Tentang Harapan, dan Mimpi Ibra

Haidar, putramu ini jenius! dia bisa jadi harapan keluarga kita.

“Saya gak mau terusin perusahaan Eyang.”

Ibrahim remaja, masih berusia 17 tahun menatap serius netra Ayahnya—semi geram. Tangannya mengepal keras, sekali lagi, Ibra harus mendengar orang menaruh beban di pundaknya.

“Ibra sayang, duduk tenang, jangan tatap mata Abi kamu kayak gitu,” sang ibunda berusaha menenangkan putranya itu, tapi kepalang marah, Ibra malah menghempas tangan sang ibunda.

“Ibrahim, duduk. kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin.” Haidar ikut berdiri untuk menegaskan posisinya, akhirnya Ibra menuruti apa kata sang ayah dan duduk dengan wajah menegang.

Puncak emosi Ibra sudah mencapai limit, rasanya ingin berteriak. Ia meratapi secarik kertas yang terbuka disana, yakni surat penerimaan Ibra di salah satu kampus Turki, negeri impiannya.

“Pertama, kamu tidak pernah mendiskusikan soal ini kepada Abi dan kamu datang-datang hanya minta tanda tangan persetujuan?! kamu gak butuh doa restu orang tua kamu, Ibrahim?!”

“Kalau saya beritahu abi, apa abi mengizinkan saya?!”

“Karena sudah seperti ini, sangat di sayangkan abi tidak mengizinkan kamu pergi ke Turki!!”

Mata Ibra memencak lebar, hatinya hancur bukan main dan yang hanya bisa dilakukan Ibrahim... menunduk. sang ibunda menatap iba putranya itu, suaranya tak mungkin bisa merubah keputusan Haidar yang sudah bulat.

“Ibrahim, saya tidak pernah melarang apapun mimpi kamu, hanya saja situasi memberikan satu atau dua amanah untuk kamu karena seperti Eyang bilang, kamu ini anak yang istimewa!”

“Anak istimewa? lalu hak istimewanya di kasih sama Aminah?!”

“Ibrahim jaga bicara kamu!”

“Abi, sudah cukup dengan alasan saya ini anak istimewa, anak jenius karena di mata abi ini, saya hanyalah anak nakal pembuat onar yang harus di pesantrenkan! apa selama ini abi mau dengar saya? bahkan waktu untuk mendengar saya aja gak ada, pernah abi ngajak saya ngobrol soal masa depan? enggak!” “Dari kecil, abi hanya fokus sama Aminah, bukan sama saya! Abi mengabulkan semua permintaan Aminah, apapun yang Aminah pilih abi iyakan sedangkan saya? perkara sepele soal ekskul, abi larang saya ini itu, fokus sama hafalan. Sekarang urusan kuliah abi tidak izinkan saya, lalu nanti kalau saya menikah, saya memilih wanita apa abi masih larang-larang juga?!”

“Ibrahim, bicara kamu sudah kemana-mana. Tenang dulu.”

“SAYA CAPEK ABI!!!”

“IBRAHIM!”

Ibra tersentak dengan gertakan ayahnya, keduanya saling membelelakkan kedua mata. Pemuda berusia 17 tahun itu mulai menitikkan air matanya.

“Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak pernah melarang apapun pilihan kamu dan kalau saya sudah berkata tidak berarti memang itu bukan pilihan yang baik untuk kamu!”

“Abi tahu apa soal saya?!”

Anela langsung menepuk pundak putranya, “Ibra... turunkan suaranya....”

“Abi... gak pernah mau tahu apapun soal saya, jadi jangan pernah bertindak seolah abi tahu semuanya tentang saya!!”

Kalimat itu mengiris hati sang ayahanda. Bagaimana tidak? penolakan itu keluar secara langsung dari bibir sang putra, namun ia tak bisa menepiknya karena memang betul... sejujurnya Haidar masih tak tahu apa-apa soal Ibrahim, putranya.

Punggung pemuda yang beranjak dewasa itu mengingatkan dirinya di masa lalu. sama persis, ketika dirinya muda yang diberi harapan dan amanah besar oleh sekelilingnya, sekarang seolah roda berputar di kehidupan keluarganya. Ibrahim menjadi dirinya dulu.

Dan Haidar tak tahu harus apa.



Keesokannya, Ibrahim merenungi semua perbuatannya kepada sang ayah dan meminta maaf atas semua yang ia lakukan. Ayah mana yang tak luluh ketika anaknya memeluk erat tubuhnya seraya meneteskan air mata penuh penyesalan? Seribu maaf untuk buah hati tak pernah habis, hanya saja butuh perbaikan. Kalimat menyakitkan Ibra sangat membekas di hati Haidar, sampai akhirnya pria paruh baya itu berkata dengan nada lirih...

“Tentukan pilihanmu nak, tak ada lagi tembok yang menghalangi jalan kamu untuk mengejar mimpi-mimpi kamu.” “Abi sudah menghancurkan mimpi kamu ke Turki, dan itu terakhir kalinya.”

Ibrahim mencium tangan Ayahnya sekali lagi, “Dan ini terakhir kalinya saya merajuk sama abi, kalau memang ada amanah untuk saya, saya akan tanggung jawab.” “Saya tidak akan lagi melawan, kalau memang saya adalah harapan dari keluarga.”

Sejak itu, Ibrahim menjalani hidup dengan takdirnya sebagai 'harapan' dari orang-orang terkasihnya.