Other Side
Sekarang Ayu tengah sibuk merapihkan barang-barang yang ada di atas nakas serta beberapa sampah yang tercecer di sofanya. Ibra masih menatap kosong langit-langit kamarnya, 2 hari sudah ia merasakan hampa dalam dadanya.
“Kak, kita makan dulu ya?” Ayu mengeluarkan kotak bekal yang berisi makanan favorit Ibra, “Dagingnya udah aku potong-potong kecil, jadi gak perlu susah lagi kunyahnya.”
Ibra hanya menoleh lemas, “Oh iya... makasih.”
Ayu meletakkan nasi dan lauknya di meja makan kecil hadapan Ibra, menata alat makannya dengan rapih lalu duduk di sampingnya.
“Ya, boleh dimakan sekarang.”
Tangan kanan Ibra yang terpasang infus berusaha meraih sendoknya susah payah. Mulai frustasi, ia menggunakan tangan kirinya yang sudah di perban karena membengkak akibat infusan sebelumnya. Ayu menatap heran tingkah laku pemuda di hadapannya, mulutnya masih aktif mengunyah roti selai coklat yang barusan ia beli namun melihat Ibra yang sekarang kesusahan membuatnya sedikit terkekeh geli.
“Bisa gak, Kak?” tanya Ayu memastikan.
“Bisa kok! Ini infusnya rese!” jawab Ibra susah payah, namun akhirnya ia menyerah karena cacing perutnya sudah mendemo keras.
Ayu seolah paham dengan kode dari perilaku sang pemuda, ia cepat meletakkan rotinya dan mengambil alih sendoknya untuk menyuap makanan Ibra.
“Masih panas supnya...” rengek Ibra dengan nada puraunya. Ayu langsung mengayunkan pelan makanannya agar tak terlalu panas seperti keluhan Ibra.
“Makannya pelan-pelan, kak, nanti tenggorakannya yang panas, sakit lho.”
“Itu dagingnya banyakin.”
“Ini udah banyak, kak.”
“Yaudah tapi wortelnya gak usah, pinggirin aja, saya gak suka.”
“Jangan gitu, lagi sakit gaboleh pilih-pilih makanan. Aku halusin ya wortelnya biar kecampur semuanya?”
Ibra hanya cemberut tapi menurut dengan suapan yang diberikan Ayu. Jujur saja, Ibra merasa tenang ketika Ayu berada di sisinya sekarang, ia memang masih berduka dan tak bisa melupakan Rose dari kepalanya tapi kehadiran Ayu saat ini... setidaknya menghilangkan setengah dari keresahannya.
“Kamu cuman bawa satu kotak aja ya?” tanya Ibra, rupanya pemuda itu masih belum puas dengan satu porsi makanannya.
Ayu terkekeh geli, “Kak, ini satu porsi belum habis kok udah nanyain porsi tambahan aja? perut kakak masih belum pulih betul, jadi makannya pelan-pelan dulu ya?”
Ibra memanggut lagi.
“Woohoo... okey?”
Suara bariton yang tak asing di pintu kamar sana mengejutkan keduanya. Tampak seorang pria berkacamata yang tersenyum miring sambil membawa keranjang buahnya.
“Ibra kalau sakit berubah mode jadi mode bayi ya?” cicir Mahendra, pengunjung hari ini yang sebenarnya tak begitu di harapkan Ibra. Ia sengaja mengambil tempat duduk di samping Ayu, meminta gadis itu segera menyerahkan mangkuknya—memberi kode untuk bertukar posisi, “Biar gue aja yang suapin.”
Ibra mendecih, “Dih gue gak minta!'
“Berisik ah, makan tuh yang bener, Bra... lu kan masih sakit nih, gua lagi baik hati mau layanin lu.”
“Gak mau, tangan lu jelek.”
“Gua nyuapin lu pake sendok, bukan tangan.”
“Tapi gak mau, pasti lu nyuapin guanya gak bener.”
“Bra, suudzon itu dosa. Niat baik gua kesini gak ada gunanya kalau lu mandang gua jelek mulu.”
Ibra mendengus kesal, sedangkan Ayu yang menyaksikan tak bisa menahan cekikikan tawanya. Dengan pasrah, Ibra membuka mulutnya lebar-lebar dan Mahen dengan penuh semangat mencekokki suapan pertamanya hingga Ibra tersedak.
“OHOK! OHOK! Wah, sinting lu hen, ini mah yang ada lu bunuh gua!!”
“Apa sih?! manja bener lu!”
“PELAN-PELAN ANJIR, PAKE HATI KALAU NYUAPIN!!!”
“GUA UDAH PAKAI HATI YANG PALING DALAM INI BRA!!”
“ITU MAH PAKAI TENAGA DALAM BUKAN HATI YANG PALING DALAM, BADRUL!!!”
“Ah banyak mau lu!” Mahen yang gak mau tahu langsung menyodok sendoknya ke mulut Ibra tanpa ampun. Ibra yang terpaksa menerimanya hanya bisa meringis, bisa-bisanya makhluk tak beradab ini harus datang di saat-saat kritisnya.
“DEMI ALLAH HEN, INI NYAWA GUA UDAH DI AMBANG BATAS GARA-GARA KELAKUAN LU!!!” Ibra mengamuk, tapi tak membuat Mahen gentar sama sekali.
“Makanya nurut kalau di suruh makan! ayo buka mulutnya ganteng, pesawat segera mendarat cuuuuuussss....”
“Ntar dulu, itu daginya di gencet lagi sampai halus, wortelnya juga biar gak eneg.”
Mahen mencibir, tapi tetap melakukan apa yang di perintahkan Ibra.
“Ah elu ada aja permintaan, berasa nyuapin balita.” “Kalah lu ama keponakan gua, dia mah gak pernah pilih-pilih makanan.”
Ibra yang tak bertenaga memukul lengan Mahen lemas, “Ngomong mulu lu, buruan ah sini, aaaa...”
“Nah nurut dong sini ganteng, aaaaa....”
Ayu masih sibuk dengan gelak tawa gelinya.
“Kok kamu ketawa mulu, Yu? Apa yang lucu?” cicir Ibra dari tempatnya.
Ayu menggeleng, “Ah enggak, tadi Kak Ibra waktu sama aku lesu banget gak bertenaga tapi pas sama Pak Mahen, Kak Ibra jadi bugar banget.”
Keduanya saling beradu tatap, lalu Mahen menghempas tawa kecilnya sambil tangannya sibuk menyuapi makanan Ibra lebih telaten.
“Iya lah, Ibra aslinya kuat, cuman lagi gak oke aja, wajar lah manusia,” Mahen masih sibuk menghalusi makanannya, “Gue merasa kehilangan kok, semuanya juga kehilangan sosok Rose, tapi ya gak ada yang bisa menyalahi takdir Tuhan kan?” “Kita gak tahu apa yang dilaluin Rose sampai akhirnya Tuhan mengambil dia begitu cepat.”
Ibra termenung sejenak dengan kalimat Mahen.
“Bra, gua tahu rasanya sakit kehilangan orang yang lu cintai tapi lo inget, lo harus bertahan hidup buat orang-orang yang mencintai lo.” “Kalau mereka kehilangan lo, berarti lo memberikan luka yang sama seperti yang lo rasakan. Jadi lo harus kuat, gak ada alasan lagi untuk menyerah.”
Ucapan Mahen cukup menyadarkan Ibra dari kesedihannya yang kalut. Semua kabut hitam yang mengepung benaknya mulai memudar, pikirannya kembali jernih dan ada secercah harapan untuknya segera bangkit.
“Ini suapan terakhir gue, sisanya, lo yang terusin sendiri. tanpa bantuan gue ataupun Ayu,” Mahen melayangkan satu suapannya ke dalam mulut Ibra, dan mendengar kalimat penyemangat itu dari rekan kantornya, ia berusaha untuk menggapai sendoknya sekuat tenaga sampai jemarinya bisa menggenggam sendok itu dengan sempurna.
Ibra berhasil menyuap satu sendok makanannya perlahan.
“Nah kan bisa, ayo lagi.”
Ibra mencoba lagi, meski harus memakan waktu yang lama tapi akhirnya Ibra bisa menghabiskan makanannya sendiri tanpa tersisa.
“Good, setidaknya lo sekarang udah ada kemauan untuk sembuh. Minum obatnya cepetan, gue mau balik.”
Ibra merengek lagi, “Lah kok cepet banget lu baliknya, Hen?!”
“Ngapain gue lama-lama disini?”
“Temenin gua sama Ayu disini, main apa kek.”
Mahen mendecak, “AH ELU BENER-BENER KAYAK BOCAH YA KALAU SAKIT, NGEREPOTIN!!!!!”