinta Angel dan segera ia mencari dimana meja kerja Husein berada. Apakah di dalam kamarnya atau terpisah?

Sampai akhirnya ia sampai di kamar berwarna kelabu, dekornya yang masih menggambarkan jiwa semangat muda, dimana-mana ada stiker luar angkasa yang memang menjadi kesukaan Husein sejak kecil, belum lagi poster dan figura-figura Star Wars favoritnya, hal kecil yang menggambarkan sosok Husein sejak dulu... ternyata belum pudar.

Kembali ke tujuan utama, Mina mencari buku hijau yang di minta namun tak ada tanda-tanda keberadaan buku itu. Apa benar ada di meja kerja Husein? gak salah petunjuk kah? Ah mungkin terselip di suatu tempat.

DUK! Mina gak sengaja menyenggol buku coklat yang ada di meja, tumpukkan kertas dan foto yang ada di dalamnya ikut terlempar.

“Wa-waduh gak sengaja....” Mina cepat-cepat memungut buku dan beberapa foto yang ikut keluar dari selipan, matanya terbuka lebar-lebar. Di diary itu isinya adalah foto-foto kebersamaan mereka sejak bayi. Dengan tulisannya yang ada di setiap foto.

Kelahiranmu adalah karunia terindah dalam hidupku, Mina...

Mina terkesiap, ia melihat foto lainnya yaitu ketika Mina dan Ibra masuk SD pertama kali dan Husein terlihat gagah menjadi sosok kakak yang merangkul akrab adik-adiknya.

Apapun yang terjadi, kamu adalah harta yang harus aku lindungi, Mina.

Lalu ada foto Mina kecil bersama gaun cantiknya, bergandeng tangan dengan Husein yang di pakaikan jas serta dasi kupu-kupu manisnya bak tuan putri dan pangeran.

Suatu saat nanti, aku akan meminta restu Ayahmu untuk menjadikan putrinya sebagai ratu dalam kehidupanku...

“Mina, kamu di atas?”

Suara bariton mendekat membuat Mina cepat-cepat membereskan buku dan tumpukkan foto yang tercecer, sosok pria pemilik tinggi 177 cm itu kaget mendapati Mina yang ada di kamarnya.

“Lho, kamu disini? Nyari buku resep ya?” tanya Husein.

“I-Iya, katanya ada di meja kerja Bang Husein, makanya aku kesini....” jawab Mina kikuk.

Husein terkekeh, “Meja kerja aku? bukan kali, itu mah meja belajar aku. Meja kerja ayah maksudnya,” Lelaki itu langsung beranjak dari kamarnya menuju ruangan kerja yang ia sebut, dan memberikan buku resep warna hijau yang di minta, “Ini kan yang di cari?”

Mina mengangguk ragu, entah benar apa tidak tapi yang pasti dia malu karena tertangkap memasuki kamarnya Husein.

Kalau Ibra tahu, bisa-bisa Mina di ceramahi semalaman.

Gadis itu langsung mempercepat langkahnya turun ke dapur menyusul Angel di dapur. Dari belakang Husein menatap punggung mungil Mina sambil menghela nafas panjang, ia melihat buku hariannya yang terletak miring alias posisinya tidak sama seperti semula. Husein tahu, pasti Mina membaca buku hariannya itu. Entah gadis itu membacanya sampai habis atau tidak.


“Husein... sini kamu masak sama Mina, katanya kamu mau masakin kita untuk makan malam....”

Husein datang dengan celemek kelinci pink yang mengundang gelak tawa Mina pecah di tempat.

“Kok ketawa?!” desis Husein jengkel.

“Bang Husein lucu bener dah pakai itu, kayak guru TK jadinya.” ejek Mina.

Husein mendengus sebal, “Ya gak ada celemek lain! Lagian dah, bunda kenapa sih beli celemek kudu banget model gini, gak ada yang netral apa?!”

“Alah biasanya juga kamu pakai kok, karena lagi di depan Mina aja kamu malu.” balas Angel santai dengan seruputan kopi susunya, Adit di sampingnya ikut menertawakan dua anak muda dari hadapannya.

“Udah sana masak, Ayah udah laper banget.” timpal Adit di tengah percakapan, akhirnya Husein dan Mina bergerak ke dapur lalu menyiapkan bahan-bahan makanannya. Disana kedua sejoli muda itu tampak tak canggung sama sekali, mereka terbawa suasana malam yang cerah, anginnya memang dingin tapi entah kenapa kebersamaan Mina dan Husein seolah memberi kehangatan.

Senyuman lebar Mina merekah sempurna, membuat hati Husein merasa tenang. Persis seperti dulu waktu kecil, senyum itu bagai tempat aman bagi pemuda itu.

Mina... seperti tempat pulang yang sempurna untuk Husein.

“Bang Husein masukin aja bumbunya tuh udah mendidih airnya, aku yang potong cabainya,” pinta Mina dengan gerakan lincahnya, Husein mengangguk menurut. Tangan mungil Mina seolah memberi isyarat untuk meminta pisau yang letaknya jauh dari tempatnya, Husein cepat menyerahkan pisaunya tapi sekejap ia merebut lagi pisau itu.

“Bunda! Ini pisau tumpul kan ya? Pengasahnya mana?”

Angel menyahut dari ruang tengah, “Belum bunda ambil dari tempatnya Gaby, masih bisa di pakai kok!”

“Ah kalo pake ini harus sekuat tenaga masalahnya, bun!”

“Cerewet banget sih, tenaga kamu kan gede, Husein! Pakai aja yang ada!”

Husein mencibir bibirnya, “Et dah, kan bahaya kalau ampe luka... yaudah, Mina, aku bagian motong aja soalnya ini pisau susah banget, kamu yang masukin bumbunya.”

Mina mengangguk mantap, “Oke deh!” mereka langsung bertukar posisi. Husein melirik Mina yang masih telaten dengan pekerjaannya, akal jahilnya langsung muncul.

“Aduddudududduuuhhhh....!!!”

Mata Mina memencak kaget, “E-Eh, Bang Husein?! Aduduh gapapa?! kenapaaa???” gadis itu memekik panik, tangan mungilnya meraih tangan besar Husein yang ternyata tak meninggalkan bekas apapun.

Alias, Mina di kerjain.

“ISH! BANG HUSEIN RESE BANGET!!” Mina refleks melempar pukulannya bertubi-tubi di dada bidang Husein, pemuda itu tertawa puas. Gadisnya itu masih cemberut bete tapi bukannya takut, justru Husein makin gemas untuk menggoda Mina.

“Jangan cemberut gitu, jelek banget kayak kodok.”

“KO-KODOK?! SEMBARANGAN BANGETT BANG HUSEIN, AKU PUNDUNG NIH!!”

“Yaudah, kalo pundung gak usah ikut makan ya?”

“KAN AKU YANG MASAK?!”

“Aku juga.”

“Yaudah! Aku berhak makan juga lah!”

“Jangan cemberut makanya, coba senyum dulu yang lebar, mana senyumnya cantiikk...”

“Dih apa sih? cantik, cantik... belajar gombal ama siapa?!”

“Om Naresh.”

“Oh yaudah aku bales pukulan maut ya kayak Tante Aisyah?”

“Jangan dong, nanti kalau aku pingsan kamu mau tanggung jawab?”

“Ngapain tanggung jawab? telantarin aja, kan kamu dokter, bisa lah obatin sendiri.”

“Jahat banget ibu guru.... kamu kalau sama murid gini, Mina?”

“Enggak lah, kalau ama murid aku rawat ampe sembuh.”

“Hmm kayaknya aku mau daftar TK lagi deh di tempat kamu biar bisa di rawat juga, hahaaha....”

“APA SIH BANG HUSEIN, BENERAN AKU PUKUL YAAAA????”

“Hahahaahhaa....”

Dari ruangan tamu, Adit dan Angel memantau....

Tangan jahil Angel sudah siap mengabadikan momen kebersamaan kedua anak muda yang tengah di suasana asmara, “Kekuatan hengpon jadul cekrek, cekrek... Ayah! Kita udah harus pikirin nih nanti nikahan Husein sama Mina mau disini atau di Indonesia, ya??”

Adit menggelengkan kepalanya, “Udah, Bunda, jangan usil tangannya! Itu fotonya jangan di kirim ke Anela bisa berabe kalau Haidar lihat!”

“Ih gak bakal sampai ke Kak Haidar lah....”

“Gak mungkin, udah tahu mulutnya Anela ember. Pasti dia bakal cerita sama suaminya, kalau Haidar tahu yang repot aku!”

Angel malah memijit tombol send jepretannya ke Anela.

Ibra POV

“Laki-laki itu sudah di takdirkan menjadi punggung harapan banyak orang. Imam besar, pemimpin, dan juga kepala keluarga, maka itu kamu harus belajar untuk amanah dengan harapan tersebut.”

Sejak kecil gue harus mendengar kalimat itu sebagai bahan perenungan bersama angin pagi yang satu-satunya membuat gue rileks. Tak ada yang salah, hanya saja gue yang merasa kalau semesta menuntut gue untuk jadi sosok yang sempurna di muka bumi ini.

Melalui abi.

Siapa yang gak kenal Haidar El Fatih? Memang, beliau itu disebut sempurna dalam segala aspek. Harapan bagi banyak orang, pemuka agama yang di kenal luas masyarakat, bahkan pernah menjabat sebagai direktur utama perusahaan sekelas PT. Soetomo Group dengan amanah hingga akhirnya bisa terus bertahan memimpin sektor perekonomian bangsa. Gue lahir bersama gemerlapnya hak istimewa dari kedua orang tua gue,

tapi tanpa sadar karena hak istimewa itu.... memberikan gue beban.

Anaknya Haidar El Fatih ya?

Wah anaknya Haidar El Fatih, pasti bisa lah kuasain ini!

Wih anaknya ustadz, pasti anak baik-baik!

Tapi ketika gue melakukan satu kesalahan....

Ck, gimana sih padahal anak ustadz?

Lho kok anak ustadz bandel gini sih? bertingkah mulu.

Gak mungkin, padahal dari keluarga anak baik-baik kok kelakuan blangsak gini.

Padahal kesalahan itu seharusnya wajar di mata manusia, bahkan hanya ekspresi dari seorang anak usia remaja.

Hanya karena gue anak dari Haidar El Fatih....

Semua meminta gue untuk menjadi duplikat dari sosok abi, bahkan dalam rumah sekalipun. Abi cuman ngehukum gue, yang sering di rehab ke pesantren cuman gue, seolah gue ini anak bandel yang kerasukan setan dan perlu di ruqyah.

Tapi dari situ gue sadar....

Bahwa takdir yang membawa gue jadi punggung harapan orang-orang, dan gak ada pilihan lagi selain memenuhi harapan tersebut.

Hanya saja, gue membutuhkan satu hal...

Gue butuh tempat pulang.


Aminah : IBRAAAAAA Aminah : Aku sama Husein mau main ke Indonesia nih, kamu lagi sibuk banget gak?

Ibrahim : Sibuk.

Aminah : IH GAK ROMANTIS BANGEEETTTT!!!! aku kan kangen adik kesayangan akuuu huhuhu :(

Ibrahim : Beneran sibuk, minggu depan gue harus ke Padang buat ketemu klien.

Aminah : Ih aku bilangin Husein nih :(

Ibrahim : Bilangin gih, paling gue ajak berantem.

Aminah : GASOPAN HEH DIA KAKAK IPAR KAMU

“Apaan sih, udah tahu lagi hamil gede malah nekat mau balik ke Indonesia, kalau beneran si Husein ngebolehin Mina balik gue ajak berantem tuh orang!” gerutu pemuda berparas eksotis itu—Ibrahim seraya melempar ponselnya sembarang arah.

Di sampingnya ada sosok sang Ibunda yang sibuk memotong buah-buahan untuk putranya yang masih berkutat dengan esai lamaran untuk S2 nya. Anela menatap tiap inci wajah putranya yang kian lama semakin mirip dengan rupa sang suami tercinta, Haidar. Gaya bicaranya, ambisinya juga cara ia peduli dengan orang sekitar, meskipun lebih ketus tapi Ibra lebih ekspresif dalam menunjukkan kasih sayangnya.

“Wajar, Bra, kalau lagi hamil tuh bawaannya emang pengen pulang ke rumah apalagi kan kakakmu di negeri orang. Pasti dia lagi ngidam rendang itu,” tutur Anela dengan lembut.

“Di sana emang gak ada? atau gak bikin aja sendiri! daripada ngebahayain kandungannya,” Ibra mengerucut bibirnya, “Kan saya gak mau keponakan saya kenapa-napa....”

Anela terkekeh, “Ya ampun, calon cucu Umi udah punya Om yang protektif aja nih.”

Dari ambang pintu kamar utama, ada sosok lelaki paruh baya yang tengah menahan punggung sakitnya. Cepat pemuda itu menopang bahu ayahandanya, “Abi mau kemana?” tanyanya lugas.

“Mau ke ruangan kerja, saya belum koreksi ujian anak-anak.”

“Abi, kalau kayak gitu mending saya bawain aja laptopnya daripada repot-repot ke ruangan kerja!”

“Gak usah, saya gak bisa kerja di kamar.”

“Abi, ini syaraf kejepit gak bisa di anggap remeh!”

Haidar mengerut dahi kesal, “Bawel kamu, kayak cewek.”

Ibra mengatup bibirnya rapat-rapat, Lah turunan siapa gue bawel gini anjir...

Anela hanya tertawa geli menyaksikan perdebatan ayah-anak itu yang tentu semodel. Ibarat lagi liat kloningan sedang bertengkar, padahal satu otak dan satu jiwa. Gak ngerti lagi sama ni dua jagoan... love languagenya kudu banget berantem ya?

Ibra POV

“Laki-laki itu sudah di takdirkan menjadi punggung harapan banyak orang. Imam besar, pemimpin, dan juga kepala keluarga, maka itu kamu harus belajar untuk amanah dengan harapan tersebut.”

Sejak kecil gue harus mendengar kalimat itu sebagai bahan perenungan bersama angin pagi yang satu-satunya membuat gue rileks. Tak ada yang salah, hanya saja gue yang merasa kalau semesta menuntut gue untuk jadi sosok yang sempurna di muka bumi ini.

Melalui abi.

Siapa yang gak kenal Haidar El Fatih? Memang, beliau itu disebut sempurna dalam segala aspek. Harapan bagi banyak orang, pemuka agama yang di kenal luas masyarakat, bahkan pernah menjabat sebagai direktur utama perusahaan sekelas PT. Soetomo Group dengan amanah hingga akhirnya bisa terus bertahan memimpin sektor perekonomian bangsa. Gue lahir bersama gemerlapnya hak istimewa dari kedua orang tua gue,

tapi tanpa sadar karena hak istimewa itu.... memberikan gue beban.

Anaknya Haidar El Fatih ya?

Wah anaknya Haidar El Fatih, pasti bisa lah kuasain ini!

Wih anaknya ustadz, pasti anak baik-baik!

Tapi ketika gue melakukan satu kesalahan....

Ck, gimana sih padahal anak ustadz?

Lho kok anak ustadz bandel gini sih? bertingkah mulu.

Gak mungkin, padahal dari keluarga anak baik-baik kok kelakuan blangsak gini.

Padahal kesalahan itu wajar di mata manusia, bahkan hanya ekspresi dari seorang anak usia remaja.

Hanya karena gue anak dari Haidar El Fatih....

Semua meminta gue untuk menjadi duplikat dari sosok abi, bahkan dalam rumah sekalipun. Abi cuman ngehukum gue, yang sering di rehab ke pesantren cuman gue, seolah gue ini anak bandel yang kerasukan setan dan perlu di ruqyah.

Tapi dari situ gue sadar....

Bahwa takdir yang membawa gue jadi punggung harapan orang-orang, dan gak ada pilihan lagi selain memenuhi harapan tersebut.

Hanya saja, gue membutuhkan satu hal...

Gue butuh tempat pulang.


Aminah : IBRAAAAAA Aminah : Aku sama Husein mau main ke Indonesia nih, kamu lagi sibuk banget gak?

Ibrahim : Sibuk.

Aminah : IH GAK ROMANTIS BANGEEETTTT!!!! aku kan kangen adik kesayangan akuuu huhuhu :(

Ibrahim : Beneran sibuk, minggu depan gue harus ke Padang buat ketemu klien.

Aminah : Ih aku bilangin Husein nih :(

Ibrahim : Bilangin gih, paling gue ajak berantem.

Aminah : GASOPAN HEH DIA KAKAK IPAR KAMU

“Apaan sih, udah tahu lagi hamil gede malah nekat mau balik ke Indonesia, kalau beneran si Husein ngebolehin Mina balik gue ajak berantem tuh orang!” gerutu pemuda berparas eksotis itu—Ibrahim seraya melempar ponselnya sembarang arah.

Di sampingnya ada sosok sang Ibunda yang sibuk memotong buah-buahan untuk putranya yang masih berkutat dengan esai lamaran untuk S2 nya. Anela menatap tiap inci wajah putranya yang kian lama semakin mirip dengan rupa sang suami tercinta, Haidar. Gaya bicaranya, ambisinya juga cara ia peduli dengan orang sekitar, meskipun lebih ketus tapi Ibra lebih ekspresif dalam menunjukkan kasih sayangnya.

“Wajar, Bra, kalau lagi hamil tuh bawaannya emang pengen pulang ke rumah apalagi kan kakakmu di negeri orang. Pasti dia lagi ngidam rendang itu,” tutur Anela dengan lembut.

“Di sana emang gak ada? atau gak bikin aja sendiri! daripada ngebahayain kandungannya,” Ibra mengerucut bibirnya, “Kan saya gak mau keponakan saya kenapa-napa....”

Anela terkekeh, “Ya ampun, calon cucu Umi udah punya Om yang protektif aja nih.”

Dari ambang pintu kamar utama, ada sosok lelaki paruh baya yang tengah menahan punggung sakitnya. Cepat pemuda itu menopang bahu ayahandanya, “Abi mau kemana?” tanyanya lugas.

“Mau ke ruangan kerja, saya belum koreksi ujian anak-anak.”

“Abi, kalau kayak gitu mending saya bawain aja laptopnya daripada repot-repot ke ruangan kerja!”

“Gak usah, saya gak bisa kerja di kamar.”

“Abi, ini syaraf kejepit gak bisa di anggap remeh!”

Haidar mengerut dahi kesal, “Bawel kamu, kayak cewek.”

Ibra mengatup bibirnya rapat-rapat, Lah turunan siapa gue bawel gini anjir...

Anela hanya tertawa geli menyaksikan perdebatan ayah-anak itu yang tentu semodel. Ibarat lagi liat kloningan sedang bertengkar, padahal satu otak dan satu jiwa. Gak ngerti lagi sama ni dua jagoan... love languagenya kudu banget berantem ya?