Penantian dan Rasa

Ramainya penampilan seni dari karya para santri memberikan suasana hangat antar silaturahmi dari para ustadz-ustadzah, wali dan juga para tamu yang di undang. Ibrahim dan Ayudia selaku juri yang ditunjuk untuk memberikan nilai setiap pentas seni yang di tunjukkan, mereka tersenyum puas. Kreatifitas dari seluruh santri-santriwati memang patut di acungi dua jempol.

“Waduh, bagus-bagus semua ini, saya jadi bingung ngasih nilainya... kalo bisa dapet seratus semua,” ucap Ibra sambil menoleh ke Ayu—berusaha mencairkan suasana.

“Iya ya, kalian semua keren, ayo dong mana tepuk tangannya??” sanggah Ayu ikut memeriahkan.

Dari samping pemuda itu menatap cukup lama sosok Ayu, kerudung putihnya yang rapih dengan wajah cantiknya yang menenangkan. Pemuda itu tersenyum simpul, entah kenapa memang Ayu ini bagaikan angin dari ombak laut tenang di bawah rembulan. Siapapun yang berada di dekatnya, pasti merasakan damai hati yang menyejukkan.

“Kak Ibra?” panggilan Ayu tadi menyadarkan Ibra dari lamunannya, “Kenapa? lihatin apa?”

Ibra cepat mengalihkan matanya, “Itu... abi! ngapain sih foto-foto kita disini?!” Ibra tak bohong, dari tempat saung—berjarak 4 meter dari tempat Ibra dan Ayu sudah ada sosok abinya, Haidar yang sedang memotret momen antara dua insan itu.

“Siapa yang foto kamu? geer, orang saya lagi foto penampilan anak-anak!” tepis Haidar dengan seribu alasannya.

“Fotonya ke arah sana, bukannya kesini!” balas Ibra tak mau kalah, tapi tentu sang ayah juga tak menyerah.

“Sekalian foto jurinya, bagus kok, nanti mau saya kirimin ke kalian?”

Ibra geleng-geleng, Hadeuh... abi ini....



Sudah saatnya makan malam, hari ini para ustadzah dengan Ayu tentunya menyajikan masakan spesial yang menjadi favorit semua orang, yaitu sop iga bakar. Semerbak aroma dagingnya mulai mengunggah selera orang-orang disana—terutama Ibrahim si penggemar nomor satunya sop iga bakar.

“Duh wanginya enak, nanti saya boleh nambah ya?” cicir pemuda itu, di balas satu pukulan ringan dari ayahnya.

“Gak boleh, jangan biasain rakus! ini lagi acara!” omel Haidar.

“Yaudah kalo gitu jatahnya abi buat Ibra aja, kan abi kolestrolnya tinggi,” tangan Ibra tak tinggal diam, ia meraih piring dan mangkuk Haidar yang sudah di hidangi oleh iga bakar beserta nasinya. Haidar melotot, tangannya langsung menjewer telinga anak laki-lakinya itu hingga Ibra merintih kesakitan.

“Adududuh, sakit bi, ampun!!”

“Kamu ini...!”

Para ustadz-ustadzah, Ayu dan tamu-tamu yang menyaksikan pertikaian keduanya hanya ikut tergelak tawa.

“Aduh bapak-anak makin akur aja ya, hahaha....”

“Ibrahim kalau lagi sama abi uminya kelihatan ya manjanya hahahaha....”

“Ibrahim ayo cepet cari pasangan, biar nanti kamu bisa minta istri kamu masak sop iga bakar yang banyak! Hahahaha!”

Ayu di sampingnya, menatap lemat-lemat wajah ceria Ibra. Akhir-akhir ini pemuda itu terlihat lebih riang dari biasanya, meskipun kemarin sempat muram hingga mengacaukan meetingnya di kantor tapi sekarang sudah berbeda. Ayu mengulum senyum simpulnya, bersyukur bahwa pemuda itu sudah baik-baik saja.

Titik pengakuan seseorang untuk mencintai, ketika ia menginginkan orang yang dicintai itu tertawa bahagia.

“Kak Ibra,” bisik Ayu lalu di balas tolehan Ibra, “Kalo mau nambah gapapa kok, di dapur masih banyak....”

Ibra menggeleng cepat, “Ah enggak, nanti saya di jewer lagi sama abi!” tolak Ibra.

“Gapapa, nih ambil dulu punya aku, nanti aku ambil lagi di dapur,” Ayu menyodorkan paksa piringnya ke Ibra sampai laki-laki itu pasrah menerimanya (gak sepenuhnya pasrah karena Ibra sangat menginginkan porsi besar iganya) lalu ia menatap punggung mungil Ayu yang berlari kecil ke dapur untuk mengambil lagi dagingnya di dapur.

Senyuman Ibra mengembang lebar, lalu cepat ia sembunyikan porsi spesialnya itu di sisi piringnya. Tak lama, Ayu kembali lagi sambil terkekeh geli.

“Cepet di makan, nanti ketahuan lho sama Pak Haidar!” decak Ayu lagi.

“Saya bawa aja deh ke saung, kamu mau ikut makan disana?” tanya Ibra sambil mengajak Ayu pergi.

Mata Ayu terbelelak lebar. Wajahnya memerah bak kepiting rebus ketika Ibra mengajaknya pergi bersama.

“A-Anu... itu.... saya....”

“Yaudah saya tunggu ya disana.”

“Ka-kak, aku belum bilang iya?!”

Ibra menghempas tawa kecilnya, “Diamnya kamu berarti iya, kalau gak jadi juga gapapa.”

Jantung Ayu rasanya mau meledak.



“Huaaah... kenyang banget....” Ibra menepuk-nepuk perutnya yang sudah penuh. Rasanya puas sekali memakan porsi besar langsung, setelahnya ia menyandarkan tubuhnya sambil menatap bulan purnama yang bersinar terang malam ini.

DRRTT!! Ponselnya kini bergetar, Ibra membuka notifikasi yang ada di layar kuncinya:

Rose : Besok aku masak spaghetti aglio e olio lhoo! Rose : Aku kirim ke kantor kamu yaa?

Ibra terkekeh.

Ibrahim : Saya gak bisa request makanan, Rose?

Rose : Gak bisaa :( sesuai kelas masakku soalnya, TAPI NANTI BILANG AJA KALO MAU MAKANAN SESUATU GITU, biar aku belajar! :D

Ibrahim : Hahaha oke

“Kak Ibra?” suara lembut Ayu mengejutkan Ibra.

“Eh, Ayu, kesini juga kamu,” Ibra langsung geser dari posisinya, memberi ruang sekitar 2-3 meter dari tempatnya untuk Ayu duduk, “Di dalem masih pada makan?”

“Enggak kok, semuanya lagi ngobrol-ngobrol aja.”

Ibra membalas oh ria, lalu ia cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku dan memutar isi otaknya—mencoba untuk cari topik untuk berbincang santai dengan Ayu. Tentu ini momen canggung bagi keduanya karena kemarin-kemarin, mereka tak pernah ada momen untuk berbicara santai, kalau gak tentang pekerjaan ya diam. Belum ada ikatan emosi yang mengikat antara keduanya.

“Enak gak makanannya?” tanya Ayu yang membuka topik.

“Enak kok, enak banget! bumbunya pas terus sopnya juga gak tajem rasanya, saya suka!” jawab Ibra semangat.

Ayu mengulum senyum malunya, “Makasih, Kak Ibra....”

“Itu kamu yang bikin, Ayu?” Ibra balik bertanya karena penasaran.

“I-Iya, sop iga bakar itu aku yang masak.”

Ibra mendecak kagum, “Wah, emang top banget deh. Kopi kamu enak, sop iga bakar kamu juga enak....”

Lagi-lagi wanita dibuat salah tingkah, bagaimana tidak? masakannya di puji habis-habisan oleh laki-laki yang ia cintai sejak lama.

“Kak Ibra suka makanan apa aja emang?”

“Hmm apa ya, saya suka banyak sih tapi kalau yang paling saya suka itu, masakan sunda, terus sop iga bakar, sama nasi kebuli paling.”

Ayu mengangguk paham, “Nanti... aku masakin mau?”

Ibra cepat menggeleng, “Eh gak usah repot-repot, saya gak kode minta dibuatin kok!”

“Enggak kok, aku kan suka masak di rumah... nanti kalau misalnya aku lagi buat makanan yang disebut Kak Ibra, aku bawain buat kakak... gimana?”

Yang ditanya bergeming panjang, “Hmmm boleh sih, ide bagus. Saya gak nolak kok kalo kamu beneran ngasih.”

Keduanya saling tertawa.

“EHEM!!”

Dehaman keras terdengar dari belakang keduanya, Haidar sudah melipat tangan di dadanya dengan tatapan penuh introgasi.

“Untung disini rame, kalo duduk berduaan pihak ketiganya ada siapa?” tanya Haidar dengan nada tajamnya.

“Abi,” Ibra menjawab dengan nada usilnya.

“Heh, kamu ngatain abi?!”

Ibra langsung berdiri dari duduknya, “Yaudah kita pulang sekarang aja ya? Ayu, makasih untuk makanannya, sampai ketemu di kantor nanti.”

Ayu mengangguk, “Iya kak, sampai ketemu nanti.”

Ibra menuntun abinya yang sudah mulai renta itu jalan menuju pusat orang-orang berkumpul untuk berpamitan pulang. Sekali lagi, gadis cantik itu hanya bisa memandang punggung lelaki kasihnya dari belakang, terlihat kokoh namun jauh untuk di gapai.

Bisakah nanti aku berdiri di sampingmu, Kak Ibra?