shinelyght

Ibra lari tergopoh-gopoh menuju tempat Ayu berada sebagaimana ia prediksikan. Lampu kantor yang sudah mulai meredup, jantungnya berkecamuk karena kekhawatirannya yang luar biasa.

Seorang gadis malam-malam sendiri di gedung sebesar ini? bagaimana kalau ada hal buruk yang terjadi?

“Ayudia!” panggil Ibra dari kejauhan, matanya langsung tertuju ke arah laptop yang masih terbuka lebar di meja yang letaknya tak jauh dari lift— Ayu tak mengerjakan pekerjaannya di meja biasa melainkan ia mengambil tempat di samping jendela gang menampilkan pemandangan kota malam. Posisi Ayu saat ini sedang menelungkup wajahnya, gadis itu tertidur lelap.

Ibra menghela nafas panjang, ia melihat layar laptop Ayu.

Baru di kirim e-mail 10 menit yang lalu....

Ibra mencolek pucuk kepala Ayu, membangunkan sang gadis dari tidur singkatnya.

“Astaghfirullah, Pak Ibrahim?!” decak Ayu kaget.

“Kamu ngapain disini?” nada bicara Ibra mulai tajam.

“Ini... ngerjain yang bapak minta ke saya....”

“Emang saya suruh kamu lembur disini?”

Ayu berpikir sejenak, tak ada perintah Ibra yang memintanya menetap disini.

Hanya ide konyol dari dirinya sendiri.

“Kamu mikir gak kalau gadis pulang malam-malam, terutama di kota Jakarta kayak gini tuh sangat bahaya?! Sekarang lagi marak kasus taksi penipu yang mau merampok, menculik, belum lagi naik ojek online kalau kamu ngantuk kayak sekarang, kan bahaya juga!” “Dan saya tidak pernah memberlakukan sistem lembur ya di kantor ini, kecuali SANGAT TERPAKSA! Itupun baru saya sendiri yang melakukannya!”

Ayu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia bisa melihat bagaimana bosnya itu sangat marah.

“Sekarang apalagi yang harus kamu kerjain?!”

“Uh... gak ada, Pak....”

Ibra langsung menutup rapat laptop Ayu, merapihkan beberapa tumpukan kertas yang berantakan di atas meja lalu menyodorkan semuanya ke Ayu, “Ayo pulang, biar saya yang antar kamu!”

Aduh... salah lagi deh....



Di perjalanan yang padat, Ibra dan Ayu tak saling buka suara. Kerutan alis laki-laki itu masih tampak dengan jelas, sang gadis juga tak berani untuk gerak sedikitpun. Bernafas aja rasanya seperti sembunyi-sembunyi, takut salah lagi. Lampu hijau sudah berdentang, mobil Ibra kembali melaju kencang dan sejak tadi ia tak berhenti mengusap wajahnya gusar.

Apa... karena Ayu barusan? gadis itu jadi merasa bersalah.

“Aduh, parah nih...” gumam Ibra.

“Ke-Kenapa, Pak?” balas Ayu kikuk.

“Saya laper banget, di depan kayaknya ada tukang nasi goreng deh.”

Ayu menjawab oh ria, seraya menghela nafas lega. Mobil Ibra berhenti tepat di depan gerobak cokelat yang menghadirkan aroma lezat yang mengocok perut keduanya.

“Kamu mau juga kan?” tanya Ibra memastikan.

“I-Iya, Pak, boleh.”

“Pedes gak?”

“Dikit aja.”

Ibra membuka jendela samping, “Mang! nasgornya dua ya, satu pedes yang satunya lagi pedes dikit aja, kerupuknya banyakin terus yang pedes kasih bawang goreng yang banyak, taruh di pinggir ya jangan langsung di campur, acarnya juga di pisah!”

“Kak Ibra pasti milih-milih makanan....” gumam Ayu bermonolog, terdengar oleh Ibra dan di balas dengan gelak tawanya.

“Iya, emang saya pemilih. Kenapa? Mau protes?” ucap Ibra dengan nada tengil khasnya.

Ayu sekali lagi mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Lidah saya gak bisa diajak kerjasama, kalau gak sesuai sama apa yang saya mau ya saya gak makan.”

“Kok gitu? kasihan dong makanannya.”

Ibra terkekeh lagi, “Iya emang, jahat banget lidah saya.”

Emang, lidahnya bikin jantung orang naik turun gara-gara omongannya, cibir Ayu dalam hati.

Begitu makanan yang di pesan sudah sampai di tangan keduanya, Ibra cepat mengucap bismillah sambil melahap makanannya cepat bak orang yang gak makan 3 hari. Ayu yang melihatnya tertawa geli, ia melihat sisi kekanak-kanakan dari Ibra, di balik kharismanya yang kuat nan membius banyak orang (terutama kaum hawa).

Ayu menyuap nasi gorengnya perlahan sembari matanya melirik ke arah Ibra yang masih fokus dengan makanannya. Pikirannya melayang, bagaimana nanti ia bisa menyaksikan Ibra memakan masakannya dengan selahap itu, itu pasti akan menjadi kebahagiaan paling haqiqi dalam hidup Ayu.

Boleh deh kapan-kapan aku masakin khusus buat Kak Ibra....

Begitu Ayu lengah, mata Ibra sudah tertuju ke arah tumpukan kerupuk yang menganggur di sisi piring sang puan. Ibra dengan usil mengambil hampir setengah dari kerupuk yang ada di piring Ayu, membuat sang empunya mengeluh protes.

“I-Ih, Kak Ibra curaaaang!!”

“Nanti kerupuknya mleyot kalau di biarin, mending buat saya!”

“Saya mau makan kerupuknya kok?!”

“Kelamaan, malah ngelamun, mending buat saya.”

“Kalau saya gak ikhlas sama kerupuknya gimana?! hayo?!”

Kerupuk yang dilahap Ibra langsung tersangkut di kerongkongan, “Ohk! OHOK! OHOK!”

“Eh, Astaghfirullah, Kak Ibra minum cepetan! Kok malah keselek sih??!!”

Ibra cepat meneguk teh hangatnya, “Kamu sih bilang gak ikhlas, langsung kena azab saya...”

“Makanya jangan asal comot makanan orang, izin dulu baru boleh ambil.”

Ibra memasang wajah melasnya, “Yaudah deh, itu kerupuk kamu masih banyak banget boleh gak saya bagi...?” matanya berbinar bak puppy eyes, serius, Ayu sedang melihat sisi lain dari sosok Ibrahim, dimana biasa ia lihat sebagai sosok yang galak, tegas dan berkharisma ini.

Ayu langsung meletakkan semua kerupuk yang ada di piringnya di piring Ibra, membuat lelaki itu tersenyum sumringah.

“Iya boleh,” jawaban yang sangat di harapkan Ibra akhirnya keluar dari bibir manis Ayu.

“Mantaap! Makasih ya!” Ibra langsung melahap kerupuknya dengan riang, benar-benar tampak seperti anak kecil yang gembira setelah mendapatkan banyak permen.

Momen ini begitu penting untuk Ayu tanam dalam memori indahnya.



“Terima kasih banyak, Kak Ibra... maaf udah ngerepotin sampai-sampai anterin saya ke rumah kayak gini, mana traktir saya makan malam segala...” ucap Ayu setelah ia keluar dari mobil Ibra di depan pagar rumahnya.

“Lain kali kalau ada kesulitan bilang sama saya, pertama saya bisa bantu kedua pekerjaan kamu selesainya bisa lebih cepat, bukannya nawar minta keringanan.” “Itu kesannya saya diktator sebagai bos kamu, padahal saya juga menimbang-nimbang kemampuan kamu, Ayu.”

“Iya pak, saya minta maaf... janji ini yang terakhir kalinya.”

“Saya perlu pamit juga gak ke bapak kamu? soalnya kan kamu lembur karena salah saya.”

Ayu menggeleng cepat, “E-Enggak, kak, gapapa! Bukan salah Kak Ibra kok, lagipula bapak biasanya udah tidur jam segini takut kebangun...”

Ibra memanggut kepalanya, “Oke kalau gitu, saya pamit ya. Kamu istirahat yang cukup.”

“Iya pak, bapak juga yaa istirahat yang cukup.”

“Permisi, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Mobil Ibra langsung cepat melaju lagi menuju tempat pulangnya. Ayu mengulum senyum yang hendak mengembang lebar, karena begitu banyak momen mendebarkan yang tak ia duga setelah petaka. Beban kepalanya seketika hilang. Seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya, memberikan rasa bahagia yang memuncak.

Kayaknya malam ini aku gak bisa tidur deh... hehehehe....

Ibra memutuskan untuk mengajak paman dan adik sepupunya itu ke sebuah kafe yang terletak di pusat kota, tepatnya di dalam mall megah yang membuat mata Ali, adik sepupunya itu berbinar-binar antusias.

“Ayah! Ali mau ke gramedia-nya boleh gak?! Mau beli komik barunya Dragon War yang special edition pasti ada di mall gede kayak gini!” decak Ali girang kepada Naresh.

“Kak, kamu mau ujian masa beli komik?” Naresh mengeryit dahinya.

“Yaelah, baca 1 komik gak akan bikin Ali gak lulus UTBK juga kali, Yah.”

Naresh mengangkat kedua bahunya, “Ya kalo nanti bunda sita komik kamu, jangan salahin ayah.”

Ali mengacungkan jempolnya mantap dan berlari kencang menuju tujuannya. Ibra yang melihat tingkah Ali terkekeh geli—teringat bagaimana ia dulu juga seperti itu kepada orang tuanya, terutama kepada abinya.

“Dulu saya juga gitu, Om, tapi dapet penghargaan lulusan terbaik, hahaha...” ucap Ibra.

“Kamu mah beda, otak kamu tuh ajaib, Bra.”

Mendengar kalimat itu, utasan senyum Ibra langsung memudar. Naresh meneguk kopinya dan menyadari ekspresi wajah keponakannya itu berubah muram.

“Semua orang pasti bilang gitu sama saya, padahal saya tidak merasa bebas dengan kelebihan yang saya punya ini.”

Naresh menegakkan posisi duduknya, “Kenapa begitu?”

“Karena saya tidak pernah menggunakan otak saya untuk mengerjakan apa yang saya mau. Sia-sia aja gitu.”

Naresh menjawab lagi, “Terpaksa, maksud kamu?”

“Iya.”

“Bahasa kasarnya, kelebihan kamu itu kayak di eksploitasi gitu ya?”

Mata Ibra membulat, “E-Eh gak gitu juga, Om...”

“Tapi arah bicara kamu sudah mau ke arah sana,” Naresh menyesap kopinya lagi, mengatur kata-katanya agar bisa di pahami dengan baik oleh pemuda yang tengah risau, “Menurut saya, apa yang kamu lakukan itu gak sia-sia kok.”

Ibra mendelik, kalimat itu membuat pikirannya mulai terbuka.

“Amanah keluarga, itu bukan persoalan main-main. Harapan orang di punggung kamu, adalah sebuah catatan amal kebaikan kalau kamu bisa melakukannya dengan maksimal. Allah tidak pernah memberikan suatu kelebihan, kalau bukan untuk memberi manfaat baik untuk kamu juga orang-orang di sekitar kamu.” “Kalau di kacamata manusia kamu mampu, berarti menurut Allah sendiri kamu juga mampu memikul beban itu, Bra, dan semuanya pasti ada hikmah.”

Naresh menepuk pundak besar Ibra, pria paruh baya itu sedikit mengulang memori bagaimana lengan mungil Ibra yang ia rangkul akrab di setiap akhir pekan. Ekspresi konyol dan tengil khas Ibra kecil yang membuatnya gemas, sekarang tengah dilanda kerisauan pada usianya yang sudah dewasa.

Orang-orang menyebutnya sebagai quarter life crisis.

“Om udah dengar semuanya dari abi, bagaimana kamu harus merelakan mimpi kamu kuliah di Turki, kamu tidak banyak memikirkan tentang diri kamu dan selalu mendahului kepentingan orang dibanding diri sendiri. Kamu persis kayak Bang Haidar waktu muda, bedanya, Bang Haidar punya Anela yang selalu menjadi tempat pulang.” “Kalau kamu, bagaimana Ibra?”

Ibra menundukkan kepalanya, pertanyaan itu cukup menjadi tanda tanya besar dalam kehidupannya.

Rumah, sebaik-baik rumah apa yang Ibra inginkan, di tengah dunia memberi beban besar di pundaknya?

“Saya masih punya Allah.”

“Kalau gitu kenapa masih risau?”

Ibra skakmat.

“Terkadang ada suatu hal yang hanya bisa kita dapatkan dari seseorang. Itulah gunanya manusia di ciptakan berpasang-pasangan, Ibrahim.” “Di dunia ini ada caranya, dan aturannya, kenapa kamu gak ikutin?”

Ibra mengerut kedua alisnya, “Ini... Om Naresh nyuruh saya cepetan nikah apa gimana?”

“Kalau itu sih bagaimana kesimpulan kamu, tapi setidaknya om kasih kamu sedikit petunjuk.” “Tapi kan yang menjalani kehidupan itu kamu, jadi coba renungkan baik-baik.”

Ibra masih diam termenung, satu tanda tanya yang memberinya berjuta pertanyaan lagi dalam benak. Ibra masih tidak paham, tapi kalau memang ia harus merenungkannya baik-baik, tentu Ibra akan lakukan.

“Tanggung jawab laki-laki memang cukup besar, Ibrahim. tulang rusuk kita dibuat lebih kokoh di banding perempuan, karena kita akan memikul banyak tanggung jawab, di mulai dari diri sendiri sampai nanti berkeluarga, belum lagi kalau dia menjadi pemimpin karena kebanyakan pemimpin itu laki-laki.”

Ibra bertanya, “Perempuan juga kuat kan, Om?”

Naresh mengangguk mantap, “Ya tentu dong, gak hanya kuat, perempuan juga memiliki kemuliaan yang tinggi...” tangannya menepuk pucuk kepala Ibra, “Karena mereka yang melahirkan calon orang-orang hebat.”

Seketika pikiran Ibra menjadi lebih jernih, sedikit demi sedikit pembicaraan mereka mulai di terima dengan baik oleh pemahamannya.

“Makanya, kelebihan kamu, dan juga harapan orang-orang terhadap kamu itu gak selamanya kutukan, tapi juga anugerah...” “Sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya, dan itu adalah harapan kedua orang tua kamu.” “Abi kamu yang mengakuinya sendiri, kalau semua harapannya sudah terkabul dan beliau sangat bersyukur, juga bangga dengan kamu.”

Pikiran Ibra melayang, dimana ia yang biasa mengingat memori buruk tentang abinya...

Abi memang gak pandai mengutarakan perasaannya melalui kata-kata...

Tapi di ruang kerjanya, foto-foto gue dapat penghargaan jauh lebih banyak dari Aminah...

Ya Allah, kenapa selama ini gue selalu berburuk sangka sama abi?

“Hadeuh, emang deh problemnya para ayah di dunia ini itu gak jauh-jauh susah banget ngomong betapa bangganya dia sama anak sendiri...” Naresh menghempas tawa kecilnya, “Termasuk om sendiri, hahaha....”

“Hahaha kayaknya Om gak separah abi sih tsundere-nya.”

“Kesulitan om cuman satu sih, Ali lagi masa pubertasnya jadi sering banget ngebantah kata-kata orang tua.”

Gue juga dulu gitu sama abi....

“Tapi sisanya, om tahu Ali sudah melakukan semuanya yang terbaik, jadi om berusaha untuk percaya dengan semua pilihan Ali.” “Termasuk dia enggan masuk kedokteran, katanya takut ninggalin keluarga kayak om hahaha... gak tahu aja dia susahnya jadi dokter.”

Ibra geleng-geleng, “Hadeuh anak itu bener-bener....”

“Gapapa, setiap orang punya pilihannya masing-masing. Om yakin itu yang terbaik.”

Tak lama sahutan girang Ali dari kejauhan sana membuat keduanya menyudahi percakapan panjangnya.

“BANG BANG! LIHAT GUE DAPET BONUS KASET GAME YANG SERI KELIMAA!!”

“Lah sumpah?! Wih mantep banget!!”

“Ntar gua main ya ke tempat luu!”

Ibra langsung mengacak gusar rambut Ali, “Hafalan dulu baru kita main game!”

Ali mencibir, “BANG IBRA LU MAAAHHH!!!!”

Naresh terkekeh, “Bang Ibra bener, Kak, dan kalau kamu masuk ITB baik jalur undangan atau UTBK, ntar ayah beliin laptop spek gaming yang bagus. Mau gak?” “Full set, sampai ke meja dan kursinya sekalian.”

Mata Ali memencak lebar, “SERIUS YAH?? GAK OMDO??”

“Enggak, Ayah serius ini.”

“YESS! OKE DEAL! NANTI ALI BELAJAR YANG BENER BUAT DAPETIN ITB!!” “Aku mau mobil juga dong, yah....”

Ibra memukul lengan Ali, “YEE ELU DIKASIH HATI MALAH NGELUNJAK!!!”

Rose memicing tajam, ketika laki-laki bersurai hitam legam dengan senyuman miringnya itu terus mengekornya dari belakang.

“Kenapa ikutin gue sih?!” pekik Rose kesal.

“Lah gue juga mau ke ruangannya Pak Ibrahim.”

“Tapi jangan bareng gitu lho... nanti naik liftnya sebrang-sebrangan ya?!”

Mahen geleng-geleng, sedangkan perintah Rose tak ia indahkan sama sekali. Begitu sampai di lantai 6 dimana ruangan Ibra ada disana, semua perhatian tertuju ke arah dua insan yang masih berjalan cepat ke tujuannya. Semua orang bertanya-tanya tentang kehadiran mereka.

“Permisi, saya mau bertemu dengan Pak Ibrahim,” tanya Rose kepada Ayu yang mejanya ada tepat di depan ruangan Ibra. Gadis berkerudung abu-abu itu memencak kedua matanya. Perempuan ini siapa? kayaknya Kak Ibra gak ada janji sama klien perempuan deh...

“O-Oh iya, ada keperluan apa ya, bu?” tanya Ayu.

Rose mengutas senyuman lebar, “Saya mau anter makanan, hehe!”

Sekali lagi, seribu pertanyaan menghujam batin Ayu. KREK! Ibra terlihat keluar dari ruangannya dan tersontak dengan kehadiran Rose dengan Mahendra.

“Ro-Rose?!” decak Ibra.

“Mas Ibraaaa!” Rose menyambut girang kehadiran Ibra, “Ini makanannya! sekarang aku bikinnya pakai takaran cinta yang pas, gak akan keasinan kok!”

Dada Ayu langsung nyeri melihat adegan manis itu di depannya. Ia mengatup bibirnya rapat-rapat dan menundukkan sedikit kepalanya. Kak Ibra... punya pacar ternyata....

“Ro-Rose, aduh jangan ngomong gitu ini di kantor—”

“Kenapa? kan cuman ada sekretaris kamu disini, gak ada siapa-siapa!”

“Ya iya tapi kan tetep—”

“Ihh tapi serius aku, ini bikinnya gak akan keasinan!”

“Iya, iya, oke, masuk dulu ke ruangan saya ya? Mahendra, kamu juga ikut ke ruangan saya,” mata Ibra beralih ke Ayu lalu meminta gadis itu untuk ikut masuk juga ke ruangannya melalui isyarat kepalanya.

Sedangkan pria yang sejak tadi diam memerhatikan gerak ketiganya, mulai intens menatap Ayu. Ia memandang gadis cantik berhijab itu dari atas sampai ke bawah, memberikan senyuman simpulnya yang penuh arti.

She's cute.



“Oke, kita ngomongnya santai aja kan? gak usah formal-formal amat?”

Kalimat pembuka pemuda bersurai hitam legam itu membuat Ibra dan Ayu mengerutkan alisnya. Rose yang ada di samping Mahendra refleks memukul lengannya keras-keras.

“Yang bener dong, masa sama bos gitu sih?!”

“Ya-ya, umurnya juga gak beda jauh, capek tau harus ngomong formal?!”

“Bedain kantor sama temen tongkrongan, please deh...!!”

“Ya bentar lagi juga jadi temen satu tongkrongan!”

Ibra tertawa renyah, Trian gak salah bilang anak ini rada freak...

“Terserah mau ngomong kasual apa gimana, intinya disini saya mau kasih kamu beberapa berkas yang harus kamu kerjakan nanti dengan tim kamu juga. Kalau butuh apa-apa, bisa hubungi Ayu dulu,” ucap Ibra sambil meletakkan beberapa tumpukkan kertas di meja. Mahendra melirik Ayu, lalu melemparkan senyuman dan kedipan mata genitnya yang membuat Ayu terbelelak.

Ih... dia kenapa...?

“Oke deh bos, nanti gue tinggal hubungin Ayu aja kan?”

Sekali lagi Ibra mengernyitkan dahinya, “Ha-hah?” ia tak habis pikir kalau akan ada pegawainya yang berbicara se-santai itu di kantor.

“Mahen ih!” decak Rose yang ikutan gemas.

“Apa lagi sih kok aku salah mulu?!”

Ibra menghela nafas panjang, “Terserah kamu mau ngomong kasual atau formal sama saya tapi intinya, kerjaan kamu harus selesai dalam 2 hari kalau enggak,” lelaki itu menatap tajam, “Saya gak akan segan menurunkan posisi kamu.”

Mahen menegup salivanya bulat-bulat, “Uh... bosnya galak ternyata.”

Di tempat mereka masing-masing, Ibra dan Ayu masih mempertanyakan tentang sosok kedua insan yang ada di hadapannya.

Laki-laki ini siapanya Rose? kenapa hubungan mereka deket banget ya?

Perempuan ini gak berhenti mandangin mukanya Kak Ibra, dan makanan itu... kenapa dia mau kasih makanan ke Kak Ibra?!

“EHEM!! Mahen mendeham kencang, “Kalo gitu boleh kan saya kerjain sekarang, pak?”

“Sebentar,” Ibra mencegat, “Saya penasaran sama hubungan kalian berdua, saudara kah?” tanya Ibra to the point. Ayu di sampingnya terkejut bukan main.

Mahen terkekeh, “Rose itu mantan pacar saya di Kanada, pak.”

OHOK, OHOK!! Ibra malah tersedak dengan air liurnya sendiri saking kagetnya. Ayu juga ikut melotot.

“Ngapain kamu kasih tau Mas Ibraa?!” kata Rose mulai meninggi.

“Lho dia nanya, ya aku jawab,” balas Mahendra.

“Tapi gak usah bilang aku mantan pacar kamu, ada banyak alasan yang bisa kamu pake!”

“Dih ngapain, emang kita pernah pacaran dulu.”

“Cukup, cukup!” Ibra menyudahi pertikaian kecil keduanya, “Mahendra, kamu udah bisa kerjakan pekerjaannya, Rose, terima kasih untuk makanannya tapi saya gak ada waktu untuk main, nanti saya hubungi kamu ya?”

Rose langsung cemberut, “YAHH JADI AKU DI USIR NIH?!”

“Bukan gitu, saya gak mau kamu gabut gak jelas disini, sebentar lagi saya harus meeting juga diluar.”

“Ish... Mas Ibra mah gitu....”

Ayu sekali lagi memerhatikan dalam-dalam sosok wanita berambut gelombang itu. Bagaimana cara komunikasinya yang begitu dekat dengan Ibra, sedangkan ia tahu seperti apa sosok Ibra itu. Hubungannya sudah sejauh mana? dan apa makna dari perjodohan orang tuanya kalau Ibra sendiri menjalin kasih dengan wanita lain? Apakah Ibra tipikal laki-laki yang mempermainkan hati wanita? terdengar mustahil, tapi rasa curiganya terus mencuat di isi kepalanya.

Ternyata banyak hal yang tidak ia ketahui tentang lelaki kasihnya.

“Hai.”

Panggilan lembut Mahendra mengejutkan Ayu dari lamunannya, “Ya, Pak?”

“Enggak cuman... aku mau minta nomor kamu, kata Pak Ibra kan apa-apa harus hubungi kamu bukan?”

“O-Oh, itu bisa di hubungi lewat telepon kantor kok, Pak.”

Mahendra terkekeh, “Iya sih... but, what if i should contact you outside?

“Di luar kantor? untuk?”

“Many things, like out for dinner?”

Ayu memasang ekspresi kesalnya, “Maaf, untuk itu dilarang kontak saya di luar kantor,” gadis itu berjalan cepat menuju mejanya meninggalkan Mahen membeku disana. Ekor mata lelaki itu mengikuti arah punggung kecil itu beranjak pergi, dan sekali lagi ia menghempas tawa kecilnya.

Interesting, kayaknya ini kantor asik juga.

Ramainya penampilan seni dari karya para santri memberikan suasana hangat antar silaturahmi dari para ustadz-ustadzah, wali dan juga para tamu yang di undang. Ibrahim dan Ayudia selaku juri yang ditunjuk untuk memberikan nilai setiap pentas seni yang di tunjukkan, mereka tersenyum puas. Kreatifitas dari seluruh santri-santriwati memang patut di acungi dua jempol.

“Waduh, bagus-bagus semua ini, saya jadi bingung ngasih nilainya... kalo bisa dapet seratus semua,” ucap Ibra sambil menoleh ke Ayu—berusaha mencairkan suasana.

“Iya ya, kalian semua keren, ayo dong mana tepuk tangannya??” sanggah Ayu ikut memeriahkan.

Dari samping pemuda itu menatap cukup lama sosok Ayu, kerudung putihnya yang rapih dengan wajah cantiknya yang menenangkan. Pemuda itu tersenyum simpul, entah kenapa memang Ayu ini bagaikan angin dari ombak laut tenang di bawah rembulan. Siapapun yang berada di dekatnya, pasti merasakan damai hati yang menyejukkan.

“Kak Ibra?” panggilan Ayu tadi menyadarkan Ibra dari lamunannya, “Kenapa? lihatin apa?”

Ibra cepat mengalihkan matanya, “Itu... abi! ngapain sih foto-foto kita disini?!” Ibra tak bohong, dari tempat saung—berjarak 4 meter dari tempat Ibra dan Ayu sudah ada sosok abinya, Haidar yang sedang memotret momen antara dua insan itu.

“Siapa yang foto kamu? geer, orang saya lagi foto penampilan anak-anak!” tepis Haidar dengan seribu alasannya.

“Fotonya ke arah sana, bukannya kesini!” balas Ibra tak mau kalah, tapi tentu sang ayah juga tak menyerah.

“Sekalian foto jurinya, bagus kok, nanti mau saya kirimin ke kalian?”

Ibra geleng-geleng, Hadeuh... abi ini....



Sudah saatnya makan malam, hari ini para ustadzah dengan Ayu tentunya menyajikan masakan spesial yang menjadi favorit semua orang, yaitu sop iga bakar. Semerbak aroma dagingnya mulai mengunggah selera orang-orang disana—terutama Ibrahim si penggemar nomor satunya sop iga bakar.

“Duh wanginya enak, nanti saya boleh nambah ya?” cicir pemuda itu, di balas satu pukulan ringan dari ayahnya.

“Gak boleh, jangan biasain rakus! ini lagi acara!” omel Haidar.

“Yaudah kalo gitu jatahnya abi buat Ibra aja, kan abi kolestrolnya tinggi,” tangan Ibra tak tinggal diam, ia meraih piring dan mangkuk Haidar yang sudah di hidangi oleh iga bakar beserta nasinya. Haidar melotot, tangannya langsung menjewer telinga anak laki-lakinya itu hingga Ibra merintih kesakitan.

“Adududuh, sakit bi, ampun!!”

“Kamu ini...!”

Para ustadz-ustadzah, Ayu dan tamu-tamu yang menyaksikan pertikaian keduanya hanya ikut tergelak tawa.

“Aduh bapak-anak makin akur aja ya, hahaha....”

“Ibrahim kalau lagi sama abi uminya kelihatan ya manjanya hahahaha....”

“Ibrahim ayo cepet cari pasangan, biar nanti kamu bisa minta istri kamu masak sop iga bakar yang banyak! Hahahaha!”

Ayu di sampingnya, menatap lemat-lemat wajah ceria Ibra. Akhir-akhir ini pemuda itu terlihat lebih riang dari biasanya, meskipun kemarin sempat muram hingga mengacaukan meetingnya di kantor tapi sekarang sudah berbeda. Ayu mengulum senyum simpulnya, bersyukur bahwa pemuda itu sudah baik-baik saja.

Titik pengakuan seseorang untuk mencintai, ketika ia menginginkan orang yang dicintai itu tertawa bahagia.

“Kak Ibra,” bisik Ayu lalu di balas tolehan Ibra, “Kalo mau nambah gapapa kok, di dapur masih banyak....”

Ibra menggeleng cepat, “Ah enggak, nanti saya di jewer lagi sama abi!” tolak Ibra.

“Gapapa, nih ambil dulu punya aku, nanti aku ambil lagi di dapur,” Ayu menyodorkan paksa piringnya ke Ibra sampai laki-laki itu pasrah menerimanya (gak sepenuhnya pasrah karena Ibra sangat menginginkan porsi besar iganya) lalu ia menatap punggung mungil Ayu yang berlari kecil ke dapur untuk mengambil lagi dagingnya di dapur.

Senyuman Ibra mengembang lebar, lalu cepat ia sembunyikan porsi spesialnya itu di sisi piringnya. Tak lama, Ayu kembali lagi sambil terkekeh geli.

“Cepet di makan, nanti ketahuan lho sama Pak Haidar!” decak Ayu lagi.

“Saya bawa aja deh ke saung, kamu mau ikut makan disana?” tanya Ibra sambil mengajak Ayu pergi.

Mata Ayu terbelelak lebar. Wajahnya memerah bak kepiting rebus ketika Ibra mengajaknya pergi bersama.

“A-Anu... itu.... saya....”

“Yaudah saya tunggu ya disana.”

“Ka-kak, aku belum bilang iya?!”

Ibra menghempas tawa kecilnya, “Diamnya kamu berarti iya, kalau gak jadi juga gapapa.”

Jantung Ayu rasanya mau meledak.



“Huaaah... kenyang banget....” Ibra menepuk-nepuk perutnya yang sudah penuh. Rasanya puas sekali memakan porsi besar langsung, setelahnya ia menyandarkan tubuhnya sambil menatap bulan purnama yang bersinar terang malam ini.

DRRTT!! Ponselnya kini bergetar, Ibra membuka notifikasi yang ada di layar kuncinya:

Rose : Besok aku masak spaghetti aglio e olio lhoo! Rose : Aku kirim ke kantor kamu yaa?

Ibra terkekeh.

Ibrahim : Saya gak bisa request makanan, Rose?

Rose : Gak bisaa :( sesuai kelas masakku soalnya, TAPI NANTI BILANG AJA KALO MAU MAKANAN SESUATU GITU, biar aku belajar! :D

Ibrahim : Hahaha oke

“Kak Ibra?” suara lembut Ayu mengejutkan Ibra.

“Eh, Ayu, kesini juga kamu,” Ibra langsung geser dari posisinya, memberi ruang sekitar 2-3 meter dari tempatnya untuk Ayu duduk, “Di dalem masih pada makan?”

“Enggak kok, semuanya lagi ngobrol-ngobrol aja.”

Ibra membalas oh ria, lalu ia cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku dan memutar isi otaknya—mencoba untuk cari topik untuk berbincang santai dengan Ayu. Tentu ini momen canggung bagi keduanya karena kemarin-kemarin, mereka tak pernah ada momen untuk berbicara santai, kalau gak tentang pekerjaan ya diam. Belum ada ikatan emosi yang mengikat antara keduanya.

“Enak gak makanannya?” tanya Ayu yang membuka topik.

“Enak kok, enak banget! bumbunya pas terus sopnya juga gak tajem rasanya, saya suka!” jawab Ibra semangat.

Ayu mengulum senyum malunya, “Makasih, Kak Ibra....”

“Itu kamu yang bikin, Ayu?” Ibra balik bertanya karena penasaran.

“I-Iya, sop iga bakar itu aku yang masak.”

Ibra mendecak kagum, “Wah, emang top banget deh. Kopi kamu enak, sop iga bakar kamu juga enak....”

Lagi-lagi wanita dibuat salah tingkah, bagaimana tidak? masakannya di puji habis-habisan oleh laki-laki yang ia cintai sejak lama.

“Kak Ibra suka makanan apa aja emang?”

“Hmm apa ya, saya suka banyak sih tapi kalau yang paling saya suka itu, masakan sunda, terus sop iga bakar, sama nasi kebuli paling.”

Ayu mengangguk paham, “Nanti... aku masakin mau?”

Ibra cepat menggeleng, “Eh gak usah repot-repot, saya gak kode minta dibuatin kok!”

“Enggak kok, aku kan suka masak di rumah... nanti kalau misalnya aku lagi buat makanan yang disebut Kak Ibra, aku bawain buat kakak... gimana?”

Yang ditanya bergeming panjang, “Hmmm boleh sih, ide bagus. Saya gak nolak kok kalo kamu beneran ngasih.”

Keduanya saling tertawa.

“EHEM!!”

Dehaman keras terdengar dari belakang keduanya, Haidar sudah melipat tangan di dadanya dengan tatapan penuh introgasi.

“Untung disini rame, kalo duduk berduaan pihak ketiganya ada siapa?” tanya Haidar dengan nada tajamnya.

“Abi,” Ibra menjawab dengan nada usilnya.

“Heh, kamu ngatain abi?!”

Ibra langsung berdiri dari duduknya, “Yaudah kita pulang sekarang aja ya? Ayu, makasih untuk makanannya, sampai ketemu di kantor nanti.”

Ayu mengangguk, “Iya kak, sampai ketemu nanti.”

Ibra menuntun abinya yang sudah mulai renta itu jalan menuju pusat orang-orang berkumpul untuk berpamitan pulang. Sekali lagi, gadis cantik itu hanya bisa memandang punggung lelaki kasihnya dari belakang, terlihat kokoh namun jauh untuk di gapai.

Bisakah nanti aku berdiri di sampingmu, Kak Ibra?

Lokasi yang ditujukan Rose ternyata sebuah mall besar yang ada di Jakarta, dan Ibra sudah melihat bayang-bayang wanita yang hendak ia temui itu di sebuah kafe dalamnya. Rose juga ikut melambaikan tangannya riang, Ibra cepat lari lalu duduk di hadapan wanita cantik bermata hazel itu.

“Kamu udah nunggu lama?” tanya Ibra.

“Enggak kok! aku juga baru sampai kesini!” jawab Rose berbohong, karena ia sudah sampai di kafe itu sejak 1 jam yang lalu.

Ibra merogoh satu kantung kertas yang berisikan syal milik Rose, “Oh iya ini syalnya—”

“E-Eh tunggu dulu!” Rose mencegat tangan Ibra, membuat sang pemuda mengangkat satu alisnya heran, “Pesen makan dulu atau minum disini!”

Ibra bergeming sebentar, lalu ia mengikuti pinta dari wanita di hadapannya dan membuka menu yang ada di atas meja. Rose mencuri lagi pandangannya terhadap pemuda berparas eksotis itu, pesonanya dengan lengan kemeja yang ia gulung se-lengan asal, rambutnya sedikit acak-acak namun masih terlihat tampan. Rose tak bisa lagi menahan rasa kagumnya terhadap Ibra.

“Saya pesan minum aja, kamu udah pesen makanan atau minum?” Ibra menutup buku menunya.

“U-Udah kok, langsung aja di pesan,” Rose memanggil salah satu pelayan yang berdiri tak jauh dari tempat mereka, “Ya, pak, bu, ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau pesen banana smoothies-nya satu,” pinta Ibra.

“Oke, ibunya?”

“Saya udah kok tadi,” timpal Rose.

“Untuk makanannya?”

“Hmm makanannya ya....” Ibra melihat-lihat lagi menunya.

“Kita ada saran menu kak, kebetulan hari ini lagi ada menu spesial untuk para pasangan muda lengkap dengan minumannya, tapi karena tadi udah pesan minuman di luar menu spesialnya jadi bisa kok dari makanannya. Syaratnya yang penting adalah bapak dan ibu ini adalah pasangan sah yang sudah menikah.”

Ibra dan Rose diam mematung, lalu saling menatap satu sama lain dengan canggung....

“A-Anu, kita ini rekan bisnis... bukan pasangan suami istri....” ucap Ibra dengan rasa malu yang luar biasa. Rose juga tak bisa menutupi wajahnya yang sudah bersemu merah.

“O-Oh maaf, pak! saya kira bapak sama ibu suami istri, soalnya cocok banget... maaf ya pak, bu!” pelayan itu pergi terbirit-birit sambil merutuk dirinya. Ibra melirik ke arah Rose kikuk, bagaimana bisa mereka di sangka pasangan suami-istri sedangkan di kafe ini tak hanya mereka saja yang saling berpasangan. Apa semua pasangan di kafe ini pasutri?

Perasaan Rose juga jadi tak karuan, entah ingin senang atau malu. Ia harap kesalahpahaman tadi bisa menjadi doa untuk masa depannya.

Siapa tahu kan?

“Ehem!” Ibra mendeham, guna mencairkan suasana, “Gimana... butik kamu?” akhirnya pemuda itu membuka suara.

Rose menjawab dengan gelagapan, “A-Ah... mama baik, eh! maksudnya butik aku baik!”

“Butik kamu baik gimana?”

“Yaa lancar, belum ada yang aneh-aneh.”

“Emang aneh-aneh kayak gimana?”

Rose mengatup bibirnya rapat-rapat, bicaranya jadi ngaco kemana-mana karena insiden barusan.

“Ih nanya mulu! pokoknya baik! yang punya butik gak ditanyain?!” cetus Rose kesal.

“Ya yang punya butik mah gak usah di tanya juga kelihatan baik, emang kamu lagi gak baik-baik aja?” balas Ibra.

“Yaa nggak juga sih, tapi kan pengen juga di tanyain....” ucap Rose seraya memajukan bibirnya cemberut, membuat Ibra tertawa geli melihat tingkah lucu dari wanita di hadapannya.

“Yaudah iya, gimana kabar kamu, Rose?” Ibra menopang dagunya mendekat, senyuman lembutnya lagi-lagi membuat jantung wanita itu berdegup tak karuan. Ih sengaja ya ini cowok?!

“Ba-baik....”

“Baiknya gimana tuh?”

“Yaa baik! kan Mas Ibra bisa lihat sendiri aku baik kan?!”

Ibra mendengus, “Lah kok kamu sewot lagi sih?! kan tadi kamu mau saya tanyain kabarnya giliran di tanya malah di sewotin!”

“Abisnya nanya mulu!”

“Allahu akbar, Rose, kamu yang minta....”

Rose menggenggam dua sisi rambutnya, melilitkannya di hadapan wajah karena saking malunya. Ibra masih mengerut dahinya heran, tapi akhirnya ia mengalah.

“Oke sekarang saya diam aja deh,” kehadiran banana smoothies yang sudah di pesan Ibra akhirnya menjadi pelampiasan rasa canggungnya. Pemuda itu sudah berusaha maksimal untuk mencairkan suasana antara keduanya namun tak di sambut baik oleh sang lawan bicara. Sekarang mereka berdua diam, sibuk dengan urusannya masing-masing agar tidak malu saling menanti.

Rose jadi merasa bersalah karena salah tingkah tadi.

“M-Mas Ibra....” akhirnya sang puan bersuara.

“Hm?” dehaman serak Ibra membuat Rose berdegup.

“Aku mau ke suatu tempat, mau nemenin gak?”

Ibra mendongakkan kepalanya, belum sempat menjawab tapi wanita di hadapannya sudah beranjak dari kursinya duluan membuat ia juga mau tak mau harus mengikuti langkahnya dari belakang.

Meski ia tak tahu apa yang ada di kepalanya Rose.



“Serius, kamu masih mau main game kayak gini?”

Ternyata Rose sudah mengincar satu tempat sejak tadi, yaitu game center yang letaknya tak jauh dari kafe tempat mereka duduk tadi. Raut wajah Rose sekarang berubah girang, bahkan wanita itu langsung lari ke counter untuk membeli satu kantung koin besar untuk memulai permainan.

“Hehehe ayo main!” Rose menarik lengan Ibra ke sebuah permainan, yaitu basket ring, “Ayo kita adu skor! yang kalah nanti wajib turutin apa yang di minta sama pemenangnya!” tantang Rose, dan di balas anggukan mantap Ibra.

“Ayo, siapa takut?!”

Mereka sepakat untuk bertanding, begitu koin sudah dimasukkan dan aba-aba dari mesin sudah menyala. Dengan penuh semangat keduanya memasukkan bola—saling berkompetisi satu sama lain, sepasang insan ini memang cukup unik, mengikuti alur semesta yang tak biasanya sebagaimana sebuah pertemuan romantis melainkan takdir memberinya pertemuan yang tak terduga-duga.

Ibra : 45 Rose : 20

“YAH KOK SKOR KITA BEDA JAUHH??!!” pekik wanita itu, dibalas ketawa renyah Ibra yang menjadi pemenang.

“Nah karena saya yang menang, berarti kamu ikutin apa kata saya kan?” ucap Ibra dengan senyum angkuhnya.

“Ish... iya iyaa!” Rose merengut. Tangan Ibra sudah siap-siap di hadapan kening Rose, “E-Eh, Mas Ibra mau ngapain?!”

“Sentil jidat kamu, kan kamu kalah.”

Rose menganga selebar-lebarnya, “ASTAGA MAS, AKU CEWEK LHO YANG BENER AJA KAMUU??!!”

“Udah nurut aja, kan kamu kalah.”

Rose tak menyangka kalau ternyata Ibra akan melakukan hal sejauh itu. Ia pasrah, matanya terpejam sambil cemas-cemas harap kalau sentilan itu tidak akan menyakitinya.

PUK!

“Tapi bohong, hahaha... mana mungkin saya sentil jidat perempuan,” syal putih tebal milik Rose di tepuk ke pucuk kepala sang puan oleh Ibra. Pemuda itu terkekeh geli, melihat wajah lucu Rose yang ketakutan. sudah lama ia tak merasakan kebahagiaan seperti ini.

Sangat. Bahagia.

“Kamu lucu banget sih, segitu takutnya saya sentil.”

“Ya takut lah! itu tangan gede banget kalau mendarat ke jidat aku, bisa-bisa gegar otak!”

“Lebay banget, mana mungkin sampai gegar otak!”

“Bisa aja kan?!”

“Nggak lah, gak mungkin!”

Rose cemberut, “Mas Ibra tuh rese banget sih, bikin hati aku gak karuan aja!” rengutnya sambil mengembungkan pipinya sebal. Bukannya jengkel, justru Ibra gemas lihatnya.

“Gak usah ngambek, saya gak bakalan takut,” sekali lagi pemuda itu mengacak rambut Rose dengan syal yang ia bawa. Ibra meletakkan lagi syalnya ke dalam kantung dan menyerahkannya kepada sang pemilik, “Nih bawa, ntar lupa lagi, saya mau pulang sekarang.”

GREP!! Rose menahan lengan Ibra, “Ih bentar, jangan pulang! kita kesana dulu!”

“Kemana lagi, Rose?”

“Ke photobooth

Ibra mengernyit, “Hah?” belum ia melanjutkan kalimatnya, Rose sudah menarik tubuhnya ke photobooth untuk mengambil foto bersama. Cepat wanita cantik itu memasukkan beberapa koinnya, mengambil atribut yang tersedia seperti bando kelinci dan jepitan pita.

“Mas Ibra pakai ini!” decak Rose seraya memakaikan bando kelinci di kepala Ibra.

“Gak mau!” tepis Ibra.

“Ih nurut! pakai gak?!” Rose terus memaksa, sampai lelaki itu pasrah dengan bando yang terpasang di kepalanya.

Kamera sudah siap, keduanya di minta siap-siap untuk berpose. Ibra masih diam mematung disana, tak mengerti dengan situasi yang menjebaknya saat ini... tapi hatinya sangat menikmati momen ini.

1... 2... 3...

Ckrek!

Keduanya berpose sebanyak 4 kali jepretan, ada yang kaku, aneh, bahkan gila karena Rose memasang mimik wajah konyol. Ibra yang melihatnya tertawa terbahak-bahak.

“Kayak ondel-ondel ekspresinya, hahahaha!” ejek Ibra.

“Dih lihat nih kamu, kayak patung mukanya kaku banget!” balas Rose tak mau kalah.

“Ah masa sih? itu pose keren tahu!”

“Keren dari Hong Kong, hahaha!!”

Keduanya saling tertawa bahagia, tak terasa sudah berapa jam mereka habiskan waktu bersama. Rose merobek fotonya menjadi dua bagian, “Nih, satu buat aku, satu buat Mas Ibra, di simpen ya baik-baik!”

Ibra menerima satu fotonya. Matanya melirik ke arah foto yang di pegang Rose, “Saya boleh minta yang itu aja gak fotonya?” tanya Ibra.

“E-Eh emang kenapa?” Rose melihat foto yang ada di tangannya, “Kamu ngerasa ganteng ya di foto ini?”

Ibra menggeleng pelan, lalu tersenyum.

“Disitu ekspresi kamu sangat ekspresif, saya suka.”

Ibra mengancingkan lagi jas maroon miliknya yang terbuka, merapihkan kerah kemeja hitamnya dan memastikan tempat undangannya ini tak salah. Ia membuka lagi ponselnya untuk membuka alamat restorannya.

“Dor!”

Ibra tersentak dengan kejutan Rose di belakangnya, wanita di hadapannya sudah rapih dengan dress di bawah lutut yang menampilkan bahunya. Rambutnya juga ia gerai bergelombang, membuat Ibra terpana sejenak lalu cepat-cepat pemuda itu membuyarkan lamunannya.

“Celingukan gitu ih, kok... bawa bunga?” perhatian Rose teralihkan ke buket bunga yang Ibra bawa.

“O-Oh ini?” Ibra menyerahkan bunganya ke Rose, “Buat kamu, sebagai perkenalan antar rekan bisnis.”

Ibra memang berbohong, karena jantungnya sejak tadi tidak bisa berhenti berdetak. Rose yang menerimanya langsung tersenyum sumringah, ia menghirup aroma bunga itu dengan gembira bahkan ia hampir memeluk Ibra tapi cepat pemuda itu mengambil jarak sebagai peringatan.

Rose akhirnya mempersilahkan Ibra untuk masuk dan duduk di tempat yang sudah di reservasi secara khusus oleh Rose. Pertemuan ini yang sudah di nanti-nantikan, Rose tak berhenti memandang wajah tampan Ibra dengan senyuman malu-malu.

“Kenapa?” Ibra menyadari tatapan intens Rose.

“Mas Ibra keren banget kalo pake jas gini,” ucap sang puan, lagi-lagi membuat Ibra salah tingkah.

“Ka-Kamu kenapa sih? udah kita langsung to the point aja. Saya mau presentasiin semuanya, kamu tolong simak baik-baik ya,” Ibra membuka tabletnya dari tas yang ia jinjing, lalu menampilkan sebuah power point yang menjelaskan secara rinci tentang proyek yang akan di sepakati keduanya sebagai rekan bisnis. Rose menatap fitur wajah tampan Ibra dalam, hidungnya yang mancung dengan kulit eksotis mulusnya, tak heran kalau akan ada banyak wanita yang menyukai sosok Ibrahim El Fatih. Ia bagaikan karya ciptaan Tuhan yang sempurna.

Ibra masih sibuk menjelaskan proyek bisnisnya, tanpa memerdulikan apakah Rose ikut menyimak atau tidak namun tatapan intens Rose yang tertuju di matanya cukup membuat sang pemuda terganggu.

“Rose kamu nyimak gak sih?” decak Ibra sedikit sewot, yang dipanggil langsung terkekeh geli.

“Nyimak kok...” jawab Rose dengan nada lirih.

“Coba kamu ulangin penjelasan saya.”

“Dih, emangnya lagi bimbel apa?!”

“Jadi kesimpulannya apa?!”

Rose tersenyum cengir, “Mas Ibra ganteng banget... hehehe....”

Ibra menepuk jidatnya, menghela nafas panjang sambil geleng-geleng dengan tingkah wanita di hadapannya. Rose ini bisa disebut sebagai sosok yang aneh bin ajaib dan kelakuan random-nya sangatlah tidak terduga. Pemuda itu sekali lagi menunjukkan power point di slide terakhir, “Kesimpulannya, kamu bilang mau ambil 3 unit di sektor A sini kan? mau kamu jadikan sebagai rumah pribadi, investasi, yayasan atau bisnis?”

Rose tersenyum penuh arti, “1 rumah mau aku jadikan sebagai rumah masa tua mama aku dan dua lainnya... mau aku jadikan sebagai panti asuhan.”

Ibra terpaku dengan jawaban Rose, wanita itu mendekat untuk melihat lebih jelas slide dari power point-nya.

“Aku udah survey ke tempatnya, unit yang mau aku ambil ini sangat cocok dengan pemandangan bukit yang menenangkan untuk relaksasi. Mama aku suka banget sama nuansa alam, dan ini tempat yang paling cocok untuk refreshing dari masa berduka, begitupun untuk panti asuhan sendiri, belajar di tempat alam itu bagus untuk otak bukan?”

Nafas ibra tercekat, “Be-bentar, refreshing dari masa berduka maksudnya?”

“Waktu aku pergi dari Budapest, papa aku meninggal di Kanada, mas.”

Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un, saya turut berduka cita.”

“Terima kasih,” Rose melanjutkan lagi kalimatnya, “Dan kepergian papa merupakan titik terendah kami sekeluarga, terutama mama yang sangat mencintai papa.” “Kanada menyimpan banyak memori indah kami sekeluarga, tapi untuk di kenang sekarang cukup menyakitkan, apalagi untuk mama. Makanya aku memutuskan untuk pulang lagi kesini, membawa mama dan tinggal di tempat yang dekat dengan nuansa alam untuk mengobati rasa berduka kami.”

Ibra menyanggah, “Jadi kamu sekeluarga akan pindah kesini?”

Rose menggeleng, “Cuman mama aja, aku tinggal di apartemen dekat Sudirman sana.”

“Kenapa kamu gak ikut temenin mama kamu aja?”

“Ya karena jarak ke butik aku jauh banget, tapi aku akan sering jenguk mama.”

Ibra menjawab oh ria, dan di benaknya masih ingin mencari tahu lebih banyak soal Rose yang saat ini ada di depannya, dengan sangat cantik dan menawan seolah ia menyimpan banyak cerita yang ingin Ibra dengar.

Ibra ingin tahu banyak hal tentang Rose.

“Kamu hebat, gak hanya memuliakan orang tua tapi juga mau membangun tempat untuk menampung anak yatim-piatu, saya salut,” akhirnya kekaguman Ibra yang keluar dari bibirnya.

“Aku tahu rasanya tinggal sebatang kara, aku tahu rasanya kehilangan hampir seluruh keluarga dan kehilangan arah, tapi banyak orang yang mungkin tidak seberuntung aku jadi ini saatnya aku yang menolong mereka semua.”

Rose bagaikan malaikat tak bersayap dengan senyuman cantiknya yang terlukis indah di wajahnya. Ibra tak bisa lagi mendeskripsikan bagaimana kekagumannya terhadap Rose, kalau ada penghargaan yang bisa ia berikan mungkin Ibra akan memberikannya sebanyak mungkin. Tak banyak orang yang memiliki hati sesuci dan seluas ini.

Bahkan mungkin, dirinya belum sampai ke tahap itu.

Saya jadi ingin mengenal kamu lebih dalam lagi, Roseanne....

Ibra lari dengan tergopoh-gopoh menuju ruangannya, dimana disana ada Trian juga seorang pria baya dengan tongkat yang dipangku kedua tangannya. Ibra meneguk salivanya bulat-bulat, berharap hari ini tidak akan ada hal yang merusak mood kantor.

“Ibrahim El Fatih, kemana aja?” tanya eyang dengan nada tajam, “Ah, Eyang lupa, abis liburan ya sekeluarga....”

“Lebih tepatnya antar Mina, Eyang. Mina ada dinas di Budapest,” jawab Ibra dengan tegas.

“Saya tahu, tapi saya mau evaluasi semua kinerja dari kantor ini dari awal sampai akhir,” Mata Eyang yang menyipit langsung terbelelak lebar, “Kacau, Ibrahim, semuanya... kacau!!”

Ibra mengepal tangannya keras-keras, dengan kepalanya yang setengah menunduk ia berusaha meredam emosi yang mulai menyulut kepalanya.

“Kamu bisa lihat sendiri semua laporan yang di kerjakan oleh sekretaris kamu!” BRAK!! Eyang melempar semua tumpukkan berkas di atas meja, “Bisa-bisanya kamu beri kesempatan untuk orang bodoh seperti sekretaris kamu itu?! Jangan gunakan simpati kamu dalam pekerjaan seperti abi kamu!”

Ibra mendongak, “Ga-Gabriella dimana, Eyang?”

“Sudah saya pecat dari 2 hari yang lalu!!”

Ibra menoleh tajam ke Trian, dan yang di tengok menggeleng tak paham. Tak ada yang bisa berkutik dengan semua keputusan Eyang.

“Bagian marketing, zero, bagian keuangan, ada kesalahan dalam pencatatan defisit dan kita minus sekitar 12 juta, apalagi ya tadi.... oh ya bagian perencanaan juga.... zero,” Eyang mendikte semua penilaiannya, “Dan itu terjadi ketika perusahaan di pegang sama kamu, Trian Aksa Soetomo!”

Yang dipanggil langsung mendelik, kepalanya semakin menunduk dan lagi-lagi harga dirinya harus tercoreng. Ibra menatapnya iba, cepat pemuda itu maju untuk bicara, “Eyang, ini semua salah saya. Hari itu ada sesuatu yang genting dan saya gak sempat diskusikan dengan anak-anak karena laptop saya rusak di Budapest, juga saya tidak maksimal mengawasi perusahaan—”

“Kamu ganti posisi.”

Ibra gelagapan, “Ya-ya?”

“Kamu ambil posisi Trian, biar Trian yang saya sekolahkan ulang di Amerika.”

Ibra dan Trian saling menatap satu sama lain, Eyang melanjutkan lagi kalimatnya, “Eyang heran sama kamu, Ibrahim, kamu itu sudah terlahir dengan kecerdasan yang sempurna juga di keluarga yang sempurna. Kamu itu bagian dari keluarga Soetomo dengan semua hak istimewa yang bisa kamu dapatkan, jangankan untuk menjabat, hanya sekedar bekerja di perusahaan ini butuh seleksi yang ketat... tapi kamu enggan untuk mengambil hak istimewa itu.” “Percaya sama Eyang, begitu kamu memutuskan untuk mengambil alih PT. Soetomo Group ini, setidaknya salah satu dari anak perusahaan kita, masa depan kamu akan sangat terjamin, Ibrahim.”

Lagi-lagi Eyang bilang gitu....

“Beri mereka waktu 3 bulan untuk memperbaiki ini semua, Pah.”

Tanpa di sadari, sudah ada sosok Jeffry dengan Anela di depan pintu ruangan Ibra.

“Papa tuh kebiasaan ya, gegabah banget dalam memutuskan sesuatu tanpa memikirkan apa yang di inginkan sama mereka!” decak Anela kesal, lalu cepat ia menghampiri Ibra sambil memeluk lengan besar anaknya itu khawatir.

“Anela, papa tahu terkadang prinsip kita bersebrangan tapi ini semua tetap demi kebaikan anak kamu!”

Jeffry menyanggah, “Lalu gimana dengan anak aku, Pah?”

Eyang masih menepis kalimat anak-anaknya, “Anakmu itu masih perlu banyak belajar! Dia tidak se-istimewa Ibrahim!”

Anela tercengang, “Astagfirullah hal adzim, Papa!!”

“Udah, gini aja, sekarang kasih waktu untuk Ibrahim dan Trian memperbaiki semuanya setidaknya sampai semua berjalan normal, kita fokuskan lagi dengan proyek yang ada dan kalau sampai 3 bulan ke depan masih tidak ada perubahan....” Jeffry mengatur nafasnya lagi, “Aku yang tanggung jawab dengan semua kerugian di perusahaan ini.”

“Aku juga, aku dengan Mas Haidar sudah pernah mendiskusikan soal ini!” Anela ikut maju.

Eyang tak lagi bisa berkata, matanya melirik ke arah dua pemuda yang berdiri di belakang sana dengan tatapan tajam.

“Kalian itu terbiasa di manja dengan semua hak istimewa yang kalian dapatkan, sampai lupa napak dengan apa yang harus kalian lakukan sebagai bagian dari keluarga Soetomo!” desisnya tajam, “Terserah, tapi Papa pegang omongan kalian berdua.”

Eyang melengos pergi meninggalkan mereka dalam ruangan itu. Ibra langsung menghela nafas panjang bahkan merebahkan punggungnya di atas sofa saking lelah berdiri menahan amarah yang memuncak, sedangkan Trian... entah apa yang ia rasakan tapi amarah sudah tak bisa lagi menyulut.

“Eyang kebiasaan banget datang-datang ngerusak suasana! Ah!” keluh Ibra.

Jeffry menoleh ke arah Trian, “Trian, kamu gak usah pikirin—”

“Emang paling bener aku stay sama Mama di Australia.”

Semua sontak menoleh ke arah Trian.

“Trian, denger, Eyang memang sangat keras tapi—”

“Aku udah bilang kan? aku gak akan pernah mau terlibat sebagai bagian dari Soetomo lagi, karena ujung-ujungnya Eyang juga gak mau akuin aku sebagai cucunya karena gak se-pintar Ibra!” “Dari dulu juga gitu kan? Kedatangan aku gak pernah di sambut, kalau gak bawa kabar prestasi, Eyang gak akan pernah mau menoleh lihat kita?”

Ibra mengernyit, “Stop, jangan lanjutin lagi.”

“Apa?! Lo gak denger tadi kalo lo ikutin apa maunya Eyang, lo bakalan dapet hak istimewanya—”

“ITU BUKAN HAK YANG GUA MAU!!!!!”

Satu ruangan kaget dengan gertakan Ibra yang meledak. Ibra tak segan-segan menarik kerah baju Trian dengan penuh emosi, matanya menyalak sempurna hingga siapapun yang di ruangan itu tak bisa berkutik.

“LO HARUS TAHU BANYAK MIMPI YANG HARUS GUE KUBUR DALAM-DALAM, YAN! Gimana nyeseknya gua waktu mimpi udah ada di tangan harus gua buang jauh-jauh CUMAN KARENA GUA HARAPAN KELUARGA INI—”

Ucapan Ibra terhenti di tengah jalan, begitu ia mendapati wajah Ibundanya yang sudah hampir menangis saking shocknya, “Astagfirullah hal adzim, saya kelepasan....” Ibra mengusap wajahnya kasar. Cepat pemuda itu keluar dari ruangannya, menjauhkan dirinya guna menenangkan amarahnya yang meletup-letup. Ia tak sadar bisa sampai semarah itu hanya karena satu pancingan.

Ini sudah tidak benar, dan sekarang entah kaki Ibra akan membawa dirinya kemana.

Saat ini suasana hangat menyertai antara kedua keluarga, yakni keluarganya dengan Husein, kerabat lama yang menetap disini sejak lama dan tidak berjumpa selama 12 tahun. Pikirannya masih kalut, seolah hatinya mempertanyakan dimana keberadaan wanita cantik sang pemilik syal putih yang dia simpan. Datang tak di undang, pergi tanpa berpamitan malah meninggalkan jejak rindu.

Ibra tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, dimana dia merasakan kegelisahan akibat ingin berjumpa dengan seseorang. Mengulang sebuah cerita dari pertemuan-pertemuan singkat yang ia jadikan sebagai momentum, sebenarnya ada apa dengan Ibra saat ini?

Dan ini mengenai seorang wanita yang baru ia temui. Aneh bukan?

“Kamu daritadi gelisah gitu, kenapa, nak?” sang ibunda menyadari perilaku putranya, membuat Ibra langsung tersadar dari lamunan panjangnya.

“E-Enggak, gapapa,” jawab Ibra.

“Kerjaan kamu di Jakarta aman?”

Ibra mengangguk, “Iya, tinggal Ibra beresin dikit lagi kok,”

“Laporannya udah kamu kirim ke Trian kan?”

“Udah, umi, aman kok....”

Ibundanya lagi-lagi hanya menatap heran Ibra, Ini anak tumben galau-galau gini, pasti ada yang ganggu pikirannya.

“Umi, saya izin keluar sebentar ya? mau cari angin,” akhirnya Ibra memutuskan pergi guna menenangkan pikiran kalutnya. Belum sempat dijawab, tapi pemuda itu sudah beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan ibunya diam disana tanpa sepatah kata.



Ibra menyandarkan tubuhnya di tembok, menatap langit dengan tatapan sendu dan lagi-lagi angin malam yang dingin nan menusuk ini menjadi teman terhadap rindu yang menyesakkan dada. Pemuda itu menatap lagi foto seorang wanita cantik yang ada di ponselnya, bertanya-tanya kenapa dengan mudahnya wanita yang baru ia temui disini meninggalkan begitu banyak memori yang membekas di benaknya. Apa dia punya semacam mantra untuk menyihir Ibra? kalau gitu dia harus di ruqyah, pikir Ibra.

Tapi setiap ia mengingat memori itu, Ibra tersenyum lebar.

“Rose, kamu dimana sih?” gumamnya lirih.

Sekali lagi ia menatap langit, di balik cuaca yang luar biasa dingin, ada cahaya rembulan yang bersinar terang dengan bentuk bulat sempurna. Cahaya itu membawa Ibra kepada sebuah imajinasi yang tak biasanya pernah ia bayangkan.

Seketika ia membayangkan bagaimana cantiknya senyuman Rose ketika bertatap muka dengannya, mata bulatnya yang bagai permata, juga sedikit lesung pipi yang melengkung di sudut bibir merahnya. Jemari lentik sang wanita ia bayangkan bagaimana ketika ia bisa menggapainya, mengeratkan bersama jemari besarnya dan berlarian dengan tawa canda.

Tunggu dulu.

Ibra barusan membayangkan dirinya pegangan tangan dengan seorang wanita?

“A-Astagfirullah hal adzim!” Ibra langsung mengusap wajahnya gusar, wajahnya tak menampilkan tanda apapun tapi lain di telinganya. Telinga Ibra sudah memerah sempurna.

“Kamu ngapain disini, Ibrahim?”

Suara tenor khas ayahnya, Haidar, mengejutkan Ibra di tempat. Haidar yang baru saja pergi bersama Husein menatap Ibra dengan penuh tanda tanya.

“Kok lu di luar, Bra? cuaca lagi dingin banget ini,” timpal Husein. Di jawab gelengan kepala Ibra.

“Gapapa, langit malamnya lagi bagus,” ujar pemuda yang di tanya, lalu masuk ke rumah duluan dengan ekspresi muramnya.

“Yee, kenapa sih itu anak?”

“Gak tahu om, lagi galau kali.”

Mina sudah meletakkan semua barang-barangnya di apartemen baru yang akan di tinggali bersama sang suami, Husein. Ia masih tak percaya dengan sebuah fakta bahwa saat ini, ia sudah sah mengikat janji dengan cinta pertamanya. Berbagai badai yang menghadang, terus menggoyahkan hati namun takdir tetap menyatukan mereka.

“Sayang, nanti barang-barangnya kita beresin pas malam aja—”

GREP! Mina memeluk tubuh suaminya dari belakang, meresapi kehangatan yang menjulur dari punggung luas Husein yang kini menjadi tempat paling aman baginya bersandar.

“Sayang?” panggil lagi Husein.

“Hm?”

“Kamu kenapa tiba-tiba meluk gini?” tanyanya heran, mendengar kekehan kecil Mina membuatnya kembali mengangkat satu alisnya.

“Kenapa? gak boleh meluk suami sendiri?” tanya Mina balik, mengundang tawa geli dari sang kekasih. Husein membalik badannya dan membalas pelukan hangat dari Mina, mengecup kening Mina dengan lembut sambil mendekap erat kepala mungil istri tercinta.

“Mina.”

“Apaa?”

“Aku sayang kamu.”

Mina mendongak kepalanya, “Aku lebih sayang kamu.”

“Akuu yang sayang banget banget sama kamuu”

“Ihh aku yang lebih banyak, 3000 kali lipat!”

“Kalo gitu aku 3 juta kali lipat”

“Aku se-universe deh!”

“Ah tau deh!” Husein membalas pelukan yang semakin erat lalu mengangkat tubuh mungil istrinya, dan mereka saling bertukar canda tawa bersama. Husein menatap lemat-lemat wajah Mina dengan penuh cinta, seakan dunia hanya milik mereka berdua, Husein menyelipkan anak rambut panjang Mina ke telinganya seraya mengelus pelan rambut halus yang terurai indah.

Wanita sang pujangga hati satu-satunya, hanya Mina seorang yang bertahta.

Saat ini, di masa depan dan selamanya.

– END

“IBRA DEMI ALLAH GUA GEMETERAN, GUA KUDU NGOMONG APA SAMA OM HAIDAR?”

“Udah gua bilang, siapin mental aja kalo mleyot malah dijadiin dodol garut.”

“GAK LUCU, BERANTEM AJA KITA BRA ANJIRLAH!!”

“Ah cupu lu, males banget punya calon kakak ipar kayak lu.”

“Ibrahim!!”

Ibra tertawa terbahak-bahak, menyaksikan dengan puas bagaimana gugupnya Husein yang akan datang langsung melamar Mina di hadapan kedua orang tua. Haidar dan Anela sudah mengetahui niat dari Husein juga dengan kedatangannya yang mendadak, Anela tentu bersorak gembira karena akan menjadi besan dengan sahabatnya tapi Haidar tak banyak berkomentar.

“Dateng aja dulu, banyak hal yang harus di bicarakan sebelum meminang anak saya.”

Itulah yang dikatakan sang ayahanda.

“Mina lagi ngapain, Bra?”

“Kepo lu.”

“Ya kan gue gak bisa hubungin dia langsung.”

“Lagi drakoran.”

“Kok dia gak tegang sih?!”

“Enggak tuh, malah senyum-senyum mulu.”

“Aduh lucu banget calon bini gue.”

“Idih geli banget sumpah.”

“Heh, ntar lihat ya kalau lu udah ketemu satu cewek nih, gue yakin bucinnya seribu kali lipat ngalahin gue.”

“Kagak lah, gak pernah gue mendem perasaan ama cewek 12 tahun lebih.”

“Hati lu kayak batu soalnya.”

“Berisik nih orang, udah ah sana persiapin diri besok mau ketemu bokap gue. Om Naresh dulu hampir dijadiin ayam geprek, ya lu jangan sampai aja kayak dia.”

“IBRAHIM!!!”

Ibra mematikan teleponnya sepihak, lalu ia melihat dari kejauhan kakaknya itu sedang fokus menonton drama. Mengingat kakaknya akan segera di pinang, entah kenapa ada rasa kosong di dadanya, ia langsung menyusul tempat kakaknya dan dengan usilnya mematikan TV Mina yang masih asyik menonton.

“AH! IBRAAAA!!” pekik kakaknya kesal, di balas juluran lidah Ibra yang tengah berlari kecil menghindari kejaran sang kakak.

“Lu gak inget apa besok Husein mau dateng ngelamar?! Santai banget malah asik drakoran!”

“Ya ingeet!”

“Lu gak tegang?!”

Mina melempar satu bantalnya ke Ibra, “JUSTRU GUE TEGANG BANGET MAKANYA NONTON DRAKOR!!!!”

“BUAHAHAHAHAHAHAHAA!!”

“HEH, HEH! Apa-apaan sih kalian berdua ini kayak anak kecil?!” Dari ruangan kerja muncul sosok Haidar yang mulai terganggu dengan keributan anak-anaknya.

“Abiii! Ibra nih ganggu aku nonton!!”

“Lagian dari tadi malah drakoran, besok inget lu mau di lamar!”

“Dih emang kenapa sih?!”

“Yhaaa Mina udah otw jadi milik Bang Husein! Males banget dihh”

“Ibraaa!!”

Melihat tingkah kedua anaknya, Haidar cuman menggeleng kepalanya tak heran.

“Ibrahim, Ibrahim... ternyata kamu ngerasa kesepian juga mau ditinggal kakak kamu.”



Hari ini, Mina sudah rapih dengan gamis pink pastelnya dan riasan tipis yang membuatnya terlihat ayu. Anela masih tak menyangka, hari dimana Mina akan kedatangan sosok pangerannya tiba.

“Mina,” panggil Anela.

“Iya, umi?”

“Umi yakin pilihanmu tidak salah, jadi tetap hadapi sama-sama apapun yang terjadi ya?”

Mina mengangguk menurut, sedangkan di ruangan tamu depan sana sudah ada para lelaki yang saling menatap serius—terutama Haidar terhadap Husein yang sudah rapih dengan kemeja putih dengan jas coklatnya.

“Akhirnya kamu datang menghadap langsung disini,” Haidar membuka bicara, membuat Husein semakin gugup di tempat.

“Iya, om.”

“Kenapa ayah dengan bunda kamu gak ikut sekalian?”

“Ayah masih ada kerjaan yang harus di selesaikan jadi nyusul om.”

“Sebesar apa nyali kamu sampai berani menghadap saya sendirian? apa kamu pikir saya akan langsung menerima kamu karena sudah dekat dengan keluarga kita?”

Husein menegup salivanya bulat-bulat, dan Ibra yang ada di sana juga ikut ketar-ketir.

“Uh gini maksud kedatangan saya, Om Haidar... saya sudah lama mencintai Mina sejak kami masih sangat muda dan saya memang benar-benar ingin serius dengan Mina. Di Budapest pun, saya gak bisa melupakan Mina—”

“Kamu berniat melupakan anak saya disana?”

Ibra menyenggol siku Husein, “Ah elu bertele-tele, salah kan...” bisiknya.

“Bu-Bukan gitu maksud saya, Om! ja-jadi gini....”

“Ngomong yang betul!”

Ibra menyenggol lagi siku Husein, “Udeehh... bilang aja mau lamar Mina....”

“Ibrahim kamu diem, gak usah ikutan nge-backup Husein!”

Pemuda yang di tegur langsung cemberut, “Lah kok saya yang di marahin....”

Husein menarik nafasnya dalam-dalam, mengatur tempo nafasnya yang mulai tak beraturan dan mengurai lagi kata-kata yang ada di otaknya.

Bismillah, Husein...

“Baik kalau begitu, Om, saya akan langsung to the point aja soal kedatangan saya disini. Saya, dengan sepenuh hati berniat untuk melamar putri Om Haidar, Aminah Haliza Azzahra, yang sudah saya cintai dalam diam sejak kami kecil. Saya tak bisa membayangkan masa depan saya tanpa sosok Mina di samping saya, karena itu saya datang kesini untuk meminta izin langsung kepada Om Haidar.” “Mohon maaf apabila Om kurang berkenan karena orang tua saya tidak bisa hadir, tapi kalau sekiranya lamaran saya di terima, secepatnya saya akan membawa orang tua saya untuk datang kesini.”

Mendengar ungkapan tegas Husein terkait niat baiknya, Haidar menyungging senyuman lebarnya.

“Itu jawaban yang saya mau,” Haidar menjulurkan tangannya, “Kalau begitu, bilang sama ayah dan bunda kamu untuk percepat kedatangannya disini karena saya gak mau lama-lama. 3 bulan ini, saya beri waktu untuk persiapkan semuanya dari lamaran secara resmi sampai ke akad, karena kamu tinggal di Budapest coba kamu diskusikan dengan Aminah bagaimana baiknya.” “Saya, sudah sepenuhnya mempercayakan kamu, Husein.”

Jawaban Haidar membuat Husein tak sengaja menitikkan air mata harunya dan sontak membuat pria paruh baya itu terkejut.

“Ko-kok kamu malah nangis?!” kata Haidar kaget.

“Ma-Maaf, Om, saya... gak nyangka soalnya...” jawab Husein dengan suara puraunya, di balas ejekan Ibra yang tak berhenti ketawa.

“YAELAH MALAH MEWEK LU BANG, BANG...! HAHAHAHA!”

“Ibra berisik ah!”

“Waduh, bisa-bisa dimarahin Adit saya abis bikin anaknya nangis gini....”

“Ma-Maaf, Om, saya izin ke toilet boleh?”

“Oh iya boleh, silahkan.”

“Permisi, Om...!”

Husein lari terbirit-birit menuju kamar mandi, mengundang gelak tawa satu ruangan karena tingkah kikuknya yang tidak berubah sejak dulu. Mina yang mengintip dari kamarnya juga ikut tertawa, ternyata Bang Husein yang dia kenal masih ada.

Dan akan menjadi pendamping seumur hidupnya.

— Lagniappe 3, END — 09 Januari 2022