shinelyght

Sekarang Ayu tengah sibuk merapihkan barang-barang yang ada di atas nakas serta beberapa sampah yang tercecer di sofanya. Ibra masih menatap kosong langit-langit kamarnya, 2 hari sudah ia merasakan hampa dalam dadanya.

“Kak, kita makan dulu ya?” Ayu mengeluarkan kotak bekal yang berisi makanan favorit Ibra, “Dagingnya udah aku potong-potong kecil, jadi gak perlu susah lagi kunyahnya.”

Ibra hanya menoleh lemas, “Oh iya... makasih.”

Ayu meletakkan nasi dan lauknya di meja makan kecil hadapan Ibra, menata alat makannya dengan rapih lalu duduk di sampingnya.

“Ya, boleh dimakan sekarang.”

Tangan kanan Ibra yang terpasang infus berusaha meraih sendoknya susah payah. Mulai frustasi, ia menggunakan tangan kirinya yang sudah di perban karena membengkak akibat infusan sebelumnya. Ayu menatap heran tingkah laku pemuda di hadapannya, mulutnya masih aktif mengunyah roti selai coklat yang barusan ia beli namun melihat Ibra yang sekarang kesusahan membuatnya sedikit terkekeh geli.

“Bisa gak, Kak?” tanya Ayu memastikan.

“Bisa kok! Ini infusnya rese!” jawab Ibra susah payah, namun akhirnya ia menyerah karena cacing perutnya sudah mendemo keras.

Ayu seolah paham dengan kode dari perilaku sang pemuda, ia cepat meletakkan rotinya dan mengambil alih sendoknya untuk menyuap makanan Ibra.

“Masih panas supnya...” rengek Ibra dengan nada puraunya. Ayu langsung mengayunkan pelan makanannya agar tak terlalu panas seperti keluhan Ibra.

“Makannya pelan-pelan, kak, nanti tenggorakannya yang panas, sakit lho.”

“Itu dagingnya banyakin.”

“Ini udah banyak, kak.”

“Yaudah tapi wortelnya gak usah, pinggirin aja, saya gak suka.”

“Jangan gitu, lagi sakit gaboleh pilih-pilih makanan. Aku halusin ya wortelnya biar kecampur semuanya?”

Ibra hanya cemberut tapi menurut dengan suapan yang diberikan Ayu. Jujur saja, Ibra merasa tenang ketika Ayu berada di sisinya sekarang, ia memang masih berduka dan tak bisa melupakan Rose dari kepalanya tapi kehadiran Ayu saat ini... setidaknya menghilangkan setengah dari keresahannya.

“Kamu cuman bawa satu kotak aja ya?” tanya Ibra, rupanya pemuda itu masih belum puas dengan satu porsi makanannya.

Ayu terkekeh geli, “Kak, ini satu porsi belum habis kok udah nanyain porsi tambahan aja? perut kakak masih belum pulih betul, jadi makannya pelan-pelan dulu ya?”

Ibra memanggut lagi.

“Woohoo... okey?”

Suara bariton yang tak asing di pintu kamar sana mengejutkan keduanya. Tampak seorang pria berkacamata yang tersenyum miring sambil membawa keranjang buahnya.

“Ibra kalau sakit berubah mode jadi mode bayi ya?” cicir Mahendra, pengunjung hari ini yang sebenarnya tak begitu di harapkan Ibra. Ia sengaja mengambil tempat duduk di samping Ayu, meminta gadis itu segera menyerahkan mangkuknya—memberi kode untuk bertukar posisi, “Biar gue aja yang suapin.”

Ibra mendecih, “Dih gue gak minta!'

“Berisik ah, makan tuh yang bener, Bra... lu kan masih sakit nih, gua lagi baik hati mau layanin lu.”

“Gak mau, tangan lu jelek.”

“Gua nyuapin lu pake sendok, bukan tangan.”

“Tapi gak mau, pasti lu nyuapin guanya gak bener.”

“Bra, suudzon itu dosa. Niat baik gua kesini gak ada gunanya kalau lu mandang gua jelek mulu.”

Ibra mendengus kesal, sedangkan Ayu yang menyaksikan tak bisa menahan cekikikan tawanya. Dengan pasrah, Ibra membuka mulutnya lebar-lebar dan Mahen dengan penuh semangat mencekokki suapan pertamanya hingga Ibra tersedak.

“OHOK! OHOK! Wah, sinting lu hen, ini mah yang ada lu bunuh gua!!”

“Apa sih?! manja bener lu!”

“PELAN-PELAN ANJIR, PAKE HATI KALAU NYUAPIN!!!”

“GUA UDAH PAKAI HATI YANG PALING DALAM INI BRA!!”

“ITU MAH PAKAI TENAGA DALAM BUKAN HATI YANG PALING DALAM, BADRUL!!!”

“Ah banyak mau lu!” Mahen yang gak mau tahu langsung menyodok sendoknya ke mulut Ibra tanpa ampun. Ibra yang terpaksa menerimanya hanya bisa meringis, bisa-bisanya makhluk tak beradab ini harus datang di saat-saat kritisnya.

“DEMI ALLAH HEN, INI NYAWA GUA UDAH DI AMBANG BATAS GARA-GARA KELAKUAN LU!!!” Ibra mengamuk, tapi tak membuat Mahen gentar sama sekali.

“Makanya nurut kalau di suruh makan! ayo buka mulutnya ganteng, pesawat segera mendarat cuuuuuussss....”

“Ntar dulu, itu daginya di gencet lagi sampai halus, wortelnya juga biar gak eneg.”

Mahen mencibir, tapi tetap melakukan apa yang di perintahkan Ibra.

“Ah elu ada aja permintaan, berasa nyuapin balita.” “Kalah lu ama keponakan gua, dia mah gak pernah pilih-pilih makanan.”

Ibra yang tak bertenaga memukul lengan Mahen lemas, “Ngomong mulu lu, buruan ah sini, aaaa...”

“Nah nurut dong sini ganteng, aaaaa....”

Ayu masih sibuk dengan gelak tawa gelinya.

“Kok kamu ketawa mulu, Yu? Apa yang lucu?” cicir Ibra dari tempatnya.

Ayu menggeleng, “Ah enggak, tadi Kak Ibra waktu sama aku lesu banget gak bertenaga tapi pas sama Pak Mahen, Kak Ibra jadi bugar banget.”

Keduanya saling beradu tatap, lalu Mahen menghempas tawa kecilnya sambil tangannya sibuk menyuapi makanan Ibra lebih telaten.

“Iya lah, Ibra aslinya kuat, cuman lagi gak oke aja, wajar lah manusia,” Mahen masih sibuk menghalusi makanannya, “Gue merasa kehilangan kok, semuanya juga kehilangan sosok Rose, tapi ya gak ada yang bisa menyalahi takdir Tuhan kan?” “Kita gak tahu apa yang dilaluin Rose sampai akhirnya Tuhan mengambil dia begitu cepat.”

Ibra termenung sejenak dengan kalimat Mahen.

“Bra, gua tahu rasanya sakit kehilangan orang yang lu cintai tapi lo inget, lo harus bertahan hidup buat orang-orang yang mencintai lo.” “Kalau mereka kehilangan lo, berarti lo memberikan luka yang sama seperti yang lo rasakan. Jadi lo harus kuat, gak ada alasan lagi untuk menyerah.”

Ucapan Mahen cukup menyadarkan Ibra dari kesedihannya yang kalut. Semua kabut hitam yang mengepung benaknya mulai memudar, pikirannya kembali jernih dan ada secercah harapan untuknya segera bangkit.

“Ini suapan terakhir gue, sisanya, lo yang terusin sendiri. tanpa bantuan gue ataupun Ayu,” Mahen melayangkan satu suapannya ke dalam mulut Ibra, dan mendengar kalimat penyemangat itu dari rekan kantornya, ia berusaha untuk menggapai sendoknya sekuat tenaga sampai jemarinya bisa menggenggam sendok itu dengan sempurna.

Ibra berhasil menyuap satu sendok makanannya perlahan.

“Nah kan bisa, ayo lagi.”

Ibra mencoba lagi, meski harus memakan waktu yang lama tapi akhirnya Ibra bisa menghabiskan makanannya sendiri tanpa tersisa.

Good, setidaknya lo sekarang udah ada kemauan untuk sembuh. Minum obatnya cepetan, gue mau balik.”

Ibra merengek lagi, “Lah kok cepet banget lu baliknya, Hen?!”

“Ngapain gue lama-lama disini?”

“Temenin gua sama Ayu disini, main apa kek.”

Mahen mendecak, “AH ELU BENER-BENER KAYAK BOCAH YA KALAU SAKIT, NGEREPOTIN!!!!!”

Pemakaman Rose sudah selesai sejak 10 menit yang lalu tapi pemuda berparas eksotis itu tak kunjung meninggalkan tempatnya. Ia menatap muram batu nisan yang menuliskan nama Rosalina Ameera dengan dada yang sudah mati rasa.

Sakit sudah tak ia rasakan, namun semuanya hanya bagai angin yang menusuk relung dadanya yang kosong.

Hampa, namun tak sepenuhnya hampa, semuanya rumit untuk dijelaskan sekarang. Haidar menghela nafasnya panjang, ia segera menepuk bahu putranya pelan, “Ibra... mau sampai kapan disini? perlu abi tunggu kamu sampai selesai disini?”

Ibra tak sanggup membalas. Bibirnya membeku, satu kata pun ia tak bisa berucap.

Haidar pun tak mau banyak berkomentar, akhirnya meninggalkan putranya disana agar ia sendiri yang memutuskan... kapan ia berbalik pulang untuk menjalani kehidupannya lagi?

Sekarang hanya tersisa Ibra disana, hanya berdiri termenung menatap figura foto Rose yang terpampang disana. Senyumannya selalu cantik, bahkan kini fotonya tampak dengan balutan hijab, membuat hati Ibra sedikit menghangat.

Kamu cantik, dan selalu cantik bahkan dengan hijab itu...

Lututnya mulai kaku, ia beralih meringkuk kakinya sambil mengelus pusara sang wanita kasih yang sudah terpisahkan antara dimensi dan alam. Jika dibilang hubungan jarak jauh, ini sudah tak sampai jarak yang menggapainya.

Suara gemuruh badai mulai membentur langit, tanpa ampun, guyuran hujan menghujam punggung dingin Ibra dengan deras. Tak memperdulikan rasa sakit yang tak terbendung di tubuhnya, dan Ibra sendiri sudah tak sanggup untuk mengeluhkan sakitnya.

Rose... dingin... saya ingin peluk kamu....

SET!!

“Astaghfirullah, Kak Ibra...!”

Suara lembut yang memekik itu membuat Ibra menoleh lesu. Wajahnya sekarang sudah benar-benar pucat, bibirnya keabuan beku dan tubuhnya mulai lunglai.

“Kak?” Ayu menangkup bahu lemas Ibra, “Ya ampun kakak lemas banget... kakak udah gak makan berapa hari?!” punggung tangannya langsung menyentuh kening Ibra yang panas.

“Astaghfirullah ini udah demam tinggi!” Ayu membuka jaketnya namun di tahan cepat oleh tangan Ibra. Hati sang gadis tak sanggup melihat pemuda di hadapannya ini begitu menderita, ia akhirnya ikut menitikkan air mata dukanya sedangkan Ibra dengan lemah mengusap air mata Ayu yang mulai membasahi pipi.

Di detik itu, Ibra sudah terjatuh tepat di bahu mungil Ayu.



“Radang usus, ini sudah cukup memparah dan kalau tidak di tangani cepat tadi bisa-bisa fatal akibatnya. Mungkin pasien akan di rawat intensif sampai 7 hari ke depan dengan pemantauan makanan yang intens. Untuk kesehatan mentalnya akan saya konsultasikan kepada dokter psikiater.” “Sekarang biarkan pasien istirahat total, mungkin dia juga lelah secara emosi dan kurang tidur.” “Saya permisi.”

Aroma alkohol mencuat di indra penciuman Ibra yang tengah mengumpulkan setengah dari nyawanya. Matanya masih berat, namun ia sudah lelah untuk memejam matanya lagi. Pemandangan pertama yang ia lihat di sisinya...

“A...yudia....” suara lirih Ibra membangunkan Ayu dari tidurnya. Cepat-cepat ia memanggil dokter dan susternya untuk segera memeriksa kondisi laki-laki di hadapannya yang baru siuman.

“Halo, Pak Ibra, bagaimana perasaannya sekarang? sudah enakan atau ada sesuatu yang mengganjal?” tanya sang dokter.

Ibra menggeleng pelan, sejujurnya ia tak tahu merasakan apa selain pedih karena rindu kepada sang kekasih yang baru pergi... untuk selama-lamanya.

“Baik kalau gitu, di istirahatkan dulu aja, kalau ada perlu apa-apa panggil aja ya, permisi....” “Semoga lekas sembuh, Pak Ibra.”

Ayu menjawab mewakili suara Ibra yang tak sampai, “Terima kasih, dok,” gadis itu menoleh lagi ke arah Ibra. Tampilannya yang cukup berantakan dengan tatapan kosongnya membuat dada Ayu terasa sesak.

“Minum dulu, Kak, kata dokter, kakak dehidrasinya cukup tinggi.”

Ayu memberikan gelasnya lalu di terima dengan lemah oleh Ibra. Ia meneguk dua tegukan kecil dan meletakannya lagi di nakas sampingnya. Bibirnya masih enggan mengucap apapun, matanya menatap tak terarah, selain kepalanya melayang kepada bayang-bayang wajah cantik Rose yang masih melekat di benaknya.

Ayu menatap Ibra dengan iba, biasanya laki-laki itu tampil dengan gagah namun sekarang ia menyaksikan titik terendah dari sosok Ibrahim El Fatih.

“Ini makanan dari rumah sakit kak... tolong di makan ya? radang usus kakak lumayan parah, terus ini obatnya juga sama ada vitamin.”

Ayu segera berdiri dari tempatnya, “Aku pulang dulu ya? nanti Kak Mina datang kesini.”

“Ayudia.”

Suara purau Ibra menghentikan langkah Ayu.

“Saya... mau sop iga bakar.”

Ayu mendelik, “A-Ah gitu? tapi aku gak bawa sop iga bakarnya—”

“Besok.”

Ayu mengatup bibirnya lagi.

“Bisa dibawakan besok? tolong....”

“Iya aku bawain besok, tapi bukannya yang aku kasih ke kakak masih ada?”

Ibra tiba-tiba diam lagi.

“Yaudah, besok datang lagi ya?”

Ayu hanya menggangguk nurut. Tak lama kehadiran Mina dengan sang suami turut membuat dada Ibra menjadi lebih tenang.

“Ya Allah, Ibra....” Mina tak kuasa menahan tangisnya, ia langsung memeluk erat tubuh ringkuh sang adik yang melemah. Husein ikut terbawa suasana haru keduanya, namun berusaha untuk tidak menitikkan air matanya.

“Kuat dek, kuat... ini takdir....”

Ibra tak menjawab, hanya membalas tepukan pelan di pundak kakaknya.

“Kak, jangan kemana-mana, temenin gue disini....” ucap Ibra dengan lirih.

“Iya aku disini, Bang Husein juga ikut nemenin disini.”

Ayu menahan perih yang semakin menusuk di dadanya, melihat betapa lemahnya Ibra saat ini. Ia memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan kata-kata.

Sedangkan Husein dari ambang pintu langsung mendekat ke sisi kanan Ibra, mengelus pelan surai coklat legam Ibra yang berantakan.

“Ibrahim, kuat ya?”

Ibra tak menjawab, melainkan tangannya menarik kedua tangan dari dua insan yang mendampinginya saat ini— membuat posisi seolah ia dipeluk oleh kedua kakaknya.

“Dingin. Dulu gue dipeluk kayak gini kalau lagi kedinginan.”

Ibra mengulang masa kecilnya, sisi manja yang ia sembunyikan seketika tumpah di masa ia merasa sangat rendah. Husein dan Mina memahami situasi adiknya itu, memeluk hangat tubuh Ibra hingga si bungsu memejam matanya perlahan.

“Tenang ya, Ibra... semua akan baik-baik aja....” Mina mengelus-elus kepala adiknya.

Dan Ibra menghayati kehangatan dari kakaknya, sampai ia tertidur lagi dengan lelap.

Pemakaman Rose sudah selesai sejak 10 menit yang lalu tapi pemuda berparas eksotis itu tak kunjung meninggalkan tempatnya. Ia menatap muram batu nisan yang menuliskan nama Rosalina Ameera dengan dada yang sudah mati rasa.

Sakit sudah tak ia rasakan, namun semuanya hanya bagai angin yang menusuk relung dadanya yang kosong.

Hampa, namun tak sepenuhnya hampa, semuanya rumit untuk dijelaskan sekarang. Haidar menghela nafasnya panjang, ia segera menepuk bahu putranya pelan, “Ibra... mau sampai kapan disini? perlu abi tunggu kamu sampai selesai disini?”

Ibra tak sanggup membalas. Bibirnya membeku, satu kata pun ia tak bisa berucap.

Haidar pun tak mau banyak berkomentar, akhirnya meninggalkan putranya disana agar ia sendiri yang memutuskan... kapan ia berbalik pulang untuk menjalani kehidupannya lagi?

Sekarang hanya tersisa Ibra disana, hanya berdiri termenung menatap figura foto Rose yang terpampang disana. Senyumannya selalu cantik, bahkan kini fotonya tampak dengan balutan hijab, membuat hati Ibra sedikit menghangat.

Kamu cantik, dan selalu cantik bahkan dengan hijab itu...

Lututnya mulai kaku, ia beralih meringkuk kakinya sambil mengelus pusara sang wanita kasih yang sudah terpisahkan antara dimensi dan alam. Jika dibilang hubungan jarak jauh, ini sudah tak sampai jarak yang menggapainya.

Suara gemuruh badai mulai membentur langit, tanpa ampun, guyuran hujan menghujam punggung dingin Ibra dengan deras. Tak memperdulikan rasa sakit yang tak terbendung di tubuhnya, dan Ibra sendiri sudah tak sanggup untuk mengeluhkan sakitnya.

Rose... dingin... saya ingin peluk kamu....

SET!!

“Astaghfirullah, Kak Ibra...!”

Suara lembut yang memekik itu membuat Ibra menoleh lesu. Wajahnya sekarang sudah benar-benar pucat, bibirnya keabuan beku dan tubuhnya mulai lunglai.

“Kak?” Ayu menangkup bahu lemas Ibra, “Ya ampun kakak lemas banget... kakak udah gak makan berapa hari?!” punggung tangannya langsung menyentuh kening Ibra yang panas.

“Astaghfirullah ini udah demam tinggi!” Ayu membuka jaketnya namun di tahan cepat oleh tangan Ibra. Hati sang gadis tak sanggup melihat pemuda di hadapannya ini begitu menderita, ia akhirnya ikut menitikkan air mata dukanya sedangkan Ibra dengan lemah mengusap air mata Ayu yang mulai membasahi pipi.

Di detik itu, Ibra sudah terjatuh tepat di bahu mungil Ayu.



*“Radang usus, ini sudah cukup memparah dan kalau tidak di tangani cepat tadi bisa-bisa fatal akibatnya. Mungkin pasien akan di rawat intensif sampai 7 hari ke depan dengan pemantauan makanan yang intens. Untuk kesehatan mentalnya akan saya konsultasikan kepada dokter psikiater.” “Sekarang biarkan pasien istirahat total, mungkin dia juga lelah secara emosi dan kurang tidur.” “Saya permisi.”

Aroma alkohol mencuat di indra penciuman Ibra yang tengah mengumpulkan setengah dari nyawanya. Matanya masih berat, namun ia sudah lelah untuk memejam matanya lagi. Pemandangan pertama yang ia lihat di sisinya...

“A...yudia....” suara lirih Ibra membangunkan Ayu dari tidurnya. Cepat-cepat ia memanggil dokter dan susternya untuk segera memeriksa kondisi laki-laki di hadapannya yang baru siuman.

“Halo, Pak Ibra, bagaimana perasaannya sekarang? sudah enakan atau ada sesuatu yang mengganjal?” tanya sang dokter.

Ibra menggeleng pelan, sejujurnya ia tak tahu merasakan apa selain pedih karena rindu kepada sang kekasih yang baru pergi... untuk selama-lamanya.

“Baik kalau gitu, di istirahatkan dulu aja, kalau ada perlu apa-apa panggil aja ya, permisi....” “Semoga lekas sembuh, Pak Ibra.”

Ayu menjawab mewakili suara Ibra yang tak sampai, “Terima kasih, dok,” gadis itu menoleh lagi ke arah Ibra. Tampilannya yang cukup berantakan dengan tatapan kosongnya membuat dada Ayu terasa sesak.

“Minum dulu, Kak, kata dokter, kakak dehidrasinya cukup tinggi.”

Ayu memberikan gelasnya lalu di terima dengan lemah oleh Ibra. Ia meneguk dua tegukan kecil dan meletakannya lagi di nakas sampingnya. Bibirnya masih enggan mengucap apapun, matanya menatap tak terarah, selain kepalanya melayang kepada bayang-bayang wajah cantik Rose yang masih melekat di benaknya.

Ayu menatap Ibra dengan iba, biasanya laki-laki itu tampil dengan gagah namun sekarang ia menyaksikan titik terendah dari sosok Ibrahim El Fatih.

“Ini makanan dari rumah sakit kak... tolong di makan ya? radang usus kakak lumayan parah, terus ini obatnya juga sama ada vitamin.”

Ayu segera berdiri dari tempatnya, “Aku pulang dulu ya? nanti Kak Mina datang kesini.”

“Ayudia.”

Suara purau Ibra menghentikan langkah Ayu.

“Saya... mau sop iga bakar.”

Ayu mendelik, “A-Ah gitu? tapi aku gak bawa sop iga bakarnya—”

“Besok.”

Ayu mengatup bibirnya lagi.

“Bisa dibawakan besok? tolong....”

“Iya aku bawain besok, tapi bukannya yang aku kasih ke kakak masih ada?”

Ibra tiba-tiba diam lagi.

“Yaudah, besok datang lagi ya?”

Ayu hanya menggangguk nurut. Tak lama kehadiran Mina dengan sang suami turut membuat dada Ibra menjadi lebih tenang.

“Ya Allah, Ibra....” Mina tak kuasa menahan tangisnya, ia langsung memeluk erat tubuh ringkuh sang adik yang melemah. Husein ikut terbawa suasana haru keduanya, namun berusaha untuk tidak menitikkan air matanya.

“Kuat dek, kuat... ini takdir....”

Ibra tak menjawab, hanya membalas tepukan pelan di pundak kakaknya.

“Kak, jangan kemana-mana, temenin gue disini....” ucap Ibra dengan lirih.

“Iya aku disini, Bang Husein juga ikut nemenin disini.”

Ayu menahan perih yang semakin menusuk di dadanya, melihat betapa lemahnya Ibra saat ini. Ia memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan kata-kata.

Sedangkan Husein dari ambang pintu langsung mendekat ke sisi kanan Ibra, mengelus pelan surai coklat legam Ibra yang berantakan.

“Ibrahim, kuat ya?”

Ibra tak menjawab, melainkan tangannya menarik kedua tangan dari dua insan yang mendampinginya saat ini— membuat posisi seolah ia dipeluk oleh kedua kakaknya.

“Dingin. Dulu gue dipeluk kayak gini kalau lagi kedinginan.”

Ibra mengulang masa kecilnya, sisi manja yang ia sembunyikan seketika tumpah di masa ia merasa sangat rendah. Husein dan Mina memahami situasi adiknya itu, memeluk hangat tubuh Ibra hingga si bungsu memejam matanya perlahan.

“Tenang ya, Ibra... semua akan baik-baik aja....” Mina mengelus-elus kepala adiknya.

Dan Ibra menghayati kehangatan dari kakaknya, sampai ia tertidur lagi dengan lelap.

Đức Thịnh · Horang Suwolga

Malam ini akan menjadi momentum paling bermakna dalam hidup sang pemuda yang baru saja menyelesaikan pidatonya di atas mimbar sana. Gemuruh tepuk tangan yang menyambut kesuksesan project Ibra beserta para tim membuat semuanya bersorak penuh sukacita. Senyuman Ibra juga terlukis lebih lebar dari biasanya, banyak orang-orang terdekat yang turut bangga dengan pencapaiannya.

“Pak Ibrahim,” Ayu menyerahkan satu box besar yang entah isinya apa untuk Ibra, “Selamat ya, Pak, ini hadiah saya... maaf kalau cuman kecil-kecilan aja.”

“Isinya apa nih?”

“Buka aja, Pak, cuman di nikmatinya nanti pas udah di rumah.”

Ibra membuka penutup dari boxnya dan matanya terbelelak begitu ia mendapati porsi besar iga bakar beserta sopnya yang terikat plastik rapih. Lucunya ikatan plastik itu di kasih pita berwarna biru.

“Hahahahaha, ya ampuun! keren nih hadiahnya, makasih ya, Ayu!!”

Ayu mengangguk mantap, “Sama-sama.”

Aku gak bisa bohong kalau sebenarnya aku belum bisa sepenuhnya melupakan kamu, Kak Ibra, tapi setidaknya... aku mau berdamai dengan diriku sendiri.

“Ibrahim.”

Suara serak Eyang mengejutkan Ibra dengan Ayu disana, pemuda itu cepat mencium punggung tangan Eyangnya di ikuti oleh Ayudia, lalu senyuman simpul Eyang terlukis dengan tangan rentanya yang menepuk pelan pucuk kepala cucunya.

“Terima kasih, untuk semua kerja kerasnya.”

Ibra mengangguk mantap, “Sama-sama, Eyang.”

Eyang mengalihkan pandangannya ke arah Trian, memberi isyarat agar pemuda itu maju mendekati Ibra.

“Kalian kemarin membicarakan soal beasiswa Ayudia sama Haidar?”

Trian dan Ibra saling beradu tatap, “U-Uh itu, beberapa minggu yang lalu, Eyang, karena saya ingin mengapresiasi Ayu selama dia bekerja sama saya. Dia tadinya mau resign karena ingin melanjutkan pendidikan S2-nya tapi—” Ibra menjawab panjang lebar tapi cepat di tepis Eyang.

“Kenapa gak ngomong sama Eyang?”

Trian menyanggah, “Sebenarnya mau bilang kok, cuman—”

“Harusnya bukan Ayudia dulu yang harus di apresiasi,” Eyang menepuk-nepuk bahu Ibra, “Tapi kamu, Ibrahim.”

Eyang mengambil amplop coklat yang di berikan oleh asistennya dan menyerahkan amplop tersebut kepada Ibra. Pemuda itu membeku sejenak, namun tangannya antusias membuka amplop coklat tersebut :

Congratulations!

Dear Ibrahim El Fatih,

We are pleased to inform you that you have been accepted as an master-degree student at Ankara University, Faculty of Architecture for the first semester...

“E-Eyang?! Ini kan...?!” Ibra tak berhenti mendecak kaget. Trian terkekeh geli melihat betapa shocknya Ibra dengan selembaran kertas yang mengumumkan dirinya dipersilahkan untuk mengejar mimpinya yang lama sudah terkubur.

“Sok-sokan kamu hapus e-mail sepenting itu ujung-ujungnya abi kamu yang di hubungi untuk minta kejelasan kamu.”

Flashback dimana beberapa lama setelah Ibra memutuskan untuk menyerah dengan mimpinya...

“Eyang....” Haidar menghadap langsung ayah mertuanya dengan tegap, “Saya ingin mengajukan satu hal kalau proyek yang di kerjakan Ibrahim dan Trian berhasil.”

Eyang berdiri dari duduknya, “Kalau mereka berhasil, semua yang saya punya pun akan saya kasih.”

SET! Haidar langsung menyerahkan selembar kertas yang bertuliskan sebuah Letter of Acceptance milik Ibra di kampus impiannya

“Ini, bantu saya untuk wujudkan mimpi Ibrahim.”

Ibra menoleh ke arah sang ayah yang sedang berbicara dengan tamu pentingnya. Seketika matanya berkaca-kaca, ingin ia segera memeluk tubuh ayahnya namun karena situasi masih ramai ia malu untuk menumpahkan harunya di bahu sang ayah.

Ia akan lakukan itu nanti di rumah.



Setelah peresmian ada pesta makan malam dengan tema outdoor yang di adakan langsung oleh keluarga besar Soetomo di kantornya. Semuanya menikmati hidangan yang tersaji, mereka saling bertukar cerita penuh sukacita, terutama kelurga Haidar yang sekalian merayakan kehamilan pertama dari putrinya, Aminah.

Sedangkan sang pemeran tokoh utama kali ini masih gelisah, menanti kehadiran tamu spesialnya yang rencananya akan datang malam ini. Ia terus menatap buket bunganya, bersama kotak cincin kelabu yang ia genggam. Membayangkan wajah bahagia dari sosok wanita pujaan hatinya yang sedang dalam perjalanan kesini. Ia segera memijit telepon di kontak wanita kekasih hatinya, menantikan suara manisnya yang setelah sekian lama tak ia dengar.

Malam ini akan menjadi malam yang sangat spesial.

Rose... akhirnya tiba juga hari ini....


Bandara Soekarno-Hatta....

Tep... tep... tep....

Langkah kaki anggun dari sosok wanita cantik berjilbab biru turki, ia melukiskan senyumannya setelah menghirup udara malam dari kota kepulangannya. Sinar bulan lebih terang dari biasanya, malam ini menjadi malam yang istimewa setelah ia melewati perjalanan spiritualnya selama 3 bulan berturut-turut.

Ada sosok yang ia jadikan tempat pulang disini.

Mas Ibrahim is calling...

“Halo, assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam, Rose, udah sampai kamu di Jakarta?”

“Kalau aku masih di pesawat gak mungkin aku angkat teleponmu, Mas.”

“Hahaha... iya juga ya, ya sudah kalau gitu mau saya jemput atau saya minta supir—”

“Gak usah, Mas, aku naik taksi aja.”

“Lho serius? biar langsung di antar ke kantor sini.”

“Gapapa kok, Mas kan masih sibuk disana.”

”... Ya sudah kalau gitu, saya tunggu kamu disini ya, kabarin saya kalau ada apa-apa.”

“Okidoki! sampai ketemu disana, Mas Ibra!”

“Iya, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Mas...”

Telepon di matikan dari pihak Ibra, nadanya masih ketus tapi lelaki itu sebenarnya juga sedang menahan rindu. Sudah 3 bulan dia uring-uringan karena berpisah dengan pujaan hatinya, kalau bukan karena mewujudkan cita-cita terakhir Rose, mungkin Ibra sudah menahannya pergi dan memintanya tetap di sisinya.

Mas Ibra... aku sudah mewujudkan mimpiku untuk masuk agama Islam dan menjalani perjalanan spiritual di tempat kelahiranku... lalu apalagi yang harus ku capai sebagai akhir dari kehidupanku ya....

Sekelibat senyuman simpul terlukis di wajah manisnya.

Tangan mungilnya memberhentikan salah satu taksi putih yang lewat, dengan cepat ia memasukkan beberapa barang dan kopernya lalu duduk menyandarkan punggung letihnya di kursi jok belakang, memejam mata sebentar sebelum sang supir memberi isyarat untuk berangkat. Rose menghela nafasnya panjang, ia mencoba rileks dengan posisinya. Ia menoleh menatap lampu tol yang meremang, jalanan terlihat sepi dari biasanya, namun tubuhnya mendelik ketika ia melihat gelagat aneh dari sang supir.

“Uhm... pak? ngantuk ya? kita ke rest area dulu aja.”

Sang supir menggeleng cepat, “Enggak, Bu, saya masih seger kok. Lagipula ada kopi ini.”

Rose mendegup, “Oh... ya sudah kalau gitu.”

Sekejap sang wanita kembali memejam matanya....

TIN TINN!! CKIIITTT!!

“ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”

DRRTT!! CKIIITT!!!

BRUAKKKK!!!!

Semua gelap, pandangannya bertumpu kepada rasa sakit yang menjulur sekujur tubuh, suara sirine ambulans yang mendekat tapi perlahan memudar dari indra pendengaran seketika mengingatnya pada suatu hal....

Dalam pedihnya luka, tulang rusuk yang remuk...

Bibir manis Rose yang mengalirkan darah... ia sempatkan ucap kalimat suci sebelum tidur panjangnya...

“Laa... ila...ha illallah.....”

Rose tersenyum di detik ia hembuskan nafasnya.



Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, namun kehadiran Rose masih belum juga Ibra jumpai. Bunganya tergontai dalam genggamannya, serasa ada perasaan yang mengganggu rongga dada. Apakah Rose terjadi sesuatu disana?

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...

“Ini cewek bikin gue deg-degan aja!” gerutu pemuda berparas eksotis itu.

Dari belakang, ada sosok wanita berjilbab yang seolah menunggu punggung prianya disana berbalik menghadapnya. Padahal sudah lama acara selesai tapi tersisa dua insan ini yang masih ada di tempat. Ayu mendekat dengan sangat hati-hati, “Uhm... Kak Ibra?”

Ibra tersontak, “Eh, Ayu?! Kamu belum pulang?!”

“Be-belum, saya tadi... keasikan ngobrol ama temen di belakang tau-tau udah pada bubar,” ucap gadis mungil itu berbohong. Melihat raut muka masam pria pujangga hatinya membuatnya sakit, jelas-jelas Ibra sedang kalut dengan wanita lain, bisa-bisanya Ayu dengan bodohnya tetap mau menunggu pria itu.

“Ah maaf, saya lagi tunggu seseorang jadi kamu pulang duluan aja, ah apa perlu saya minta Fajri anterin kamu ke rumah ya?”

Ayu menunduk muram, “Kak Ibra.... lagi tunggu Mbak Rose?”

Ibra menghempas tawa kecilnya.

“Iya, ada sesuatu yang mau saya sampaikan dengan dia.”

Seperti dugaan Ayu, dan gadis itu sudah tak mau tahu lebih dalam lagi.

“Oh gitu, ya sudah saya pulang duluan ya, Kak....”

Kringg!! Ponsel Ibra berdering panjang, memotong tengah pembicaraan keduanya. Alisnya mengerut heran, entah darimana Ibra mendapat telepon dari nomor kantor resmi yang tak terdaftar di kontaknya.

“Halo, Assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam, selamat malam, apa benar saya bicara dengan Pak Ibrahim, keluarga dari Roseanne Blanché?”

Hah, Rose?

“Saya... kerabat dekatnya.”

Ayu ikut menyimak pembicaraan Ibra dengan orang entah siapa yang ada di telepon.

“Kami dari Kepolisian Pusat ingin mengabarkan, mohon maaf sebelumnya...”

Raut wajah Ibra berubah gelap, bahkan Ayu gemetar ketika melihat ekspresi gelap dari sosok pria di hadapannya yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa basa-basi lagi, Ibra mematikan ponselnya dan bergegas pergi dari tempat.

“Ka-Kak Ibra?! Ada apa?!”

“Rose....”

Ayu menegup salivanya bulat-bulat.

“Rose gak mungkin meninggal!”

“Astagfirullah hal adzim?!”



Langkah kaki pemuda itu mendadak beku, meratapi jenazah yang sudah di tutupi kain putih dengan sempurna tepat di depan matanya. Menolak takdir bahwa sosok itu adalah Roseanne Blanché, wanita yang akan ia jadikan permata hidupnya tepat di hari ini.

Apa arti dari buket bunga mawar ini dan cincin yang sudah ia beli?

Tangannya gemetar membuka kain putih yang menyelimuti senyuman cantik Rose dalam lelap panjangnya, mulut Ibra menganga gagu, berharap ini mimpi buruk yang menimpanya atau semesta yang sedang bercanda dalam takdir.

Tak mungkin takdir bisa bercanda, tapi hanya itu yang Ibra inginkan.

Pertahanan laki-laki itu runtuh, harapan dan mimpi pupus bersama takdir yang merenggut kekasihnya pergi tanpa pamit. Laut duka sudah menenggelamkan pria itu dalam perpisahan, dan ini bukan sekedar perpisahan.

Kenapa... Ibra dosa apa?

Ini hanya perasaan cinta yang suci, dan kenapa ketika ia ingin jadikan perasaannya jadi ikatan, Allah tak merestuinya?

Apa cintanya itu salah?

Beribu-ribu tanda tanya mengepung kepalanya, dan Ibra tak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata...

Sampai akhirnya, cuman tangisan dan raungan nama Rose yang terucap dalam bibirnya.

“HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA ROSEEEEEEEE!!!!!!!!!”

Dan Ayu, menjadi satu sayap yang menopang duka Ibra dalam bahu mungilnya. Hatinya ikut hancur melihat pertahanan laki-lakinya yang luluh lantah bersama duka.

Kenapa... takdir bisa sedemikian jahat? atau mereka saja yang belum kuat?

Nhan Y Doanh · Flower Dance – DJ Okawari

Rose sudah menunggu kehadiran Ibra di tempat yang sudah di janjikan. Pemuda itu dengan jas rapihnya berlari menyusul wanita cantik bergaun putih selututnya. Rose tersenyum lebar, “Hai, Mas!” sapanya riang.

“Saya baru tahu di dekat sini ada pantai.”

Rose menarik lengan Ibra, “Ayo kita ke pinggir sana! ombaknya lagi surut kok!”

Desiran ombak yang mendorong angin laut menerpa keduanya, Ibra mendecak kagum dengan pemandangan mentari senja yang berada di ufuk barat sana. Melihat suasana biru bersama orang terkasih, ternyata sangat membahagiakan.

Rose melepas sepatu wedges-nya dan menapak-napak pasir hingga membentuk telapak kakinya. Ia mengambil sebatang ranting kecil yang ada di pinggir pantai, menggambar berbagai macam bentuk dari bentuk hati, kupu-kupu, bunga layaknya anak kecil. Ibra terkekeh melihatnya, “Kamu ini kayak anak kecil aja.”

Gelak tawa Rose pecah, “Kan emang lagi mengenang masa kecil,” Rose meringkuk lututnya, “Tempat kelahiranku juga di pesisir pantai, dan aku sangat rindu dengan kampung halamanku, Mas.”

Ibra terhenyak melihat Rose yang sibuk mengayun-ayunkan ranting kecilnya, ia mendekati wanitanya dan mengambil ranting kecil yang ada di sebelahnya juga. Rose menoleh ke Ibra, ia tersenyum lagi lalu menuliskan kalimatnya :

The sunset is beautiful, isn't it?

Ibra membelelakkan kedua matanya, dia membalas lagi kalimat Rose.

No, the moon is prettier.

Rose tak sengaja menitikkan air matanya yang tersembunyi. Ia kembali melekukkan senyuman lebarnya, menarik telapak tangan Ibra dan menggambarkan sebuah bulatan kecil disana—membuat sang pemuda terheran-heran dengan perilaku aneh Rose.

Rose juga menggambarkan simbol matahari di telapak tangannya sendiri, dan menyatukan telapak tangan keduanya.

“Ini apalagi, Rose?” tanya Ibra sambil tertawa geli.

“Lihat deh, kan Mas Ibra ku buat bulan nah kalo di tanganku, aku buat matahari, ngerti gak maksudnya?”

Ibra menggeleng.

“Langit malam itu selalu cantik bersama bulan, tapi di balik cantiknya bulan ada matahari yang selalu memberi support dan kehangatan untuk si bulan,” Rose menyandarkan kepalanya di bahu Ibra, “Aku ingin sekali bisa menjadi sosok matahari untuk Mas Ibra, dan aku ingin Mas Ibra menjadi pelengkap hidupku, membuat semua yang kulalui ini terasa indah.”

Hati Ibra menghangat begitu kalimat sendu itu diucapkan Rose, ia menatap lemat-lemat bentuk bulan yang ada di telapak tangannya. Pemuda berparas eksotis itu langsung mengepal kuat-kuat telapak tangannya, meneguhkan lagi tiap rangkaian kata yang sudah ia siapkan untuk disampaikan kepada wanita kekasih hatinya.

“Mas Ibra, aku... juga mau ngomong sesuatu sebenarnya.”

Ibra mendegup, “O-Oh yaudah, kamu dulu aja.”

Rose menghela nafas panjangnya, “Aku sudah menemukan tujuanku.”

Jantung Ibra berdetak kencang, “Tujuan... apa?”

“Tujuan akhir hidupku, ah sebenarnya gak tahu sih ini tujuan akhir atau bukan tapi aku ingin mewujudkannya,” Rose menatap lurus mata Ibra, “Aku... mau menetap beberapa lama di kampung halamanku, Mas.”

Jantungnya terhentak seperti di sambar petir. Bibir Ibra mendadak kelu, semua yang ingin ia sampaikan seketika lenyap dari memorinya.

“Me-Menetap? Tinggal maksud kamu?”

Rose mengangguk pelan, lalu ia memberikan selembar foto kebersamaannya dengan pria baya—senyuman keduanya begitu lebar dan Ibra bisa menyaksikan betapa bahagianya senyuman Rose di foto itu.

“Ini kakekku yang sudah lama hilang, keluargaku satu-satunya yang tersisa pasca bencana alam lalu. Beliau masih ingat tentang aku dan semua memori keluargaku dulu, Mas, dan juga... beliau ingin sekali mengajarkan aku lagi tentang Islam bersama bimbingan pondok yang ada di sana.” “Aku ingin melakukan perjalanan spiritualku disana, di tempat kelahiranku dan mengucap kalimat syahadat disana.”

Ibra menepik, “Ro-Rose, soal bimbingan... kamu bisa di bimbing disini dulu nanti kalau kamu mau, kita bisa kesana sama-sama.”

Rose menggeleng, “Enggak, Mas, pasti nanti situasinya susah kalau kamu ikut aku. Enggak lama kok, paling 3 bulan aja, setelah itu aku pulang kesini... untuk kamu.”

Rose menangkup tangan Ibra yang tersembunyi di saku jasnya— dimana Rose tahu Ibra sudah menyiapkan sekotak cincin disana, sang puan menahan prianya untuk menyatakan perasaannya.

“Tolong... tunggu aku pulang, kamu mau kan, Mas?”

Ibra menundukkan kepalanya, “Rose... kenapa kamu harus pergi sih? 3 bulan itu waktu yang panjang.”

“Enggak, Mas....”

“Rose jangan tinggalin saya.”

“Aku gak ninggalin kamu kok, hanya pergi sebentar, aku janji pasti akan pulang.”

Ibra menitikkan air matanya, sejujurnya pria itu tak rela melepas kepergian wanita pujangga hatinya. Ibra harap masih ada pertimbangan lain untuk Rose menetap di sini, lebih tepatnya di sisinya. Berbahagia sama-sama, mewujudkan kisah cinta impiannya.

“Saya harus apa kalau itu sudah keputusanmu?”

“Cukup hormati keputusanku, Mas, dan tunggu aku.”

“Rose, please—”

“Tolong, Mas....” Rose ikut meneteskan bulir kristalnya, tak kuasa melihat betapa sedihnya pria yang ada di hadapannya saat ini. Ia tahu keputusannya ini tidak mudah di terima oleh Ibra tapi ini adalah keinginannya sejak lama.

“Baiklah kalau gitu,” Ibra mengepal kuat-kuat tangannya, “Saya akan terus tunggu kamu, sampai kapanpun, sampai kamu benar-benar pulang kesini... sama saya.”

Rose mengangguk semangat, “Janji yaa?!” ia menyodorkan jari kelingking mungilnya, dan Ibra mengaitkan jari kelingkingnya sebagai pengesahan ikatan janji mereka.

“Iya, saya janji.”

Sesuai yang di janjikan, Ibra dan Ayu sudah sampai di sebuah rumah berimitasi khas jawa itu, kehadirannya di sambut oleh pria baya dengan tongkat yang memapah tubuh rentanya.

“Nak Ibrahim....” tubuh Ibra di peluk hangat.

“Assalamualaikum, Om....” Ibra mengucap salam sembari mencium punggung tangan ayah dari Ayu. Sang pemuda di persilahkan untuk masuk ke ruangan tamu dan duduk di samping ayahnya Ayu.

“Ayu, tolong buatkan teh untuk Ibra ya.”

“Ah gak usah, kamu duduk sini aja. Saya mau bicara juga sama kamu.”

Ayu menegup salivanya gugup, ia duduk di kursi jarak 2 meter dari tempat Ibra dan tatapan mata sang pemuda benar-benar membuatnya dag-dig-dug bukan main.

“Mau bicara apa, nak Ibrahim?” tanya pria baya yang mulai antusias dengan pembicaraan serius Ibra.

Ibra menarik nafasnya dalam-dalam, mengatur tempo detak jantungnya yang sejak tadi terus berpacu cepat...

“Sebelumnya mohon maaf, Pak, Ayu, ini mengenai hubungan saya dan Ayu yang sudah bapak dengan abi atur....” Ibra menunduk lesu, “Saya tidak bisa melanjutkannya.”

Mata Ayu membulat sempurna dan ayah dari Ayu hanya memanggut kepalanya.

“Ini bukan soal ketidakcocokkan sifat atau Ayu berbuat salah sama saya, tidak, Ayu adalah gadis yang sangat baik. Selama dia jadi sekretaris saya, pekerjaannya benar-benar membantu saya meskipun masih butuh bimbingan, dan ketika kami berteman pun Ayu juga teman yang sangat baik. Saya senang bisa mengenal Ayu lebih jauh tapi mohon maaf, untuk persoalan hati... saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini dengan Ayu.”

“Lalu siapa gadis pilihan kamu, nak Ibrahim?”

Ibrahim mengatup bibirnya rapat-rapat. Di samping Ibra, Ayu meremat ujung celananya menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuknya, meminta hati untuk tegar dan ikhlas menerima apapun keputusannya.

“Begini nak Ibrahim, meskipun perjodohan ini orang tua kalian yang atur... tapi tetap keputusan mutlak ada di tangan kalian. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, pemaksaan dalam hubungan demi kepentingan orang tua bukan suatu hal yang baik. Saya dengan Haidar sudah pernah membahas soal ini, jika salah satu dari kalian memiliki pilihan lain dan enggan melanjutkan perjodohan ini, maka kami ikhlas. Saya tidak akan membenci kamu hanya karena kamu tidak ingin menikahi anak saya, tapi hanya sedikit kecewa saja. Takdir hanya Allah yang tahu, dan inshaa Allah... kami ikhlas menerima apapun keputusan kamu, sekiranya memang itu takdir untuk kita semua.”

Ayu berdiri dari duduknya, “Ma-Maaf, saya izin ke belakang,” langkah gadis itu mulai cepat—bersama air mata yang sudah tak sanggup ia tahan lagi, Ayu masuk ke kamarnya dan menumpahkan semua rasa sakit dalam dadanya. Ya Allah, sekiranya memang ini yang terbaik aku ikhlas... aku mengikhlaskan cinta yang ku pendam selama 8 tahun ini....

Sedangkan sang pemuda juga merasakan dadanya bergemuruh hebat. Ia tak tega menyakiti perasaan Ayu seperti ini, namun seperti yang di katakan oleh kedua orang tuanya.

Apapun keputusannya pasti ada resiko di baliknya.

Ibra hanya berharap akan ada takdir baik setelah ia memutuskan perihal hatinya secara mutlak, baik untuk dirinya juga Ayu.

“Saya... minta maaf sebesar-besarnya dengan keputusan ini, saya hanya tidak ingin lari dari masalah,” ucap lagi Ibra dengan lirih.

“Saya tidak bisa menyalahkan kamu, nak Ibrahim, dan terima kasih... kamu sudah mau mengatakan semuanya,” pundak Ibra di tepuk pelan, “Betapa beruntungnya gadis pilihanmu nanti, bisa memiliki seorang imam yang tegas dan bertanggung jawab seperti kamu.”

Ibra mengulum senyum tipisnya, ia menoleh ke belakang—menantikan kembali kehadiran Ayu yang mungkin tak akan ia temui lagi dalam suasana yang sama.

Ayu... kamu gadis yang baik, saya harap Allah memberikan takdir yang baik untuk kamu.



Setelah melepas kepulangan Ibrahim, sang ayah langsung bergegas menghampiri kamar putri semata wayangnya yang sunyi. Mengetuk pintu tiga kali namun tak ada jawaban, akhirnya sang ayah membuka pintu kamarnya dengan perlahan.

“Ayu....” matanya terbelelak begitu mendapati sang putri tengah menangis dalam sujudnya. Hati mana yang tidak hancur, menyaksikan putri tersayangnya menangis begitu keras, mengaduhkan semua rasa sakit dalam sujud seolah sang putri tak lagi sanggup menahannya sendiri.

“Eh, Bapak....” Ayu bangun dari sujudnya, lalu memeluk tubuh ringkuh sang ayah dengan erat, “Maaf, Ayu bikin khawatir Bapak ya?”

Bapak menggeleng, “Enggak, nak, bapak paham perasaanmu....” bibirnya mengecup pelan kening sang putri, “Ayu putri bapak... ketahuilah bahwa tak ada bapak yang sudi melihat anak gadisnya menangis karena laki-laki yang menyakitinya tapi dari rasa sakit itu kamu bisa belajar untuk menerima dan ikhlas....”

Ayu mengangguk dalam dekapan, “Iya, pak, Ayu paham....”

“Kamu tahu kan kisahnya Zulaikha dan Nabi Yusuf, nak?”

Sekali lagi Ayu mengangguk.

“Ketika Zulaikha mengejar cinta Nabi Yusuf, cintanya pun tak mendekat tapi begitu Zulaikha mengejar cintanya Allah, justru Allah datangkan Nabi Yusuf untuk Zulaikha.” “Untuk putriku, ketika kamu mengejar cinta Allah maka Allah datangkan sosok cinta sejatimu yang sesungguhnya dengan cara yang terbaik.”

Ayu mengulum senyum tipisnya, “Iya pak... semoga saja, Aamiin. Hanya sakit aja, harus mengakhiri perjuangan cinta Ayu selama 8 tahun ini....”

“8 tahun yang panjang pasti Allah berikan takdir yang terbaik untuk kamu, asalkan kamu ikhlas dengan keputusan Ibrahim saat ini.”

Ayu menghela nafas panjangnya, “Inshaa Allah, pak, Ayu berusaha ikhlas.”

Bapak mengeratkan lagi pelukannya, “Doa bapak selalu menyertaimu, putriku sayang.”

Ibra menawarkan lengannya dengan gagah kepada sang puan yang tampak begitu anggun dengan gaun merah panjangnya, rambut panjang bergelombang yang Rose gerai dengan indah membuat Ibra tak berhenti mengucap kagum dalam hati.

Rose menggandeng lengan Ibra dengan kikuk, jantungnya seperti ingin meledak. Bisa bersanding dengan lelaki pujaan hati di sebuah undangan pernikahan, dengan hati yang berharap pada suatu saat nanti mereka juga akan duduk bersanding sama-sama di pelaminan impiannya.

Bisakah takdir menciptakan kisah manis itu untuk kedua sejoli ini?

“Kita ketemu sama temen-temen saya dulu ya? ini masih sesi salaman dengan kerabat dekat,” ucap Ibra, di balas anggukan pelan Rose.

Langkah Ibra dan Rose mengundang begitu banyak perhatian para undangan. Lelaki gagah nan tampan yang menggandeng seorang wanita teramat cantik bak putri bangsawan, dan kumpulan para pemuda pemudi yang sedang canda tawa seketika berhenti dengan kehadiran dua insan itu.

“Eh, Bra... ini siapa?” tanya Jihan kaget, suaranya yang lirih itu di balas senyuman kikuk oleh Rose.

“Kenalin ini Rose, dia....” Ibra mendadak kelu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Saya rekan bisnis Mas Ibra, tapi kita berkomunikasi lebih dekat dan mungkin bisa dibilang sudah berteman,” Rose melanjutkan kalimat Ibra yang terpotong, tangannya menjabat tangan Jihan dengan mantap.

“Ah gitu ya,” Jihan melirik ke Ibra dengan senyuman penuh arti, “Cuman temen aja?”

Ibra tersenyum pasi, “A-Ahahaha ya gitu deh.”

“Salam kenal, Rose, aku Jihan. Temen masa kecilnya Ibra karena ya kita satu komplek.”

Dua pemuda di belakang Jihan ikut mengulurkan tangannya, “Halo, Rose, gue Yogi.”

“Halo, gue Gibran.”

Rose membalas uluran tangannya, “Halo, Mas Yogi, Mas Gibran, salam kenal...”

Jihan menyikut lengan Ibra, “Jadi ini yang sempet bikin lo galau, bos?” ujar wanita berambut pendek itu dengan senyum remehnya, di balas tatapan tajam Ibra yang menyirat kode agar Jihan tidak bicara macam-macam.

Setelah sesi perkenalannya, mereka akhirnya membuka percakapan kecil untuk saling mengenal satu sama lain. Topiknya random, dan Rose bisa melihat bagaimana teman-teman Ibra bisa mengenal begitu baik dengan sosok laki-laki berparas eksotis ini.

Mata Rose beralih menuju sepasang kekasih yang sedang duduk di pelaminan dengan senyuman penuh sukacita. Mina yang hari ini menjadi pengantin wanita tampil sangat cantik dengan gaun putihnya, riasannya yang tak begitu mencolok namun terlihat anggun bak gadis ayu. Lelaki di sampingnya, Husein, juga tampak gagah dengan jas putihnya yang tak melepas genggaman tangannya kepada sang istri. Rose terhenyak, membayangkan betapa beruntungnya sosok wanita yang bisa menemukan cinta sejatinya dengan laki-laki sebaik itu.

Dadanya mendadak sesak, pikirannya melayang bagaimana ia bisa mewujudkan kisah cintanya yang manis dengan Ibra, sedangkan ada tembok penghalang besar yang ada di benaknya?

Bukannya Rose tidak mau, tapi butuh pertimbangan panjang. Ia ingin melakukannya dengan sangat sungguh-sungguh.

“Mbak Rose?”

Suara lembut Ayu mengejutkan Rose yang tenggelam dengan lamunannya.

“Ya ampun, Ayuu!” Rose berlari kecil memeluk tubuh Ayu erat-erat.

Ayu melirik ke arah Ibra, “Mbak... kesini sama Kak Ibra?”

Rose mengangguk mantap, “Iya, aku di undang sama Mas Ibra!”

Ayu menjawab oh ria, “Udah salaman belum sama pengantinnya?”

“Belum, katanya masih sesi kerabat dekat ya?”

Ayu menarik pelan tangan Rose, “Yaudah yuk sama aku, aku juga baru sampai.”

Rose menatap Ibra, dan Ibra mengangguk kepalanya—memberi isyarat 'boleh'.

Sejak kapan Ayu sama Rose sedeket itu ya?



Selesai dengan sesi salaman, akhirnya para tamu undangan bisa menikmati hidangan yang sudah tersaji di prasmanan. Pernikahan Mina dan Husein bisa dibilang cukup megah, santapan dari katering berkualitas yang menyajikan makanan manca negara, juga kebersihannya yang sangat terjaga. Para pengantin juga mulai turun menyambut keluarga juga kerabatnya secara langsung.

“Oh kamu Rose ya?” Mina menyambut Rose dari belakang, “Aku kakaknya Ibrahim, Aminah, salam kenal.”

Rose membalas jabatan tangan Mina kikuk, “Ah iya salam kenal juga, mbak, sekali lagi selamat ya atas pernikahannya.”

“Makasih...” Mina menoleh ke arah suaminya, tersenyum lebar dan melambaikan tangannya riang. Rose yang melihatnya terkekeh geli, mereka tampak sekali saling mencintai satu sama lain.

“Kalian pasangan yang serasi, jujur aku lihatnya gemes banget, hehehe...” ucap Rose mengundang gelak tawa Mina.

“Ah masa sih? jadi malu hehehe....” Mina bergeming, “Perlu perjuangan panjang untuk bisa sampai sini.”

“Berapa lama, mbak?”

Mins tersenyum simpul, “12 tahun.”

Rose tersedak dengan jus jeruknya, “12 tahun?! Se-lama itu?!”

“Iyaa! kaget banget ya? hahahahaha....”

Gigih juga ya kakaknya Mas Ibra....

“Tapi aku gak menyesali itu semua kok, meskipun banyak rasa suka dukanya tapi dari perjuangan itu... aku belajar banyak,” Mina menepuk bahunya, “Kamu juga semangat ya, adik aku tuh emang tipenya penuh pertimbangan tapi sekalinya dia sudah memutuskan sesuatu, itu udah gak bisa di ganggu gugat.” “Termasuk ketika dia sudah memutuskan dengan siapa dia menjatuhkan hatinya.”

Rose mendegup, lalu matanya beralih ke arah pemuda yang sedang asyik berbicara dengan kedua orang tuanya soal sesuatu. Seketika netra lelaki yang diperhatikan juga menoleh ke arah Rose, bersamaan kedua orang tua Ibra yang menyusul tempat Rose.

“Abi, umi, kalian pernah ketemu Rose sebelumnya di Budapest tapi izinkan saya perkenalkan kembali...” Ibra mempersilahkan Rose maju selangkah, “Perkenalkan dia Roseanne Blanché, dia....” bibirnya mendadak kelu lagi setiap Ibra ingin melanjutkan kalimatnya.

Rose menyanggah lagi kalimat Ibra, “Halo, Pak Haidar, Bu Anela, kita bertemu lagi setelah sekian lama.”

Haidar langsung bertanya ke Ibra, “Ini calon kamu?”

Ibra dan Rose saling beradu tatap, “Uhh... itu....”

Anela tertawa geli sambil membalas jabatan tangan Rose, “Halo, Rose, salam kenal ya...”

Dari belakang Haidar dan Anela, datang lagi sosok Naresh dan Aisyah selaku paman-bibi dari Ibra, juga Ali dengan adiknya, Raisha yang ingin pemuda itu kenalkan.

“Om Naresh, Tante Aisyah, kenalin ini Roseanne Blanché, Rose, ini om dan tante saya. Dulu waktu kecil saya di asuh dengan baik oleh tante saya.”

Aisyah membalas, “Ini pacarnya Ibra?”

“BUKAN!” serempak keduanya menepis.

“Lah terus siapa? temenan doang?” — Ali

“Ya kurang lebih begitu.” — Ibra

“YAELAH FRIENDZONE!” — Ali

“Ish, kakak mulutnya!” Aisyah mencubit pinggang putra sulungnya itu.

Rose hanya tertawa renyah. Kehadirannya mulai di gandrungi berbagai pertanyaan oleh para ibu-ibu (a.k.a Anela dan Aisyah) sedangkan Ibra di interogasi habis-habisan oleh para bapak-bapak.

“Abi, Om Naresh, kita omongin semuanya nanti ya. Saya bawa Rose kesini cuman untuk kenalin ke keluarga aja, itu doang....” – Ibra

“Itu doang? Ibrahim, kalau kamu udah mau kenalin ke kita semua, berarti kamu sudah serius dengan Rose. Kamu beneran mau serius?” – Naresh

“Bagaimana dengan keluarganya? hubungan kalian sudah sejauh mana?” – Haidar

“Masih belum yang bagaimana, dibilang ini cuman untuk perkenalan aja....” – Ibra

“Ibrahim daripada kamu ngulur-ngulur waktu—” – Haidar

“Abi, tolong, masih banyak hal yang lagi di pertimbangkan. Begitu sudah waktunya nanti saya bicara kok.” – Ibra

Lain topik di antara para wanita, Anela dan Aisyah berusaha untuk mengenal lebih dalam lagi sosok Rose yang menjadi pilihan hati Ibrahim.

“Aku tahu kamu yang desainer terkenal itu, sama kabar pertunangan yang sempet viral itu kan?!” – Aisyah

“Aisyah ish!” – Anela

“Ah gapapa, tante, hehe... emang begitu beritanya.” – Rose

“Sudah sejauh mana hubungan kamu sama Ibrahim?” – Anela

“Jujur, tante, hubungan aku sama Mas Ibra belum ada arah untuk serius karena dari kami juga belum ada yang saling mengakui perasaan...” – Rose

“Kamu sendiri, suka sama Ibrahim?” – Anela

Rose mengatup bibirnya, menarik nafasnya dalam-dalam dan menganggukkan kepalanya.

“Iya tante, aku suka sama Mas Ibrahim.”

Aisyah menahan jeritan gemasnya, dan Anela membalas senyuman tipis seraya menepuk pundak Rose pelan.

“Biar tante yang bicarakan ya dengan Ibra.”

“Anu... permisi, mbak,” Rose menyapa duluan gadis berhijab pashmina pink pastel di sampingnya, “Model kerudung mbak cantik banget deh, caranya gimana sih?”

Ayu terkejut dengan ungkapan Rose, tampaknya wanita cantik di hadapannya ini baru pertama kali menggunakan kerudung.

“Ah mau saya ajarin?” tawar Ayu.

“MAU DONG!! HEHE!!” di balas girang oleh Rose, Ayu langsung mencarikan model kerudung pashmina yang sama dengan ia pakai. Rose langsung duduk di hadapan Ayu, menatap cermin yang memantulkan wajah cantiknya sambil memerhatikan tiap gerak-gerik Ayu yang akan menjadi tutornya hari ini.

“Jadi gini, caranya mbak pakai kerudung dengan sisi pendek sebelah, di peniti lalu di lilit ke atas sampai ujungnya rapih terus di pasang jarum pentulnya di sisi dekat pipi,” Ayu menjelaskan caranya berkerudung seraya tangannya itu melilitkan kain cantik itu hingga rambut Rose tertutup sempurna. Matanya membulat sempurna, ia tak percaya bahwa kain yang saat ini menutupi rambutnya membuat wajahnya terlihat lebih meneduhkan, dan Rose sangat menyukainya.

“Wah iya, mbak cantik banget kalau di kerudung,” puji Ayu, dan orang-orang di sekitar juga ikut mendecak kagum atas kecantikan Rose.

Rose sekali lagi menatap lemat-lemat cermin di hadapannya, meresapi ketenangan yang ia dapat setelah kain hijabnya menutup seluruh auratnya dengan sempurna.

Jadi ini... rasanya pakai kerudung, pantesan ya orang-orang pada nyaman....

“Sebenarnya masih banyak, mbak, model kerudung cantik yang pas untuk pengguna hijab pemula.”

Rose menoleh ke Ayu, “Mbaknya bisa ajarin aku lagi gak?” bujuk Rose dengan puppy eyes andalannya.

“Saya harus ke pondok, mbak, sebentar lagi mau ada jam ngajar....”

Rose memencak lagi, “Yaudah aku ikut deh! biar aku belajar sekalian disana, boleh gaak? hehehe....”

Ya ampun, pacarnya Kak Ibra lucu banget sih... pantesan Kak Ibra suka.

“Bo-boleh kok, boleh banget! tapi gimana kalau kita buat janji aja di hari lain biar secara khusus aku ajarin mbaknya pakai kerudung, gimana?”

Sekali lagi wanita berambut panjang itu menatap haru tawaran Ayu yang bisa dibilang sangatlah bermurah hati. Bagaimana bisa ia bertemu dengan gadis secantik dan sebaik Ayu yang bak malaikat ini?

“Mau... bangett.... KAMU BAIK BANGET SIHHH!” Rose memeluk lengan Ayu tanpa segan, “Ayo kita tukeran nomor telepon! biar bisa saling komunikasi, aku mau temenan pokoknya sama kamu!”

Ayu terkekeh, “Iya boleh, sini mbak.”

Akhirnya kedua insan cantik itu saling bertukar nomor, dan mata Rose memicing sipit, berusaha berpikir siapa nama 'Ayu' yang ia kenal.

“Nama kamu kayak gak asing, pernah denger dimana ya....” Rose bergeming panjang.

“Anu, mbak, saya sekretarisnya Pak Ibrahim di kantor.”

Rose menganga selebar-lebarnya, “OWALAH KAMU SEKRETARISNYA MAS IBRAA? YA AMPUN GAK SADAR AKUU!” mereka saling berjabat tangan antusias, “Aku Rose, salam kenal ya, Ayu! pokoknya kita harus sering-sering hangout, aku juga mau tanya banyak hal sama kamu!”

“Ah... iya boleh, Mbak Rose, salam kenal juga...”

Rose langsung memborong banyak kerudung dari berbagai jenis, membayar semuanya dan berpamitan pergi dengan gaya heboh khasnya. Ayu yang melihatnya hanya tertawa geli, Rose itu bagaikan mentari hangat yang senyumnya terus bersinar. Tingkahnya yang menggemaskan membuat siapa saja jadi cepat nyaman.

Ibra lari tergopoh-gopoh menuju tempat Ayu berada sebagaimana ia prediksikan. Lampu kantor yang sudah mulai meredup, jantungnya berkecamuk karena kekhawatirannya yang luar biasa.

Seorang gadis malam-malam sendiri di gedung sebesar ini? bagaimana kalau ada hal buruk yang terjadi?

“Ayudia!” panggil Ibra dari kejauhan, matanya langsung tertuju ke arah laptop yang masih terbuka lebar di meja yang letaknya tak jauh dari lift— Ayu tak mengerjakan pekerjaannya di meja biasa melainkan ia mengambil tempat di samping jendela yang menampilkan pemandangan kota malam. Posisi Ayu saat ini sedang menelungkup wajahnya, gadis itu tertidur lelap.

Ibra menghela nafas panjang, ia melihat layar laptop Ayu.

Baru di kirim e-mail 10 menit yang lalu....

Ibra mencolek pundak mungil Ayu, membangunkan sang gadis dari tidur singkatnya.

“Astaghfirullah, Pak Ibrahim?!” decak Ayu kaget.

“Kamu ngapain disini?” nada bicara Ibra mulai tajam.

“Ini... ngerjain yang bapak minta ke saya....”

“Emang saya suruh kamu lembur disini?”

Ayu berpikir sejenak, tak ada perintah Ibra yang memintanya menetap disini.

Hanya ide konyol dari dirinya sendiri.

“Kamu mikir gak kalau gadis pulang malam-malam, terutama di kota Jakarta kayak gini tuh sangat bahaya?! Sekarang lagi marak kasus taksi penipu yang mau merampok, menculik, belum lagi naik ojek online kalau kamu ngantuk kayak sekarang, kan bahaya juga!” “Dan saya tidak pernah memberlakukan sistem lembur ya di kantor ini, kecuali SANGAT TERPAKSA! Itupun baru saya sendiri yang melakukannya!”

Ayu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia bisa melihat bagaimana bosnya itu sangat marah.

“Sekarang apalagi yang harus kamu kerjain?!”

“Uh... gak ada, Pak....”

Ibra langsung menutup rapat laptop Ayu, merapihkan beberapa tumpukan kertas yang berantakan di atas meja lalu menyodorkan semuanya ke Ayu, “Ayo pulang, biar saya yang antar kamu!”

Aduh... salah lagi deh....



Di perjalanan yang padat, Ibra dan Ayu tak saling buka suara. Kerutan alis laki-laki itu masih tampak dengan jelas, sang gadis juga tak berani untuk gerak sedikitpun. Bernafas aja rasanya seperti sembunyi-sembunyi, takut salah lagi. Lampu hijau sudah berdentang, mobil Ibra kembali melaju kencang dan sejak tadi ia tak berhenti mengusap wajahnya gusar.

Apa... karena Ayu barusan? gadis itu jadi merasa bersalah.

“Aduh, parah nih...” gumam Ibra.

“Ke-Kenapa, Pak?” balas Ayu kikuk.

“Saya laper banget, di depan kayaknya ada tukang nasi goreng deh.”

Ayu menjawab oh ria, seraya menghela nafas lega. Mobil Ibra berhenti tepat di depan gerobak tua yang menghadirkan aroma lezat yang mengocok perut keduanya.

“Kamu mau juga kan?” tanya Ibra memastikan.

“I-Iya, Pak, boleh.”

“Pedes gak?”

“Dikit aja.”

Ibra membuka jendela samping, “Mang! nasgornya dua ya, satu pedes yang satunya lagi pedes dikit aja, kerupuknya banyakin terus yang pedes kasih bawang goreng yang banyak, taruh di pinggir ya jangan langsung di campur, acarnya juga di pisah!”

“Kak Ibra pasti milih-milih makanan....” gumam Ayu bermonolog, terdengar oleh Ibra dan di balas dengan gelak tawanya.

“Iya, emang saya pemilih. Kenapa? Mau protes?” ucap Ibra dengan nada tengil khasnya.

Ayu sekali lagi mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Lidah saya gak bisa diajak kerjasama, kalau gak sesuai sama apa yang saya mau ya saya gak makan.”

“Kok gitu? kasihan dong makanannya.”

Ibra terkekeh lagi, “Iya emang, jahat banget lidah saya.”

Emang, lidahnya bikin jantung orang naik turun gara-gara omongannya, cibir Ayu dalam hati.

Begitu makanan yang di pesan sudah sampai di tangan keduanya, Ibra langsung mengucap bismillah sambil melahap makanannya cepat bak orang yang gak makan 3 hari. Ayu yang melihatnya tertawa geli, ia melihat sisi kekanak-kanakan dari Ibra, di balik kharismanya yang kuat nan membius banyak orang (terutama kaum hawa).

Ayu menyuap nasi gorengnya perlahan sembari matanya melirik ke arah Ibra yang masih fokus dengan makanannya. Pikirannya melayang, bagaimana nanti ia bisa menyaksikan Ibra memakan masakannya dengan selahap itu? itu pasti akan menjadi kebahagiaan paling haqiqi dalam hidup Ayu.

Boleh deh kapan-kapan aku masakin khusus buat Kak Ibra....

Begitu Ayu lengah, mata Ibra sudah tertuju ke arah tumpukan kerupuk yang menganggur di sisi piring sang puan. Ibra dengan usil mengambil hampir setengah dari kerupuk yang ada di piring Ayu, membuat sang empunya mengeluh protes.

“I-Ih, Kak Ibra curaaaang!!”

“Nanti kerupuknya mleyot kalau di biarin, mending buat saya!”

“Saya mau makan kerupuknya kok?!”

“Kelamaan, malah ngelamun, mending buat saya.”

“Kalau saya gak ikhlas sama kerupuknya gimana?! hayo?!”

Kerupuk yang dilahap Ibra langsung tersangkut di kerongkongan, “Ohk! OHOK! OHOK!”

“Eh, Astaghfirullah, Kak Ibra minum cepetan! Kok malah keselek sih??!!”

Ibra cepat meneguk teh hangatnya, “Kamu sih bilang gak ikhlas, langsung kena azab saya...”

“Makanya jangan asal comot makanan orang, izin dulu baru boleh ambil.”

Ibra memasang wajah melasnya, “Yaudah deh, itu kerupuk kamu masih banyak banget boleh gak saya bagi...?” matanya berbinar bak puppy eyes, serius, Ayu sedang melihat sisi lain dari sosok Ibrahim, dimana biasa ia lihat sebagai sosok yang galak, tegas dan berkharisma ini.

Ayu langsung meletakkan semua kerupuk yang ada di piringnya di piring Ibra, membuat lelaki itu tersenyum sumringah.

“Iya boleh,” jawaban yang sangat di harapkan Ibra akhirnya keluar dari bibir manis Ayu.

“Mantaap! Makasih ya!” Ibra langsung melahap kerupuknya dengan riang, benar-benar tampak seperti anak kecil yang gembira setelah mendapatkan banyak permen.

Momen ini begitu penting untuk Ayu tanam dalam memori indahnya.



“Terima kasih banyak, Kak Ibra... maaf udah ngerepotin sampai-sampai anterin saya ke rumah kayak gini, mana traktir saya makan malam segala...” ucap Ayu setelah ia keluar dari mobil Ibra di depan pagar rumahnya.

“Lain kali kalau ada kesulitan bilang sama saya, pertama saya bisa bantu kedua pekerjaan kamu selesainya bisa lebih cepat, bukannya nawar minta keringanan.” “Itu kesannya saya diktator sebagai bos kamu, padahal saya juga menimbang-nimbang kemampuan kamu, Ayu.”

“Iya pak, saya minta maaf... janji ini yang terakhir kalinya.”

“Saya perlu pamit juga gak ke bapak kamu? soalnya kan kamu lembur karena salah saya.”

Ayu menggeleng cepat, “E-Enggak, kak, gapapa! Bukan salah Kak Ibra kok, lagipula bapak biasanya udah tidur jam segini takut kebangun...”

Ibra memanggut kepalanya, “Oke kalau gitu, saya pamit ya. Kamu istirahat yang cukup.”

“Iya pak, bapak juga yaa istirahat yang cukup.”

“Permisi, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Mobil Ibra langsung cepat melaju lagi menuju tempat pulangnya. Ayu mengulum senyum yang hendak mengembang lebar, karena begitu banyak momen mendebarkan yang tak ia duga setelah petaka. Beban kepalanya seketika hilang. Seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya, memberikan rasa bahagia yang memuncak.

Kayaknya malam ini aku gak bisa tidur deh... hehehehe....

Ibra lari tergopoh-gopoh menuju tempat Ayu berada sebagaimana ia prediksikan. Lampu kantor yang sudah mulai meredup, jantungnya berkecamuk karena kekhawatirannya yang luar biasa.

Seorang gadis malam-malam sendiri di gedung sebesar ini? bagaimana kalau ada hal buruk yang terjadi?

“Ayudia!” panggil Ibra dari kejauhan, matanya langsung tertuju ke arah laptop yang masih terbuka lebar di meja yang letaknya tak jauh dari lift— Ayu tak mengerjakan pekerjaannya di meja biasa melainkan ia mengambil tempat di samping jendela gang menampilkan pemandangan kota malam. Posisi Ayu saat ini sedang menelungkup wajahnya, gadis itu tertidur lelap.

Ibra menghela nafas panjang, ia melihat layar laptop Ayu.

Baru di kirim e-mail 10 menit yang lalu....

Ibra mencolek pucuk kepala Ayu, membangunkan sang gadis dari tidur singkatnya.

“Astaghfirullah, Pak Ibrahim?!” decak Ayu kaget.

“Kamu ngapain disini?” nada bicara Ibra mulai tajam.

“Ini... ngerjain yang bapak minta ke saya....”

“Emang saya suruh kamu lembur disini?”

Ayu berpikir sejenak, tak ada perintah Ibra yang memintanya menetap disini.

Hanya ide konyol dari dirinya sendiri.

“Kamu mikir gak kalau gadis pulang malam-malam, terutama di kota Jakarta kayak gini tuh sangat bahaya?! Sekarang lagi marak kasus taksi penipu yang mau merampok, menculik, belum lagi naik ojek online kalau kamu ngantuk kayak sekarang, kan bahaya juga!” “Dan saya tidak pernah memberlakukan sistem lembur ya di kantor ini, kecuali SANGAT TERPAKSA! Itupun baru saya sendiri yang melakukannya!”

Ayu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia bisa melihat bagaimana bosnya itu sangat marah.

“Sekarang apalagi yang harus kamu kerjain?!”

“Uh... gak ada, Pak....”

Ibra langsung menutup rapat laptop Ayu, merapihkan beberapa tumpukan kertas yang berantakan di atas meja lalu menyodorkan semuanya ke Ayu, “Ayo pulang, biar saya yang antar kamu!”

Aduh... salah lagi deh....



Di perjalanan yang padat, Ibra dan Ayu tak saling buka suara. Kerutan alis laki-laki itu masih tampak dengan jelas, sang gadis juga tak berani untuk gerak sedikitpun. Bernafas aja rasanya seperti sembunyi-sembunyi, takut salah lagi. Lampu hijau sudah berdentang, mobil Ibra kembali melaju kencang dan sejak tadi ia tak berhenti mengusap wajahnya gusar.

Apa... karena Ayu barusan? gadis itu jadi merasa bersalah.

“Aduh, parah nih...” gumam Ibra.

“Ke-Kenapa, Pak?” balas Ayu kikuk.

“Saya laper banget, di depan kayaknya ada tukang nasi goreng deh.”

Ayu menjawab oh ria, seraya menghela nafas lega. Mobil Ibra berhenti tepat di depan gerobak cokelat yang menghadirkan aroma lezat yang mengocok perut keduanya.

“Kamu mau juga kan?” tanya Ibra memastikan.

“I-Iya, Pak, boleh.”

“Pedes gak?”

“Dikit aja.”

Ibra membuka jendela samping, “Mang! nasgornya dua ya, satu pedes yang satunya lagi pedes dikit aja, kerupuknya banyakin terus yang pedes kasih bawang goreng yang banyak, taruh di pinggir ya jangan langsung di campur, acarnya juga di pisah!”

“Kak Ibra pasti milih-milih makanan....” gumam Ayu bermonolog, terdengar oleh Ibra dan di balas dengan gelak tawanya.

“Iya, emang saya pemilih. Kenapa? Mau protes?” ucap Ibra dengan nada tengil khasnya.

Ayu sekali lagi mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Lidah saya gak bisa diajak kerjasama, kalau gak sesuai sama apa yang saya mau ya saya gak makan.”

“Kok gitu? kasihan dong makanannya.”

Ibra terkekeh lagi, “Iya emang, jahat banget lidah saya.”

Emang, lidahnya bikin jantung orang naik turun gara-gara omongannya, cibir Ayu dalam hati.

Begitu makanan yang di pesan sudah sampai di tangan keduanya, Ibra cepat mengucap bismillah sambil melahap makanannya cepat bak orang yang gak makan 3 hari. Ayu yang melihatnya tertawa geli, ia melihat sisi kekanak-kanakan dari Ibra, di balik kharismanya yang kuat nan membius banyak orang (terutama kaum hawa).

Ayu menyuap nasi gorengnya perlahan sembari matanya melirik ke arah Ibra yang masih fokus dengan makanannya. Pikirannya melayang, bagaimana nanti ia bisa menyaksikan Ibra memakan masakannya dengan selahap itu, itu pasti akan menjadi kebahagiaan paling haqiqi dalam hidup Ayu.

Boleh deh kapan-kapan aku masakin khusus buat Kak Ibra....

Begitu Ayu lengah, mata Ibra sudah tertuju ke arah tumpukan kerupuk yang menganggur di sisi piring sang puan. Ibra dengan usil mengambil hampir setengah dari kerupuk yang ada di piring Ayu, membuat sang empunya mengeluh protes.

“I-Ih, Kak Ibra curaaaang!!”

“Nanti kerupuknya mleyot kalau di biarin, mending buat saya!”

“Saya mau makan kerupuknya kok?!”

“Kelamaan, malah ngelamun, mending buat saya.”

“Kalau saya gak ikhlas sama kerupuknya gimana?! hayo?!”

Kerupuk yang dilahap Ibra langsung tersangkut di kerongkongan, “Ohk! OHOK! OHOK!”

“Eh, Astaghfirullah, Kak Ibra minum cepetan! Kok malah keselek sih??!!”

Ibra cepat meneguk teh hangatnya, “Kamu sih bilang gak ikhlas, langsung kena azab saya...”

“Makanya jangan asal comot makanan orang, izin dulu baru boleh ambil.”

Ibra memasang wajah melasnya, “Yaudah deh, itu kerupuk kamu masih banyak banget boleh gak saya bagi...?” matanya berbinar bak puppy eyes, serius, Ayu sedang melihat sisi lain dari sosok Ibrahim, dimana biasa ia lihat sebagai sosok yang galak, tegas dan berkharisma ini.

Ayu langsung meletakkan semua kerupuk yang ada di piringnya di piring Ibra, membuat lelaki itu tersenyum sumringah.

“Iya boleh,” jawaban yang sangat di harapkan Ibra akhirnya keluar dari bibir manis Ayu.

“Mantaap! Makasih ya!” Ibra langsung melahap kerupuknya dengan riang, benar-benar tampak seperti anak kecil yang gembira setelah mendapatkan banyak permen.

Momen ini begitu penting untuk Ayu tanam dalam memori indahnya.



“Terima kasih banyak, Kak Ibra... maaf udah ngerepotin sampai-sampai anterin saya ke rumah kayak gini, mana traktir saya makan malam segala...” ucap Ayu setelah ia keluar dari mobil Ibra di depan pagar rumahnya.

“Lain kali kalau ada kesulitan bilang sama saya, pertama saya bisa bantu kedua pekerjaan kamu selesainya bisa lebih cepat, bukannya nawar minta keringanan.” “Itu kesannya saya diktator sebagai bos kamu, padahal saya juga menimbang-nimbang kemampuan kamu, Ayu.”

“Iya pak, saya minta maaf... janji ini yang terakhir kalinya.”

“Saya perlu pamit juga gak ke bapak kamu? soalnya kan kamu lembur karena salah saya.”

Ayu menggeleng cepat, “E-Enggak, kak, gapapa! Bukan salah Kak Ibra kok, lagipula bapak biasanya udah tidur jam segini takut kebangun...”

Ibra memanggut kepalanya, “Oke kalau gitu, saya pamit ya. Kamu istirahat yang cukup.”

“Iya pak, bapak juga yaa istirahat yang cukup.”

“Permisi, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Mobil Ibra langsung cepat melaju lagi menuju tempat pulangnya. Ayu mengulum senyum yang hendak mengembang lebar, karena begitu banyak momen mendebarkan yang tak ia duga setelah petaka. Beban kepalanya seketika hilang. Seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya, memberikan rasa bahagia yang memuncak.

Kayaknya malam ini aku gak bisa tidur deh... hehehehe....