Bandung, Part II
Sekali lagi, situasi dalam mobil sangat canggung.
Chelsea saat ini enggan membacakan lagi Google Maps untuk Gama sehingga pemuda itu kesusahan harus melirik ponsel dan di depannya dalam satu waktu. Ini akhir pekan, jalanan sangat padat dari biasanya sehingga ada celah untuk Gama menatap lemat gadis cantik di sampingnya. Chelsea tak menatap matanya sama sekali, seolah tak sudi. Gama sadar kalau saat ini Chelsea sedang ngambek dan entah apa kesalahannya.
“Chel, kamu kenapa?” dengan suara lembut Gama membujuk istrinya, sayang Chelsea memilih tutup telinga. “Chelsea, aku buat salah apa?”
“Pikir sendiri, bisa mikir kan?!” Chelsea membalas dengan nada sangat ketus membuat Gama tersontak. Di belakang ada Ghaza dan Maya yang ikut kaget dengan jawaban Chelsea.
“Chel, masa sama suami gitu ngomongnya....” Gama masih berusaha menurunkan suaranya, bukan karena takut tapi karena ada Ghaza dan Maya. Ia tak tahu harus memberi sinyal seperti apa kepada Chelsea agar menjaga sikap di depan dua kawannya itu, terlebih ia tak tahu persis letak kesalahannya. “Nanti ya kita omongin baik-baik berdua, sekarang kita having fun dulu ya?”
“Yaudah tapi jangan ajak gue ngomong, gue gak mau ngomong sama lo!”
CKIITT!! Gama menghentikan mobilnya mendadak di pinggir jalan, semuanya terkejut bukan main terlebih Chelsea yang baru saja berbicara ketus. Aura Gama berubah gelap, matanya menatap tajam Chelsea hingga gadis itu bergedik ngeri. Gama menarik tangan gadisnya kencang dan mendekat ke telinga Chelsea.
“Gue udah bilang kan untuk sandiwara yang baik? Ikutin rulesnya atau lo bayar kompensasinya nanti...!” desis Gama dengan nada mengancam, dan tentu Chelsea yang tadinya berani jadi menciut nyalinya. Ia tak menyangka kalau Gama akan sangat menyeramkan kalau marah. Chelsea sampai menahan napasnya ketika Gama membisik, dan akhirnya ia mengalah.
Fix Gama punya khodam macan putih.
Sesampainya di keramaian Jalan Braga. Berbagai jenis kafe dengan khas autentik serta lukisan-lukisan besar yang indah. Suasananya bagai kita sedang berada di era 80 atau 90-an sehingga bagi para pecinta nuansa vintage akan dimanjakan dengan suasana Jalan Braga, ketika di perjalanan di dekat Jalan Asia Afrika pun ada banyak para pelakon hantu-hantuan yang mengejutkan namun ramai oleh pengunjung yang hendak berfoto, atraksi aneh seorang kakek tua yang duduk di atas angin dengan tongkatnya, atau tokoh-tokoh animasi favorit anak-anak. Mustahil kalau orang yang lewat tak mendecak kagum.
Ghaza dan Gama sepakat untuk berpisah dengan gadisnya masing-masing. Ghaza dan Maya berjalan ke arah Jalan Asia Afrika sampai Braga untuk berkeliling mencari spot terbaiknya sedangkan Gama dan Chelsea memutuskan untuk berjalan menyusuri kafe yang ada di sekitar Jalan Braga.
Kita kembali ke tokoh utama, mereka masih saling mengacuhkan. Sepasang insan yang tak menatap itu masih bersikeras menahan pertahanan ego masing-masing, Chelsea yang masih merasa Gama pantas 'dihukum' sedangkan Gama enggan mengambil pusing sikap Chelsea meskipun dada sudah bergejolak.
Langkah kaki pria itu terhenti pada satu kedai bernuansa merah, ia melihat antrian yang tampak panjang sampai dirinya dibuat bertanya-tanya.
“Gue mau nyoba es krim di sini, lo mau gak?” tanya Gama berusaha melawan egonya tapi tak digubris Chelsea, ia menghempas napasnya kasar. “Ya udah, gue sih mau, ntar lo gak boleh minta ya.”
Chelsea menelan ludahnya bulat-bulat, melihat bagaimana satu cone es krim yang disantap para pengunjung begitu mengunggah selera. Sayangnya ia masih mempertahankan harga dirinya. Chelsea duduk di tempat duduk yang letaknya tak jauh dari kedai es krim tersebut, tampaknya itu kedai es krim yang viral di kalangan pengunjung. Chelsea pernah melihatnya di salah satu postingan pejabat Bandung setempat.
Antrian yang panjang ternyata tak memakan waktu lama, hanya 10 menit ia menunggu tak lama Gama datang dengan dua cone es krim di genggamannya.
Satu rasa vanila, satu rasa stroberi.
Stroberi, Chelsea, apa itu harga diri kalau sudah ada es krim rasa stroberi di depan mata?
“Wah kayaknya enak nih es krimnya, apalagi yang stroberi,” cicir Gama sengaja menggoda iman Chelsea yang hampir goyah, “Ah gue mau makan es krim stroberinya sekali lahap—”
Begitu mulutnya terbuka lebar di depan es krim stroberinya, Chelsea cepat mengambil satu gigitan terlebih dahulu tapi... bukan itu yang jadi persoalan.
Bibir Gama tak sengaja menyentuh pipi Chelsea.
Mereka terpaku lama, sampai akhirnya Chelsea sadar dan menarik lagi wajahnya.
“E-ES KRIM STROBERINYA ENAK! Me-Mending buat gue aja!” Chelsea merebut es krim stroberinya dari tangan Gama. Ia melangkah cepat mendahului suaminya, membuyarkan semua ingatan dua menit yang lalu sampai kepalanya terasa ingin pecah.
“Chelsea!” Gama berlari menyusul langkah Chelsea, tangan besarnya menarik tubuh mungil sang istri sampai wajahnya mendarat di dada bidang Gama. Pemuda itu mendekap erat gadisnya, wajah keduanya membeku namun mereka tak ingin saling melepas tangannya yang sudah terkait. Jemari mungil Chelsea menggenggam erat ujung kemeja Gama sedangkan tangan Gama terus mengeratkan pelukannya. Jantung keduanya saling beradu suara, bagai simfoni yang menghadirkan cinta dan kehangatan... kali ini keduanya terjebak dengan zona nyaman yang mereka buat sendiri.
Di keramaian Jalan Braga, suara bising itu hilang dan berubah dunia jadi milik mereka berdua.
Es krim mereka bagaimana? Sudah mencair di jalanan, tak ada lagi es krim yang barusan diributkan.
Aroma woody yang mempesona mengait satu rasa dengan aroma manis vanilla, perlahan sepasang mata keduanya saling terpejam menenggelamkan lagi dirinya masing-masing.
“Ini hukuman buat lo karena udah ngelakuin hal yang gak gue suka, Chelsea,” bisik lelaki itu dengan bariton seraknya membuat bulu kuduk Chelsea merinding seketika.
“Gu-gue justru lagi ngehukum lo, Gama!” balas Chelsea tak mau kalah.
“Emang gue salah apa?”
“Se-Semalem lo ngelewatin batas!”
Gama melepas pelukannya, “Ngelewatin batas apa?”
“I-Itu...! Guling waktu kita tidur!”
Gama berusaha mencerna kalimat istrinya, “Apa sih?!”
“SEMALEM LO PELUK GUE, GAMA BEGO!!”
Gama langsung terbahak-bahak keras sampai perutnya terasa kram. Ternyata sikap Chelsea yang begitu menyebalkan seharian itu terjadi karena semalaman Gama memeluk Chelsea? Ya Tuhan, emang bener Chelsea tuh lucu banget.
“Terus kenapa kalo gue meluk lo semalem?” Gama mengangkat satu alisnya, memberikan smirk yang menggoda sampai jantung Chelsea terasa ingin loncat detik ini juga.
“Ya-ya kan gak boleh ngelewatin batas! Lo lupa aturannya semalem?!”
“Jadi lo gak suka gue peluk?”
“Gak! Gak suka! Gue juga gak suka dipeluk kayak tadi!”
“Kalo gitu jadi anak baik ya manis,” Gama menepuk pucuk kepala Chelsea seraya membisik di telinga gadisnya, “Karena kalau nanti suamimu ini marah, di hukum lagi kayak tadi, mau?”
Chelsea skakmat, dan mulutnya kini menganga selebar-lebarnya.
“IHHH DASAR COWOK HIDUNG BELANG, MESUM, NYEBELIN!!!!”
Kita beralih kepada Ghaza dan Maya yang sedang mengambil berbagai jepret di sepanjang Jalan Asia Afrika. Tembok yang berisi quotes dari penulis ternama, lalu keramaian disaat senja hendak menyapa sehingga memberi kesan keindahan lebih dalam. Maya sangat menyukai suasana hangat di kota Bandung ini, seperti berada di novel-novel romansa yang biasa ia baca.
“Gak heran ya banyak novel-novel yang ambil latar belakang kota Bandung, emang suasananya tuh romantis banget,” ujar gadis itu terhenyak, “Coba kalau di Depok, panas iya padet juga iya, gak ada tuh romantis-romantisnya.”
Ghaza yang sedang sibuk memotret anak-anak yang ada di sebrang langsung menoleh ke arah Maya, “Oh ya? Kalau gitu kenapa kita gak fokus pada esensinya, May?” ia melangkah mendekati gadisnya lalu menarik tangan mungil Maya hingga jarak mereka terkikis.
“Apa yang dilihat di mata, gak akan pernah nampak esensinya kalau kita gak hayati,” tutur pemuda itu dengan lembut, jari-jari kekarnya menyisipkan anak rambut sang gadis ke telinganya lalu memandang lekat iris hazel yang penuh binar itu. Bagi Ghaza, esensi keindahan yang tampak saat ini adalah binar mata milik Maya. Dimanapun ia melihatnya bahkan di Depok yang kata Maya tak romantis, tetaplah indah dan takkan pernah luput keindahannya.
“Di Depok juga banyak hal romantis yang bisa lo dapetin, asalkan itu sama orang yang lo suka, May,” lanjut Ghaza lagi sambil melepas tangannya dari kedua pipi Maya yang sudah memerah tomat. Ini gawat, kalau saja Maya tidak mengontrol diri bisa-bisa ia pingsan di tempat.
“Lo sendiri gimana, Za? Di Cikarang yang katanya panas dan tempatnya pabrik itu ada hal romantis yang bisa lo kenang?” tutur lagi Maya mengalihkan perhatian sekaligus pikirannya yang mulai penuh dengan tindakan manis Ghaza. Mendengar pertanyaan itu, senyuman tipis khas pemuda itu terlukis di wajah manisnya.
“Ada, dan kenangan manis itu akan selalu terkenang sepanjang hayat gue, May.”
Di detik kalimat itu keluar dari bibirnya, Ghaza mengarahkan lensa kameranya dan memotret gadis yang ada di hadapannya dengan sempurna di posisinya.
“Makasih ya, May, udah mau ikut gue ke Bandung.”
Maya tersontak, “E-Eh emangnya kenapa? Kenapa harus terima kasih?”
Ghaza tersenyum hangat, “Karena gue jadi punya kenangan lagi di Bandung, sama lo.”
Maya mengaku kalah, pesona dan segala tindakan manis Ghaza sudah mencuri hatinya sejak awal. Di romantisnya kota Bandung bertepatan di Jalan Asia Afrika, Maya ingin melabuhkan hatinya kepada Ghazaliel Arkananta dengan lebih berani.
Ini awal langkah Maya untuk lebih berani soal kisah cintanya.