Sebuah Titik dari Rumit
Ibra lari dengan tergopoh-gopoh menuju ruangannya, dimana disana ada Trian juga seorang pria baya dengan tongkat yang dipangku kedua tangannya. Ibra meneguk salivanya bulat-bulat, berharap hari ini tidak akan ada hal yang merusak mood kantor.
“Ibrahim El Fatih, kemana aja?” tanya eyang dengan nada tajam, “Ah, Eyang lupa, abis liburan ya sekeluarga....”
“Lebih tepatnya antar Mina, Eyang. Mina ada dinas di Budapest,” jawab Ibra dengan tegas.
“Saya tahu, tapi saya mau evaluasi semua kinerja dari kantor ini dari awal sampai akhir,” Mata Eyang yang menyipit langsung terbelelak lebar, “Kacau, Ibrahim, semuanya... kacau!!”
Ibra mengepal tangannya keras-keras, dengan kepalanya yang setengah menunduk ia berusaha meredam emosi yang mulai menyulut kepalanya.
“Kamu bisa lihat sendiri semua laporan yang di kerjakan oleh sekretaris kamu!” BRAK!! Eyang melempar semua tumpukkan berkas di atas meja, “Bisa-bisanya kamu beri kesempatan untuk orang bodoh seperti sekretaris kamu itu?! Jangan gunakan simpati kamu dalam pekerjaan seperti abi kamu!”
Ibra mendongak, “Ga-Gabriella dimana, Eyang?”
“Sudah saya pecat dari 2 hari yang lalu!!”
Ibra menoleh tajam ke Trian, dan yang di tengok menggeleng tak paham. Tak ada yang bisa berkutik dengan semua keputusan Eyang.
“Bagian marketing, zero, bagian keuangan, ada kesalahan dalam pencatatan defisit dan kita minus sekitar 12 juta, apalagi ya tadi.... oh ya bagian perencanaan juga.... zero,” Eyang mendikte semua penilaiannya, “Dan itu terjadi ketika perusahaan di pegang sama kamu, Trian Aksa Soetomo!”
Yang dipanggil langsung mendelik, kepalanya semakin menunduk dan lagi-lagi harga dirinya harus tercoreng. Ibra menatapnya iba, cepat pemuda itu maju untuk bicara, “Eyang, ini semua salah saya. Hari itu ada sesuatu yang genting dan saya gak sempat diskusikan dengan anak-anak karena laptop saya rusak di Budapest, juga saya tidak maksimal mengawasi perusahaan—”
“Kamu ganti posisi.”
Ibra gelagapan, “Ya-ya?”
“Kamu ambil posisi Trian, biar Trian yang saya sekolahkan ulang di Amerika.”
Ibra dan Trian saling menatap satu sama lain, Eyang melanjutkan lagi kalimatnya, “Eyang heran sama kamu, Ibrahim, kamu itu sudah terlahir dengan kecerdasan yang sempurna juga di keluarga yang sempurna. Kamu itu bagian dari keluarga Soetomo dengan semua hak istimewa yang bisa kamu dapatkan, jangankan untuk menjabat, hanya sekedar bekerja di perusahaan ini butuh seleksi yang ketat... tapi kamu enggan untuk mengambil hak istimewa itu.” “Percaya sama Eyang, begitu kamu memutuskan untuk mengambil alih PT. Soetomo Group ini, setidaknya salah satu dari anak perusahaan kita, masa depan kamu akan sangat terjamin, Ibrahim.”
Lagi-lagi Eyang bilang gitu....
“Beri mereka waktu 3 bulan untuk memperbaiki ini semua, Pah.”
Tanpa di sadari, sudah ada sosok Jeffry dengan Anela di depan pintu ruangan Ibra.
“Papa tuh kebiasaan ya, gegabah banget dalam memutuskan sesuatu tanpa memikirkan apa yang di inginkan sama mereka!” decak Anela kesal, lalu cepat ia menghampiri Ibra sambil memeluk lengan besar anaknya itu khawatir.
“Anela, papa tahu terkadang prinsip kita bersebrangan tapi ini semua tetap demi kebaikan anak kamu!”
Jeffry menyanggah, “Lalu gimana dengan anak aku, Pah?”
Eyang masih menepis kalimat anak-anaknya, “Anakmu itu masih perlu banyak belajar! Dia tidak se-istimewa Ibrahim!”
Anela tercengang, “Astagfirullah hal adzim, Papa!!”
“Udah, gini aja, sekarang kasih waktu untuk Ibrahim dan Trian memperbaiki semuanya setidaknya sampai semua berjalan normal, kita fokuskan lagi dengan proyek yang ada dan kalau sampai 3 bulan ke depan masih tidak ada perubahan....” Jeffry mengatur nafasnya lagi, “Aku yang tanggung jawab dengan semua kerugian di perusahaan ini.”
“Aku juga, aku dengan Mas Haidar sudah pernah mendiskusikan soal ini!” Anela ikut maju.
Eyang tak lagi bisa berkata, matanya melirik ke arah dua pemuda yang berdiri di belakang sana dengan tatapan tajam.
“Kalian itu terbiasa di manja dengan semua hak istimewa yang kalian dapatkan, sampai lupa napak dengan apa yang harus kalian lakukan sebagai bagian dari keluarga Soetomo!” desisnya tajam, “Terserah, tapi Papa pegang omongan kalian berdua.”
Eyang melengos pergi meninggalkan mereka dalam ruangan itu. Ibra langsung menghela nafas panjang bahkan merebahkan punggungnya di atas sofa saking lelah berdiri menahan amarah yang memuncak, sedangkan Trian... entah apa yang ia rasakan tapi amarah sudah tak bisa lagi menyulut.
“Eyang kebiasaan banget datang-datang ngerusak suasana! Ah!” keluh Ibra.
Jeffry menoleh ke arah Trian, “Trian, kamu gak usah pikirin—”
“Emang paling bener aku stay sama Mama di Australia.”
Semua sontak menoleh ke arah Trian.
“Trian, denger, Eyang memang sangat keras tapi—”
“Aku udah bilang kan? aku gak akan pernah mau terlibat sebagai bagian dari Soetomo lagi, karena ujung-ujungnya Eyang juga gak mau akuin aku sebagai cucunya karena gak se-pintar Ibra!” “Dari dulu juga gitu kan? Kedatangan aku gak pernah di sambut, kalau gak bawa kabar prestasi, Eyang gak akan pernah mau menoleh lihat kita?”
Ibra mengernyit, “Stop, jangan lanjutin lagi.”
“Apa?! Lo gak denger tadi kalo lo ikutin apa maunya Eyang, lo bakalan dapet hak istimewanya—”
“ITU BUKAN HAK YANG GUA MAU!!!!!”
Satu ruangan kaget dengan gertakan Ibra yang meledak. Ibra tak segan-segan menarik kerah baju Trian dengan penuh emosi, matanya menyalak sempurna hingga siapapun yang di ruangan itu tak bisa berkutik.
“LO HARUS TAHU BANYAK MIMPI YANG HARUS GUE KUBUR DALAM-DALAM, YAN! Gimana nyeseknya gua waktu mimpi udah ada di tangan harus gua buang jauh-jauh CUMAN KARENA GUA HARAPAN KELUARGA INI—”
Ucapan Ibra terhenti di tengah jalan, begitu ia mendapati wajah Ibundanya yang sudah hampir menangis saking shocknya, “Astagfirullah hal adzim, saya kelepasan....” Ibra mengusap wajahnya kasar. Cepat pemuda itu keluar dari ruangannya, menjauhkan dirinya guna menenangkan amarahnya yang meletup-letup. Ia tak sadar bisa sampai semarah itu hanya karena satu pancingan.
Ini sudah tidak benar, dan sekarang entah kaki Ibra akan membawa dirinya kemana.