shinelyght

Sekali lagi, situasi dalam mobil sangat canggung.

Chelsea saat ini enggan membacakan lagi Google Maps untuk Gama sehingga pemuda itu kesusahan harus melirik ponsel dan di depannya dalam satu waktu. Ini akhir pekan, jalanan sangat padat dari biasanya sehingga ada celah untuk Gama menatap lemat gadis cantik di sampingnya. Chelsea tak menatap matanya sama sekali, seolah tak sudi. Gama sadar kalau saat ini Chelsea sedang ngambek dan entah apa kesalahannya.

“Chel, kamu kenapa?” dengan suara lembut Gama membujuk istrinya, sayang Chelsea memilih tutup telinga. “Chelsea, aku buat salah apa?”

“Pikir sendiri, bisa mikir kan?!” Chelsea membalas dengan nada sangat ketus membuat Gama tersontak. Di belakang ada Ghaza dan Maya yang ikut kaget dengan jawaban Chelsea.

“Chel, masa sama suami gitu ngomongnya....” Gama masih berusaha menurunkan suaranya, bukan karena takut tapi karena ada Ghaza dan Maya. Ia tak tahu harus memberi sinyal seperti apa kepada Chelsea agar menjaga sikap di depan dua kawannya itu, terlebih ia tak tahu persis letak kesalahannya. “Nanti ya kita omongin baik-baik berdua, sekarang kita having fun dulu ya?”

“Yaudah tapi jangan ajak gue ngomong, gue gak mau ngomong sama lo!”

CKIITT!! Gama menghentikan mobilnya mendadak di pinggir jalan, semuanya terkejut bukan main terlebih Chelsea yang baru saja berbicara ketus. Aura Gama berubah gelap, matanya menatap tajam Chelsea hingga gadis itu bergedik ngeri. Gama menarik tangan gadisnya kencang dan mendekat ke telinga Chelsea.

“Gue udah bilang kan untuk sandiwara yang baik? Ikutin rulesnya atau lo bayar kompensasinya nanti...!” desis Gama dengan nada mengancam, dan tentu Chelsea yang tadinya berani jadi menciut nyalinya. Ia tak menyangka kalau Gama akan sangat menyeramkan kalau marah. Chelsea sampai menahan napasnya ketika Gama membisik, dan akhirnya ia mengalah.

Fix Gama punya khodam macan putih.



Sesampainya di keramaian Jalan Braga. Berbagai jenis kafe dengan khas autentik serta lukisan-lukisan besar yang indah. Suasananya bagai kita sedang berada di era 80 atau 90-an sehingga bagi para pecinta nuansa vintage akan dimanjakan dengan suasana Jalan Braga, ketika di perjalanan di dekat Jalan Asia Afrika pun ada banyak para pelakon hantu-hantuan yang mengejutkan namun ramai oleh pengunjung yang hendak berfoto, atraksi aneh seorang kakek tua yang duduk di atas angin dengan tongkatnya, atau tokoh-tokoh animasi favorit anak-anak. Mustahil kalau orang yang lewat tak mendecak kagum.

Ghaza dan Gama sepakat untuk berpisah dengan gadisnya masing-masing. Ghaza dan Maya berjalan ke arah Jalan Asia Afrika sampai Braga untuk berkeliling mencari spot terbaiknya sedangkan Gama dan Chelsea memutuskan untuk berjalan menyusuri kafe yang ada di sekitar Jalan Braga.

Kita kembali ke tokoh utama, mereka masih saling mengacuhkan. Sepasang insan yang tak menatap itu masih bersikeras menahan pertahanan ego masing-masing, Chelsea yang masih merasa Gama pantas 'dihukum' sedangkan Gama enggan mengambil pusing sikap Chelsea meskipun dada sudah bergejolak.

Langkah kaki pria itu terhenti pada satu kedai bernuansa merah, ia melihat antrian yang tampak panjang sampai dirinya dibuat bertanya-tanya.

“Gue mau nyoba es krim di sini, lo mau gak?” tanya Gama berusaha melawan egonya tapi tak digubris Chelsea, ia menghempas napasnya kasar. “Ya udah, gue sih mau, ntar lo gak boleh minta ya.”

Chelsea menelan ludahnya bulat-bulat, melihat bagaimana satu cone es krim yang disantap para pengunjung begitu mengunggah selera. Sayangnya ia masih mempertahankan harga dirinya. Chelsea duduk di tempat duduk yang letaknya tak jauh dari kedai es krim tersebut, tampaknya itu kedai es krim yang viral di kalangan pengunjung. Chelsea pernah melihatnya di salah satu postingan pejabat Bandung setempat.

Antrian yang panjang ternyata tak memakan waktu lama, hanya 10 menit ia menunggu tak lama Gama datang dengan dua cone es krim di genggamannya.

Satu rasa vanila, satu rasa stroberi.

Stroberi, Chelsea, apa itu harga diri kalau sudah ada es krim rasa stroberi di depan mata?

“Wah kayaknya enak nih es krimnya, apalagi yang stroberi,” cicir Gama sengaja menggoda iman Chelsea yang hampir goyah, “Ah gue mau makan es krim stroberinya sekali lahap—”

Begitu mulutnya terbuka lebar di depan es krim stroberinya, Chelsea cepat mengambil satu gigitan terlebih dahulu tapi... bukan itu yang jadi persoalan.

Bibir Gama tak sengaja menyentuh pipi Chelsea.

Mereka terpaku lama, sampai akhirnya Chelsea sadar dan menarik lagi wajahnya.

“E-ES KRIM STROBERINYA ENAK! Me-Mending buat gue aja!” Chelsea merebut es krim stroberinya dari tangan Gama. Ia melangkah cepat mendahului suaminya, membuyarkan semua ingatan dua menit yang lalu sampai kepalanya terasa ingin pecah.

“Chelsea!” Gama berlari menyusul langkah Chelsea, tangan besarnya menarik tubuh mungil sang istri sampai wajahnya mendarat di dada bidang Gama. Pemuda itu mendekap erat gadisnya, wajah keduanya membeku namun mereka tak ingin saling melepas tangannya yang sudah terkait. Jemari mungil Chelsea menggenggam erat ujung kemeja Gama sedangkan tangan Gama terus mengeratkan pelukannya. Jantung keduanya saling beradu suara, bagai simfoni yang menghadirkan cinta dan kehangatan... kali ini keduanya terjebak dengan zona nyaman yang mereka buat sendiri.

Di keramaian Jalan Braga, suara bising itu hilang dan berubah dunia jadi milik mereka berdua.

Es krim mereka bagaimana? Sudah mencair di jalanan, tak ada lagi es krim yang barusan diributkan.

Aroma woody yang mempesona mengait satu rasa dengan aroma manis vanilla, perlahan sepasang mata keduanya saling terpejam menenggelamkan lagi dirinya masing-masing.

“Ini hukuman buat lo karena udah ngelakuin hal yang gak gue suka, Chelsea,” bisik lelaki itu dengan bariton seraknya membuat bulu kuduk Chelsea merinding seketika.

“Gu-gue justru lagi ngehukum lo, Gama!” balas Chelsea tak mau kalah.

“Emang gue salah apa?”

“Se-Semalem lo ngelewatin batas!”

Gama melepas pelukannya, “Ngelewatin batas apa?”

“I-Itu...! Guling waktu kita tidur!”

Gama berusaha mencerna kalimat istrinya, “Apa sih?!”

“SEMALEM LO PELUK GUE, GAMA BEGO!!”

Gama langsung terbahak-bahak keras sampai perutnya terasa kram. Ternyata sikap Chelsea yang begitu menyebalkan seharian itu terjadi karena semalaman Gama memeluk Chelsea? Ya Tuhan, emang bener Chelsea tuh lucu banget.

“Terus kenapa kalo gue meluk lo semalem?” Gama mengangkat satu alisnya, memberikan smirk yang menggoda sampai jantung Chelsea terasa ingin loncat detik ini juga.

“Ya-ya kan gak boleh ngelewatin batas! Lo lupa aturannya semalem?!”

“Jadi lo gak suka gue peluk?”

“Gak! Gak suka! Gue juga gak suka dipeluk kayak tadi!”

“Kalo gitu jadi anak baik ya manis,” Gama menepuk pucuk kepala Chelsea seraya membisik di telinga gadisnya, “Karena kalau nanti suamimu ini marah, di hukum lagi kayak tadi, mau?”

Chelsea skakmat, dan mulutnya kini menganga selebar-lebarnya.

“IHHH DASAR COWOK HIDUNG BELANG, MESUM, NYEBELIN!!!!”



Kita beralih kepada Ghaza dan Maya yang sedang mengambil berbagai jepret di sepanjang Jalan Asia Afrika. Tembok yang berisi quotes dari penulis ternama, lalu keramaian disaat senja hendak menyapa sehingga memberi kesan keindahan lebih dalam. Maya sangat menyukai suasana hangat di kota Bandung ini, seperti berada di novel-novel romansa yang biasa ia baca.

“Gak heran ya banyak novel-novel yang ambil latar belakang kota Bandung, emang suasananya tuh romantis banget,” ujar gadis itu terhenyak, “Coba kalau di Depok, panas iya padet juga iya, gak ada tuh romantis-romantisnya.”

Ghaza yang sedang sibuk memotret anak-anak yang ada di sebrang langsung menoleh ke arah Maya, “Oh ya? Kalau gitu kenapa kita gak fokus pada esensinya, May?” ia melangkah mendekati gadisnya lalu menarik tangan mungil Maya hingga jarak mereka terkikis.

“Apa yang dilihat di mata, gak akan pernah nampak esensinya kalau kita gak hayati,” tutur pemuda itu dengan lembut, jari-jari kekarnya menyisipkan anak rambut sang gadis ke telinganya lalu memandang lekat iris hazel yang penuh binar itu. Bagi Ghaza, esensi keindahan yang tampak saat ini adalah binar mata milik Maya. Dimanapun ia melihatnya bahkan di Depok yang kata Maya tak romantis, tetaplah indah dan takkan pernah luput keindahannya.

“Di Depok juga banyak hal romantis yang bisa lo dapetin, asalkan itu sama orang yang lo suka, May,” lanjut Ghaza lagi sambil melepas tangannya dari kedua pipi Maya yang sudah memerah tomat. Ini gawat, kalau saja Maya tidak mengontrol diri bisa-bisa ia pingsan di tempat.

“Lo sendiri gimana, Za? Di Cikarang yang katanya panas dan tempatnya pabrik itu ada hal romantis yang bisa lo kenang?” tutur lagi Maya mengalihkan perhatian sekaligus pikirannya yang mulai penuh dengan tindakan manis Ghaza. Mendengar pertanyaan itu, senyuman tipis khas pemuda itu terlukis di wajah manisnya.

“Ada, dan kenangan manis itu akan selalu terkenang sepanjang hayat gue, May.”

Di detik kalimat itu keluar dari bibirnya, Ghaza mengarahkan lensa kameranya dan memotret gadis yang ada di hadapannya dengan sempurna di posisinya.

“Makasih ya, May, udah mau ikut gue ke Bandung.”

Maya tersontak, “E-Eh emangnya kenapa? Kenapa harus terima kasih?”

Ghaza tersenyum hangat, “Karena gue jadi punya kenangan lagi di Bandung, sama lo.”

Maya mengaku kalah, pesona dan segala tindakan manis Ghaza sudah mencuri hatinya sejak awal. Di romantisnya kota Bandung bertepatan di Jalan Asia Afrika, Maya ingin melabuhkan hatinya kepada Ghazaliel Arkananta dengan lebih berani.

Ini awal langkah Maya untuk lebih berani soal kisah cintanya.

Canggung.

Satu kalimat yang menggambarkan suasana mobil Camry hitam yang dibawa Gama dan tiga penumpang di dalamnya. Ghaza menatap lalu lalang jalanan dari jendela sedangkan Maya terus memerhatikan gerak-gerik Gama dengan Chelsea. Mereka tampak serasi, entah janjian atau tidak kini pakaian yang dipakai sepasang insan itu senada warna putih, saat ini pun Chelsea seolah menjadi istri sigap membacakan Google Maps untuk suaminya. Mata gadis lajang itu berbinar-binar, seperti menyaksikan drama secara langsung.

“Gam, nanti dua ratus meter ke depan belok kanan ya di gang satunya lagi,” pinta Chelsea. Gadis itu memang memiliki satu keahlian ajaib yang membuat Gama takjub, yaitu membaca rute di Google Maps dengan tepat. Biasanya perempuan itu identik dengan buta arah (meskipun tidak semua, tapi kebanyakan. kalau kalian perempuan yang memiliki keahlian membaca maps berbahagialah). Awalnya Gama meminta Ghaza yang membacakan rutenya tapi Ghaza mempromosikan Chelsea sebagai pengarah rute yang tepat.

“Di depan macet kayaknya ada perbaikan jalan,” lanjut Chelsea, Gama menghempas tawa kecilnya lalu mengelus pucuk kepala istrinya gemas. Chelsea hendak menjerit, tapi karena saat ini ada Maya gadis itu memilih diam. Ia menelan bulat-bulat perasaan malunya. Gama sialaaan!

“Maya nih... temen sekelasnya Ghaza sama Chelsea?” ucap Gama membuka topik pembicaraan.

“Iya kak,” balas Maya kikuk.

“Gue ngajak Maya soalnya untuk project akhir gue, Bang, kita mau nge-shoot view yang ada di Bandung Kota,” timpal Ghaza.

Gama menjawab oh ria, “Kalau mau shoot besok aja, ini kita vilanya daerah KBB.”

Maya mengangkat dua alisnya, “KBB tuh apa, Za?” bisik gadis itu.

“Kabupaten Bandung Barat,” balas Ghaza.

Maya memanggut paham, tangannya mencolek Chelsea yang masih berkutat dengan rute di Google Maps.

“Chel, emang KBB ke Bandung Kota jauh ya?” Maya sengaja mengajak temannya bicara karena sedari tadi Chelsea tampak lebih diam dari biasanya.

“Lumayan kalau dari maps.”

Gama melirik istrinya, seperti yang diarahkan Chelsea kalau jalanan saat ini lebih padat dari biasanya. Gama menghentikan mobilnya, ia kembali memandang fitur wajah gadisnya dari samping. Hari ini Chelsea tampak lebih modis, rambut panjangnya ia catok ikal menambah kecantikannya dua kali lipat. Polesan peach makeup yang pas di wajah mungilnya, dan satu aksesoris wajib Chelsea yang selalu terpasang. Jepit rambut merah jambunya.

“Chelsea,” panggil Gama seraya tangannya meraih anak rambut gadis disampingnya. Chelsea mendelik, namun terpaku dengan sentuhan lembut Gama yang menyisipkan rambutnya di telinga. “Cantik banget hari ini.”

Maya yang menyaksikan dari belakang terkesiap kaget, sedangkan Ghaza menahan tawa gelinya. Kedua mata Chelsea terbelelak, dan lagi-lagi gadis itu dibuat salah tingkah. Ini laki bisa gak sih jangan bertingkah di depan Maya?!

“Chel, telinga lo merah banget tuh,” cicir Ghaza dari belakang.

“BERISIK!!!!”



“Gama... ini siapa?”

Kedatangan Gama dan Chelsea menjadi kejutan besar bagi keluarga besar Arkananta. Setelah bertahun-tahun tak bersua lalu kembali hadir menggandeng seorang perempuan, tak ada yang salah karena memang usia Gama sudah sangat pantas membawa pendamping.

“Ini istri saya, Chelsea.”

Kabar itu yang membuat orang bertanya-tanya. Semua sontak bersahutan kaget bahkan reaksinya bisa dikatakan berlebihan sampai terjungkal. Orang tua Gama yang sudah sampai lebih dulu meminta putra sulungnya untuk bicara di depan terkait pernikahannya, seperti yang sudah di rencanakan.

“Halo selamat siang semuanya, lama gak jumpa ya, hahaha...!” Gama melanjutkan kalimatnya, “Papa sama Mama udah ngomong kan ya soal pernikahan saya tapi di sini saya mau mengumumkan sendiri bahwa kedatangan saya saat ini sudah membawa pendamping hidup, yaitu Chelsea Audrey Wijaya. Sayang, sini!” Gama meminta Chelsea untuk berdiri di sisinya, gadis itu gelagapan namun perlahan ia mendekati Gama.

Dari kejauhan sana, ada pandangan sendu yang mengikuti tiap langkah pasangan muda itu.

“Chel?” Suara lirihnya mengejutkan gadis yang dipanggil, ia menoleh ke sumber suara. Hatinya teriris, bagaimana Chelsea memandang sosok lelaki yang pernah bersinggah hati kini menatapnya dengan luka. “Maksud kamu udah nikah... sama Gama?”

Chelsea tak menjawab, pertanyaan itu tak sanggup ia beri jawaban pastinya.

“Chel... kamu—”

Ghaza menarik bahu Abrar, memberikan jarak lebih agar tak mendekati kakak iparnya yang masih diam membeku. Kedua mata Ghaza berubah tajam dan menusuk pandangan nanar Abrar.

“Jaga jarak.” desis Ghaza.

Abrar tak ada pilihan lagi selain mengambil dua langkah ke belakang. Dulu, sosok Chelsea yang menjadi tempat pulangnya sudah tak ada lagi. Di saat ia diberi banyak pilihan soal perempuan, tak ada yang bisa menggantikan luas hatinya Chelsea.

Sepasang mata cantik Chelsea yang ia rindukan, membuat lelaki itu memutar ulang memorinya.

Masih ingatkah Abrar ketika di malam itu, hujan mengguyur deras namun Chelsea tetap setia menunggu kedatangannya di halte sendirian sampai jarum jam menunjuk pukul sembilan...

Tapi Abrar malah membiarkannya, dan berpikir bahwa Ghaza pasti akan datang menjemputnya.

Masih ingatkah Abrar, ketika Chelsea terus mempertanyakan kejelasan dalam hubungan yang mereka jalani selama dua tahun tapi ditepis keras oleh lelaki itu sendiri? Ia membuat dalih bahwa status itu tak ada gunanya selama masih memegang komitmen yang sudah mereka buat...

Tapi Abrar sendiri yang sering menyalahi komitmen keduanya, sampai Chelsea lelah untuk mempertanyakannya lagi.

Masih ingatkah Abrar, ketika teman-temannya bertanya satu hal namun dibalik ini ternyata semesta sudah membuat skenario sendiri untuk kelanjutan hubungannya dengan Chelsea?

“Abrar, kalau Chelsea diambil sama cowok yang lebih baik memperlakukan dia apa lo gak nyesel nanti?

Kamu memandang remeh soal itu, Abrar.

“Gak bakal lah, kayak cewek cuman satu aja. Justru bagus kalo ada cowok yang lebih baik dari gue buat Chelsea.”

Sekarang bagaimana rasanya? Dadamu seperti dirujam seribu tombak sampai sulit bernapas, bukan? Air mata yang selama ini tertahan mulai kumpul di pelupuk matamu. Sekali kedip saja, pipimu akan basah. Kerongkonganmu hendak menggaungkan nama Chelsea agar dia kembali ke pelukanmu tapi sayang, dia sudah mengikat janji dengan pria lain yang pelukannya jauh lebih hangat dibanding kamu, Abrar.

“Maaf,” Chelsea mengucap kata itu dengan lirih di hadapan Abrar.

Tak lama sesosok pemuda lebih tua darinya datang dengan senyuman hangat untuk Chelsea. Dada Abrar kembali tersentak, belum lagi melihat bagaimana jemari gadis cantik di hadapannya terkait dengan hangat, dan Chelsea tertawa pelan. Apakah Chelsea benar-benar sudah bahagia bersama Gama?

Dari kejauhan Ghaza memerhatikan bagaimana suasana sendu yang ada di sana. Sepanjang ia mengenal Abrar, tak pernah tatapan penuh cinta itu hadir ketika menatap sahabatnya di masa lalu, ketika mereka masih menjalin kasih. Ghaza geram, tangannya mengepal kuat dan hampir saja terhasut benaknya untuk menghajar lelaki bermata sipit itu habis-habisan di acara keluarga ini.

“Ghaza?”

Suara lembut itu hadir dari seorang gadis berambut sebahu yang membawakannya minuman.

“Itu Chelsea, Kak Gama sama siapa? Kok kayaknya serius banget.”

Ghaza hanya terdiam, lalu melengos pergi.

“Biarin aja, bukan urusan kita.”

Maya terkejut bukan main.



“Kalian sudah menikah berapa lama?” seperti biasa, para ibu-ibu langsung mengerumuni pasangan muda itu untuk mengintrogasi banyak hal terkait pernikahan mereka yang (super) dadakan.

“Belum lama ini, Tante, kurang lebih sudah jalan tiga minggu pernikahan kita,” ujar Gama dengan begitu sabar.

“Kalian ketemunya dimana? Di Amerika juga?”

Chelsea menyanggah, “Ah enggak, Tante, saya—”

“Chelsea tetangga saya di Cikarang, Tante, dan kebetulan kita sering main bareng juga sama Ghaza jadi disitu awal mula saya jatuh cinta sama... istri saya,” ucap Gama dengan senyum pasinya, ia merangkul lagi bahu Chelsea dengan erat hingga para tantenya menjerit gemas. Rasanya Chelsea ingin terbahak-bahak detik ini juga, kebohongan yang begitu manis di dengar dari bibir Gama. Dasar laki-laki.

“Terus nikahannya gimana? Kenapa gak undang saudara?”

“Ah kebetulan kita memang belum adain resepsinya, Tante—”

“Kalau resepsi mah ya, enakan di Bandung Kota aja! Nanti kita semua bisa bantu!”

“Eh enakan kalau di deket puncaknya sekalian liburan, Dago gitu!”

Tak ada lagi yang bisa menyela kalau ibu-ibu sudah meributkan soal persiapan pernikahan. Gama dan Chelsea pun hanya bisa diam. Semua perhatian memang tertuju kepada Chelsea, sebagai anggota keluarga baru Arkananta. Tak sedikit ada yang berbisik mengenai asal-usul gadis itu, atau pernikahan mereka yang dadakan ini terkesan menyembunyikan sesuatu. Gadis itu hanya bisa diam mematung, dan percuma mengharapkan Ghaza dan Maya yang sedang asyik berbincang mengenai project mereka. Tak ada celah untuk Chelsea bergabung, yang ada nanti jadi nyamuk di antara keduanya.

Di luar tak sengaja Chelsea menangkap sosok Abrar yang sedang duduk menyendiri dengan sebatang rokok yang ia hisap. Punggung luasnya tampak lemah, bukan lagi Abrar gagah yang biasa ia kenal.

Abrar... masa sih dia galau karena gue? batin gadis itu. Ia menyusul ke tempat Abrar berada, pemuda bermata sipit itu terkejut dengan kehadiran Chelsea.

“Eh, Chel...” suara puraunya menyambut kehadiran gadis cantik itu, ya, Chelsea tampil sangat cantik hari ini, sayangnya bukan lagi untuk dirinya.

“Gimana, pengalaman pertama dateng ke acara keluarga Arkananta?” tanya Abrar basa-basi.

“Uhm... masih bingung, tapi semuanya ramah sih,” jawab Chelsea.

“Semoga betah ya, kebetulan ini keluarga hobi banget bikin acara bisa kali sebulan sekali ada aja agenda keluarga, kalau misalnya gak hadir tuh ya kamu bisa ditanya seribu kali alasan kenapa gak hadir di acara itu,” Abrar berceloteh seolah tak ada apa-apa, padahal kini hatinya masih teriris-iris setiap ia memandang mata Chelsea.

“Yaa gue sih ngikut Gama aja, kan gue istrinya,” balas Chelsea, dan fakta bahwa Chelsea adalah istrinya Gama menohok tepat di jantung pemuda itu.

“Chel, aku boleh tanya sesuatu?” Abrar mematikan puntung rokoknya, “Kenapa... Gama?”

Kenapa Gama? Kalau bukan karena kecelakaan, mungkin gak akan ada cerita kalau Chelsea ini istrinya Gama. Harusnya kalimat itu yang menjadi jawaban pasti untuk pertanyaan Abrar, tapi Chelsea memilih jawaban lain...

“Karena dia laki-laki yang memperlakukan gue lebih baik dari lo, Abrar.”

Abrar harus menelan bulat-bulat jawaban itu, tapi ia masih tidak puas.

“Do you love him?”

Cinta? Apa cinta adalah jawaban yang Abrar inginkan?

“Yup, i love him, so much.”

Kebohongan terbesar dalam hidup Chelsea, adalah mengatakan bahwa dia mencintai laki-laki lain dibanding Abrar. Kalau semesta izinkan, rasanya Chelsea ingin memutar balik waktu lalu menarik semua kata-katanya dan memilih untuk diam. Tapi kalau diam... juga tak akan membuat Abrar untuk berhenti. Pasalnya, sudah ribuan kesempatan yang Chelsea berikan untuk Abrar tapi laki-laki itu sendiri yang menyia-nyiakan sampai semesta tak lagi merestui keduanya untuk bersatu.

Abrar tak berhak untuk marah, dan Chelsea tak berhak untuk mempertahankannya lagi.

“Oke kalau gitu, selamat berbahagia kalian.”

Abrar beranjak dari tempatnya meninggalkan Chelsea sendirian di sana. Sekarang gilirannya Chelsea untuk merenungkan semua, cerita yang belum usai dan terpaksa harus di tutup rapat tanpa ada kata penutup.

Lagipula sejak awal pun tak ada pembuka antara mereka, untuk di tutup rapat pun tak ada masalah.

Tapi kenapa Chelsea menangis?

Suara kunci dari luar pintu membuat senyuman Gama terlukis lebar. Kedatangan gadis berambut ikat kuda itu sangat dinantikannya sejak tadi, bersama dua piring semangka yang sudah di potong untuk disantap bersama. Gama menyambut kedatangan istrinya lebih dulu, lalu membawakan satu kantung berisi Frieskies kesukaan Conan untuk dituangkan ke mangkuk abu-abunya.

“Ini satu buah semangka udah dipotong semua? Kok dikit sih?” tanya Chelsea heran.

“Sisanya gue taruh di kulkas, emang lo mau habisin semuanya?” balas Gama dari kejauhan.

Chelsea hanya menggeleng terkekeh, dia mengambil satu piring semangkanya lalu duduk di sofa abu-abu empuknya. Tubuhnya yang lelah setelah kuliah seharian terasa lepas, satu gigitan buah semangka yang manis dan menyegarkan menaikkan kembali mood dan setengah dari energinya yang hampir habis. Ide suaminya untuk memotong buah semangka adalah pilihan tepat.

Senyuman lebar gadis itu kembali menghangatkan hati Gama.

Chelsea meletakkan lagi piringnya di atas sofa. Jemari lentiknya melepas ikatan rambut panjangnya hingga tergerai sempurna, parfum manis aroma vanila khas Chelsea semerbak menghampiri indra penciuman Gama meskipun dari jauh. Jantung pemuda itu berdegup tak karuan, sejak kapan Chelsea tampak begitu cantik di matanya?

“Chel, mau ngapain?!” sahut Gama dari kejauhan.

“Bersih-bersih dulu lah!” balas Chelsea.

“Gue habisin jatah semangka lo ya?!”

“HEH AWAS LO YA, GUE CUBIT KALAU JATAH GUE LUDES GARA-GARA LO!!”

Gelak tawa Gama pecah. She's kinda cute, sometimes.


Sekarang Chelsea sudah berpakaian kaos putih oblong oversize dengan celana pendek sport hitam, rambut panjangnya dibungkus rapat oleh handuk, dengan santainya dia melahap tiap potongan semangka sambil menonton drama detektif favoritnya bersama Gama. Pemuda itu tadinya berniat makan semangka lalu tidur, tapi drama yang ditonton kali ini tak kalah seru. Belum lagi melihat si gadis mungil yang fokus dengan tontonannya

“Tuhkan gue bilang apa?! Dia tuh bunuh diri!” celoteh gadis itu, “Nih ya lo lihat deh dari motif korbannya sendiri, pernikahannya gak harmonis dan laki-lakinya kan mau naik jadi penjabat kan nah dari bukti-bukti pembunuhan yang dikumpulin aja kayak gak mungkin banget si suami tega bunuh istrinya!”

Gama hanya memanggut kepalanya.

“Nih lo harus nonton deh season pertamanya, ada satu episode yang gue suka banget karena ngebahas tentang mental health gitu, jadi si cewek kerja di rumah sakit jiwa nah ada total 3 pasiennya ini pelaku pembunuhan berantai....”

Gama memangku wajahnya, menatap lekat gadis di sampingnya yang sibuk bercerita panjang. Suara melengking gadisnya padam di telinga lelaki itu, justru yang ia perhatikan adalah tiap fitur wajah cantik milik Chelsea. Sehelai rambut halus yang tampak dari kening yang masih terbungkus handuknya, iris legam cantik nan bulat dengan bulu mata lentiknya, hidung mungil yang menggemaskan juga bibir merah merekahnya.

“Eh gue juga jadi inget deh novelnya Mr. Gems yang seri kedua Garden of Memories—” Chelsea tersadar dengan tatapan dalam Gama, “Kok lo ngelihatin gue gitu?”

Gama menggeleng pelan, “Kan lagi dengerin lo ngomong.”

“Lo masih mau dengerin gue?” Gadis itu menggaruk kepalanya ragu, “Gue gak sadar kebanyakan ngomong sama lo, ayo kita tonton lagi dramanya.”

“Chel,” Dengan usil, Gama mencubit pipi kanan istrinya gemas, “Mending lo lanjutin deh lo mau ngomong apa.”

“Lah kok gitu?”

“Cerita lo lebih seru daripada dramanya.”

Gama memangku lagi kepalanya di atas sandaran sofa, dengan tatapan hangat ia tak lepas memandang iris legam Chelsea. Jantungnya yang berdesir tak lagi ia gubris. Momen kebersamaannya saat ini, tampak menyenangkan. Gama jadi ingin lebih kenal sosok istrinya.

Sedangkan Chelsea, perempuan mana yang tak luluh ditatap sedalam itu?

Chelsea diam tertegun, berusaha tampak biasa saja di hadapan Gama dan melanjutkan lagi ceritanya.

“Me-Mending kita ngobrol dua arah aja biar fair,” ujar Chelsea sambil menegakkan posisi duduknya, “Lo penulis kan?”

Gama mengangguk, “Iya.”

“Gue mau lihat dong tulisan lo, boleh gak?”

Dengan enteng, Gama menggeleng usil, “Enggak.”

“Kenapa? Lo penulis anonim gitu ya kayak Mr. Gems?”

Gama hanya mengiyakan dengan isyarat senyum penuh arti.

“Padahal kan kalau lo kasih tahu gue, ya siapa tahu gue suka sama tulisan lo.”

“Oh ya?” Gama mendekatkan wajahnya ke arah sang istri, sedikit condong ke kanan hingga jarak antara mereka tersisa sejengkal. Deruan nafas manis dari Gama terasa oleh sang gadis hingga suasana mereka jadi mendebarkan. “Pengen tau banget tulisan gue, hm?”

Chelsea membeku di tempat.

“Kalau lo nanti jatuh cinta sama tulisan gue, ada possibility untuk jatuh cinta sama penulisnya gak?”

Pertanyaan konyol, Chelsea langsung melayangkan satu pukulan mautnya ke lengan kekar Gama.

“APA SIH, KOK JADI BAHAS KE SANA!!!”

“Lho kan cuman nanya, kenapa lo jadi sensitif gitu?”

“GAK ADA YA BAHAS-BAHAS KAYAK GITU, GAK BOLEH! KITA GAK BOLEH SALING JATUH CINTA! INGET YA SATU TAHUN PERNIKAHAN KITA CERAI!!”

“Ya emang sih kita bakalan cerai setelah setahun, tapi soal jatuh cinta itu gak ada di perjanjian kita kan?”

“GUE TAMBAHIN SATU POIN ITU, GUE BERHAK UNTUK NAMBAHIN SATU PERJANJIAN KITA DAN KALO NGELANGGAR ADA KOMPENSASINYA!”

Apa menurut kalian Gama gentar? Tidak, justru sebaliknya. Pemuda itu dengan senyuman miring menatap remeh gadisnya.

“Kalau gitu mau lihat siapa yang jatuh cinta duluan?”

“GAK BOLEH, GAMA!!!”

“Emang kalau gak boleh, bukan berarti kita gak bisa saling jatuh cinta? Soal perasaan kan gak ada yang tahu.”

“DIH MANA ADA, GAK ADA YA KAYAK GITU! POKOKNYA KALAU NGELANGGAR YA WAJIB BAYAR KOMPENSASI!”

“Oke kita lihat siapa yang akan bayar kompensasinya.”

Chelsea mengutuk pemuda di hadapannya. Kakinya menghentak keras bumi penuh emosi dan membanting keras pintu kamarnya, pemuda itu hanya tergelak puas. Ekspresi wajah Chelsea yang drastis dari senang menuju marah menjadi salah satu hal favoritnya. Membuat Chelsea kesal dan bahagia dalam satu waktu, mungkin akan menjadi list hobi Gama untuk saat ini.

“You're so cute, Chelsea, i'm sorry i can't hold it.”

Gama membuka pintu apartemennya dan mendapati Chelsea yang baru selesai mengikat tali sepatunya asal-asalan. Pemuda itu menghela napas panjang.

“Gak usah buru-buru gitu kali,” ujarnya sambil membungkuk mendekati Chelsea. Tangan besarnya sigap mengikat ulang tali sepatu Chelsea, gadis itu tertegun lalu menepis tangan Gama dari kakinya.

“Gue bisa sendiri,” Chelsea mengambil alih lagi ikat tali sepatunya. Gama terkekeh. Penolakan Chelsea tak lagi tampak seperti menyebalkan melainkan bagi Gama, menggemaskan.

Ia bisa melihat jelas telinga Chelsea memerah padam.


“Lo sukanya kemana?” tanya Gama seraya fokus menyetir. Lalu lalang jalanan yang cukup padat karena jam pulang kantor, sedangkan Chelsea sibuk mencari tempat yang ingin ia kunjungi bersama Gama. Setidaknya kalau orang yang diajak ini tidak menyenangkan, tempat yang ia kunjungi harus jauh lebih menyenangkan.

“Lo suka baca buku kan?”

Chelsea tersontak, “Iya, emang kenapa?”

“Pas banget gue mau lihat buku, mau gramedia date aja?”

Mendengar kata date dari bibir Gama praktis membuat gadis itu bergedik ngeri. “Date? Lo gak salah bilang kita gramedia date?

Gama menghentikan mobilnya tepat di lampu merah sambil menoleh ke arah Chelsea. Tangannya usil menjentik pelan kening gadis di sampingnya, tawa remehnya mengiring seolah menganggap pertanyaan Chelsea barusan adalah pertanyaan bodoh.

“Terus menurut lo sekarang kita ngapain?” tanyanya dengan suara berat purau. Matanya lurus menatap lekat iris legam milik Chelsea yang mematung. “This is our first date, isn't it?”

Mobil kembali melaju setelah 60 detik menunggu lampu hijau berdentang. Pertanyaan itu seolah menjadi angin, namun bukan berarti tak ada jawaban. Gama sudah tahu apa jawaban pastinya, sedangkan Chelsea terlalu malu untuk mengetahui jawabannya.


Mata Chelsea berubah berbinar setelah menghirup aroma buku baru di sekitarnya. Gramedia date, atau apalah judulnya yang penting pergi ke Gramedia adalah pilihan paling tepat. Anggap saja Gama sekarang beruntung bisa membuat suasana hati gadisnya itu senang. Chelsea berlari kecil menuju rak buku novel fiksi dan mencari novel yang ditulis penulis favoritnya

Mr. Gems.

Gama mengikuti istrinya itu dari belakang, memerhatikan tiap pergerakan Chelsea yang saat ini seperti anak kecil kegirangan melihat mainan.

“Ini nih, buku You Look Beautiful Tonight cetakan keduanya!” decak Chelsea girang, “Katanya ada revisi di bagian special chapter-nya, gue mau beli ah!”

Gama mengulum senyum tipis, ia tak menyangka bahwa tulisan karyanya bisa membuat orang sebahagia ini.

“Lo happy banget ya kalau beli novelnya Mr. Gems?” tanya Gama.

Chelsea mengangguk semangat, “Iya! kan gue pernah bilang sama lo, buku-buku Mr. Gems itu bisa bikin gue bahagia dan sedih dalam satu waktu, terus tiap karakternya itu seolah hidup banget, romantisnya juga klasik tapi ngena! Kebetulan ya gue gak punya banyak begitu temen jadi buku itu kayak dunia gue, dan Mr. Gems menciptakan banyak hal berkesan untuk dunia gue!”

Hati Gama tersentuh, tatapan hangatnya begitu dalam ketika ia memandang wajah bahagia Chelsea saat menceritakan betapa gadis itu mencintai karya-karyanya. Tanpa sadar, tangannya menepuk pelan pucuk kepala istrinya. Chelsea mendongak, tatapan hangat Gama mengundang tanda tanya.

“Lo kenapa? Kok lihatin gue kayak gitu?” tanya Chelsea dengan sinis.

“I like the way you smile, Chelsea.”

Mata Chelsea membulat sempurna.

“Ma-Maksudnya?”

Tepukan pelan di kepala sang gadis berubah menjadi usapan kasar hingga rambut coklatnya itu tampak acak-acakan.

“Lo kalo senyum kelihatannya jadi gak rese, makanya banyakin senyum daripada cemberut!” Gama meninggalkan Chelsea mematung di tempatnya sambil terbahak-bahak.

“IHHHHHH EMANG LAKI RESE LO!!!”


Gama berinisiatif, dua tangannya sudah membawa es krim cone satunya rasa coklat dan satunya lagi rasa vanila. Es krim coklat yang ia bawa dikhususkan untuk sang istri, karena sekali lagi, Gama ingin melihat senyum Chelsea, sedangkan coklat itu membawa hormon bahagia bukan begitu?

Tapi justru wajah masam Chelsea yang menyambut kedatangannya.

“Gue gak suka coklat,” ucapnya membuat dada Gama tertohok.

“Ya udah, yang vanila aja mau?” tawar Gama dengan harap membuat suasana hati Chelsea lebih baik tapi justru malah makin memburuk.

“Gak suka juga, gue kalau makan es krim selalu rasa stroberi gak pernah di mix sama rasa lain.”

Gama mengelus dada, ini kenapa rasanya kayak bawa anak TK jalan-jalan ya?

“Udah gak usah rewel, ini makan aja yang ada!” Gama mulai frustasi, ia memaksa Chelsea untuk menerima es krim yang sudah dia belikan. Gadis itu membalas cemberut lagi, ia menatap lama es krim vanila nya. Matanya melihat bagaimana ekspresi jengkel Gama sambil melahap es krim coklatnya.

Gemas, begitulah yang ada di pikiran Chelsea.

“Lo marah ya?”

“Enggak.”

“Ih tapi nada bicaranya beda!”

“Apa sih, habisin es krimnya!”

Chelsea tertawa renyah, justru dengan usil dia merebut es krim Gama dan lari entah ke arah mana.

“CHELSEA, ITU ES KRIM GUE!!”

“Hahahahaha! Gantinya karena lo gak beliin gue es krim stroberi ya dua-duanya buat gue lah!”

“Heh, kok curang?! Sini gak?!”

Momen kebersamaan mereka, mulai terasa menyenangkan.

Hujan mengguyur malam itu, udara dingin yang menusuk tulang tak membuat senyuman bahagia Shashi luput dari sudut bibirnya. Meja kecil yang ia tata dengan taplak putih juga lilin aromaterapi kecil di tengahnya. Mengingat Rivan akan datang ke tempatnya membuat hati gadis itu berbunga-bunga.

Ia tak harus menunggu 100 hari untuk bisa bertemu sang pujangga hati, semesta kini berpihak kepada Shashi.

“Udah lama gak nonton TV ya, siapa tahu ada kabar tentang ayang,” gumamnya sambil terkekeh. Shashi mengambil remotnya di samping dan menyetel TV ke channel yang menampilkan satu berita menggemparkan.

Rivandy Nathaniel tampak serasi bersama sang kekasih, Erika Tsabita bahkan menunjukkan kemesraannya di hadapan publik...

Shashi membeku.

Suasana rumah yang ia buat hangat berubah jadi dingin, ketukan hujan di jendela langsung senyap dan waktu seakan berhenti. Kedua netra hitamnya membulat sempurna, menatap sepasang insan yang tampak saling mencintai tapi sayangnya... Pria itu miliknya.

Prianya berpindah hati kepada yang lain.

Tok... tok....

Suara ketukan pintu itu menghujam jantungnya. Kedatangan seseorang yang ia nantikan mendadak jadi sebuah rasa takut yang luar biasa.

“Shachi, buka pintunya.”

Satu bulir air matanya sudah jatuh membasahi pipi. Tangannya gemetar membuka pintu untuk seorang pria muda dengan pakaian serba hitamnya menghadap tepat di depannya, matanya tak sanggup melihat bagaimana tatapan penuh cinta sang kekasih berubah jadi gelap dan tak berperasaan. Buket bunga kecil yang seharusnya jadi istimewa, mencium aromanya saja Shashi sudah tak sudi.

Rivandy Nathaniel menyebut bahwa Erika Tsabita adalah wanita yang begitu ia cintai...

“Kamu udah tahu semuanya?” pria itu berucap lagi dengan lirih, tak ada jawaban selain picingan mata tajam Shashi yang menusuk pandangannya.

“Ternyata ini jawabannya kenapa kamu tiba-tiba menghilang?” tanya Shashi dengan gemetar, “Penantian 90 hari aku, ternyata berujung sia-sia?”

“Maaf, aku ngelanggar janji kita.”

“Lo bajingan, ngerti gak?”

Suara gemetar itu berubah jadi penuh emosi, dengan deraian air matanya yang deras, Shashi menarik kasar buket bunga Rivan lalu membuang di tempat sampah samping pintu.

“Gue gak butuh bunga itu, jelasin ke gue semuanya tentang lo dan situasi yang lo hadapin selama lo menghilang.”

“Gak ada yang perlu dijelasin lagi, kamu bisa lihat sendiri.”

“Gak usah bohong, ini semua gara-gara Rafi kan?”

“Bukan, ini semua karena aku sendiri.”

Shashi mengernyit, “Ma-Maksudnya?”

Rivan menatap nanar gadis di hadapannya, “Shashi, kamu sama aku itu hidup di dua dunia yang berbeda, aku yang biasa ada di bawah sinar panggung sedangkan kamu di belakangnya, kamu gak akan pernah ngerti bagaimana dunia aku begitupun aku yang gak akan pernah bisa ngerti dan menyesuaikan dunia yang kamu punya. Kalo kita terus sama-sama, yang ada kita saling menyakiti, dan belum lagi situasi aku sekarang—”

“Lo sadar gak lo lagi ngulangin kesalahan yang sama kayak Alea?”

Jantung Rivan berpacu cepat.

“Lo udah kehilangan Athala, Alea dan sekarang gue, apa masih belum cukup?” pertanyaan itu membuat Rivan goyah, tangan besarnya gemetar hebat. “Perlu berapa banyak lo kehilangan orang-orang berharga di sekitar lo, Rivandy Nathaniel?”

“Saya gak takut hal itu lagi.”

Shashi terkesiap.

“Saya gak takut kehilangan apapun lagi, untuk dunia saya, sampai sini kamu paham? Saya memang hidup untuk menjadi seorang bintang, kamu gak akan pernah ngerti.”

Puncak kekecewaan sudah mencengkram dada gadis itu, tangisnya berhenti dan berubah menjadi tawa renyah yang sinis. Dia menatap lurus kedua mata Rivan.

“Lo bener, gue gak akan pernah ngerti sama isi pikiran cowok pecundang kayak lo,” Shashi menantang Rivan dengan mantap, “Emang seharusnya gue hidup sebagai antifans nomer satu lo, dan terima kasih sudah mengembalikan gelar itu untuk gue.”

Shashi menutup pintu kamarnya rapat-rapat, membiarkan Rivan masih diam mematung di depan sana. Tanpa mereka saling melihat, pertahanan keduanya runtuh dan saling menghadap.

Mereka menangis sejadi-jadinya, atas akhir yang tak bahagia.

Keluarga Shashi memutuskan menginap di salah satu penginapan yang dekat dengan pantai Seminyak dan menikmati tiap momen sama-sama. Tari, ibundanya dan adiknya, Riana tak bisa menutupi rasa bahagianya yang tak pernah merasakan liburan setelah kepergian Ayahandanya.

Sampai langit sudah gelap dan bulan sabit menyapa. Riana dan juga Tari sudah menetap di kamar hotel sedangkan Shashi duduk di pinggir pantai menikmati desiran angin malam dengan suara ombak. Pilihannya untuk pulang ke Bali sangat tepat terutama ketika kepalanya hampir pecah setelah menyelesaikan sidang proposalnya. Shashi menghirup napas dalam-dalam, langit gemintang yang cantik di atas sana membuat gadis itu merasa rileks.

Tapi lagi-lagi hatinya masih terasa hampa.

Perlahan ia membuka ponselnya yang tak berdentang, dimana ia menantikan satu saja notifikasi chat dari kontak yang dia pin menjadi prioritas. Benaknya tak ingin menuntut tapi soal hati dan rindu itu tak bisa dibendung. Ia membuka foto kebersamaannya dengan kekasih hati yang kini jauh dari jangkauan. Lekukkan senyum miris terlukis sempurna di wajah cantik Shashi, berharap bahwa senyuman ini bisa sedikit memudarkan rasa sakit yang menusuk dadanya.

Sayang itu tak ada gunanya.

Shashi ingin menangis sekencang mungkin bersama laut, mungkin mereka akan dengar bagaimana jeritan perih dari hatinya. Jeritan hati itu mungkin takkan di dengar tapi setidaknya sampai kepada Rivan. Tapi ia takut yang ada warga panik keluar mengira Shashi terseret ombak.

“Boleh gak sih berharap kalau dia ada di sini?” gumamnya lirih.

Setiap insan berhak mengait harapan seperti yang dilakukan Shashi, entah harus terwujud atau tidak tapi hati nurani takkan bisa menyembunyikan sekecil apapun kebohongan. Shashi adalah gadis tangguh berhati batu, bukan karena dia orang jahat tapi dia sering melawan apa kata hati nuraninya.

Termasuk perasaan rindu yang ia kubur dalam-dalam.

Ia memutuskan untuk buka semua akun sosial media Rivan yang masih menampilkan kebersamaannya dengan Erika. Dengan perasaan rindu yang dalam, tentu saja membuat Shashi rentan untuk cemburu. Berita tentang Rivan dan Erika ada dimana-mana bahkan selalu menjadi topik hangat di setiap sosial media, mungkin juga di televisi karena Shashi tak begitu sering nonton televisi. Mereka tampak serasi, sama-sama bersinar di pusat yang sama dan pastinya... mereka satu dunia.

Kalau seandainya Rivan memaling hati, sepantasnya Shashi tahu diri. Dia memang berdiri bukan pada tempatnya.

Tapi ini soal hati, dimana perasaan cinta yang datang tiba-tiba dan mengikat mereka pada satu hubungan. Untuk dilepas juga terlalu sakit, Shashi tak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya dan sangat aneh kenapa Rivan membuat perasaannya bisa tak terkendali.

“Rivan... aku kangen.”

Kalimat itu keluar dari bibir manis Shashi, bersama deraian air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia merasa lemah juga bodoh dalam satu waktu, hatinya seolah mengharapkan bahwa semesta akan memberi belas kasihan terhadap luka dari rindu yang dia pendam sendiri. Tak ada keajaiban, tak mungkin terjadi keajaiban bahwa rindunya itu terbalas.

Di sini hanya ada suara ombak, langit malam yang penuh gemintang juga dirinya yang masih terisak.

Sampai ada suatu kehangatan yang melingkar di bahu ringkuhnya.

“Aku kangen banget sama kamu.”

Sepasang mata Shashi terbelalak sempurna, dia hendak menoleh namun tubuhnya seolah terkunci. Aroma maskulin yang mencuat membuat dada Shashi semakin sesak.

“Maaf, Shachi, maaf seribu maaf.”

Suara bariton yang dirindukan tatkala tangisan Shashi yang semakin kencang. Dia merasa bahwa dirinya tenggelam dengan mimpinya. Rivandy Nathaniel, dia kembali.

“Shachi, maaf aku ngelewatin berapa hal tentang kamu ya? Sidang proposal dan juga... rambut pendek kamu.” Rivan mengecup pucuk kepala gadis kasihnya, “Cantik, apapun itu kamu tetap cantik, aroma kamu juga masih sama. Masih jadi favorit aku.”

Shashi tak menjawab, dia menunduk dengan tetesan air matanya.

“Maaf, kamu ngelaluin banyak hal karena aku ya?”

Shashi menggeleng, “Enggak, gapapa.”

“Terus kenapa nangis?”

Rivan intens menatap kedua iris kelam Shashi sedangkan yang ditatap berusaha menghindari tatapan pria di hadapannya.

“Aku... Aku gak tahu kenapa nangis kayak gini tapi yang jelas aku kangen sama kamu, tapi rasa kangennya sampai bikin dada aku sakit.”

Rivan mengangguk, “Terus?”

“A-Aku ngerti kok kesibukan kamu, situasi kamu, Katherine cerita banyak tentang kamu cuman gak tahu kenapa hati aku tetap sakit. Aku ngerasa perasaan aku ini egois tapi gak bisa aku kontrol, mau marah juga gak bisa—”

Rivan memeluk erat lagi tubuh ringkuh Shashi.

“Gapapa, gak ada yang salah sama perasaan kamu. Maaf, kamu harus laluin ini semua.”

Kata maaf itu bukanlah obat dari luka, rasanya semakin sesak di dada Shashi.

“Jangan minta maaf... Aku beneran ngerasa bego tahu gak...”

“Enggak, Shachi, aku ngerasa bersalah dengan situasi ini. Seharusnya kamu gak ngelaluin ini.”

“Jangan gitu, aku kan bilang apapun itu kita hadapin sama-sama.”

Shashi mendongak, jari kelingkingnya terulur di hadapan wajah Rivan.

“Mau buat janji gak?” ujar gadis itu. Rivan diam sejenak, tangan Shashi meraih jemari besar milik pria kasihnya dan menarik satu jari kelingkingnya untuk dikait. “Janji bahwa kita akan laluin semuanya apapun yang terjadi, dan jangan pernah ada pikiran untuk pergi.”

Bibir Rivan gemetar.

“Janji?” Shashi mengulang lagi kalimatnya.

Dengan uluman senyum tipis, Rivan mengangguk. Ia mengeratkan kaitan jari kelingkingnya dibawah langit pantai Seminyak dan ombak yang terus berdesir. Mereka saling menatap lekat, tangan besar Rivan menangkup dua sisi wajah gadis kasihnya seraya mengelus pelan pipinya dengan lembut. Mereka terkekeh, detak jantung yang begitu kencang sampai rasanya ingin meledak. Perlahan tapi pasti, Rivan mendekatkan wajahnya kepada sang kekasih untuk meraih satu kecupan di bibir ranumnya yang merekah. Shashi memejam mata, tenggelam dengan satu sentuhan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Malam ini tertulis sejarah, yaitu sebuah janji yang di ikrarkan juga kecupan pertama ini.

Perasaan bahagia namun perih menjadi satu. Sejarah ini bisa menjadi awal akhir yang bahagia atau justru menjadi cerita luka. Terserah bagaimana takdir. Shashi hanya mengharapkan kehangatan ini berlangsung lebih lama...

Atau selamanya.

“Kamu kok pake piyama gitu sih kan mau ada keluarganya Gama,” Ratna dibuat bingung dengan sikap Chelsea yang mengundang tanda tanya besar. Gadis itu dengan sengaja memakai piyama tidur dengan rambut yang tak tertata, disuruh untuk mandi pun ia hiraukan. Dari kejauhan Farhan memerhatikan tiap pergerakan putri semata wayangnya itu. Ia menyungging senyuman miring.

Tak lama kehadiran keluarga Gama tiba, Farhan dan Ratna menyambut kedatangan para tamunya namun ada sesuatu yang mengganjal dari mereka.

“Mamaaaa, jangan jauh-jauh dari Gama~” derai suara manja Gama membuat Farhan mengernyitkan dahinya. Begitupun Adam, Fiona dan Ghaza yang geleng-geleng kepala.

“Gama kenapa, Dam?” tanya Farhan heran.

“Gak tahu, dari rumah juga nempel mulu sama Mamanya gak mau lepas,” jawab Adam dengan lesu.

Tatapan elang Farhan yang menusuk itu terus menelisik pergerakan Gama yang sedang memaut bibirnya manja di hadapan Fiona. Suasana mereka berubah canggung, sampai kehadiran Chelsea juga sukses membuat mereka menganga selebar-lebarnya.

“GAMAAAA!!!” teriak Chelsea dari kejauhan praktis membuat Fiona menutup telinganya rapat-rapat. Farhan melotot ke arah putrinya itu, dan Ratna tak henti menepuk jidatnya. “Gama lama banget!!!” Chelsea sengaja bicara keras-keras untuk melancarkan aksi yang sudah mereka rencanakan, sedangkan Gama dibalik punggung ibunya tersenyum penuh arti.

Pakaian Chelsea saat ini sudah sangat mendeskripsikan sebagai cewek selebor. Kedua orang tua dari masing-masing pihak seolah dihantam keras-keras ekspetasinya. Melihat ekspresinya yang tampak planga-plongo, bisa dipastikan rencana Gama dan Chelsea hampir berhasil.

Farhan dan Ratna mempersilahkan tamunya untuk duduk di ruangan makan. Hidangan khas Eropa yang sudah menjadi keahlian masak Ratna benar-benar mengunggah selera, tapi lagi-lagi tingkah laku Gama dan Chelsea membuat mereka terheran-heran. Gama mengambil tempat duduk duluan lalu menyilang kakinya, tangannya sedikit melekuk dengan gemulai membuat Farhan bergedik ngeri. Chelsea juga mengambil tempat duduknya, dengan iris hitamnya yang intens menatap kedua orang tua Gama, gadis itu sengaja bersendawa keras-keras membuat Ratna praktis memukul lengan putrinya.

“Chelsea apa-apaan kamu heh?!” desis Ratna.

“Kembung mah, duh agak gatel juga badan aku belum mandi dari pagi!” ucap Chelsea dengan sembrono sampai Adam membelelakkan kedua matanya.

Untuk mencairkan suasana canggung akhirnya Farhan mempersilahkan tamunya lebih dulu menyantap hidangnnya lebih dulu. Gama berdiri dan mengucap permisi untuk ke belakang. Farhan memaling cepat, matanya masih intens memerhatikan lagi gerak-gerik pemuda itu yang penuh kejanggalan. Sebenarnya aliran darah Farhan sudah berdesir panas hampir mencapai puncak ubun-ubunnya, kalau bukan karena situasi mungkin amarahnya sudah meledak sejak tadi. Anak-anak kurang ajar, kalian pikir bisa membodohi kami gitu aja, hah?!

Farhan terperanjat di tempatnya begitu mendengar suara siulan riang dari Gama. Dia menoleh cepat ke sumber suara, wajah Gama yang tanpa dosa itu kembali membuat pitamnya naik dengan cepat.

“Ehm, Gama dengan Chelsea—”

“IHH MAMA KOK BIKINNYA PEDES BANGET SIHH??!! CHELSEA GAK SUKAAA!!!”

Sekarang giliran Chelsea yang berulah, tiba-tiba gadis itu merengek layaknya anak kecil, “Pedes bangett aduhhhh gak suka, gak sukaaa!” rewelnya membuat telinga Fiona hampir meledak.

“Aduh mana pedes sih?! Enggak kok, kan kamu biasanya suka makanannya!” tukas Ratna.

“Gak mauuu! Mama udah gak sayang Chelsea yaa?!”

Fiona mengelus dadanya pelan. Di samping Fiona ada Ghaza yang turut menyaksikan aksi dua orang yang membuatnya mengusap wajah gusar. Kenapa gue bisa berada di tengah-tengah dua orang stres ini....

Gama sudah duduk di tempatnya, matanya berbinar melihat spaghetti bolognaise yang tersaji lalu mengambil porsinya dengan sangat rakus. Ratna terkesiap, barusan Gama mengambil tiga sendok besar spaghettinya dan melahap makanan itu sekaligus seperti orang tak makan tiga hari, belum lagi terdengar suara ngecap yang mengganggu selera makan wanita paruh baya itu. Wajah polos dan tampannya sangat berbalik dengan tingkah lakunya sekarang, Ratna dibuat skakmat.

Mereka memutuskan untuk menghadapi situasi aneh ini dengan kepala dingin. Farhan menarik napasnya perlahan, “Kita mulai bicara soal pernikahan kalian dan bagaimana keputusan kita akhirnya.”

Chelsea tiba-tiba angkat tangannya, “Gama, Gama, kok aku lihat kamu makin ganteeeng sihhh??” dengan mulut yang penuh, Chelsea berbicara tak terarah. Fiona semakin melotot, kalau itu putrinya pasti sudah dia layangkan cubitan mautnya.

“Chelsea juga makin lucu deehh!” dengan nada manja Gama membalas, tapi tangannya terus mengait di lengan sang ibunda, “Tapi masih lucuan Mama aku! Ya kan mah?!”

“EHEM!!!!”

Dehaman keras Farhan seketika membuat seisi ruangan sunyi. Pria itu kembali menderu desah panjangnya...

“Gama dengan Chelsea... kalian makin kompak ya saya perhatikan.”

Yang dipanggil menegup salivanya bulat-bulat.

“Kalau gitu percepat aja ya proses ke KUA-nya? Kalian pasti bisa jadi keluarga yang harmonis,” kalimat itu terdengar mematikan dengan senyuman licik Farhan.

Gama dan Chelsea tertawa miris.

ANJRITTTTT!!!!!!

Hujan deras mengguyur bumi, mengetuk jendela kaca kamar Chelsea membunuh kesunyian. Masih di posisinya, Chelsea tak melepas pelukannya sedikitpun dari tubuh Gama. Pemuda itu juga tak bergerak, justru tangannya menepuk pelan bahu milik Chelsea. Desiran jantung yang mungkin akan terdengar, tapi pemuda itu lebih memikirkan bagaimana cara agar melepas pelukan ini.

“Ghazaaaa, tahu gak sih—” Mata Chelsea membulat sempurna begitu mendapati laki-laki di hadapannya itu bukan Ghaza, melainkan Gama. Gadis itu praktis menjerit, dia melangkah mundur cepat dengan wajah yang memerah padam, “Lo siapa?!”

“A-Ah ini, gue disuruh Ghaza buat anterin bubur!” Kalimat Gama sedikit terbata-bata, “Gue udah chat lo berkali-kali tapi gak dibales terus pintu di depan juga gak dikunci jadi gue masuk aja!”

Demi Tuhan, ini cewek pengen banget gue jitak, kenapa sih dia bener-bener ceroboh... dari pintu yang gak dikunci terus asal meluk orang....

“Oh ya by the way gue kakaknya Ghaza, Gama,” ujar pemuda itu sambil mengulurkan tangannya. Dia ingin cepat pergi dari situasi canggung ini.

Chelsea hanya memandang kosong tangan Gama yang terulur.

“Lo Chelsea kan? Adek gue banyak cerita soal lo.”

Chelsea masih diam.

Ini orang punya mulut gak sih?

Kepala gadis itu mendongak dengan tatapan nanarnya. Kedua mata mereka saling bertemu bersama hembusan air conditioner yang semakin menusuk tulang. Semesta seolah memberikan satu garis diantara kedua insan itu.

“Temenin gue di sini please?”


“Lo abis putus ama cowok lo?” Gama berakhir duduk di ruangan ini bersama seorang gadis yang baru ia temui. Tampaknya, gadis di hadapannya itu tak canggung dengan situasi ini sedangkan bagi Gama ini cukup membuatnya kikuk. Dia tidak pernah berada di satu ruangan berdua dengan perempuan, apalagi di ruangan tertutup seperti ini.

“Gak tahu bisa disebut cowok gue atau bukan...” tutur Chelsea lesu, “Kita juga gak ada hubungan jadi untuk apa gue galau gini, dia emang berhak deketin cewek lain tapi gimana ya....”

Cewek kalau patah hati pertahanannya bisa selemah ini ya.

“Tapi kalian komitmen?” entah sejak kapan Gama jadi ingin lebih tahu cerita Chelsea.

“Gak tahu juga, kita kayak orang pacaran tapi sembunyi-sembunyi juga.”

Gama mengernyit dahi, “Kenapa sembunyi-sembunyi?”

“Katanya belum waktunya untuk di publish.

Pemuda itu geleng-geleng. Sepanjang Gama mendengar cerita Chelsea dia tak berhenti menderu desahnya. Dia baru menemukan seorang gadis aneh yang begitu ceroboh seperti Chelsea, dan entah kenapa Ghaza ingin sekali memperkenalkan gadis ini kepadanya. Di posisinya, Gama memandang Chelsea dari atas sampai bawah. Wajah cantiknya dengan pipi merah merona, rambut hitam lurus yang jatuh dan sedikit acak-acakkan.

Tunggu dulu, Gama terdengar seperti pria mencurigakan.

Seketika perhatiannya teralihkan pada sebuah iPad yang masih menyala, menampilkan sebuah ilustrasi yang begitu ia kenal. Itu ilustrasi dari novel tulisannya.

“Lo lagi baca novel?” tanya Gama sambil menunjuk iPad Chelsea.

“Oh... iya, gue kalo lagi galau biasanya baca novel yang bisa mancing gue buat nangis,” Chelsea meraih iPad-nya lalu menunjukkan novel yang dia baca kepada Gama, “Ini special e-book dari penulis favorit gue, tahu gak sih? lucu banget deh, masa tiba-tiba pas tengah malem ada e-mail masuk ternyata ada special e-book masuk di e-mail, Gue gak ngerasa pernah ikut giveaway atau apapun tapi mungkin ini hadiah dari Tuhan,” kalimatnya terputus sejenak seiring bibirnya melekukkan senyuman tipis.

“Buku-buku Mr. Gems itu membuat gue bahagia, dan sedih secara bersamaan makanya gue ngefans banget sama dia.”

Pujian itu membuat Gama ingin melambung tinggi. Pemuda itu terhenyak dengan bagaimana Chelsea memberi kesan kepada tulisannya. Tanpa disadari, tangan Gama mendarat ke pucuk kepala Chelsea.

“Just do what makes you happy.”

Kalimat singkat namun bermakna dalam bagi Chelsea. Gadis itu terkekeh pelan.

“Kita baru kenal ya padahal, sorry udah bikin lo repot-repot nemenin gue nge-galau, biasanya gue ditemenin sama Ghaza soalnya,” ucap Chelsea.

“Gapapa, kebetulan adek gue juga ada urusan jadi biar gue yang gantiin toh gue lagi senggang,” Gama berdiri dari tempat duduknya, “Kalau gitu lo istirahat lagi, lupain semua yang bikin lo sedih, kalau besok udah sembuh nanti bisa cari sesuatu yang bikin lo bahagia,” tangan besarnya membenarkan posisi selimut Chelsea seraya menepuk pelan lagi bahu mungil sang gadis. Chelsea hanyut dengan kehangatan Gama. Tak heran kenapa Ghaza begitu bersikukuh mempromosikan kakaknya kepada Chelsea.

“Oh ya, omong-omong gue boleh minta minum gak?” tanya Gama.

“Boleh, anggep aja kayak rumah sendiri! Lo bikin kopi aja atau teh di dapur!” jawab Chelsea.

“Yang dingin-dingin ada?”

“Ada kok, ambil aja jus yang ada di kulkas.”

Gama mengangguk mantap sambil melangkah pergi keluar kamar. Jaket denim yang dia pakai sudah sejak tadi dilepas dan menguntai di sisi bahunya, Gama melangkah cepat menuju dapur berukuran 40 cm itu dan menelisik tiap sudut ruangan. Ini kali pertama Gama masuk ke dapur orang, biasanya dia tak pernah berlaku seperti ini. Bagi pemuda itu, memasuki dapur orang bukan sesuatu yang lazim kecuali kalau sudah sangat dekat tapi di sepanjang hayat Gama tak pernah ada sejarahnya dia menggunakan dapur orang seperti dapur sendiri.

Pemuda normatif itu kikuk mengambil gelas yang ada di atas lemari. Dia celingukan mencari dispenser air yang letaknya ada di sudut ruangan lalu teringat dengan kata-kata Chelsea.

Ambil aja jus di kulkas.

Itu yang ditangkap Gama, pemuda itu langsung membuka kulkas dan mencari minuman jus yang disebutkan Chelsea. Perhatiannya teralihkan kepada satu botol besar berukuran 1.5 liter yang berisi cairan berwarna ungu pekat.

“Ini jusnya?” Gama mengambil botol itu dan membuka tutup botolnya, dia mengendus sedikit yang memberikan semerbak aroma anggur yang kuat. Entah kenapa Gama lebih tertarik dengan minuman anggur yang ada di genggamannya. Dia menuangkan penuh minuman itu ke dalam gelasnya dan menyesap cepat.

“Wih enak nih, seger!” Gama meneguk habis minumannya sampai tak tersisa di gelas.

Ada yang aneh, kenapa kepala Gama terasa begitu pusing?

Gama meletakkan gelasnya di wastafel cuci piring. Langkahnya sempoyongan dan dia menyandarkan tubuhnya di atas sofa ruangan tamu. Dunianya seolah berputar, dan dia tak sanggup menahan kepalanya yang hampir pecah. Sejenak dia memejam matanya sampai tak sadar dirinya sudah terlelap panjang.



“ASTAGA, CHELSEA KAMU NGAPAIN???!!!!”

Suara melengking itu membangunkan Gama dari tidurnya. Kedua matanya masih sulit untuk dibuka namun sejak tadi dia merasa ada yang memukul-mukul lengan telanjangnya. Tunggu dulu, lengan telanjang?

“Jadi selama Papa sama Mama gak ada kamu bawa laki-laki kesini, Chelsea?!”

“DEMI TUHAN ENGGAK!! CHELSEA GAK TAHU KENAPA GAMA ADA DI SAMPING CHELSEA!!”

Gama berusaha sekuat mungkin untuk bangkit, dia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur sampai ia tersontak dengan kehadiran dua orang tua Chelsea dan Ghaza di belakangnya.

“KAMU APAIN ANAK SAYA?!”

Gama terperanjat. Pandangan tajam Farhan itu menusuk tepat di mata Gama.

“Ya Tuhan... aku sudah menjaga anak gadisku sebaik mungkin tapi tetap kelolosan...” lirihan Ratna dalam dekapan Ghaza membuat Gama kebingungan sejak tadi.

“AKU GAK NGAPA-NGAPAIN!! JUSTRU AKU GAK TAHU KENAPA GAMA TIDUR DI SAMPING AKU MAHH!!” Chelsea masih memekik.

“Kamu pikir mama percaya sama kamu sedangkan ada laki-laki telanjang dada ikut tidur di samping kamu?!”

Kedua mata Gama melotot, ternyata bagian atasnya sudah tak dibalut kain apapun dan cepat tangannya merebut selimut di samping Chelsea. Gadis itu juga ikut menatap tajam Gama.

“GAMA LO NGAPAIN SIH SEMALEM?! KENAPA BISA IKUT TIDUR DISAMPING GUEEEEE??!!” jerit Chelsea hampir menangis.

“Gu-gue gak tahu! Semalem kan gue di bawah!” ujar Gama gelagapan.

“DI BAWAH APANYA??!!” sahut kedua orang tua Chelsea bersamaan.

“Di-di-di ruang tamu! Saya ketiduran di situ!” Bibir Gama terus gemetar, rasanya seperti runtuh semua harga diri Gama. Entah kenapa tragedi mengenaskan ini harus menimpa hidupnya dan parahnya harus melibatkan orang yang baru dia kenal. Tangisan Ratna semakin kencang dipelukan Ghaza sedangkan Farhan terus mengerutkan dahinya.

Gama berusaha mengingat-ngingat lagi semalam ada kejadian apa yang membawanya ke kamar ini karena di ingatan terakhir Gama, dia tertidur pulas di sofa ruangan tamu, bukan di kamar Chelsea dan paling penting dalam keadaan baju terpasang bukan telanjang dada begini.

“Please, Pah, Mah... percaya sama Chelsea... Chelsea gak ngapa-ngapain sama Gama, kita baru kenal kemarin... kemarin Gama kesini buat anterin bubur titipan Ghaza bukan yang lain,” suara purau Chelsea membuat suasana semakin runyam. Gadis itu menitikkan air matanya yang membuat hati Farhan dan Ratna tersentuh.

“Kamu serius gak ngapa-ngapain sama anak ini, Chelsea?” tanya Farhan dengan tegas.

“Serius, Pah, Chelsea—urghh... hoeeekk!!” Chelsea lari ke kamar mandinya dan lagi-lagi situasi itu membuat situasi semakin menegang. Farhan melotot lagi ke arah Gama, ekspresi murkanya benar-benar terlukiskan membuat bulu kuduk Gama berdiri detik itu juga.

Anjrit apes banget gue!!!

Rivan dan Shashi diantar ke stasiun MRT Lebak Bulus sebagai awal mula keberangkatan mereka. Semua set dari satu kameramen yang membuntuti dan juga tak lupa dari keduanya membawa kamera vlog sendiri untuk merekam tiap momen. Tentu saja kedatangan mereka langsung digandrungi orang-orang sekitar namun dengan sigap ada beberapa bodyguard yang menahan keramaian, Rivan dan Shashi fokus untuk melangsungkan syutingnya.

“Eh nyalain kameranya gimana sih kok susah,” Shashi sejak tadi sibuk berkutat dengan tombol power kameranya yang tak berfungsi, Rivan dengan sigap membantu sambil mencuri kesempatan dengan mengapit tubuh mungil Shashi hingga tak ada jarak yang tersisa. Jantung Shashi berdesir, ia harus menyembunyikan wajah cantiknya yang memerah padam karena ulah Rivan. Tak lupa, Rivan sengaja sedikit menunduk untuk menghirup aroma shampoo bayi Shashi yang selalu menjadi favoritnya.

“Wanginya masih sama, ternyata kamu tetep Shachinya aku,” bisiknya menggoda membuat Shashi ingin mengacak bumi detik ini juga tapi ia harus tampak netral. Rivan memang tak kenal situasi untuk membuatnya salah tingkah, “Makanya jangan sedih ya? Acara ini memang berakhir tapi kita enggak, Shachi.”

Kalimat selanjutnya menenangkan Shashi. Senyuman manis dari bibir tipisnya itu meyakinkan Shashi untuk menghadapi hari ini dengan tenang. Rivan benar, ini hanya akhir dari acaranya tapi hubungan mereka tetap terjalin.

Sekarang mereka sudah siap. Senyum cerah keduanya menjadi awal sambutan mereka memulai aksi sebelum mengisi kartu multi-trip di loket. Rivan mengambil alih, dia yang mengisi dua kartu tersebut dengan nominal yang cukup besar hingga Shashi dibuat melongo. Rivan mengulum senyum miring, merangkul erat bahu mungil gadis kasihnya menuju pintu masuk. Langkah mereka yang cepat dengan senandung ria menyambut pagi, Rivan sedikit menceritakan awal pertama pengalamannya menaiki MRT.

“Waktu itu aku penasaran banget sama MRT terus ngajakin Bang Valent buat naik MRT sampai Senayan, belum nyoba sampai Bundaran HI,” ucapnya.

Shashi menimpal, “Jujur ini pertama kalinya aku naik MRT lho, di Bali kan gak ada hahaha... jadi aku agak deg-degan juga.”

Rivan menepuk pelan pucuk kepala Shashi, “Tenang aja, ada aku.”

Wajah Shashi sukses dibuat merah bak kepiting rebus, di kamera mungkin mereka dibilang handal dalam berlakon tapi yang sebenarnya memang Shashi dibuat salah tingkah. Rivan juga mengucapkan dialognya sungguh-sungguh. Kereta tujuan mereka sampai, pelan-pelan Rivan menuntun Shashi masuk dan mengambil tempat yang berada di ujung dekat pintu gerbong. Hawa dingin dari air conditioner berhembus di tengah teriknya matahari di Jakarta. Rivan dan Shashi menaati peraturan untuk tidak bersuara dulu selama di kereta.

Lalu lalang kota yang terlihat di jendela membuat kagum Shashi yang baru merasakan naik MRT pertama kalinya. Seolah perjalanan ini menjadi healing di tengah kegundahannya, sedangkan Rivan mematikan sementara kameranya sambil menoleh ke arah Shashi.

Kedua mata cantik gadis kasihnya tampak berbinar, dan hal itu membuat Rivan gemas. Tangan besarnya mengelus pelan surai hitam Shashi.

“Seneng?” bisik Rivan dengan lembut. Shashi balas mengangguk semangat, reaksi antusiasnya disambut dengan derai tawa pelan Rivan. Sang kameramen di depan keduanya menatap intens tiap gerak-gerik sepasang kekasih itu, melihat seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Nuansa kasmaran yang begitu kuat tak menampakkan mereka hanya berpura-pura. Siapapun berhak curiga dengan melihat interaksi mereka.

Sesampainya di pemberhentian Bundaran HI, sekali lagi Shashi mengucap kekagumannya. Gedung-gedung tinggi yang menampilkan kesan modern juga jalanan yang tertata. Rivan mengaktifkan lagi kameranya sambil tangan besarnya mengulur kepada gadis kasihnya—mengisyaratkan untuk saling bergandeng tangan. Dengan gugup, Shashi meraih tangan besar Rivan. Mereka mengait erat jemarinya dengan ibu jari Rivan yang mengelus pelan punggung tangan mungil Shashi. Meskipun cuaca yang panas, tapi angin sejuk menerpa keduanya. Di pinggir jalan banyak terdapat pedagang kaki lima, entah itu hanya sekedar penjual minuman sachet di pinggir jalan atau makanan ringan lain.

Rivan dan Shashi diarahkan ke mall Plaza Indonesia, karena di script tertulis Rivan akan membelikan baju untuk Shashi. Gadis itu tersontak, “Nanti baju yang dibeliin Rivan bakal dibalikin lagi kan?”

Kameramen yang menemani tertawa mendengar pertanyaan Shashi, “Ya enggak lah, emang buat kamu, Shashi. Hadiah perpisahan dari kita semua.”

Rivan mengangguke mengiyakan perkataan pria muda disampingnya, sedangkan ekspresi wajah Shashi tampak tak senang. Bukan karena ia membenci ide itu tapi ia merasa tak enak hati. Pria kasihnya mendekat ke telinga Shashi, “Kenapa kok malah murung?”

“Aku gak enak terimanya.”

“Santai aja, ini pake uang aku kok.”

“Justru karena pake uang kamu!”

Rivan menghentak satu jari besarnya di kening Shashi, “Anggep hari ini adalah hari Shashi sedunia, kamu bebas ngapain aja.”

Tangan mereka kembali mengait erat dan itu dijadikan spotlight adegan acara ini. Para staff yang menonton mereka dari jauh melalui monitor menjerit girang, terutama Alice asisten sutradara yang sejak tadi mencubit gemas Roy. Kemesraan Rivan dengan Shashi memang membuat yang menonton ikut gigit jari. Bisa dipastikan setelah acara ini selesai, Rivan akan mendapat predikat baru sebagai Laki-laki yang ingin dikencani semua perempuan se-Indonesia.

Rivan menunjuk salah satu brand fashion ternama yang harga tiap bajunya membuat Shashi melongo. Ini mah setara ama duit bulanan kos gue!

“Mau pilih sendiri atau aku pilihin?” tanya Rivan dengan senyum hangatnya, membuat Shashi kikuk, “Uh... aku gak tahu harus pilih yang mana.”

Tangan Rivan langsung menarik satu dress cantik berwarna merah muda dan memakaikan baju itu kepada Shashi.

“Ini cantik, mau?” Rivan meyakinkan pilihannya. Shashi masih bergeming panjang.

“Aku jarang pake dress gini, biasanya pake celana.”

“Mau yang ini atau pilih yang lain?”

“Yang lain boleh?”

Rivan mengulum senyumnya lagi, “Iya boleh,” tuturnya dengan lembut. Rivan menarik pergelangan tangan mungil Shashi menuju koleksi baju yang sesuai dengan selera Shashi. Sekarang Rivan mempersilahkan gadis kasihnya lebih dulu untuk memilih baju yang sesuai dengan keinginan, tentu gadis itu bingung. Semua baju tampak glamor tidak seperti baju yang biasa ia pakai, Kalau gue beli baju mahal-mahal nanti kapan pakenya coba? kan sayang kalo dipake terus.

“Gini deh, kamu mau apa sebagai kenang-kenangan untuk kita semua?” Rivan yang membaca gerak-gerik Shashi akhirnya memberikan opsi lain, wajah gadis itu tampak sumringah. Dia meminta Rivan untuk mendekat dan membisikkan permintaannya. Mic yang digunakan Shashi sedang dimatikan jadi takkan terdengar apa permintaannya, Rivan menyanggupi permintaan gadisnya.

“Yaudah kita selesaikan dulu syutingnya di sini ya? Berarti langsung next aja ke tempat selanjutnya?”

Shashi mengangguk mantap.


Hari menjelang gelap, Rivan dan Shashi sekarang duduk di kafe yang menampilkan pemandangan indah kota Jakarta. Gedung-gedung yang memancarkan cahaya cantik juga pohon-pohon di sekitar yang membuat suasana semakin sejuk. Dua gelas java frappucino yang tersisa setengah, sepasang insan yang menjalin kasih itu menikmati percakapan panjang dengan seribu topik. Sekarang suasana berubah menjadi serius, karena mengingat hari ini adalah syuting terakhir. Shashi menundukkan kepalanya.

“Sayang ya, acara kita berakhir sampai sini...” lirih Shashi dibalas anggukan kepala Rivan.

“Iya, sekarang aku udah mulai nikmatin acara ini tiba-tiba berakhir lebih cepat gitu aja....” senyum tipis Rivan membuat dada Shashi semakin perih.

Seandainya acara ini berakhir... apa semuanya tetap sama, Rivan?

Rivan menegakkan posisinya, “Karena hari ini adalah syuting terakhir, ada kesan dan pesan gak dari kamu?”

Shashi menderu napasnya, “Kesan dan pesan ya...” ia meletakkan minumannya ke meja kembali, “Jujur, acara ini... memberi banyak kesan untuk aku, Rivan. Awalnya aku emang cuman mikirin uang semata doang, tapi ini lebih dari itu. Aku belajar banyak dari acara ini, terutama tentang kehidupan lain dari seorang selebriti, bagaimana kerja keras mereka menghibur para penggemarnya, dan aku yang dulu menganggap enteng pekerjaan seorang artis sekarang aku paham kenapa orang-orang bisa memberi banyak cinta terhadap artis idolanya...”

Rivan tersenyum miring, “Kalo gitu, masih mau jadi antifans aku, Shashi?”

Pertanyaan menohok itu mengundang gelak tawa Shashi, “Kalo itu dipikir-pikir lagi deh, hahahaha....”

Mereka kembali terdiam, tangan besar Rivan mengelus pelan surai cantik Shashi yang tergerai indah. Maniknya memandang lekat tiap fitur inci gadis kasihnya. Dibawah langit malam yang tak mendatangkan bulan pun tak jadi masalah karena bagi Rivan, kecantikan Shashi sudah terpancar dengan sempurna.

“Apapun itu, tetap bahagia ya?” Rivan tersenyum simpul, Disampingku, Shashi, karena aku akan menjadikan kamu gadis paling bahagia di muka bumi ini... meskipun itu dibelakang layar.

Shashi membalas ucapan hangat itu dengan senyum cantiknya, “Rivan juga sama ya? Kamu harus bahagia untuk orang-orang yang sayang sama kamu,” tuturnya pelan, Terutama aku, Rivan, bahagialah untuk aku.

Kalimat keduanya terdengar miris karena malam ini adalah malam terakhir keduanya duduk bersama dengan sorot kamera. Tak ada lagi sandiwara yang menyenangkan, meskipun diawali oleh pertikaian tapi waktu membawa momen itu menjadi kenangan indah. Lika-liku Rivan dan juga Shashi menjalani acara ini menjadi sebuah cerita, dan hari esok... mereka sudah menjalani kehidupannya masing-masing.

Sang kameramen ikut menangis haru terbawa suasana keduanya, begitupun para staff yang ikut monitoring mereka dari jauh. Acara mereka sukses berkat keduanya, dan perpisahan ini memang harus dirayakan.

“Abis ini... kamu sibuk dengan project selanjutnya kan?” tanya Shashi sendu.

“Iya, kamu juga fokus ngerjain skripsi lagi bukan?” Rivan balik bertanya.

“Iya,” Shashi menatap nanar gelasnya yang sudah kosong, “Apapun itu, good luck ya?”

“Kamu juga, semoga diperlancar sampai wisuda ya?”

“Rivan mau dateng ke wisuda aku?”

Kalimat itu tak sengaja keluar dari bibir Shashi. Ia lupa kalau sekarang percakapannya terekam monitor dan juga kamera, Shashi bego, harusnya nanti aja nanya soal itu!

“Pasti, Shashi.”

Kedua mata Shashi terbelelak sempurna.

“Itu momen penting kamu kan? Aku pasti dateng.”

Seribu kupu-kupu berterbangan dibawah perutnya, tanpa disadari lagi gadis itu memancar wajah gembiranya.


“Ini... apa?”

Seketika suasana rumah Rivan berubah menjadi pesta barbeque besar-besaran. Di tengah jalan ternyata Rivan dan Shashi berbelanja dulu untuk merayakan pesta perpisahan dengan para staff SMTV. Ini adalah permintaan Shashi, sebenarnya gadis itu hanya meminta pesta pizza tapi Rivan mengusulkan pesta yang lebih meriah lagi.

“Ini semua usulnya Shashi, dia bilang hadiah perpisahan harusnya gak cuman untuk dia tapi untuk kita semua, jadi kita buat pesta perpisahan di sini! Kalian kan juga kerja keras untuk acara ini, jadi jangan sungkan-sungkan ya!” pinta Rivan dengan penuh sukacita. Roy menitikkan air mata haru, ia langsung memeluk erat tubuh Rivan.

“Kayaknya gue harus masuk fanclub lo deh, Van,” ujar Roy.

“Lho kan yang punya ide Shashi, bilang makasih juga tuh sama Shashi,” Rivan membisik lagi, “Minta maaf sekalian soal evil editing lo kemaren.”

Roy menegup salivanya bulat-bulat, langkah kakinya berat menuju gadis yang tengah sibuk memanggang daging. Pria bertopi itu mendeham sampai Shashi menoleh kaget, “Kenapa, Om?”

“Gapapa, mau lihat aja udah mateng belum itu dagingnya?” Roy mulai basa-basi.

“Yang medium udah, tinggal nunggu yang well-done nih.”

SET!! Tiba-tiba Roy membungkuk tubuhnya di hadapan Shashi, “Om Roy?!”

“Shashi, terima kasih untuk semuanya.”

Mata Shashi membulat sempurna.

“Terima kasih untuk kerja kerasnya di acara ini, meskipun kita selesai lebih cepat tapi setidaknya acara ini selesai dengan baik, ya yang soal kemarin juga... itu gue minta maaf, tapi emang itu cara kerjanya di industri ini untuk dapetin rating tinggi, jadi ya memang jadi bagian pekerjaan kita. Kalau lo gak kuat, mending gak usah ikutan acara kayak gini lagi.”

Permintaan maaf Roy memang terdengar seperti tak tulus, tapi Shashi sudah mendapat poin dari kalimat lawan bicaranya.

“Sampai kapanpun saya gak akan pernah terbesit untuk ikut acara seperti ini lagi,” Shashi mendekat ke telinga Roy, “Apalagi jadi artis.”

Shashi menyerahkan sepiring daging yang sudah ia panggang kepada Roy dengan senyum jumawa. Tidak, Shashi sudah memaafkan Roy tapi ia jadi belajar satu hal yang cukup berharga... bahwa manusia pada akhirnya hanya memikirkan keuntungan untuk diri sendiri. Roy meminta maaf bukan karena sadar dengan kesalahannya, tapi untuk menutupi rasa malunya yang tak terbendung kepada Shashi.

Ucapannya tentang acara ini yang memberi banyak kesan bukanlah sebuah kepura-puraan semata. Shashi belajar banyak mengenai macam-macam manusia, dan dia bersumpah untuk menjadi orang yang lebih kuat menghadapi dunia. Fokusnya sudah tak lagi terbagi, sekarang ia fokus untuk mengejar masa depannya.

Karena masih ada satu harapan keluarga yang ada di pundak Shashi.

GREP! Tangan Shashi ditarik ke ruangan belakang. Jarak antara kedua wajah Shashi dan juga Rivan yang hanya sejengkal, aroma jeruk dari napas Rivan membuat jantung gadis itu berdegup kencang.

“Nga-Ngapain sih?! Nanti ketahuan sama yang lain!” desis Shashi berusaha melepas pelukan Rivan.

“Setelah ini aku beneran sibuk, Shachi,” ucap Rivan purau.

“Iya aku tahu, aku juga mau fokus skripsi—”

“Berarti gak usah pindah ya?”

Oh ya, soal pindahan. Shashi lupa akan hal itu.

“Kita bakalan jarang ketemu tapi setidaknya di rumah ini, Shachi, kita bisa habisin waktu cuman di sini jadi jangan pindah ya? kamu gak usah mikirin apa kata Om Rafi—”

“Gak bisa, Rivan.”

“Shachi please—”

“Ini soal harga diri, aku gak tahan dengan tatapan remeh Om Rafi. Sampai sini paham?”

Rivan mendecak lidahnya, dia mencengkram kuat lengan gadis kasihnya. Kepalanya yang berat ia jatuhkan di bahu mungil Shashi sebagaimana ia menjatuhkan semestanya, seraya memejam mata dengan hati pilu. Meskipun bukan akhir dari dunia, tapi berat kalau membayangkan rumah ini tanpa ada kehadiran Shashi lagi.

“Nanti... kalau aku sering ke tempat kamu gimana? Aku gak mau terus-terusan nyamar jadi tukang paket,” ujar Rivan.

“Ya jangan terlalu sering nanti ketahuan, kalau kamu butuh aku biar aku yang ke tempat kamu,” jawab Shashi lugas.

“Kenapa kita pacaran kayak lagi ngelakuin tindakan kriminal sih? Jo sama Katherine kayaknya gak kenapa-kenapa.”

“Jangan,” Shashi menderu napasnya berat, “Pikirin fans kamu, pikirin semua hasil kerja keras yang sudah kamu dapetin, aku gak mau itu semua hancur karena aku.”

“Shachi....”

“Biar aku jadi kekuatan kamu dari belakang ya?”

Entah kenapa pesta yang meriah itu berubah menjadi momen menyesakkan bagi keduanya. Telunjuk mungilnya menyisipkan anak rambut Rivan dengan lembut, lalu beralih kedua tangannya menangkup pipi pria yang lebih tinggi darinya itu. Pancaran mata sendu Rivan mengiris hati Shashi, karena ia juga ingin tinggal di sini lebih lama tapi apalah daya kalau memang semesta tak merestui itu. Om Rafi tidak sepenuhnya salah, karena Shashi harus tahu tempat.

I'll always on your side, and i'll always be there anytime you need me. Kamu gak kehilangan aku.”

Rivan memberikan satu jari kelingkingnya, “Janji?”

Shashi dengan senang hati mengait jari kelingkingnya, “Janji!”

“Shachi gak kemana-mana, janji?”

“Janji, kapten!”

Rivan memancar wajah bahagianya dan memeluk erat lagi tubuh mungil kekasihnya. Shashi tertawa geli, menyambut hangat yang diberikan pria pujangga hati.

Baik di waktu susah ataupun senang, kita selalu bersama kan?

“EYANGGG!!!” pekikan keras Anela menggema di seluruh ruangan megah bahkan sampai ke kamar utama milik Eyang Indra. Rumah besar serba putih bak istana itu Anela datangi tanpa ragu, ia yakin kalau Eyang pasti akan memberitahu semuanya, terutama soal pernikahannya dengan Haidar. Anela langsung mendobrak pintu ruangan kerja Eyang dan mendapati sosok Eyang yang sedang mengambil topi koboi kesayangannya.

“Kenapa, Anela?”

“EYANG KENAPA GAK BILANG KE ANELA?!”

Eyang mengerut dahinya, “Bilang apa, nak?”

“EYANG KENAPA GAK BILANG KALO AKU MAU DIJODOHIN SAMA KAK HAIDAR??!!” Bukannya menjawab, Eyang malahan tertawa keras dan menyuruh seluruh asistennya itu keluar dari ruangannya.

“Duduk dulu nak.”

“GAMAU, JELASIN DULU SOAL PERJODOHAN AKU SAMA KAK HAIDAR!”

“Makanya duduk dulu, Eyang akan ceritakan semuanya dari awal...” Eyang mengetuk tongkatnya 3 kali, “Romi, bawakan coklat hangat dengan croissant nutella kesukaan cucu saya.”

“Baik, Pak.”

Senyuman Eyang terlukis begitu tangannya meraih sebuah album foto kecil yang sudah berdebu di balik laci bukunya, “Kita mulai dari sini...” ucapnya seraya menunjuk sebuah foto yang menampilkan sosok Eyang bersama pria baya bersorban di sampingnya, disitu juga ada Anela yang menggandeng erat sosok anak laki-laki yang tingginya mungkin di atasnya 5 cm.

“Ini foto perpisahan kita sebelum pulang ke Jakarta, kamu ingat?”

Anela menggeleng pelan, “Ini yang aku gandeng tangannya... Kak Haidar?”

“Iya, kalian itu benar-benar saling menyayangi, Haidar dengan sabar mengasuh kamu, membimbing kamu bahkan kalian tuh senang sekali bermain bersama, malahan pas kita pulang ke Jakarta tuh, Haidar ngerengek-rengek pengen ikut sama kita lho, hahaha...”

Dada Anela terasa hangat, ternyata kita pernah sedekat itu ya, Kak Haidar...

“Penyesalan terbesar dalam hidup Eyang adalah hidup yang bergelimang duniawi tapi nol besar dalam urusan akhirat. Eyang dari dulu hanya fokus mengejar harta, jabatan dan pengakuan manusia sampai akhirnya... Eyang bertemu Abah Faqih, kakeknya Haidar, disitulah mata Eyang terbuka lebar-lebar.” “Abah Faqih mengajarkan banyak hal tentang Islam kepada Eyang. Disitu Eyang sadar bahwa selama ini Eyang salah dalam mengambil langkah, Eyang terlalu fokus mencari materi yang sementara di dunia sehingga melupakan yang sebenarnya harus kita kejar, yaitu akhirat, yang akan kekal selamanya. Eyang terlambat menyadarinya, ketika melihat para anak santri semangat menimba ilmu Allah... itu cukup membuat dada Eyang terasa sesak, kenapa? karena Eyang disini, malahan mengirim anak-anak Eyang menimba ilmu sampai ke Amerika hanya untuk kepentingan dunia.”

Iya juga ya, dari Papa, Tante Rizka sama Om Fadlan semuanya di kirim untuk sekolah bisnis di Amerika, boro-boro mikirin soal ilmu agama, batin Anela.

“Selama kita tinggal di pondoknya Abah Faqih, Eyang melihat betapa Haidar sangat menyayangi kamu dan Eyang sangat berharap akan ada seseorang seperti Haidar yang akan membina kamu ke jalan Allah.” “Eyang menyampaikan hal tersebut ke Abah Faqih dan beliau setuju untuk menjodohkan kamu dengan Haidar.”

Cerita yang di sampaikan Eyang terdengar seperti dongeng bagi Anela. Gadis itu tak pernah menyangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupannya. Dan ini antara dirinya dengan Kak Haidar.

“Kak Haidar tahu soal ini...?“tanya Anela meyakinkan

“Tahu kok, Eyang juga sudah cerita semuanya sampai soal perjodohan kalian, dia menerimanya tapi sementara ini dia masih butuh waktu untuk menenangkan pikirannya. Yah namanya juga baru kehilangan, kan? Jadi Eyang beri dia waktu sejenak. Sebenarnya kami mau merahasiakan ini dari kamu dulu karena Haidar cerita, kamu ngejar-ngejar dia ya? hahaha... tapi tolong ya, nak, di simpan dulu soal ini. Nanti Haidar akan melamar kamu di waktu yang tepat kok.”

Ish, padahal kan gue pengen tanyain Kak Haidar langsung soal ini...

“Gimana, Anela? Sudah lunas kan hutang cerita Eyang?”

Anela ngerucut bibirnya cemberut, “Harusnya Eyang bilang dari awal dong! Kan capek tahu ngejar-ngejar dia, cuman minta nomor telepon-nya aja setengah mati tahu!”

Eyang langsung tertawa terbahak-bahak, “Dan inilah hasil perjuangan kamu, Anela.” Tangan rentanya mengelus anak rambut cucu kesayangannya, “Eyang bersyukur, Allah tlah menempatkan Haidar di hati kamu, di waktu yang tepat.”

Anela mengulum senyum simpul, memang betul, Allah tidak pernah salah untuk menakdirkan sesuatu dengan hamba-Nya. Dan kehadiran Haidar sebagai sosok yang spesial di hati Anela, dia datang di saat yang tepat, ketika Anela memang benar-benar membutuhkan sosok seperti dia yang akan menjadi kompas dalam hidupnya.

Memang lah Allah itu Maha Baik.

Bismillah, Anela!