Question Mark

Ibra memutuskan untuk mengajak paman dan adik sepupunya itu ke sebuah kafe yang terletak di pusat kota, tepatnya di dalam mall megah yang membuat mata Ali, adik sepupunya itu berbinar-binar antusias.

“Ayah! Ali mau ke gramedia-nya boleh gak?! Mau beli komik barunya Dragon War yang special edition pasti ada di mall gede kayak gini!” decak Ali girang kepada Naresh.

“Kak, kamu mau ujian masa beli komik?” Naresh mengeryit dahinya.

“Yaelah, baca 1 komik gak akan bikin Ali gak lulus UTBK juga kali, Yah.”

Naresh mengangkat kedua bahunya, “Ya kalo nanti bunda sita komik kamu, jangan salahin ayah.”

Ali mengacungkan jempolnya mantap dan berlari kencang menuju tujuannya. Ibra yang melihat tingkah Ali terkekeh geli—teringat bagaimana ia dulu juga seperti itu kepada orang tuanya, terutama kepada abinya.

“Dulu saya juga gitu, Om, tapi dapet penghargaan lulusan terbaik, hahaha...” ucap Ibra.

“Kamu mah beda, otak kamu tuh ajaib, Bra.”

Mendengar kalimat itu, utasan senyum Ibra langsung memudar. Naresh meneguk kopinya dan menyadari ekspresi wajah keponakannya itu berubah muram.

“Semua orang pasti bilang gitu sama saya, padahal saya tidak merasa bebas dengan kelebihan yang saya punya ini.”

Naresh menegakkan posisi duduknya, “Kenapa begitu?”

“Karena saya tidak pernah menggunakan otak saya untuk mengerjakan apa yang saya mau. Sia-sia aja gitu.”

Naresh menjawab lagi, “Terpaksa, maksud kamu?”

“Iya.”

“Bahasa kasarnya, kelebihan kamu itu kayak di eksploitasi gitu ya?”

Mata Ibra membulat, “E-Eh gak gitu juga, Om...”

“Tapi arah bicara kamu sudah mau ke arah sana,” Naresh menyesap kopinya lagi, mengatur kata-katanya agar bisa di pahami dengan baik oleh pemuda yang tengah risau, “Menurut saya, apa yang kamu lakukan itu gak sia-sia kok.”

Ibra mendelik, kalimat itu membuat pikirannya mulai terbuka.

“Amanah keluarga, itu bukan persoalan main-main. Harapan orang di punggung kamu, adalah sebuah catatan amal kebaikan kalau kamu bisa melakukannya dengan maksimal. Allah tidak pernah memberikan suatu kelebihan, kalau bukan untuk memberi manfaat baik untuk kamu juga orang-orang di sekitar kamu.” “Kalau di kacamata manusia kamu mampu, berarti menurut Allah sendiri kamu juga mampu memikul beban itu, Bra, dan semuanya pasti ada hikmah.”

Naresh menepuk pundak besar Ibra, pria paruh baya itu sedikit mengulang memori bagaimana lengan mungil Ibra yang ia rangkul akrab di setiap akhir pekan. Ekspresi konyol dan tengil khas Ibra kecil yang membuatnya gemas, sekarang tengah dilanda kerisauan pada usianya yang sudah dewasa.

Orang-orang menyebutnya sebagai quarter life crisis.

“Om udah dengar semuanya dari abi, bagaimana kamu harus merelakan mimpi kamu kuliah di Turki, kamu tidak banyak memikirkan tentang diri kamu dan selalu mendahului kepentingan orang dibanding diri sendiri. Kamu persis kayak Bang Haidar waktu muda, bedanya, Bang Haidar punya Anela yang selalu menjadi tempat pulang.” “Kalau kamu, bagaimana Ibra?”

Ibra menundukkan kepalanya, pertanyaan itu cukup menjadi tanda tanya besar dalam kehidupannya.

Rumah, sebaik-baik rumah apa yang Ibra inginkan, di tengah dunia memberi beban besar di pundaknya?

“Saya masih punya Allah.”

“Kalau gitu kenapa masih risau?”

Ibra skakmat.

“Terkadang ada suatu hal yang hanya bisa kita dapatkan dari seseorang. Itulah gunanya manusia di ciptakan berpasang-pasangan, Ibrahim.” “Di dunia ini ada caranya, dan aturannya, kenapa kamu gak ikutin?”

Ibra mengerut kedua alisnya, “Ini... Om Naresh nyuruh saya cepetan nikah apa gimana?”

“Kalau itu sih bagaimana kesimpulan kamu, tapi setidaknya om kasih kamu sedikit petunjuk.” “Tapi kan yang menjalani kehidupan itu kamu, jadi coba renungkan baik-baik.”

Ibra masih diam termenung, satu tanda tanya yang memberinya berjuta pertanyaan lagi dalam benak. Ibra masih tidak paham, tapi kalau memang ia harus merenungkannya baik-baik, tentu Ibra akan lakukan.

“Tanggung jawab laki-laki memang cukup besar, Ibrahim. tulang rusuk kita dibuat lebih kokoh di banding perempuan, karena kita akan memikul banyak tanggung jawab, di mulai dari diri sendiri sampai nanti berkeluarga, belum lagi kalau dia menjadi pemimpin karena kebanyakan pemimpin itu laki-laki.”

Ibra bertanya, “Perempuan juga kuat kan, Om?”

Naresh mengangguk mantap, “Ya tentu dong, gak hanya kuat, perempuan juga memiliki kemuliaan yang tinggi...” tangannya menepuk pucuk kepala Ibra, “Karena mereka yang melahirkan calon orang-orang hebat.”

Seketika pikiran Ibra menjadi lebih jernih, sedikit demi sedikit pembicaraan mereka mulai di terima dengan baik oleh pemahamannya.

“Makanya, kelebihan kamu, dan juga harapan orang-orang terhadap kamu itu gak selamanya kutukan, tapi juga anugerah...” “Sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya, dan itu adalah harapan kedua orang tua kamu.” “Abi kamu yang mengakuinya sendiri, kalau semua harapannya sudah terkabul dan beliau sangat bersyukur, juga bangga dengan kamu.”

Pikiran Ibra melayang, dimana ia yang biasa mengingat memori buruk tentang abinya...

Abi memang gak pandai mengutarakan perasaannya melalui kata-kata...

Tapi di ruang kerjanya, foto-foto gue dapat penghargaan jauh lebih banyak dari Aminah...

Ya Allah, kenapa selama ini gue selalu berburuk sangka sama abi?

“Hadeuh, emang deh problemnya para ayah di dunia ini itu gak jauh-jauh susah banget ngomong betapa bangganya dia sama anak sendiri...” Naresh menghempas tawa kecilnya, “Termasuk om sendiri, hahaha....”

“Hahaha kayaknya Om gak separah abi sih tsundere-nya.”

“Kesulitan om cuman satu sih, Ali lagi masa pubertasnya jadi sering banget ngebantah kata-kata orang tua.”

Gue juga dulu gitu sama abi....

“Tapi sisanya, om tahu Ali sudah melakukan semuanya yang terbaik, jadi om berusaha untuk percaya dengan semua pilihan Ali.” “Termasuk dia enggan masuk kedokteran, katanya takut ninggalin keluarga kayak om hahaha... gak tahu aja dia susahnya jadi dokter.”

Ibra geleng-geleng, “Hadeuh anak itu bener-bener....”

“Gapapa, setiap orang punya pilihannya masing-masing. Om yakin itu yang terbaik.”

Tak lama sahutan girang Ali dari kejauhan sana membuat keduanya menyudahi percakapan panjangnya.

“BANG BANG! LIHAT GUE DAPET BONUS KASET GAME YANG SERI KELIMAA!!”

“Lah sumpah?! Wih mantep banget!!”

“Ntar gua main ya ke tempat luu!”

Ibra langsung mengacak gusar rambut Ali, “Hafalan dulu baru kita main game!”

Ali mencibir, “BANG IBRA LU MAAAHHH!!!!”

Naresh terkekeh, “Bang Ibra bener, Kak, dan kalau kamu masuk ITB baik jalur undangan atau UTBK, ntar ayah beliin laptop spek gaming yang bagus. Mau gak?” “Full set, sampai ke meja dan kursinya sekalian.”

Mata Ali memencak lebar, “SERIUS YAH?? GAK OMDO??”

“Enggak, Ayah serius ini.”

“YESS! OKE DEAL! NANTI ALI BELAJAR YANG BENER BUAT DAPETIN ITB!!” “Aku mau mobil juga dong, yah....”

Ibra memukul lengan Ali, “YEE ELU DIKASIH HATI MALAH NGELUNJAK!!!”