shinelyght

7 tahun kemudian....

Wanita berusia 29 tahun itu tengah sibuk mempersiapkan sarapan untuk orang terkasihnya. Perutnya yang membesar itu dengan hati-hati ia menjaga tiap gerakannya.

“MAMIIII!!!!” Sahutan riang dari gadis kecil berusia 6 tahun itu disambut hangat oleh wanita cantik itu, “Mami, semalem Papi bacain aku cerita yang Papi tulis untuk Nadine! Katanya nanti Nadine bakalan ketemu pangeran berkuda putih kayak Mami ketemu sama Papi!”

Chelsea Audrey Wijaya dan keluarga kecilnya, mereka sudah bahagia sekarang.

“Papi mah bukan pangeran berkuda putih,” ucap Chelsea dengan nada mengejek, “Tapi pangeran kodok!”

Gadis kecil pemilik nama Danielle Nadine Arkananta itu tertawa terbahak-bahak mendengar guyonan sang ibunda.

“Enak aja kamu kalo ngomong, hati-hati entar Nadine beneran nganggep aku kodok!” protes Gama dari kejauhan dan dibalas Chelsea dengan melet lidah usilnya.

“Eh tapi bener juga kata Mami, soalnya Papi kalo tidur suara ngoroknya kayak kodok, kayak gini nih! groookkk.... groookkk....” cicir Nadine meniru suara ngorok ayahnya sampai Gama dibuat jengkel.

“Oh Nadine sekarang sekutunya sama Mami ya? Okay, fine, no more story for tonight.

“Ih papi mah ngambekan, tolong dong mami cium papi biar ngambeknya hilang!”

Chelsea geleng-geleng kepalanya lalu mengikuti pinta putrinya itu untuk memberi satu kecupan di pipi sang suami. Senyuman Gama langsung mengembang lebar.

“Oke sip, nanti malam Papi bacain dua buku sekaligus spesial untuk Nadine!”

“YEEEYYY!!!”



Husband : Sayang, kamu gapapa kontrolnya ditemenin Maya dulu? Aku minta maaf banget ini soalnya lagi seleksi audisi cast film aku selanjutnya....

Chelsea : Gapapa santai aja, semangat yaa, paksuuu<3

Husband : Nadine biar aku jemput aja, dia berangkat les bareng Arkan soalnya.

Chelsea : Iya sayang, makasih yaa paksuuuu<3<3<3

Husband : My pleasure, queen<3

“May, maaf ya ganggu waktu lo hehe harusnya lo istirahat weekend gini tapi malah nemenin gue kontrol....”

Maya, kalau kalian ingin tahu kabar Maya sekarang tentunya dia baik-baik saja dengan kondisinya sekarang. 7 tahun Maya bertahan menahan rindu atas jarak yang takkan tergapai dengan Ghaza, meskipun masih seorang diri tapi Maya merasa kehidupannya jauh lebih baik.

“Gapapa, gue juga gabut kok.”

“Nanti balasannya gue kenalin lo deh sama kenalannya Gama, gimana?”

Maya menghela napas, “Mending gak usah sekalian, gue masih belum minat cari pasangan, Chel.”

Chelsea hanya menghela napas seraya mengelus pelan perutnya yang besar, dengan uluman senyum hangat dirinya tentu masih teringat sosok sahabat yang begitu ia rindukan. Bayi yang ada di dalam kandungan Chelsea adalah bayi laki-laki, dan Chelsea dengan Gama sepakat untuk memberikan nama Ghazaliel untuk anaknya agar kelak menjadi sahabat sekaligus kekasih favorit banyak orang, sebagaimana dulu mendiang Ghaza yang dicintai banyak orang dan kepergiannya pun masih dirindukan oleh banyak orang terkasih.

Sebelumnya Chelsea selalu kontrol kehamilannya di salah satu rumah sakit di Cikarang bersama kedua orang tuanya namun karena Gama meminta Chelsea untuk menetap di Jakarta bersamanya jadi ini adalah kali pertama Chelsea kontrol di tempat yang baru. Jujur saja, Chelsea sedikit kecewa dengan ketidakhadiran suaminya tapi mau bagaimana lagi, untung saja ada Maya yang setia menemani Chelsea di saat Gama sedang berhalangan.

“Atas nama Ibu Chelsea Audrey Wijaya, silahkan masuk ke ruangan ya!”

Maya membantu Chelsea untuk bangkit dari tempat duduknya, menuntun sahabatnya itu sampai masuk ke dalam ruangan.

“Selamat siang, Ibu Chelsea....”

Suara bariton itu membuat kedua wanita tersebut memencak lebar matanya.

“Silahkan duduk, kita mulai untuk pengecekannya ya....”

Satu bulir air mata menetes dari pipi Chelsea, “Ghaza....?”

Sang dokter muda dengan ekspresi bingungnya tertegun, ia tersenyum manis dan membuat kedua wanita itu kehabisan kata-kata.

“Sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Jingga Alkashya, dokter spesialis kandungan yang akan menjadi dokter pendamping Ibu Chelsea untuk kontrol masa kehamilan sampai kelahiran nanti, salam kenal...”

Semuanya bagai deja vu.

Sejak tadi Chelsea tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya, dari jemari mungilnya yang sejak tadi bergetar dan keringat dingin bercucuran dari keningnya. Jantungnya seolah naik turun, saat ini adalah pertempuran akhirnya setelah berbulan-bulan ia berkutat dengan skripsi dan tiap goresan merah yang ikut menggores hatinya.

Jemari mungil itu dikaitkan erat oleh jemari besar nan hangat milik Gama. Pria itu dengan lembut mengecup punggung tangan Chelsea, senyumannya yang selalu menjadi penenang—Gama berusaha meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja.

“Inget apa yang aku bilang, just do your best.

Chelsea beruntung bisa melabuhkan semestanya kepada Gama.

Tak lama giliran Chelsea tiba, Gama menyemangati istrinya dan Chelsea meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. Ia yakin, selama ada Gama di sisinya pasti semua akan berjalan baik-baik saja.

“Chelsea Audrey Wijaya,” jantung Chelsea berdetak cepat seiring dosen penguji memanggil namanya, “Judul skripsi kamu cukup menarik perhatian saya, kalau gitu waktu dan tempat silahkan.”

Chelsea mengikuti pinta dosennya, tapi ada satu hal yang sedikit mengganggunya.

Duh perut gue sakit banget....


“Jujur saja, dari judul skripsi saja memang sudah cukup menarik perhatian kami tapi dari beberapa koreksian yang sudah disampaikan tolong lebih diperhatikan lagi ya, good job, Chelsea, dengan ini kamu dinyatakan LULUS sidang skripsi ya!”

Mata Chelsea memencak lebar-lebar dan tak henti mengucap syukur. Ia tak lupa pula berterima kasih sekaligus pamit sebelum keluar dari ruangan. Kakinya melangkah cepat untuk mencari keberadaan suaminya, ia ingin memberitahukan kabar bahagia secepatnya.

“Gamaaaa!!” Chelsea menyahut dari kejauhan, punggung kokoh yang tampak familiar itu membuat senyum bahagia Chelsea semakin mengembang. Begitu langkahnya itu hendak sampai ke tujuan.

“Gama aku lulus—”

BRUK!!!

Chelsea jatuh tak sadarkan diri.

“CHELSEA???!!!”



Rewind, beberapa waktu lalu....

*“May, gue hamil, May!” Pada saat itu Chelsea yang masih berkutat dengan skripsinya merasa aneh dengan kondisinya akhir-akhir ini. Tubuhnya mudah merasa lelah dan juga memiliki ngidam yang tak biasanya, wanita itu belum sempat bicara dengan suaminya karena Gama sendiri sangat sibuk dengan pekerjaannya begitupun dirinya yang sibuk mengerjakan skripsi. Sampai Chelsea berinisiatif sendiri untuk mencoba tes kehamilan ditemani Maya sahabatnya.*

“YA AMPUN CHEL SUMPAH??!! ALHAMDULILLAH, AYO KABARIN KAK GAMA!!” Begitu Maya mengeluarkan ponselnya cepat Chelsea menahan sahabatnya.

“Jangan, nanti Gama gak fokus, biar ini jadi suprise aja.”

“Suprise gimana?! Dia harus tahu kondisi lo dan harus kasih perhatian extra sama lo!”

“Udah, May, gue bisa lakuin semuanya sendiri lagipula kalo gue ngidam tinggal minta aja kok pasti dikasih sama Gama.”

“Chel, ini lo hamil!”

“Iya tau, nanti aja kasih tahunya gapapa setidaknya setelah gue sidang nanti.”

Kini Gama membeku di tempatnya bersama Adam dan Fiona juga Farhan dan Ratna di depan ruangan IGD. Air mukanya menampilkan ekspresi shock bukan main.

“Ha-Hamil anggur? Maksudnya gimana, Dok?”

Dokter menarik napasnya dalam-dalam, “Begini, Pak Gama, perut Ibu Chelsea tampak lebih besar dari usia kandungannya juga kadar hormon kehamilan chronic gonadotropin (HCG) lebih tinggi dari seharusnya. Setelah kami lakukan pengecekan dengan USG, tidak nampak janin di dalam rahim.”

Ratna menutup mulutnya rapat-rapat dan menangis di tempat, begitupun Fiona yang sudah menangis di pelukan Adam.

“Te-terus gimana dok untuk tindakan selanjutnya?” bibir Gama bergetar.

“Untuk tindakan selanjutnya kami harus melakukan operasi pengangkatan jaringan abnormal tersebut, Pak Gama.”

Hancur, hati Gama hancur berkeping-keping. Ia merasa gagal menjadi suami sekaligus pelindung dari wanita tercintanya. Gama meneteskan air matanya dan mengusap wajahnya frustasi.

“Apapun itu, tolong selamatkan istri saya....”



“Gama, aku kepikiran sesuatu deh.”

“Apa tuh?”

“Kita gak ada yang tahu kedepannya, tapi kalau seandainya aku lagi di titik terendah dalam hidup aku, apa yang akan kamu lakukan? Kamu bakal pergi ninggalin aku gak?”

“Heh mana mungkin aku ninggalin kamu! Gak ada sedikitpun niat aku untuk pergi ninggalin kamu, Chel!”

“Yang ada di pikiran aku, titik terendah itu lebih worst dari kepergiannya Ghaza, benar-benar aku tuh ibarat udah gak ada harapan lagi. Kamu gimana?”

Gama menghela napas panjang, lalu mengecup pelan bibir ceri sang istri sambil menatap lekat dua iris legam Chelsea, “Gak gimana-gimana, intinya aku gak akan pergi ninggalin kamu, Chel, kalau aku pergi dari sisi kamu ya aku gak hanya melanggar janji aku sama kamu tapi sama Papa kamu, dan juga Tuhan. Aku udah mengucap janji untuk ada di sisi kamu baik di waktu suka dan duka, dan apapun yang kamu laluin pasti ada aku ada di sisi kamu jadi jangan pernah kamu berpikir aku bakalan pergi ninggalin kamu. Begitupun sebaliknya, Chel, aku mau kamu yang selalu ada di sisi aku apapun yang terjadi, mau itu waktu suka ataupun duka.”

Chelsea perlahan membuka matanya yang begitu berat, cahaya lampu yang cukup menyilaukan dan juga tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Rasanya seperti Chelsea sudah tertidur dalam waktu yang lama, tak terasa orang-orang terkasih sudah mengelilingi ranjangnya.

“Chel?!” Terutama pria kasihnya yang wajahnya tampak sembab, cepat pria itu berlari memanggil dokter dan di sisi lainnya ada Ratna yang masih menangis sesegukan.

“Mama... kok kesini?” lirih Chelsea yang semakin mengiris hati sang ibunda.

“Sayang... kamu harus kuat ya....” Ratna mengusap lembut rambut putri tercintanya. Farhan ikut menggenggam kuat tangan mungil Chelsea sambil tersenyum pahit. Di samping Farhan juga ada Maya yang menatap nanar dirinya, siratan mata rasa bersalah yang begitu nampak membuat Chelsea terheran-heran.

Tak lama kehadiran sosok wanita berjas putih membuat Chelsea semakin ingin tahu jawaban dari ini semua. Suasana duka yang menyelimuti, ada apa sebenarnya?

“Permisi, Ibu Chelsea, saya cek dulu sebentar ya....” Setelah tubuhnya dilakukan beberapa pemeriksaan, akhirnya dengan berat hati sang dokter harus memberitahukan kabar buruk bagi sepasang kekasih muda itu. “Begini, Bu Chelsea, sebelumnya Ibu tahu kalau Ibu sedang dalam kondisi hamil?”

Chelsea mengangguk lemas, dan Gama melotot.

“Mohon maaf saya harus memberitahu satu hal kalau janin yang Ibu kandung itu kosong atau orang biasa bilang kalau Ibu Chelsea mengalami kondisi hamil anggur....”

Bagaikan dadanya diserang ribuan tombak, dunianya runtuh seketika.

“Ha-Hamil anggur? Ma-Maksudnya gimana, Dok?”

“Begini, hamil anggur itu kondisi kelainan kehamilan dimana sel telur yang sudah dibuahi dan plasenta tidak berkembang secara normal sehingga sel-sel abnormal tersebut membentuk sekumpulan kista kalau tidak ditindak cepat itu bisa berkembang menjadi sel kanker, tapi syukur kami sudah melakukan tindakan pengangkatan jaringan abnormal tersebut dan Ibu Chelsea hanya perlu bed-rest total sampai pulih nanti.”

Wanita itu semakin gusar, “Te-terus... bayinya gimana, Dok? Maksudnya ini... bayi saya gak ada atau gimana?”

Sang dokter hanya menggeleng pelan sambil menunduk. Tangisan Chelsea semakin pecah, dibalik sukacitanya setelah melewati sidang skripsi yang dinanti-nanti justru ada malapetaka yang menghantam keras hidupnya. Buah hatinya yang belum menyapa dunia harus direnggut. Chelsea menangis histeris, cepat Gama memeluk erat tubuh istrinya dan menepuk pelan bahunya agar tenang namun hal itu tak dibutuhkan Chelsea sama sekali.

Chelsea hanya menginginkan dunianya kembali.

Buah hatinya.

Đức Thịnh · Horang Suwolga

Lalu lalang orang berpakaian serba hitam dan ucapan duka yang saling menyahut dalam tangis. Semua kehilangan, deraian mata pun ikut menetes dari setiap tamu yang datang bahkan sampai meraung-raung nama Ghaza, pelukan erat agar menekan dada yang terasa nyeri.

Kini senyuman cerah Ghaza hanya terpajang sebagai memori di pigura hitam disana beserta dua lilin mendampingi. Senyum Ghaza tak bisa ditampakkan, karena sebentar lagi peti berwarna putih itu akan segera dibawa pada tempat peristirahatan terakhirnya. Semua belum bisa melepas kepergian Ghaza, semua masih menginginkan sosok Ghaza yang hangat dan ceria itu di sini bersama mereka. Kepergian ini benar-benar tak terduga.

Tapi mau bagaimana lagi, takdir menginginkan laki-laki baik itu untuk segera pulang pada Sang Maha Pencipta.

Ghaza, tidurlah dengan tenang....



Selang waktu satu jam berlalu setelah Ghaza diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Masih melekat betul nama lengkap Ghaza yang terukir di batu nisan dengan doa-doa, bagaimana tubuh yang kokoh itu kini tak lagi bisa mereka peluk. Kehilangan ini masih membekas. Terutama bagi keluarga, sahabat dan Maya orang terkasih.

Chelsea terus menangis sejak awal prosesi pemakaman sampai akhir, bahkan isakkannya masih terus bunyi. Gama yang harus menjadi sosok penguat keluarganya, air matanya menetes namun ia tetap tersenyum pahit di hadapan banyak tamu yang datang. Beribu pertanyaan tentang kematian Ghaza ia jawab satu per satu sembari minta doa, setiap kali Gama mengingat bagaimana Ghaza merenggang nyawa tepat di depan matanya membuat hatinya hancur lebur. Bisakah posisi sakit itu dibagi setengah kepada Gama? Atau biar Gama saja yang rasakan itu. Adam dan Fiona pun masih terus memeluk pigura foto putra bungsunya sambil meraung-raung, Adam tak henti meremat ujung kemejanya sambil mengusap wajah gusar sedangkan Fiona menangis kencang.

Bagaimana Maya?

Gadis itu hanya terdiam dengan pikiran kosong, seluruh tubuhnya tak mampu bergerak dan di kali pertamanya ia menginjak rumah Ghaza sekaligus mengantar ke tempat pulang yang sesungguhnya. Seandainya saja Maya mengenal Ghaza lebih awal, mungkin banyak hal menyenangkan lainnya yang bisa ia temui bersama orang terkasih. Tapi sayang, semesta hanya memberi batas waktu yang sangat sedikit.

Maya berdiri dari tempat duduknya, lalu Chelsea cepat memapah tubuh sahabatnya yang lemah itu menuju tujuannya.

“Maaf, Chel, kalau aku mau istirahat dulu boleh gak?”

Chelsea mengangguk cepat, “Iya, istirahat aja gapapa.”

Berat hati untuk melihat bagaimana pintu kamar Ghaza sudah tertutup rapat yang bahkan ia belum pernah lihat. Pintu itu takkan terbuka lagi.

Maya butuh waktu, untuk melepas semua luka dan mengulas senyum untuk mengikhlaskan kekasihnya pergi selama-lamanya.



Suasana rumah yang sunyi dengan malam dingin nan menusuk. Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam dan Chelsea masih terduduk di ruangan depan sembari membuka album foto lamanya bersama Ghaza. Ia masih belum bisa memejam mata dengan tenang, sosok lelaki pemilik senyuman manis yang selalu menjadi tempatnya bersandar sudah pergi ke tempat yang tak lagi terjangkau. Perpisahan ini begitu berat, ini sudah bukan tentang kepergian sahabat tapi Ghaza adalah keluarga tercinta. Kalau saja air matanya belum kering, Chelsea masih ingin menangis lagi menggaung nama Ghaza.

Ia menoleh ke arah pintu hitam yang penuh dengan memori. Dulu, selalu ada sosok punggung kokoh yang menyapanya di kala Chelsea berkunjung, selalu ada senyuman lebar khas yang menyambut kedatangannya, dan suara bariton yang memanggil namanya penuh gembira. Semuanya sirna.

Sekali lagi, Chelsea ingin mengenang masa-masa indah itu.

Langkahnya yang lemah perlahan menuju pintu tersebut dan membukanya pelan. Matanya memencak, di kala ranjang biru itu sudah rapih dengan beberapa tumpuk baju Ghaza yang sudah di setrika. Kira-kira siapa yang akan memakai baju itu lagi? Chelsea mengambil satu jaket hitam favorit Ghaza dan menghirup aromanya, harum coklat manis khas Ghaza masih melekat di baju ini. Chelsea memeluk jaket itu erat-erat.

Perhatiannya teralihkan pada beberapa foto kebersamaannya yang dipajang entah di pigura kecil atas meja belajarnya, tembok dan juga papan jurnalnya. Semua foto yang membuat Chelsea mengulang lagi kisah keduanya yang membahagiakan, tapi untuk saat ini hatinya semakin pilu. Masa bahagia itu terlalu singkat.

Tangannya meraih pada satu buku jurnal yang tampak tak asing bagi Chelsea. Buku ini dulunya bagaikan harta karun Ghaza yang tak boleh disentuh sama sekali.

“Awas ya buka buku ini, gue musuhin lo berabad-abad, Chel!”

Dulu Ghaza sangat mengecamnya, tapi saat ini... apa Chelsea bisa mendengar lagi omelan Ghaza? Kalau boleh, Chelsea ingin mendengarnya sekali lagi.

Begitu Chelsea membuka bukunya, tak sengaja ada satu foto yang jatuh tepat diatas kakinya dan foto itu adalah foto Maya. Chelsea terkekeh pelan.

“Dasar stalker untung aja lo berdua jadian,” gumam Chelsea lalu ia lanjut buka halaman pertama yang menuliskan nama beserta tanda tangan Ghaza. Tulisan tangan yang tampak cantik bagi seorang laki-laki memang sudah menjadi ciri khas Ghaza, bahkan Chelsea kalah cantik tulisannya. Ia membuka lagi buka halaman selanjutnya....

Chelsea Audrey Wijaya, my first love and the only, for the rest of my life.

Chelsea membulatkan kedua matanya.

Semua berawal dari tanggal 17 Juli 2016

Jantung Chelsea seolah berhenti berdetak. Dengan gemetar ia membuka lagi halaman selanjutnya.

Buku ini adalah saksi bagaimana seorang Ghazaliel Arkananta mencintai sosok gadis lucu, enerjik dan penuh semangat bernama Chelsea Audrey Wijaya yang tiap kali ia tersenyum memberikan harapan hidupku lebih panjang.

Seandainya aku punya alasan untuk bertahan, itu kamu, Chelsea.

I love you and always.

Chelsea mengatup mulutnya rapat-rapat, meskipun jantungnya seolah ditusuk tombak tapi ia tetap teruskan membaca tiap halamannya.

Chelsea, hari ini kamu keren dan aku makin jatuh cinta sama kamu. Entah kenapa, setiap harinya selalu ada alasan aku untuk jatuh cinta sama kamu, dan karena itulah yang membuat aku mau bertahan.

Chelsea, aku habis dari pernikahan sepupu aku dan aku jadi membayangkan kalau kita berada di altar pernikahan itu. Aku denger, Papa sama Mama mau ngejodohin kita dan aku berharap hal itu akan menjadi nyata. Aku jadi makin semangat untuk sembuh untuk bisa bahagiain kamu!

Chelsea, kamu habis nangis karena nangisin Adly. Kamu jadi gak percaya sama cinta dan minta aku untuk gak lewatin batas hubungan kita, aku rela kok untuk kebahagiaan kamu tapi kok dada aku sakit ya? Gapapa deh, gak harus jadi pacar untuk bisa bahagiain kamu, aku akan terus berusaha buat kamu senyum, Chel!

Chelsea maaf, aku batalin janji kita untuk nonton live music bareng di Summarecon karena kondisi aku makin parah. Aku tahu kamu marah banget sampai cuekin aku seminggu berturut-turut tapi gapapa, aku jadi bisa istirahat untuk kumpulin energi dan ngadepin ngambek kamu yang rese (maaf aku harus jujur tapi kamu kalo ngambek rese jadi harus kumpulin energi dulu)....

Air mata Chelsea sudah berderai deras.

... di titik ini, aku rasa tak ada lagi harapan soal kita dan sudah saatnya aku menyerah. Maaf, aku tak bisa berjuang lagi untuk bisa berdiri di samping kamu tapi setidaknya aku akan selalu ada di belakang kamu...

Kamu boleh tanya sama semesta, siapa laki-laki yang akan terus mencintai kamu tanpa syarat... itu aku, Chel.

“GHAZAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”

Chelsea menjerit keras-keras, memanggil nama Ghaza berkali-kali berharap sahabatnya itu segera menjawab sahutannya. Tangannya berkali-kali pula memukul dadanya yang nyeri luar biasa, dirinya sudah tak lagi kuasa membaca tiap halaman buku jurnal hitam itu membiarkan 4 halaman terakhirnya terbuka begitu saja.

Dengan tergopoh-gopoh Gama berlari menyusul sumber suara dan menggebrak pintu kamar Ghaza. Ia menyaksikan tubuh mungil sang istri yang terbaring lemas sambil terus meneriakkan nama Ghaza. Cepat Gama memeluk ringkuh tubuh lemah Chelsea, dengan sukarela bahu kokohnya menjadi pelampiasan rasa kecewa gadis dalam dekapannya. Gama kembali menitikkan air matanya.

“Ghazaaaa! Ghazaaaa pulaaaaang!! Jangan tinggalin Chelseaaaaaaa!!!!” Chelsea terus menjerit.

“Sayang... tenang, tenang ya, ikhlasin Ghaza ya....” dengan sabar Gama menepuk-nepuk pelan bahu Chelsea.

“GHAZA PULANGGG!!! GUE GAK IKHLASSSSSS!!! KENAPA GAK NGOMONG DARI AWAL GHAZAAAAA!!!!” Chelsea masih berteriak, “GUE JUGA SAYANG SAMA LO!!!! GUE SAYANG SAMA GHAZA!!! PLEASE PULANGGG SINI GHAZAAAA!!!!!”

Gama mengeratkan lagi pelukannya meskipun Chelsea terus memberontak, namun perlahan gadis itu mulai tenang di kehangatan suaminya. Napasnya yang tersengal-sengal perlahan temponya mulai beraturan, namun dalam sekejap Chelsea tertidur di bahu Gama.

Dari luar pintu Adam dan Fiona ikut pilu, mereka tahu pasti Chelsea merasa sangat kehilangan. Mereka adalah sepasang sahabat yang saling mengasihi, begitu tega semesta memisahkan mereka di dua tempat yang begitu jauh.

Maya dari balik tembok, tak menampakkan wajahnya hanya menunduk sambil meneteskan bulir air matanya. Hatinya sakit, melihat bagaimana eratnya tali kasih antara Ghaza dan Chelsea sampai maut memisahkan, bukan soal cemburu, tapi bagaimana skenario Tuhan tak meridhoi keduanya untuk bersatu. Maya pun merasa iba, posisi Chelsea bisa saja jauh lebih sakit ketimbang dirinya. Dan jangan lupakan posisi Gama, yang juga ikut berkorban banyak.

Ghaza, kepergianmu meninggalkan luka dalam bagi orang-orang terkasih....

Seperti yang sudah ditetapkan, bahwa hari ini adalah Hari Ghaza dan Maya sedunia. Ghaza yang memutuskan untuk mempercepat hari spesialnya, entah ada alasan apa tapi ia ingin menikmati tiap detik momennya yang sempat tertunda. Mereka saling berbagi kisah dari yang lucu sampai bahagia, menonton satu film komedi hingga tertawa terpingkal-pingkal, bermain game dan bertaruh yang kalah wajahnya akan dipoles bedak basah hingga meninggalkan bekas di kedua pipi. Ghaza dan Maya sangat bahagia hari ini. Sungguh. Bahagia.

Tak terasa sudah malam menyapa, masih bulan purnama yang menyapa keduanya. Ghaza tersenyum tipis sambil menatap dalam bulan dari kaca jendela kamarnya, lalu tak lama ia menoleh ke arah Maya yang mau tak mau harus berkutat lagi dengan laptopnya. Barusan Maya dapat e-mail terkait revisian skripsi dari dosen pembimbingnya, wajahnya tegang sampai Ghaza terkekeh geli.

“Ah aku juga pingin ngerjain bab selanjutnya,” ujar Ghaza sedikit sendu, “Nanti habis operasi aku mau langsung ngejar skripsi biar cepetan lulus, aku gak mau dibalap sama Chelsea!”

Mendengar kata-kata Ghaza yang penuh membara itu membuat Maya tergelak. “Iya dong malahan kita juga balapan tau, Ghaza.”

Ghaza menggeleng, “Kalo sama Maya mah enggak dong, apapun yang kamu capai aku ikutan bangga apalagi misalnya pas kamu wisuda terus dapet gelar terbaik beuhh aku pasti bakal teriak paling kenceng 'WOI ITU CEWEK GUA, CEWEK GUA KEREN PARAH'!!” cicirnya mencerahkan suasana. Ghaza yang ceria perlahan kembali. Maya terhenyak sambil memandang lemat senyum jumawa Ghaza yang begitu lebar.

“Maya!” panggil Ghaza lalu direspon dehaman singkat Maya. “Kita refreshing dulu yuk keluar, lihat langit malam kayaknya cerah banget deh!”

Maya mengiyakan ajakan Ghaza yang penuh semangat itu, ia menutup laptopnya dan menuntun lelaki kasihnya untuk duduk diatas kursi roda. Ghaza melempar senyum cengirnya lagi, lalu menarik tangan halus gadisnya dan mengecup punggung tangan Maya. “Maya cantiknya Ghaza.”

Wajah Maya praktis memerah bak kepiting rebus.

Kursi roda itu dibawa perlahan menyusuri lorong rumah sakit yang tenang, hanya terdengar decitan kursi roda yang dibawa Maya sepanjang jalan. Ghaza dengan ramah menyapa para perawat yang lalu lalang, dan melihat situasi sekeliling beserta dirinya yang cukup memprihatinkan.

Ghaza bersumpah, setelah ia operasi dan mampu berjalan lagi, ia akan membawa Maya pergi kemanapun yang Maya inginkan bahkan jika harus melintas langit ke tujuh sekalipun.

Dengan sabar gadis itu membawa lelaki kasihnya dari lantai 10 menuju lantai dasar, lalu mencari taman rumah sakit dimana itu tempat paling tepat untuk merelaksasikan diri. Ini tempat satu-satunya yang Ghaza suka dari hiruk-pikuk rumah sakit yang lama menjadi rutinitasnya sejak dulu.

Hembusan angin malam yang sejuk beserta gemintang nan purnama yang saling bersanding menghias langit. Tampak seperti lukisan penuh legenda yang membuat orang mendecak kagum, momentum ini juga begitu indah untuk diceritakan nanti. Mereka tidak salah memilih tempat.

“Ghaza,” panggil Maya.

“Ya?” Ghaza membalas sambil mengadah kepalanya menghadap Maya.

“The moon is beautiful, isn't it?”

Ghaza mengangguk pelan, “So are you.”

Maya mengulum senyum malunya, ia merendahkan tubuhnya dan memeluk leher Ghaza dengan hangat, mereka saling menyandarkan kepala sambil menyaksikan bulan yang perlahan hilang oleh awan. Tak apa, masih ada bintang yang menghias di atas sana dan juga kehangatan ini.

Sejak tadi Ghaza juga tak henti melukiskan senyumnya, seolah ia benar-benar menikmati tiap detik kebersamaannya dengan sang kekasih hati. Rasanya ia ingin menghentikan waktu di momen ini, dimana mereka saling berbagi kehangatan.

Sebelum esok ia menaruh nasib, antara hidup dan mati di ruang operasi.

Bohong kalau Ghaza tidak memikirkan soal itu, karena operasi kali ini berbeda dari biasanya.

Tapi bukan sebuah dosa untuk melupakan esok demi hari ini yang indah.

“Maya....” Ghaza mengeratkan genggaman tangannya, “Terima kasih sudah mau menguatkan aku dan maaf...”

Maya mengerutkan satu alisnya, “Maaf untuk?”

“Maaf kamu harus jatuh cinta sama laki-laki payah kayak aku.”

Lagi-lagi kalimat itu mengiris hati Maya. Tangan mungilnya mengeratkan pelukan di leher lelaki itu dan menenggelamkan kepalanya agar bulir air mata yang barusan lolos tak terlihat oleh Ghaza.

“Sekarang kamu paham kan, alasan kamu gak akan bahagia sama aku?” Ghaza mengukir senyum miris, “Tapi gapapa, di waktu yang singkat ini aku mau buat momen bahagia sama kamu dan seandainya... kita berpisah, aku bisa pergi dengan kenangan indah itu dan kamu bisa cepat melupakan aku.”

Maya menggertak giginya, “Apa kamu bilang? Cepet lupain kamu? Semudah itu?”

Ghaza hanya mengangguk lemah, “Iya, hubungan kita masih singkat jadi—”

“Kamu pikir aku gak sepenuh hati dengan hubungan kita yang singkat ini, Ghaza??!!” gertakan Maya sukses membuat jantung Ghaza hampir copot. Maya yang biasa sabar dan lembut tiba-tiba meninggikan suara penuh amarah, matanya yang memencak dengan air mata yang mengalir deras... Ghaza sudah menghancurkan lagi hati Maya hingga berkeping-keping.

“Bukan begitu—”

“Ghaza, kamu tahu semua hal berkesan yang gak pernah aku rasain itu semuanya aku lalauin sama kamu! Kamu lupa kata-kata aku waktu aku nyatain perasaan sama kamu?!” Maya menarik napasnya dalam-dalam, “Kamu adalah orang pertama yang bikin aku lebih berani soal percintaan, dan saat ini kamu adalah orang pertama yang bisa bikin aku bahagia dan kecewa dalam satu waktu secara bersamaan!! Kamu pikir itu semua gak ada maknanya?!”

Gadis itu mengusap wajahnya dengan gusar. Ghaza semakin merasa bersalah.

“Dan kamu juga orang pertama... yang buat aku mengerti apa itu cinta tanpa syarat, Ghaza....”

Benar. Ketulusan Maya memang sukses menyentuh hati terdalam Ghaza yang sudah penuh luka dari semua pengorbanan. Ibarat satu obat untuk seribu luka.

“Maaf, Maya, aku... gak maksud bikin kamu sakit hati....”

Maya menghela napasnya kasar, ia menumpu dua lututnya dan menatap lurus dua iris hazel Ghaza yang kini tampak berkilau dibawah sinar bulan.

“Kamu mau aku bahagia kan?” Maya menangkup kedua pipi Ghaza dan tersenyum tipis, “Aku tuh paling bahagia kalau inget momen kita, Ghaza, semua memori tentang kita... itu membahagiakan. Jadi jangan suruh aku untuk lupain semuanya ya?”

Awal mula kisah mereka yang bertajuk dari Depok ke Bandung, dari kisah biasa menjadi penuh romansa sampai ada di titik tak ingin saling kehilangan seolah Tuhan sudah menuliskan semesta bagi sepasang insan ini. Ghaza lelaki yang baik dipertemukan pula oleh perempuan tulus seperti Maya. Semesta bergerak untuk menuliskan kisah yang berakhir bahagia.

Bagi Ghaza, kisahnya bersama Maya adalah pelabuhan akhir yang membahagiakan.

“Maya aku ngantuk, nanti boleh gak nyanyiin aku nina bobo kayak anak kecil? Aku nyesel suruh mama gak kesini hehe...”


“Ghaza bobo... oh, Ghaza bobo... kalau tidak bobo, digigit nyamuk....” “Ghaza bobo... oh, Ghaza bobo... kalau tidak bobo, digigit nyamuk...”

Maya menepuk pelan bahu Ghaza yang sudah ingin tenggelam dengan bunga tidurnya, matanya terasa berat namun Ghaza masih ingin sekali lagi melihat wajah cantik kekasihnya yang melantunkan melodi lembut untuk dirinya tidur.

“Maya...” lirih Ghaza, “Ngantuk banget.”

“Tidur sayang, aku gak kemana-mana.”

“Janji ya? Aku takut sendirian.”

Maya mengangguk pelan.

“Yaudah kalo gitu, good night, Maya....”

Maya mengecup hangat kening Ghaza, “Good night, Ghaza.”



Pagi-pagi Maya sudah berjalan dengan riang sambil membawa satu jus pir kesukaan Ghaza dan juga satu bungkus nasi padang. Ia ingin memberikan makanan itu nanti ketika Ghaza sudah selesai operasi karena kekasihnya itu diminta untuk puasa sebelum operasi.

“Lho, Kak Gama sama Chelsea udah nyampe aja padahal masih pagi banget,” ujar Maya namun langkahnya terhenti ketika melihat Chelsea menangis jerit di pelukan Gama. Satu kantung plastik yang ia bawa jatuh dari genggamannya, sepasang suami istri disana praktis menoleh ke arah Maya dengan tangisan mereka yang masih menggaung.

“Ma-Maya... Mayaaa!” Chelsea berlari memeluk Maya dan menangis sejadi-jadinya, “Maya... Ghaza, May...!!”

Maya langsung bergegas ke ruangan tempat Ghaza berada...

“Halo, Ghaza, ayo lihat sini, tahan sedikit lagi ya!”

” Halo, Dokter Hazel, ini situasi darurat pasien Ghaza....!!”

“Ghazaliel Arkananta, Ghazaliel Arkananta, bisa dengar suara saya?!”

” KAMU NGAPAIN DI DEPAN PINTU JANGAN HALANGIN JALAN, MOHON TUNGGU DILUAR SEMUANYA!”

BRAK!!! Pintu tertutup rapat-rapat. Maya masih diam membeku sampai rombongan tim medis mendorong tubuh mungilnya untuk segera menjauh. Chelsea cepat menangkap tubuh Maya yang masih kaku untuk bergerak, Gama menuntun kedua perempuan itu untuk duduk di kursi tunggu dan mengusap wajahnya gusar. Tak lama, Adam dan Fiona beserta Farhan dan Ratna datang dengan tergopoh-gopoh.

“GHAZA GIMANA?! GHAZA KENAPA TIBA-TIBA—”

“Gak tahu, Mah! Tadi begitu aku dateng sama Chelsea, Ghaza udah kejang-kejang!”

“Ya Tuhan anakku... GHAZAAA!!!” Fiona langsung menjerit di pelukan suaminya sedang Adam terisak dalam diam. Farhan dan Ratna ikut mendoakan yang terbaik untuk Ghaza dalam tangisnya.

Runtuh, seisi langit kini runtuh bagi para insan yang menantikan Ghaza.

Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, Dokter Hazel dengan para perawat datang dengan wajah yang begitu lesu.

“Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin dan ananda Ghazaliel Arkananta...” Dokter Hazel meremat ujung jas putihnya, “... kini sudah tiada.”

Jantung mereka seperti disambar petir, melihat tubuh Ghaza yang sudah tertutup oleh selimut putih dan senyumnya sudah tak lagi nampak. Tubuh Maya mendadak tergerak sendiri, ia memasuki ruangan yang hampa itu dan menatap tubuh Ghaza yang sudah terbujur kaku di dalam selimutnya.

Tangannya gemetar membuka selimut yang menutupi wajah Ghaza, tidak mungkin, senyum itu tampak sangat pucat bagi seorang Ghazaliel Arkananta. Ini pasti mimpi buruk, begitu pikir Maya.

“Ghaza... bangun... aku bawain jus pir sama nasi padang kesukaan kamu....” Maya mencari-cari dimana plastik yang tadi ia bawa, kakinya sudah lemah untuk berjalan lagi. “Ghaza... bangun....”

Dari belakang Dokter Hazel memapah tubuh Maya yang kini tak berdaya untuk berdiri, rasanya hancur setengah diri Maya. Tangannya berusaha meraih kedua pipi Ghaza yang sudah dingin, warna rambut Ghaza juga sudah sangat pucat. Maya menggigit kuat-kuat bawah bibirnya, menahan tangis yang ingin meledak detik ini juga. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Ghaza sayang... ini Maya....” Suara Maya mulai bergetar, semua orang yang menyaksikan ikut merasakan pilu dari duka kehilangan. Semua kehilangan Ghaza, semuanya tak lagi bisa melihat senyum cerah Ghaza yang menjadi favorit orang-orang. Perlahan Fiona ikut menguatkan Maya, menepuk pelan ringkuh tubuhnya yang lemah.

“Maya... maafin Ghaza ya....”

Tangisan Maya pecah di pelukan Fiona. Pagi ini langit tak tampak cerah, awan hitam mendung yang tak menurunkan setitik air pun.

Bumi ikut berduka, atas perginya Ghazaliel Arkananta sahabat sekaligus kekasih terbaik yang menjadi favorit semua orang.

Neneng Tri Rahayu Siswaty · Afgan – Untukmu Aku Bertahan

Sebelum tangan ini bergetar untuk menuliskan apa yang gue rasakan, izinkan gue untuk bercerita sedikit tentang momen indah yang sudah gue lewati bersama orang-orang terkasih...

Tahun tiap tahun berjalan maju tanpa lagi menoleh, sedangkan gue di sini terus mengharapkan waktu berhenti di tiap momen kebersamaan orang tercinta dan berharap hari berjalan lebih lambat. Karena gue tahu, hembusan napas gue di tiap waktu itu berjalan tak akan berlangsung lama.

Sejak kecil sudah mengidap penyakit aneh yang bahkan gue gak pinta hal itu sama Tuhan, awal mulanya ketika main futsal bareng Bang Gama dan gue tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri.

Setelah gue membuka mata, semua menangis menyebut nama gue.

Papa sama Mama gak mau kasih tahu apa penyakit gue pada saat itu tapi karena Bang Gama janji gak akan menyembunyikan apapun dari gue, maka dia yang beritahu semuanya. Gak semuanya sih hanya sekilas tapi sisanya gue yang cari tahu sendiri. Penyakit ini belum ditemukan obat penyembuhnya bahkan angka kematiannya bisa dibilang tinggi, shock? pastinya apalagi gue mencari tahu hal itu di usia 9 tahun. Gue berusaha menolak takdir itu, karena jujur aja gak ada rasa sakit yang spesifik membuat gue harus divonis tak berumur panjang. Tapi dengan semua pengobatan yang harus gue jalani tanpa terputus membuat gue sadar, bahwa kehadiran gue di muka bumi ini tak akan berjalan lama.

Lucu memang, ibarat hidup gue ini cuman sebatas cerpen.

Tapi justru karena kisah hidup gue ini bagaikan cerita pendek, gue mau kisah singkat ini jadi sangat berkesan. Gue gak pernah meredupkan semangat dan mimpi-mimpi gue, dulu waktu kecil gue bercita-cita ingin menjadi presiden meskipun itu mustahil tapi hidup gue lebih berwarna karena mimpi itu. Dokter juga meyakinkan gue, kalau mimpi yang mustahil itu pasti akan bisa terwujud nanti ketika gue sudah sembuh. Semangat dalam jiwa gue semakin berkobar-kobar.

Tapi sekali lagi, setiap gue harus berhadapan ruangan beralkohol dengan tangan yang ditusuk jarum berisi kantung merah pekat ini membuat harapan gue runtuh.

Semakin gue tumbuh dewasa, semakin gue sadar kalau tekad dan mimpi itu hanya omong kosong terutama untuk gue yang tidak memiliki harapan hidup panjang.

Di usia gue yang ke 16, adalah sebuah penyesalan terbesar dalam hidup gue sekaligus titik balik dari semua rasa frustasi yang gue alami. Hari itu, Bang Gama hampir putus kuliah karena ternyata dia diam-diam kerja di Amerika untuk cari uang bukannya belajar, Papa marah besar tapi Bang Gama bilang kalau dia melakukan ini semata-mata demi gue. Rasanya langit seperti runtuh, karena lagi-lagi gue jadi beban untuk orang terkasih. Gue sayang sama Bang Gama dan dia udah banyak berkorban untuk gue, Harvard adalah mimpi dia satu-satunya yang tercapai tanpa harus dia memikirkan bagaimana gue di sini (meskipun pada akhirnya gue yang paling sedih pas dia pergi) tapi kalau mimpinya hancur lagi... lebih baik gue mati aja.

Itu memang udah niat gue dari awal, gue nekat naik gedung sekolah dan berniat untuk lompat dari situ.

“WOY!!”

Suara melengking itu yang menghentikan langkah gue.

“LU KALO MAU MATI JANGAN DISINI ANJING, INI SEKOLAH BARU GUA NTAR GUA GAK MAU DENGER CERITA HORROR ORANG BUNUH DIRI DI SINI!!!”

Gadis dengan rambut sepunggung cantik dan bertubuh mungil, air wajahnya yang sinis namun tangannya bisa dilihat ia sangat gemetar.

“Heran ya, lu gak mikir kalo lu mati disini cuman nambah beban doang?! Keluarga lu bisa malu diomongin orang kalo tahu lu mati bunuh diri! Ini sekolah bisa kena imbas terus tahun depan kekurangan peserta didik lama-lama bangkrut! Mikir dong, mati tuh bukan solusi!!”

Jujur gue gak bisa berkata-kata. Seperti ditampar bolak-balik oleh gadis itu.

“Heh anak mana lu gua tanya?! Anak sini bukan?!”

“I-Iya! Gue anak sini, justru lo anak baru ngapain disini?!”

Gadis itu mendecih, “Gue? Ngapain disini?! YA DAFTAR ULANG LAH DODOL!! Gue tuh lagi keliling lihat sekolah baru malah lihat penampakan orang mau bunuh diri di sini!”

Chelsea Audrey Wijaya, itulah pertama kali kita bertemu meskipun awal pertemuan kita bukan awal yang baik.

Apa gue marah karena kata-katanya? Enggak, justru gue jadi ingin berteman sama dia.

“Kenalan dulu lah anak baru, sekalian gue ajak tour gratis gimana?”

Begitulah pertemanan kita dimulai.

Pertemanan ini adalah satu-satunya hal yang gue jaga sepenuh hati, tak sebagaimana biasanya gue menganggap semua hubungan itu hanya fana. Keberadaan gue yang tak berlangsung lama ini membuat gue hanya memasang topeng lalu pergi dengan seorang diri. Ah, gue bukan anti-social hanya saja tak mau intens menjalin komunikasi dengan orang-orang.

Tapi bersama Chelsea,

Gue ingin dia terus ada di samping gue.

Setelah insiden itu dia dengan pengertian enggan mengungkit soal momen awal pertemuan kita, melainkan dia terus bersanding dan menemani tiap momen menyenangkan. Kita mengukir banyak cerita bahagia, entah kenapa setiap gue bersama Chelsea rasanya seperti gue punya harapan hidup yang panjang.

Dia memberikan gue alasan untuk bertahan.

Pada saat itu lo merasakan patah hati yang pertama kali, dan disitu gue melihat bagaimana rapuhnya hati lo dibalik Chelsea yang keras kepala.

Dengan lirih lo bilang, “Ghaza, terus jadi sahabat gue ya? Cinta itu bahagianya cuman sebentar tapi untuk perpisahan rasanya sakit banget, setidaknya kalau kita sahabatan selamanya gak ada kata perpisahan untuk kita.”

Gue mengangguk sambil tersenyum pahit, mengingat lagi tentang bagaimana keberadaan gue yang takkan lama dan perpisahan... gue gak kuat membayangkan Chelsea menangis ketika gue gak ada....

“Iya, Chel, gue gak akan kemana-mana. Kita sahabatan selamanya.”

Maaf, Chelsea, gue menyimpan satu kebohongan terbesar yang mungkin gak akan pernah gue ungkap sampai nanti waktunya.

Dan sekarang adalah waktunya.


Halaman selanjutnya

Gue udah gak sanggup lagi untuk nulis, mungkin gak akan banyak cerita lagi yang bisa gue tulis.

Chel, sekarang gue bisa bernapas lega...

Gue bersyukur Tuhan mendengar doa gue, dan tanpa disangka Bang Gama yang hadir di kehidupan lo. Lo tahu? Rasanya gue mau sujud syukur sekarang, lo sekarang bisa tertawa lebar tanpa harus ada gue di samping lo.

Sekarang makan lo udah terjaga.

Sekarang kalau lo sakit ada yang jaga.

Sekarang kalau lo kesepian ada yang menemani.

Sekarang... kehadiran gue yang dulu menjadi penting sudah resmi berpindah ke Bang Gama.

Gue tenang sekarang.

Maya... kita belum sempat menghabiskan waktu lebih lama, aku yakin gak memakan waktu lama untuk kamu melupakan aku.

Tapi setidaknya aku ingin mengucapkan terima kasih, kamu adalah kenangan indah terakhir aku yang terkenang.

I love you, now, tomorrow and forever, Maya.

Orang bilang ada dua hal yang membuat kita berumur panjang, tekad dan mimpi. Tapi bagaimana kalau misalnya... tekad dan mimpi itu mati karena kita sadar umur kita gak akan panjang?

Naif, tekad dan mimpi itu omong kosong.

Pada akhirnya, manusia itu bergantung pada takdir.

“Gue gak mau kehilangan lo, Ghaza, please just stay with me ya?”

Gadis itu ajaib, bisa merubah harapan yang pupus kembali menemukan titik terangnya menjadi harapan baru. Untuk harapan hidup entahlah tapi setidaknya, lelaki itu memaknai betul apa arti dari sebuah momentum, waktu dan juga kenangan.

Ia ingin mengukir kenangan yang banyak dengan orang terkasih.


“KENAPA LO SEMBUNYIIN PENYAKITNYA GHAZA DARI GUE, GAMA??!!”

Gama mengusap wajahnya gusar, secarik amplop coklat yang berisi hasil pemeriksaan terakhir Ghaza mengenai penyakitnya. Suasana kacau, kedua orang tua Ghaza sedang diperjalanan menuju sini sedangkan Maya tak henti menangis, dan Chelsea menatap murka suaminya yang tampak resah.

Aplastic Anemia, atau Anemia Aplastik adalah penyakit langka yang diidap Ghaza akibat kelainan pada sumsum tulang sehingga organ tersebut tidak dapat menghasilkan cukup sel darah, baik itu sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit, atau sekaligus ketiganya. Kondisi ini bisa berbahaya apabila jumlah darah yang berkurang sangat banyak dan tidak mendapatkan pengobatan. Intinya Anemia adalah kondisi medis kekurangan darah. Aplastik Anemia bisa datang secara tiba-tiba maupun perlahan-lahan dan kebanyakan adalah anak remaja, orang dewasa usia awal 20-an tahun hingga lansia.

“Chelsea, penyakit Ghaza itu dari kecil—”

“YA GUE TAU MAKANYA KENAPA GAK BILANG SAMA GUE??!!”

“KARENA GHAZA GAK MAU LO KHAWATIR!!!”

“GUE ISTRI LO DAN GUE KAKAK IPARNYA GHAZA BUKANNYA GUE BERHAK UNTUK TAU??!!”

“YA TAPI GHAZA GAK MAU LO TAU—”

“PLEASE STOP KALIAN BERDUA!!”

Jeritan Maya dari ujung menghentikan pertikaian sepasang suami istri itu dengan suaranya yang sudah serak. Deraian air mata terus mengalir di pipinya, tak henti Maya mengucapkan nama Ghaza dalam kaitan doa... berharap lelaki kasihnya itu segera pulih.

“Kita lagi di rumah sakit, dan kalian ributin hal yang sudah terjadi apa gak kasihan sama Ghaza?!” seru Maya terisak-isak. Chelsea mengeraskan rahangnya lalu pergi meninggalkan kedua orang di sana tanpa membalas lagi kata-kata Maya, sedangkan Gama langsung duduk di sebelah Maya dan menenangkan gadis itu yang masih tak henti menangis. Hatinya hancur, melihat bagaimana sekeliling merasa runtuh dengan situasi yang dialami Ghaza.

Chelsea juga bisa sampai semurka itu Gama bisa mengerti. Ia tak bisa marah begitu saja dengan istrinya.

Tak lama kehadiran dokter dan para rekan medis dari ruangan Ghaza membuat mereka segera berdiri dari duduknya. Hati mengait harap dan cemas dalam satu rasa, akankah ada kabar baik tentang perkembangan penyakit yang diidap oleh Ghaza.

“Dokter Hazel, gi-gimana kondisi adik saya?!” decak Gama dengan terbata-bata. Dokter Hazel selaku dokter yang bertanggungjawab atas perawatan Ghaza hanya bisa menghela napas panjang.

“Seperti yang sudah kita bicarakan tempo lalu, Pak Gama, Ghaza... sudah harus ditindak operasi.”

Kedua mata Maya memencak lebar dan Gama hanya bisa menjambak rambutnya frustasi. Solusi satu-satunya yang bisa ditempuh untuk mengurangi resiko lebih lanjut penyakit Ghaza adalah transplantasi sumsum tulang. Ini merupakan solusi akhir untuk memberikan harapan lebih panjang agar Ghaza bisa beraktivitas lagi seperti semula, tapi bukan berarti Ghaza sembuh total.

“Kak... Penyakit Ghaza udah separah itu?” tanya Maya gemetar sedang Gama tak menjawab. Pertanyaan itu menggantung begitu saja.

Dokter Hazel berucap lagi, “Tapi untuk enam hari ini saya mau pantau kondisi Ghaza agar lebih stabil untuk menjalani operasi jadi semoga saja ada mukjizat, sebentar lagi Ghaza akan sadar jadi ditunggu saja ya,” wanita itu menepuk pelan bahu Gama, “Yang sabar ya, Pak, anda memang kakak yang hebat.”

Sekujur tubuh Gama tak mampu lagi bergerak, mengangkat kepalanya yang berat pun sudah tak sanggup. Dadanya nyeri luar biasa, entah ia harus bersandar kepada siapa tapi yang pasti rasanya pemuda itu ingin rubuh.

“A-Anu, Kak Gama, aku cari Chelsea dulu...” Lengan mungil Maya langsung ditahan oleh Gama.

“Gak usah, biar saya yang susul Chelsea,” lirih Gama dengan langkah tergontai-gontai ia pergi. Tak ada lagi punggung kokoh dari Gamaliel Arkananta.

Di tengah jalan ia menemukan sosok gadis mungil yang begitu familiar di luar taman rumah sakit sedang duduk sendirian. Kepalanya menunduk lemah, dadanya semakin terasa dikoyak-koyak hingga hancur lebur. Gama menuju tempat gadisnya, lalu sontak gadisnya menoleh dan memandang tatapan kosong Gama begitu dalam.

“Maaf, aku nyembunyiin semuanya dari kamu, Chel...” ucap lagi pria itu dengan sangat lemah, “Aku gak maksud jelek atau apa tapi aku juga gak mau kamu sedih, aku gak mau kamu jadi ikut khawatir karena penyakit Ghaza bagaimanapun juga dia sahabat deket kamu pasti nanti kamu—”

“Lo cuman mikirin gue, gue, dan gue kenapa gak lo pikirin diri lo sendiri?!” seru Chelsea seraya tangannya menarik pergelangan tangan Gama hingga tubuh lesunya terduduk di samping. “Gue istri lo kan? Kenapa sih lo gak mau berbagi bebannya sama gue?! Bayangin gimana beratnya beban yang lo pikul selama ini, Gama! Lo harus nanggung beban sebagai suami yang nafkahin semua keperluan gue terus juga kakak yang biayain semua keperluan adiknya, tanggung jawab di keluarga sebagai anak pertama, terus tanpa sepengetahuan gue lo juga harus telen semua fakta menyakitkan ini sendirian apa lo gak kasihan sama diri lo sendiri, hah?!”

Chelsea perlahan menyandarkan kepala Gama yang berat di bahu mungilnya.

“Kalo emang lo harus berlagak pahlawan di depan banyak orang, setidaknya jadi manusia di depan gue. Kita ini satu rumah, masing-masing diri kita ini rumah, jadiin gue rumah tempat lo melepas semua beban yang lo pikul, Gama.”

Gama meneteskan air matanya di bahu sang istri.

“Janji pernikahan kita kan selalu ada di saat suka maupun duka, jangan langgar janji itu di hadapan Tuhan.”

Tangan besarnya mulai meremat ujung kemeja di lengan Chelsea. Isakkan demi isakkan mulai ia keluarkan di hadapan gadis kasih, tak perduli lagi tentang malu ataupun figurnya sebagai seorang suami. Karena Gama merasa sangat runtuh saat ini.

“Nangis aja, keluarin semuanya,” Chelsea mengeratkan dekapan kepala suaminya itu. Detak jantung Chelsea yang berbunyi bagai lantunan melodi lembut yang menenangkan jiwa Gama. Tangannya membalas pelukan Chelsea, ia ingin terus berada di kenyamanan yang hangat ini. Gama mulai menggaungkan nama Ghaza, ia meluapkan kesedihannya yang begitu dalam karena takut akan kehilangan adiknya itu benar terjadi. Ia memutar otak sampai membanting tulang untuk mencari uang yang banyak demi kesembuhan Ghaza, semua pencapaian yang ia capai semata-mata untuk keluarganya. Ia tak mau melihat ayahnya mulai frustasi dengan pengobatan Ghaza dan ibunya menangisi nasib anak bungsunya, Gama merasa tanggung jawab akan harapan hidup adik tercinta.

“You are such a good brother, Gama.”

Gama menangis semakin kencang.

“GHAZAAAA!!!”


Maya memandang nanar wajah Ghaza yang masih terlelap di tidur panjangnya. Suara detak jantung yang melemah terdengar di mesin EKG dikaitkan dalam doa Maya agar Ghaza segera membuka matanya dalam keadaan sehat.

Ternyata ini alasan Ghaza takut aku gak bahagia di samping dia...

Air matanya sudah kering untuk menangis lagi karena itu tak merubah apapun. Orang bilang kita bisa merubah takdir dengan doa maka itu Maya tak putus untuk berdoa akan mukjizat yang terjadi untuk kekasihnya.

Ia mengusap lembut tangan Ghaza yang begitu lemah, hatinya sakit. Biasanya ia merasakan hangat dari kuatnya genggaman tangan Ghaza kini untuk menggerakkan satu dua jari saja tak bisa. Bulu matanya yang lentik tetap menawan. Warna rambut Ghaza juga sedikit pucat, entah apa alasannya tapi sekali lagi, Maya tak putus berdoa untuk sebuah mukjizat.

“Ukh...”

Erangan pelan itu membuat Maya terperanjat. Tak lama kehadiran orang tua Ghaza setelah konsultasi dengan dokter, cepat Maya menghampiri kedua orang tua Ghaza untuk mengabarkan bahwa baru saja Ghaza mengeluarkan suara.

“Om, Tante, Ghaza tadi bersuara! Dia bersuara tadi!!” decak Maya lalu Adam langsung berlari menuju meja perawat untuk meminta beberapa tim medis periksa kondisi Ghaza.

Gama dan Chelsea datang berdampingan dari arah lain ikut terbawa suasana panik. Ghaza perlahan membuka matanya setelah terlelap panjang, dokter yang bertugas masuk ke ruangan dan melakukan beberapa pemeriksaan lanjut.

“Alhamdulillah, Ghaza sudah sadar dan dilihat detak jantungnya juga stabil hanya saja masih butuh bed rest total selama 6 hari seperti yang sudah dibilang Dokter Hazel, nanti pukul 7 malam nanti akan kami berikan makan malam dan juga obat untuk Ghaza ya. Kami permisi dulu.”

Fiona berlari menghampiri putra bungsunya dan memandang sendu wajah pucat Ghaza.

“Ghaza sayang...” Fiona menitikkan satu bulir air matanya dan mengecup kening putranya itu dengan lembut, “Sakit ya nak? Tahan dulu sedikit lagi ya... Kamu anak mama yang hebat.”

Ghaza membuka mulutnya, “Mah... sa...kit....”

“Iya tahan sayang ya, sebentar lagi kan mau diobatin biar sembuh, tuh ada pacar kamu sama Bang Gama, Chelsea.”

Ghaza melirik lalu satu tetes air mata mengalir membasahi ujung matanya, “Sa...kit....”

Fiona tak kuasa menahan sedihnya lalu menempelkan keningnya ke kening sang putra. Ghaza memejam mata sejenak, kehangatan ibu yang perlahan memudarkan rasa sakit luar biasa dirasanya.

Maaf semuanya... Maaf udah bikin kalian sedih, Maya, maaf aku ini pacar yang payah... Chelsea, maaf selama ini gue bohong sama lo...

Bang Gama, maaf dan terima kasih untuk semuanya...

Gama masih tidak habis pikir dengan penampilan Ghaza yang super acak-acakan. Kaos oblong putih dengan celana training andalannya juga rambut tak beraturan yang ia tutupi dengan topi, wajah baru bangun dari tidur siangnya itupun masih nampak jelas. Tapi sudahlah, mungkin karena Ghaza sering bergaul dengan Chelsea jadi sifat random sudah menjadi alamiah mereka.

“Gak usah nge-judge gitu natapnya, orang-orang prioritas BCA juga biasa pake kutangan kalo ke kantor bank,” cicir Ghaza dengan nyeleneh dan dibalas gelengan kepala kakaknya yang sudah tak bisa berkomentar lagi.

15 menit pertama mereka masih saling diam, belum ada pembuka topik yang bisa dibicarakan karena otak mereka penuh dengan seribu pertanyaan perihal Chelsea. Gama ingin mempertanyakan tentang kebenaran dari isi buku jurnal Ghaza sedangkan Ghaza ingin menanyakan perasaan Gama setelah membaca buku jurnalnya. Rasa sungkan beserta ragu memecah otak keduanya, entah sampai kapan mereka akan diam seperti ini.

“Ghaza,” akhirnya suara Gama memecah kesunyian, “Kenapa... lo banyak berkorban untuk orang-orang di sekitar lo?”

Ghaza memencak kedua matanya, tak lama ia terkekeh geli sambil meneguk matcha latte yang sudah tak lagi hangat.

“Gue gak banyak berkorban ke orang-orang sekitar kok,” Ghaza meletakkan cangkirnya, “Gue cuman berkorban untuk Chelsea aja sejauh ini.”

Gama tersontak, melihat bagaimana Ghaza mengutarakan itu dengan enteng justru membuat dadanya seperti dicabik-cabik. Ghaza adalah adik yang begitu ia sayangi dan lindungi sepenuh hati, sekarang ia harus melihat bagaimana adiknya itu mengorbankan perasaannya demi wanita yang ia cintai pula untuk menikahi dirinya. Kalau saja Gama tahu ini sejak awal, pasti ia sudah menentang keras pernikahannya dengan Chelsea.

“Kenapa lo gak ngomong soal ini, Ghaza?” tanya Gama dengan lirih.

Ghaza mengadah kepalanya, menarik napas panjang sambil mengulas senyum lebarnya seolah ia sudah tak ada rasa, dan tak ada lagi resah perihal Chelsea dan Gama.

“Kalo gue ngomong soal ini dari awal, Chelsea gak akan nemuin kebahagiaannya, Bang,” Ghaza menepuk bahu kakaknya dengan ringan, “Dia jauh lebih bahagia sama lo dibandingkan gue.”

“Kebahagiaan lo gimana? Kenapa lo cuman mikirin orang tapi gak mikirin kebahagiaan lo sendiri?”

“Gue udah melewatkan masa-masa bahagia gue selama 6 tahun sama Chelsea, tiap momen yang gue lewatin sama dia adalah hal yang paling membahagiakan buat gue, tapi gue gak bisa jamin kebahagiaan yang dia dapatkan selama 6 tahun sama gue itu akan berlangsung lama jadi... lebih baik gue mengorbankan setelahnya untuk kebahagiaan Chelsea,” tatapan Ghaza berubah sendu, ia menundukkan kepalanya dan mengusap cepat air matanya yang hendak turun, “Gue gak akan bisa ngebahagiain Chelsea, jadi gue mohon sama lo untuk lupain semua isi jurnal gue dan lanjutin pernikahan kalian, please, gue gak pernah lihat Chelsea sebahagia ini selama dia sama gue, Bang.”

Gama terhenyak, masih menatap lekat bagaimana runtuhnya Ghaza setiap ia menyebut nama Chelsea.

“Setidaknya lo harus marah, Za.”

“Marah untuk apa?”

“Karena gue yang merebut kebahagiaan lo.”

Ghaza mendecih, “Please lah, gak perlu juga gue marah sama lo—”

“Sekarang lo lampiasin aja ke gue, Za, semua rasa kecewa dan sakit hati lo luapin aja. It's only between us, just the two of us,” Gama mengatur lagi tempo napasnya yang mulai tak beraturan, “Karena gue yang bertanggungjawab atas kebahagiaan lo, Za.”

Sejak kecil, ikatan persaudaraan Gama dan Ghaza memang begitu erat dan mereka saling melindungi satu sama lain. Ghaza begitu mengagumi sosok kakaknya yang bertanggungjawab, cerdas dan dapat diandalkan begitupun Gama yang begitu menyayangi adiknya yang manja dan cengeng. Bahkan ketika mereka harus terpisahkan antar benua karena pendidikan Gama, Ghaza adalah orang pertama yang merasa sangat kehilangan. Motivasi Gama untuk cepat lulus dan mencari uang yang banyak pun tak lain ingin mengambil tanggung jawab atas semua biaya hidup Ghaza sampai waktunya.

Tak ada saling melukai, hanya ada saling menyayangi.

“Lo bener, Bang, meskipun gue selalu mendoakan kebahagiaan Chelsea tapi di hati kecil gue, gue selalu berharap agar Chelsea gak jatuh cinta sama yang lain. Ketika dia pacaran sama cowok lain, gue berharap dia terluka terus pulang lagi ke pelukan gue, ketika dia bilang dia gak mau nikah biar kita bisa terus bareng, gue harap itu bisa jadi kenyataan tapi kondisi gue saat ini gak memungkinkan gue untuk egois. Pada akhirnya yang gue mau cuman satu, Chelsea bahagia, udah itu aja...” Ghaza menitikkan satu air matanya, “... Meskipun dia bahagia bukan sama gue....”

Gama mengepal kuat tangannya, ia tak mau terlihat lemah disaat adiknya sedang merasa runtuh. Ia tahu bagaimana sakitnya kehilangan cinta pertama, sebagaimana dulu ia pernah merasa sakit ketika Alex menolaknya.

“6 tahun itu waktu yang panjang, dan lo bisa pendem perasaan itu dalam-dalam selama itu, Za.”

“Ini gak ada apa-apanya dibandingkan lihat Chelsea nangis, dada gue jauh lebih sakit karena itu, makanya dulu gue marah banget sama Abrar karena dia adalah laki-laki pertama yang selalu jadi alasan Chelsea untuk nangis.”

Gama bisa melihat kalimat itu dengan tulus, karena bagaimana cara Ghaza menatap Chelsea memang tampak berbeda hanya saja ia tak menyangka semuanya terjadi seperti saat ini.

“Ghaza, gue minta maaf untuk semuanya.”

“Gak perlu, kan gue juga yang minta kalian untuk menikah makanya gue minta lo janjiin satu hal bisa?” Ghaza mengulurkan kepalan tangannya, “Gantiin posisi gue untuk pastiin dia makan yang bener, kalo sakit perhatiin dia dua kali lipat dari orang tuanya, bahagiain dia seperti lo adalah dunianya dan jangan buat hati dia tergores sedikitpun seolah Chelsea ini permata.”

Gama menghempas tawa kecilnya, soal itu bukan lagi beban melainkan sukacita yang akan Gama laksanakan sepanjang pernikahan ini.

“Gue pegang janji lo,” Gama membalas tos kepalan tangan Ghaza lalu mereka menjabat tangan sebagai tanda bahwa perjanjian sebagai antar laki-laki sudah sah. Mereka sama-sama berikrar demi kebahagiaan wanita yang mereka cintai.

Dengan ini Gama terus melangkah maju untuk pernikahannya, dan Ghaza perlahan mundur untuk merelakan cinta pertamanya.

“Oh ya Bang,” Sebelum beranjak Ghaza menarik bahu kakaknya, “Lo udah baca halaman terakhir jurnal gue?”

Gama menggeleng, “Gak sempet, soalnya baru tiga halaman pertama aja gue udah gak sanggup.”

Ghaza tergelak, lalu ia membuka halaman terakhir jurnalnya dan menunjukkan dua halaman itu kepada Gama.

“Setidaknya kalau baca buku itu harus sampai epilog-nya, lo penulis bukan?”


CW // Mentioning of kiss


“Anjing juga suaminya.”

“Ya kan, Gam?! Daritadi gue udah mau banting TV cuman gue takut cicilannya belum lunas kan gak lucu.”

“Gue belinya cash, by the way.

Sepasang kekasih itu sedang menikmati waktu bersamanya menonton drama Korea. Drama yang ditonton kali ini memang cukup menyulut emosi terlebih ini adalah drama tentang perselingkuhan, siapapun yang menyaksikan pasti ingin menerkam para antagonisnya.

“Itu si ibu dokter ngapain sama temennya si suami?” tanya Gama begitu sudah sampai di adegan dimana tokoh utama wanita sedang menikmati candle light dinner romantis dengan salah satu tokoh antagonis. Chelsea mengangkat dua bahunya pertanda ia juga tak tahu. Keduanya masih fokus menyaksikan bagaimana adegan selanjutnya yang masih menjadi misteri.

Mata keduanya seketika melotot.

“O-Oh, wow...?” Gama meneguk salivanya bulat-bulat, ternyata yang mereka nantikan scene setelahnya adalah adegan dewasa yang cukup eksplisit. “Tontonan lo kayak gini, Chel?”

“Ya... EMANGNYA KENAPA? GUE UDAH GEDE!!” Chelsea hendak merebut remot TV dari tangan Gama tapi justru suaminya dengan usil mengangkat lagi remotnya tinggi-tinggi agar Chelsea tak dapat meraih TV-nya.

“Mau ngapain?”

“MAU MATIIN TV-NYA LAH!”

“Kenapa di matiin? Emang udah selesai filmnya?”

“Ya-ya gue mau matiin aja, emang gak boleh?!”

Gama mendekatkan wajahnya kepada sang istri hingga jarak antar tatapan mereka hanya sejengkal, deruan napas mereka saling beradu dengan aroma mint bercampur dengan semangka dari keduanya. Mereka terpaku dengan posisinya masing-masing. Chelsea mendorong pelan tubuh Gama lalu duduk tegak tanpa menatap lagi kedua mata Gama. Telinganya sudah memerah padam, dalam hatinya sudah gemuruh dengan semua kutukan yang ia tuju untuk suaminya.

“Chel,” Gama memanggil gadis disampingnya agar tak ada lagi hening yang memenuhi suasana. Chelsea hanya memanggut kepalanya sebagai respon.

“Have you ever kissed someone before?”

Pertanyaan Gama membuat Chelsea melongo, gadis itu memekik kesal lalu memukul suaminya dengan bantal berukuran besar itu bertubi-tubi. Bagaimana tidak? pertanyaan itu terlampau sensitif dan bisa-bisanya Gama menanyakan hal itu dengan sangat enteng.

“Gue nanya doang, astagaaa!”

“MAKSUD LO APA NANYA GITU—”

“Pernah atau enggak?”

Chelsea mengatup bibirnya rapat-rapat, ia memaling wajahnya lalu menggeleng cepat sebagai jawaban. Gama mengangguk paham, iris karamelnya terus mengikuti pergerakan Chelsea yang gelisah. Menggemaskan, begitu pikirnya. Tangan besarnya menarik lengan mungil Chelsea agar gadisnya mau saling beradu tatap dalam rayu. Nuansa ruangan itu sudah berubah, tak lagi dingin dan juga hening. Suhu ruangan sudah dipastikan bersuhu 18 derajat tapi keduanya malah merasa hangat. Gama menatap tiap fitur wajah cantik istrinya dari dua iris legam yang bulat nan bulu mata indahnya begitu lentik, hidung mungilnya lalu terhenti di bibir ceri milik Chelsea yang merekah.

“Gue juga belum,” Gama berucap pelan dengan bisikan yang terdengar seduktif, seketika bulu kuduk Chelsea merinding. “You wanna try?”

Chelsea membelelakkan matanya, “Co-Coba apaan? Maksudnya gimana?”

“I can teach you.”

Gadis itu menghempas tawa kecilnya, “Ngajarin apaan, katanya belum pernah?”

Gama menyungging senyum miringnya lalu mendekatkan lagi wajahnya hingga jarak mereka hanya tinggal se-senti, “Belum pernah bukan berarti gak bisa kan?” bisiknya lagi. Chelsea kembali terpaku, mata sayu Gama menatapnya begitu lekat seraya jemari kokohnya mulai menyisipkan anak rambut milik gadis mungil itu. Perlahan ia mengelus pipi istrinya agar suara jantung yang sejak tadi bergejolak hebat mulai berdetak sesuai temponya. Gama kembali memberikan senyuman tipisnya.

“I will teach you step by step, close your eyes, Chel.”

Bagai di sihir oleh mantra, Chelsea mengikuti pinta Gama dan memejam rapat kedua matanya gugup. Gama terkekeh pelan, pertama-tama ia mendaratkan satu kecupan di kedua mata perempuannya yang mengerut tegang. Chelsea menghayati satu kecupan hangat itu dengan dalam, hatinya menjadi berbunga-bunga dengan seribu kupu-kupu yang berterbangan di bawah perutnya. Kenapa hanya dengan satu kecupan saja bisa membuat orang se-bahagia ini?

Gama melepas kecupannya, lalu memandang lagi wajah Chelsea yang sudah tenggelam dengan kehangatan yang ia buat. Retinanya melirik ke bibir ceri sang gadis yang merah merekah, perlahan ia mendekat lalu meraih bibir manis itu dengan kecupan pelan lagi.

Her first kiss, and all the history now belongs to Gamaliel Arkananta.

Ia melepas lagi lalu mengusap pelan pipi gadis kasihnya hingga iris legamnya kembali terbuka, napas mereka kini saling beradu cepat.

“Tadi namanya kecupan, and now i will teach you the real one.

Chelsea memejam matanya lagi tatkala Gama mendekati wajahnya dan mengecup bibirnya yang kedua kali. Kecupan lembut itu berangsur-angsur menjadi lumatan yang menuntut. Tangan besarnya menangkup erat pipi gadisnya dan pandangannya tak luput memastikan posisi Chelsea tetap nyaman. Bibir gadisnya yang terasa manis mendadak jadi candu bagi Gama, keduanya terjebak dengan zona nyaman mereka.

Mereka sudah tenggelam, dengan pusaran zona nyaman yang tak pernah mereka bayangkan akan telampau pada titik ini. Malam dibawah cahaya rembulan menyapa dari jendela, Gama dan Chelsea sudah menggebrak satu batas yang sudah mereka janjikan dalam satu surat bermaterai.

Meskipun mereka belum mengatakan untuk saling cinta tapi hati keduanya kini sudah saling terhubung.

Chelsea melepas tautannya, mengambil pasokan oksigen lebih banyak. Mereka saling menatap lagi, Gama mengulas senyum tipis sambil mengusap lembut pipi gadisnya.

“Anu... Gam, gue mau tidur sekarang....”

“Kenapa?”

“Besok kuliah pagi.”

CW // Mentioning of kiss

“Anjing juga suaminya.”

“Ya kan, Gam?! Daritadi gue udah mau banting TV cuman gue takut cicilannya belum lunas kan gak lucu.”

“Gue belinya cash, by the way.

Sepasang kekasih itu sedang menikmati waktu bersamanya menonton drama Korea penuh membara. Drama yang ditonton kali ini memang cukup menyulut emosi terlebih ini drama tema perselingkuhan, siapapun yang menyaksikan pasti ingin menerkam para antagonisnya.

“Itu si ibu dokter ngapain sama temennya si suami?” tanya Gama begitu sudah sampai di adegan dimana tokoh utama wanita sedang menikmati candle light dinner romantis dengan salah satu tokoh dimana dia adalah teman dari suaminya. Chelsea mengangkat dua bahunya pertanda ia juga tak tahu. Keduanya masih fokus menyaksikan melihat bagaimana adegan selanjutnya yang masih menjadi misteri.

Mata keduanya seketika melotot.

“O-Oh, wow...?” Gama meneguk salivanya bulat-bulat, ternyata yang mereka nantikan scene setelahnya adalah adegan dewasa yang cukup eksplisit. “Tontonan lo kayak gini, Chel?”

“Ya... EMANGNYA KENAPA? GUE UDAH GEDE!!” Chelsea hendak merebut remot TV dari tangan Gama tapi justru suaminya dengan usil mengangkat lagi remotnya tinggi-tinggi agar Chelsea tak dapat meraih TV-nya.

“Mau ngapain?”

“MAU MATIIN TV-NYA LAH!”

“Ngapain di matiin? Emang udah selesai filmnya?”

“Ya-ya gue mau matiin aja, emang gak boleh?!”

Gama mendekatkan wajahnya kepada sang istri hingga jarak antar tatapan mereka hanya sejengkal, deruan napas mereka saling beradu dengan aroma mint bercampur dengan semangka dari keduanya. Mereka terpaku dengan posisinya masing-masing. Chelsea mendorong pelan tubuh Gama lalu duduk tegak tanpa menatap lagi kedua mata Gama. Telinganya sudah memerah padam, dalam hatinya sudah gemuruh dengan semua kutukan yang ia tuju untuk suaminya.

“Chel,” Gama memanggil gadis disampingnya agar tak ada lagi hening yang memenuhi suasana. Chelsea hanya memanggut kepalanya sebagai respon.

“Have you ever kissed someone before?”

Pertanyaan Gama membuat Chelsea melongo, gadis itu memekik kesal lalu memukul suaminya dengan bantal berukuran besar itu bertubi-tubi. Bagaimana tidak? pertanyaan itu terlampau sensitif dan bisa-bisanya Gama menanyakan hal itu dengan sangat enteng.

“Gue nanya doang, astagaaa!”

“MAKSUD LO APA NANYA GITU—”

“Pernah atau enggak?”

Chelsea mengatup bibirnya rapat-rapat, ia memaling wajahnya lalu menggeleng cepat sebagai jawaban. Gama mengangguk paham, iris karamelnya terus mengikuti pergerakan Chelsea yang gelisah. Menggemaskan, begitu pikirnya. Tangan besarnya langsung menarik lengan mungil Chelsea agar gadisnya mau saling beradu tatap dalam rayu. Nuansa ruangan depan sudah berubah, tak lagi hening dan dingin. Suhu ruangan sudah dipastikan bersuhu 18 derajat tapi keduanya malah merasa hangat. Gama menatap tiap fitur wajah cantik istrinya dari dua iris legam yang bulat nan bulu mata indahnya begitu lentik, hidung mungilnya lalu terhenti di bibir ceri milik Chelsea yang merekah.

“Gue juga belum,” Gama berucap pelan dengan bisikan yang terdengar seduktif, seketika bulu kuduk Chelsea merinding. “You wanna try?”

Chelsea membelelakkan matanya, “Co-Coba apaan? Maksudnya gimana?”

“I can teach you.”

Gadis itu menghempas tawa kecilnya, “Ngajarin apaan, katanya belum pernah?”

Gama menyungging senyum miringnya lalu mendekatkan lagi wajahnya hingga jarak mereka hanya tinggal se-senti, “Belum pernah bukan berarti gak bisa kan?” bisiknya lagi. Chelsea kembali terpaku, mata sayu Gama menatapnya begitu lekat lalu jemari kokohnya mulai menangkup kedua sisi wajah cantik gadis mungil itu. Perlahan ia mengelus pipi istrinya agar jantung yang sejak tadi bergejolak hebat mulai berpacu sesuai temponya. Gama kembali memberikan senyuman tipisnya.

“I will teach you step by step, close your eyes, Chel.”

Bagai di sihir oleh mantra ajaib, Chelsea mengikuti pinta Gama dan memejam rapat kedua matanya gugup. Gama terkekeh pelan, pertama-tama ia mendaratkan satu kecupan di kedua mata perempuannya yang mengerut tegang. Chelsea menghayati satu kecupan hangat itu dengan dalam, hatinya menjadi berbunga-bunga dengan seribu kupu-kupu yang berterbangan di bawah perutnya. Kenapa hanya dengan satu kecupan saja dapat membuat orang se-bahagia ini?

Gama melepas kecupannya, lalu memandang lagi wajah Chelsea yang sudah tenggelam dengan kehangatan yang ia buat. Retinanya melirik ke bibir ceri sang gadis yang merah merekah, perlahan ia mendekat lalu meraih bibir manis itu dengan kecupan pelan lagi.

Her first kiss, and all the history now belongs to Gamaliel Arkananta.

Ia melepas lagi lalu mengusap pelan pipi gadis kasihnya hingga matanya kembali terbuka, napas mereka kini saling beradu cepat.

“Tadi namanya kecupan, and now i will teach you the real one.

Chelsea memejam matanya lagi tatkala Gama mendekati wajahnya dan mengecup bibirnya yang kedua kali. Kecupan lembut itu berangsur-angsur menjadi lumatan yang menuntut. Tangan besarnya menangkup erat pipi gadisnya dan pandangannya tak luput memastikan posisi Chelsea tetap nyaman. Bibir gadisnya yang terasa manis mendadak jadi candu bagi Gama, mereka terjebak dengan zona nyaman mereka.

Mereka sudah tenggelam, dengan pusaran zona nyaman yang tak pernah mereka bayangkan akan sampai pada titik ini. Malam dibawah cahaya rembulan menyapa dari jendela, Gama dan Chelsea sudah menggebrak satu batas yang sudah mereka janjikan dalam satu surat bermaterai.

Meskipun mereka belum mengatakan untuk saling cinta tapi hati keduanya kini sudah saling terhubung.

Black dress with sleeves, and bold make-up touch her very well, Penampilan Chelsea saat ini berbeda dari biasanya. Rambut panjangnya yang ia tata ala bridal style membuat tampilannya tampak seperti wanita mahal nan berkelas. Ya, demi mengalahkan pesona seorang Alexandra Tan yang menjadi targetnya tentu Chelsea harus merubah total penampilannya. She was born to be a winner.

Gadis itu menyapa suaminya yang masih berdiri membelakanginya. Gama juga tampak sempurna dengan jas hitam dan sweater putih membalut raganya, ia menoleh ke sumber suara dan tubuhnya membeku seketika setelah sesosok wanita cantik keluar dari pintu kamar yang letaknya tak jauh dari ruang tamu.

“Chel...?” Gama terkesima sesaat, melihat bagaimana penampilan istrinya yang berubah drastis. Seperti bukan Chelsea yang ia kenal, tapi lelaki itu akui saat ini penampilan Chelsea sangat luar biasa sampai matanya tak bisa berkedip.

“Gimana? Bagus gak?” tanya Chelsea kikuk.

Gama mendecak kagum, “Gorgeous.”

Pujian itu membuat hati Chelsea melambung tinggi. Dengan gagah Gama menyodorkan lengan kekarnya, Chelsea mengulum senyum malu sambil memeluk lengan suaminya itu. Ada yang berbeda dari pasangan ini, mereka biasanya saling berseteru lalu berjarak dua meter dari sisi masing-masing seolah tak sudi untuk bersanding tapi sekarang mereka saling memeluk. Tangan Chelsea yang terkait di lengan suaminya itu digenggam erat, bahkan Chelsea juga menyandarkan kepala mungilnya dengan nyaman.

“Chel.”

“Hm?”

Gama mendekati telinga Chelsea, “Cantik banget.”

Mereka saling tertawa penuh cinta.



Konsep acara hari ini adalah Garden Party dengan tamu yang jumlahnya tak begitu banyak, mungkin hanya dibawah 100 undangan. Untung saja Chelsea tidak salah kostum, semuanya berpenampilan formal dan begitu silau. Penjabat tinggi semuanya ada di sini, kolega-kolega bisnis dan semua jenis tamu penting ada. Jujur saja jantung Chelsea ingin merosot sekarang juga, meskipun penampilannya sudah menyeimbangi tapi ia merasa tak pantas di sini. Bisa-bisanya Gama diundang di acara sepenting ini dan ingin seorang Chelsea mendampinginya?

Kehadiran seorang pria baya di hadapan sepasang insan itu membuat Chelsea tertegun. Tampaknya Gama sangat akrab dengan sosok pria baya itu sampai kedatangan mereka disambut penuh suka cita.

“Ya Tuhan, Gama, Om sampai pangling ini kamu ya! Sekarang sudah sangat gagah dan nona cantik ini....” perhatiannya teralihkan kepada Chelsea.

“Ah iya, Om Luke kenalkan ini istri saya, Chelsea. Sayang, ini Om Luke yang mengundang kita ke acara ini dan beliau ini ayahnya Alex,” tutur Gama dengan lembut, dengan kikuk Chelsea membalas jabatan tangan Luke sembari mundur untuk menutupi salah tingkahnya. Detik ini ia merasa bodoh, bibirnya kelu untuk mengucap sepatah kata sehingga yang bisa dilakukan Chelsea hanya tersenyum paksa.

“Wah, Om lebih kaget ini denger kamu udah menikah... kalau Tante Dara tahu pasti patah hati hebat hahaha....” Luke menoleh ke Chelsea, “Kamu nona yang sangat beruntung lho bisa memiliki suami sempurna kayak Gama, karena yang membuat Om dan Tante senang dengan Gama ini karena Gama adalah pria yang bisa diandalkan.”

Chelsea menjawab oh ria, “Oh gitu ya, Om....”

“Istrinya kerja apa, Gama?” Pertanyaan klasik yang selalu dipertanyakan seribu orang tua ketika bertemu orang baru. Gama menjawab pertanyaan itu dengan sangat hati-hati.

“Chelsea masih menjadi mahasiswa aktif, Om, seangkatan sama Ghaza.”

“Oh seumuran sama Ghaza? Wah perjalanannya masih panjang ya, hahaha!” Luke memajukan sedikit tubuhnya, “Nanti setelah lulus ada rencana untuk... Gama junior kan?”

Keduanya praktis melotot.

“Bercanda, kok... hahahaha! Ya sudah kalau gitu, itu ada banyak hidangan selamat menikmati ya, Om mau ketemu sama tamu yang lain dulu!”

“Iya, Om, makasih banyak!”

Bayang-bayang Luke perlahan menghilang dari pandangan mereka. Chelsea langsung melepas napasnya yang tertahan, kalau boleh berharap setelah percakapannya barusan ia ingin lari pulang duluan sekarang. Energinya sudah terkuras habis, aura para tamu yang begitu kuat tak bisa Chelsea hadapi dengan kepala dingin. Ia begitu takut akan mempermalukan suaminya. Gama yang menyadari bagaimana gugupnya sang istri langsung meraih jemari mungil Chelsea dan mengaitkannya erat, memberikan sedikit kekuatan agar gadis itu bertahan sedikit lagi.

Gama tersenyum hangat, dan itu cukup untuk menenangkan kegelisahan Chelsea.

“Gama?” Suara lembut itu mengejutkan keduanya, tampak seorang wanita cantik dengan gaun merah selututnya dan rambut lurus yang tergerai semputna itu menyapa mereka, ah lebih tepatnya Gama seorang. Mata cantiknya bahkan enggan melihat kehadiran Chelsea. “Tadi habis ngobrol sama Papa?”

“Iya, Om Luke masih seger aja kayak biasanya,” balas Gama lalu tiba-tiba Alex menyapa lelaki itu dengan salam cipika-cipiki di hadapan Chelsea. Gadis itu tertawa renyah.

“Oh jadi ini, yang mau kamu kenalin sama aku?” ujar Alex dengan nada remeh. Tatapannya tampak angkuh di hadapan Chelsea.

“Iya ini istri aku, Chelsea,” Gama mendehem singkat, “Uh... Chel, ini Alex, sahabat aku dari SMA.”

Alex lebih dulu mengulurkan tangannya, “Halo, nice to meet you, Mrs. Arkananta.

Chelsea masih diam, ia menatap tajam Alex dari ujung kepala sampai ke kaki dan mencerna tiap kalimat yang diutarkan wanita dihadapannya. Terdengar sarkastik, tapi karena ini acara para tamu mahal jadi Chelsea juga harus bersikap tenang di sini.

“Salam kenal juga, Mbak Alex.”

Alex mendecih, “What did you call me? Oh stop it, kalau mau panggil aja Alex.”

Chelsea tersenyum penuh arti, “Maaf saya gak bisa, itu gak sopan.”

Senyuman Alex memudar ketika mendengar Chelsea menekankan akhir kalimatnya, ia menghempas pelan jabatan tangannya lalu mengusap bersih seolah ia habis memegang kotoran. Chelsea tak mau kalah, ia juga mengambil hand-sanitizer dan menyemprotkannya di jemari mungil bekas ia berjabat tangan barusan. Alex menganga, dasar perempuan kurang ajar...!

Gama tidak paham situasi ini, karena saat ini adalah perang psikologis antara dua wanita yang sedang mempertahankan apa yang harus mereka pertahankan.

“Gamaa!” Sekarang sosok pria berparas eksotis yang datang menghampiri Gama dan memeluk kawannya penuh sukacita. “Wah lo datang juga?!”

“Iya, nih bareng istri gue!” Gama dengan bangga memperkenalkan istrinya, lalu perhatian pria itu teralihkan kepada Chelsea dengan mata yang terbinar-binar.

“Wah cantiknya, ini yang lo bilang sama-sama anak Cikarang, Gam?” Pria itu menyodorkan tangannya, “Halo, gue Bagas Azriel, temen SMA-nya Gama sekaligus partner kerjanya di kantor penerbit.”

Chelsea membalas jabatan tangan Bagas dengan sangat ramah, “Halo saya Chelsea, salam kenal, Kak!”

Alex melotot, Dia manggil Bagas pake 'Kak' tapi kenapa ke gue 'Mbak'?!

“Gue denger lo temennya Ghaza ya?!” ujar Bagas basa-basi.

“Iya betul.”

“Kok bisa cinloknya sama Gama bukan sama Ghaza?! Hahahaha!”

Gama langsung memukul lengan Bagas, “Kenapa ngomong gitu sih lu?”

“Ya enggak... maksud gue kan dia sering barengnya sama Ghaza kenapa malah nikahnya sama lo, ngerti gak sih, kalau di novel tuh kayak ada plot-twist gitu,” Bagas langsung menepuk tangannya teringat sesuatu, “Oh iya, Gam, omong-omong gimana soal novel lo—”

“AAAHHHH, BAGAS, BAGAS! Ki-Kita omongin di sana yuk, gue juga mau omongin beberapa hal soal kerjaan!” Gama menyeret kawannya itu jauh-jauh dari jangkauan Chelsea. Ia lupa kalau saat ini ia sedang merahasiakan identitasnya sebagai penulis di hadapan Chelsea, dan di sini ia bertemu dengan partner kerja yang pasti akan membicarakan soal bukunya. Masih belum ada alasan yang pasti kenapa Gama belum mau membuka diri soal bukunya.

Chelsea masa bodoh dengan itu, lebih baik ia melihat-lihat hidangan yang ada di acara ini.

“Masih jadi tanda tanya besar ya, kenapa seorang Gamaliel Arkananta mau menikah cepat-cepat.”

Chelsea menoleh ke sumber suara, dengan senyuman sinisnya Alex melangkah maju mendekati gadis itu.

“Seharusnya dia bisa berpikir panjang, keputusan untuk menikah itu kan gak segampang itu apalagi kalau bisa sampai salah orang....” Alex tersenyum puas, di matanya gadis yang saat ini ia tatap rendah itu tak punya daya. Seperti gadis bertudung merah yang mudah diserang serigala. “Kamu... sepede itu merasa pantas untuk berdiri di samping dia?”

Chelsea mengepal tangannya kuat-kuat.

Dress yang kamu pakai sekarang... kayaknya salah tempat, harusnya kamu pakai pas acara pemakaman.”

Oke, Chelsea lo gak boleh kalah.

“Dalam istilah komunikasi, orang yang gak berdaya apa-apa akan cenderung berbicara lebih banyak dibandingkan lawan bicaranya....” Chelsea mulai bersuara, ia juga tak kalah menantang Alex dari tatapan mata tajamnya. Guratan senyum miring tersungging di wajah cantiknya, “Tahu kan istilah tong kosong nyaring bunyinya?”

Alex menarik napasnya dalam-dalam.

“Dari awal mbak bicara semuanya gak ada inti permasalahan, cuman bluffing tanpa arah,” Chelsea merenggangkan jemari-jemarinya, “Kenapa kita gak fokus ke fakta aja, kalau yang saat ini berdiri di samping Gama itu saya, bukan Mbak Alex?”

Alex tertawa renyah, “Terus kalau kamu berdiri di samping Gama berarti kamu sudah jadi pemenangnya?”

“Faktanya begitu bukan?”

“Banyak cara kan untuk kamu menangin hatinya? Jenis penggoda macam apa kamu sampai bisa luluhin hati seorang Gama?”

Harga diri Chelsea terasa di koyak-koyak. Penggoda?

“Kamu gak tahu ya? Sejak awal itu Gama mencintai saya, bukan kamu, sebelum dia pulang ke Indonesia dia lebih dulu menyatakan perasaannya sama saya... kalau dia sudah mencintai saya selama 5 tahun.”

Aliran darah sudah memanas di kepala Chelsea, seolah ingin meledak dari tempatnya tapi ia berusaha untuk menenangkan hati dan pikirannya.

“Jadi disini kamu paham kan... kalau kamu itu berada di dua sisi, kalau bukan sebagai pelampiasan ya kamu menggoda dia—”

GREP!!

“ANJING LO YA! DASAR CEWEK KUTU KUPRET, KUDAS, KURAPAN, HAMA BUSUUUUKKK!!!!”

Chelsea menjambak kuat-kuat rambut Alex, seketika terjadi tragedi antara dua wanita cantik yang saling berseteru sejak tadi. Alex tak mau kalah, ia juga membalas menjambak rambut Chelsea sampai sanggulannya terlepas. Semua perhatian tertuju kepada dua makhluk hawa itu, masa bodoh dengan tatapan mata mereka yang penting masalah ini selesai dengan cara baku hantam.

... Tapi sayang itu hanya terputar di pikiran Chelsea semata. Emosinya sudah tak terbendung lagi menghadapi wanita lebih tua di hadapannya, ia tak mau mengacaukan suasana pesta jadi Chelsea memilih pergi dari keramaian menuju mobilnya seorang diri.

Ia bersumpah, suatu saat nanti ia benar-benar akan melenyapkan sosok Alex dari kehidupan rumah tangganya.