Protector
Sudah 15 menit lebih pria berparas eksotis itu menunggu kehadiran kakaknya dan sejak tadi, belum ada tanda-tanda sedikitpun Mina pulang.
“Emang tempat belanjanya jauh ya? kok lama banget sih?” Ibra mennyeruput kopi panasnya di tengah cuaca dingin di kota Budapest. Kepalanya masih melayang akibat jet-lag, istirahat di hotel pun tak membuat tubuhnya itu rileks malah ia mengkhawatirkan kakaknya itu yang sedang belanja sendirian.
Drrt...drrtt Aminah is calling....
“Halo, dimana?”
“Aku udah di apartemen, mau masak dulu nanti aja kamu kesininya pas udah selesai masaknya.”
“Eh enggak, gue langsung kesana.”
“Ihh kamu istirahat dulu aja di hotel, kamu masih jetlag kan?”
“Gue udah nungguin di kafe deket apartemen lo, udah gapapa gue kesana sekarang.”
TUT! Ibra mematikan telepon sepihak, cepat ia merogoh dompet di saku celananya dan hendak mengantri untuk bayar namun....
“Sebentar, saya lupa taruh dompetnya!” tiba-tiba di depannya seorang wanita berambut pirang di depan Ibra tengah kelimpungan mencari sesuatu di dalam tasnya. Pemuda itu menatap intens, sejak tadi wanita itu dengan sang kasir berbicara bahasa Hungaria yang tak ia mengerti.
“Cepatlah! Ada pelanggan lain yang antri mau bayar!” pekik sang kasir.
“Sebentar, saya yakin dompet saya disini!”
Ibra membuka lengan jaketnya, melihat jarum jam yang sudah menunjukkan angka 6 sore.
“Astagaa, bisa-bisanya aku lupa bawa dompet!”
Ibra mendelik begitu dengar wanita di hadapannya berbicara bahasa Indonesia.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ibra.
“A-Ah, orang Indonesia?” wanita itu tertawa pasi, “Maaf, saya kelupaan bawa dompet, sedangkan harus cepat bayar minumannya... kalau mas mau bayar duluan gapapa kok, saya pulang dulu.” begitu wanita itu membalikkan tubuhnya, dengan cepat Ibra menahan lengan jaket tebal wanita tersebut.
“Tunggu sebentar.”
Ibra mengeluarkan kartunya, “Let me pay the bill, how much?” suara serak tenor Ibra membuat jantung wanita itu berdetak kencang. Ia tak menyangka bahwa akan ada laki-laki baik hati yang bantu membayarkan makanannya.
“2909 Forint, sir.”
Wanita itu masih diam mematung, begitu Ibra menyelesaikan transaksinya malah pemuda itu pergi tanpa mengucapkan sepatah dua kata sama sekali.
“Tu-tunggu sebentar!”
Ibra menoleh, lalu wanita itu membungkuk sedikit, “Makasih banyak, Mas! i-itu saya perlu ganti berapa?!”
“Gak perlu, belum tentu kita ketemu lagi.”
“Aduh gak bisa gitu, Mas, saya gak enak....”
Pemuda itu terkekeh pelan, “Serius gak usah, itu gak seberapa kok. Lain kali hati-hati mbak, besok-besok gak akan ada orang yang bisa bantu bayarin lagi.”
Wanita itu tetap gigih, ia merogoh lagi saku di tasnya dan memberikan selembar kartu nama untuk Ibra.
“Pokoknya kalau masnya selama disini dan butuh bantuan, bisa langsung hubungi saya! Ini kantor agensi saya, dan di bawahnya ada nomor telepon saya. Jangan sungkan hubungi saya ya, saya masih menganggap ini hutang.”
“E-Eh jangan gitu, Mbak! Beneran gapapa—”
Ibra belum menyelesaikan kalimatnya, wanita cantik itu sudah pergi duluan.
“Elena... Bailey, oh dia model toh. Gak nyangka dia orang Indonesia,” pemuda itu menyimpan kartu namanya di dompet.
Mina selesai menghidangkan beberapa masakan simple sebagai sambutan dari kedatangan sang adik kesayangan. Ibra masih menatap lurus punggung kakaknya, dengan berbagai pikiran kusut yang mengganggu kepalanya.
“Aku cuman bisa masak ini, tapi aku seneng bikinnya! Besok kalo mau cari restoran enak ayo!” decak Mina senang. Ibra tak menjawab dan masih menatap kedua netra kakaknya itu dalam, “Bra? apaan sih lihat aku kayak gitu?”
Ibra menghela nafasnya panjang, “Kak, ayo pulang.”
Jantung Mina langsung tersentak.
“Bra... aku tinggal beberapa minggu lagi kok disini....”
“Pulang, ini peringatan serius.”
Mina mengusap mukanya gusar, “Bra, aku tahu kamu khawatir sama aku, dan kemarin aku juga agak ketakutan pas kamu belum kesini tapi kalau aku pulang duluan tanpa menyelesaikan semuanya... aku gak enak.”
“Lu gak tahu gimana khawatirnya abi sama lo disini, dan gue juga tadinya gak mau ambil pusing tapi ngelihat dua cowok kemarin terus-terusan berusaha ngedeketin lo... itu udah gak aman.” “Mina, lo harus tahu kalau lo ini perempuan dan tinggal sendiri disini! Baik Aaron atau Husein, gue tetep gak percaya karena mereka tetap laki-laki, dan mereka bisa curi-curi kesempatan untuk bisa berduaan sama lo karena lo sendirian!” “Jangan sampai ada fitnah, Kak, abi itu udah ngejagain lo sepenuh hati.”
“Kamu pikir aku cewek yang hobi berdua-duaan sama laki-laki?!”
“Lo tuh terlalu lugu, Mina!”
Mina menghempas nafasnya kasar, “Aku gak sebodoh itu, aku tahu batasan dan aku tahu apa yang ada di kepala mereka.”
“Kalau lo tahu semuanya, pulang!!”
Intonasi bicara Ibra sudah meninggi dan ini tak seperti biasanya. Pemuda itu tak pernah bicara dengan sangat emosional seperti ini. Sangat jarang. Ibra itu dikenal sangat tenang menghadapi situasi apapun.
“Ibra...” lirih Mina ketakutan. Cepat adiknya itu mengucap istighfar, menenangkan hatinya dan menepuk bahu kakaknya.
“Sorry, gue kelepasan,” Ibra meneguk air minumnya, “Hah... kira-kira kapan tanggal pastinya lo bisa pulang ke Indonesia?”
“Aku gak tahu tapi yang pasti, di awal minggu ketiga itu jadwal terakhir aku ngajar di sekolah.”
“Tentuin tanggal pastinya, biar gue cancel flight selanjutnya.”
Mina mengernyit kedua alisnya, “Ha-hah? maksudnya?”
“Kita pulang sama-sama ke Indonesia.”
Mina menganga, “Kerjaan kamu gimana?! Ih jangan gitu, Ibra!”
“Ada Trian di kantor, kerja juga bisa sambil disini. Amanah abi lebih utama di banding yang lain.”
Gadis mungil itu tak bisa berkata-kata lagi dengan apa yang diputuskan adiknya. Entah ia harus bersyukur atau apa, tapi yang jelas hatinya itu berat.
“Maaf, aku... ngerepotin kamu, Bra...”
Ibra menggeleng, “Enggak, emang udah jadi tanggung jawab. Lo kakak perempuan gue satu-satunya.”
Mina mengerucut bibirnya, malah ia mencubit gemas pipi adiknya yang biasa ia kenal si tengil rese, sekarang sudah tumbuh dewasa dan menjadi pelindungnya.