Rindu di Bawah Rembulan
Saat ini suasana hangat menyertai antara kedua keluarga, yakni keluarganya dengan Husein, kerabat lama yang menetap disini sejak lama dan tidak berjumpa selama 12 tahun. Pikirannya masih kalut, seolah hatinya mempertanyakan dimana keberadaan wanita cantik sang pemilik syal putih yang dia simpan. Datang tak di undang, pergi tanpa berpamitan malah meninggalkan jejak rindu.
Ibra tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, dimana dia merasakan kegelisahan akibat ingin berjumpa dengan seseorang. Mengulang sebuah cerita dari pertemuan-pertemuan singkat yang ia jadikan sebagai momentum, sebenarnya ada apa dengan Ibra saat ini?
Dan ini mengenai seorang wanita yang baru ia temui. Aneh bukan?
“Kamu daritadi gelisah gitu, kenapa, nak?” sang ibunda menyadari perilaku putranya, membuat Ibra langsung tersadar dari lamunan panjangnya.
“E-Enggak, gapapa,” jawab Ibra.
“Kerjaan kamu di Jakarta aman?”
Ibra mengangguk, “Iya, tinggal Ibra beresin dikit lagi kok,”
“Laporannya udah kamu kirim ke Trian kan?”
“Udah, umi, aman kok....”
Ibundanya lagi-lagi hanya menatap heran Ibra, Ini anak tumben galau-galau gini, pasti ada yang ganggu pikirannya.
“Umi, saya izin keluar sebentar ya? mau cari angin,” akhirnya Ibra memutuskan pergi guna menenangkan pikiran kalutnya. Belum sempat dijawab, tapi pemuda itu sudah beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan ibunya diam disana tanpa sepatah kata.
Ibra menyandarkan tubuhnya di tembok, menatap langit dengan tatapan sendu dan lagi-lagi angin malam yang dingin nan menusuk ini menjadi teman terhadap rindu yang menyesakkan dada. Pemuda itu menatap lagi foto seorang wanita cantik yang ada di ponselnya, bertanya-tanya kenapa dengan mudahnya wanita yang baru ia temui disini meninggalkan begitu banyak memori yang membekas di benaknya. Apa dia punya semacam mantra untuk menyihir Ibra? kalau gitu dia harus di ruqyah, pikir Ibra.
Tapi setiap ia mengingat memori itu, Ibra tersenyum lebar.
“Rose, kamu dimana sih?” gumamnya lirih.
Sekali lagi ia menatap langit, di balik cuaca yang luar biasa dingin, ada cahaya rembulan yang bersinar terang dengan bentuk bulat sempurna. Cahaya itu membawa Ibra kepada sebuah imajinasi yang tak biasanya pernah ia bayangkan.
Seketika ia membayangkan bagaimana cantiknya senyuman Rose ketika bertatap muka dengannya, mata bulatnya yang bagai permata, juga sedikit lesung pipi yang melengkung di sudut bibir merahnya. Jemari lentik sang wanita ia bayangkan bagaimana ketika ia bisa menggapainya, mengeratkan bersama jemari besarnya dan berlarian dengan tawa canda.
Tunggu dulu.
Ibra barusan membayangkan dirinya pegangan tangan dengan seorang wanita?
“A-Astagfirullah hal adzim!” Ibra langsung mengusap wajahnya gusar, wajahnya tak menampilkan tanda apapun tapi lain di telinganya. Telinga Ibra sudah memerah sempurna.
“Kamu ngapain disini, Ibrahim?”
Suara tenor khas ayahnya, Haidar, mengejutkan Ibra di tempat. Haidar yang baru saja pergi bersama Husein menatap Ibra dengan penuh tanda tanya.
“Kok lu di luar, Bra? cuaca lagi dingin banget ini,” timpal Husein. Di jawab gelengan kepala Ibra.
“Gapapa, langit malamnya lagi bagus,” ujar pemuda yang di tanya, lalu masuk ke rumah duluan dengan ekspresi muramnya.
“Yee, kenapa sih itu anak?”
“Gak tahu om, lagi galau kali.”