Ending of Us (?)
Hujan mengguyur malam itu, udara dingin yang menusuk tulang tak membuat senyuman bahagia Shashi luput dari sudut bibirnya. Meja kecil yang ia tata dengan taplak putih juga lilin aromaterapi kecil di tengahnya. Mengingat Rivan akan datang ke tempatnya membuat hati gadis itu berbunga-bunga.
Ia tak harus menunggu 100 hari untuk bisa bertemu sang pujangga hati, semesta kini berpihak kepada Shashi.
“Udah lama gak nonton TV ya, siapa tahu ada kabar tentang ayang,” gumamnya sambil terkekeh. Shashi mengambil remotnya di samping dan menyetel TV ke channel yang menampilkan satu berita menggemparkan.
Rivandy Nathaniel tampak serasi bersama sang kekasih, Erika Tsabita bahkan menunjukkan kemesraannya di hadapan publik...
Shashi membeku.
Suasana rumah yang ia buat hangat berubah jadi dingin, ketukan hujan di jendela langsung senyap dan waktu seakan berhenti. Kedua netra hitamnya membulat sempurna, menatap sepasang insan yang tampak saling mencintai tapi sayangnya... Pria itu miliknya.
Prianya berpindah hati kepada yang lain.
Tok... tok....
Suara ketukan pintu itu menghujam jantungnya. Kedatangan seseorang yang ia nantikan mendadak jadi sebuah rasa takut yang luar biasa.
“Shachi, buka pintunya.”
Satu bulir air matanya sudah jatuh membasahi pipi. Tangannya gemetar membuka pintu untuk seorang pria muda dengan pakaian serba hitamnya menghadap tepat di depannya, matanya tak sanggup melihat bagaimana tatapan penuh cinta sang kekasih berubah jadi gelap dan tak berperasaan. Buket bunga kecil yang seharusnya jadi istimewa, mencium aromanya saja Shashi sudah tak sudi.
Rivandy Nathaniel menyebut bahwa Erika Tsabita adalah wanita yang begitu ia cintai...
“Kamu udah tahu semuanya?” pria itu berucap lagi dengan lirih, tak ada jawaban selain picingan mata tajam Shashi yang menusuk pandangannya.
“Ternyata ini jawabannya kenapa kamu tiba-tiba menghilang?” tanya Shashi dengan gemetar, “Penantian 90 hari aku, ternyata berujung sia-sia?”
“Maaf, aku ngelanggar janji kita.”
“Lo bajingan, ngerti gak?”
Suara gemetar itu berubah jadi penuh emosi, dengan deraian air matanya yang deras, Shashi menarik kasar buket bunga Rivan lalu membuang di tempat sampah samping pintu.
“Gue gak butuh bunga itu, jelasin ke gue semuanya tentang lo dan situasi yang lo hadapin selama lo menghilang.”
“Gak ada yang perlu dijelasin lagi, kamu bisa lihat sendiri.”
“Gak usah bohong, ini semua gara-gara Rafi kan?”
“Bukan, ini semua karena aku sendiri.”
Shashi mengernyit, “Ma-Maksudnya?”
Rivan menatap nanar gadis di hadapannya, “Shashi, kamu sama aku itu hidup di dua dunia yang berbeda, aku yang biasa ada di bawah sinar panggung sedangkan kamu di belakangnya, kamu gak akan pernah ngerti bagaimana dunia aku begitupun aku yang gak akan pernah bisa ngerti dan menyesuaikan dunia yang kamu punya. Kalo kita terus sama-sama, yang ada kita saling menyakiti, dan belum lagi situasi aku sekarang—”
“Lo sadar gak lo lagi ngulangin kesalahan yang sama kayak Alea?”
Jantung Rivan berpacu cepat.
“Lo udah kehilangan Athala, Alea dan sekarang gue, apa masih belum cukup?” pertanyaan itu membuat Rivan goyah, tangan besarnya gemetar hebat. “Perlu berapa banyak lo kehilangan orang-orang berharga di sekitar lo, Rivandy Nathaniel?”
“Saya gak takut hal itu lagi.”
Shashi terkesiap.
“Saya gak takut kehilangan apapun lagi, untuk dunia saya, sampai sini kamu paham? Saya memang hidup untuk menjadi seorang bintang, kamu gak akan pernah ngerti.”
Puncak kekecewaan sudah mencengkram dada gadis itu, tangisnya berhenti dan berubah menjadi tawa renyah yang sinis. Dia menatap lurus kedua mata Rivan.
“Lo bener, gue gak akan pernah ngerti sama isi pikiran cowok pecundang kayak lo,” Shashi menantang Rivan dengan mantap, “Emang seharusnya gue hidup sebagai antifans nomer satu lo, dan terima kasih sudah mengembalikan gelar itu untuk gue.”
Shashi menutup pintu kamarnya rapat-rapat, membiarkan Rivan masih diam mematung di depan sana. Tanpa mereka saling melihat, pertahanan keduanya runtuh dan saling menghadap.
Mereka menangis sejadi-jadinya, atas akhir yang tak bahagia.