Jakarta, and the real start

Rivan dan Shashi diantar ke stasiun MRT Lebak Bulus sebagai awal mula keberangkatan mereka. Semua set dari satu kameramen yang membuntuti dan juga tak lupa dari keduanya membawa kamera vlog sendiri untuk merekam tiap momen. Tentu saja kedatangan mereka langsung digandrungi orang-orang sekitar namun dengan sigap ada beberapa bodyguard yang menahan keramaian, Rivan dan Shashi fokus untuk melangsungkan syutingnya.

“Eh nyalain kameranya gimana sih kok susah,” Shashi sejak tadi sibuk berkutat dengan tombol power kameranya yang tak berfungsi, Rivan dengan sigap membantu sambil mencuri kesempatan dengan mengapit tubuh mungil Shashi hingga tak ada jarak yang tersisa. Jantung Shashi berdesir, ia harus menyembunyikan wajah cantiknya yang memerah padam karena ulah Rivan. Tak lupa, Rivan sengaja sedikit menunduk untuk menghirup aroma shampoo bayi Shashi yang selalu menjadi favoritnya.

“Wanginya masih sama, ternyata kamu tetep Shachinya aku,” bisiknya menggoda membuat Shashi ingin mengacak bumi detik ini juga tapi ia harus tampak netral. Rivan memang tak kenal situasi untuk membuatnya salah tingkah, “Makanya jangan sedih ya? Acara ini memang berakhir tapi kita enggak, Shachi.”

Kalimat selanjutnya menenangkan Shashi. Senyuman manis dari bibir tipisnya itu meyakinkan Shashi untuk menghadapi hari ini dengan tenang. Rivan benar, ini hanya akhir dari acaranya tapi hubungan mereka tetap terjalin.

Sekarang mereka sudah siap. Senyum cerah keduanya menjadi awal sambutan mereka memulai aksi sebelum mengisi kartu multi-trip di loket. Rivan mengambil alih, dia yang mengisi dua kartu tersebut dengan nominal yang cukup besar hingga Shashi dibuat melongo. Rivan mengulum senyum miring, merangkul erat bahu mungil gadis kasihnya menuju pintu masuk. Langkah mereka yang cepat dengan senandung ria menyambut pagi, Rivan sedikit menceritakan awal pertama pengalamannya menaiki MRT.

“Waktu itu aku penasaran banget sama MRT terus ngajakin Bang Valent buat naik MRT sampai Senayan, belum nyoba sampai Bundaran HI,” ucapnya.

Shashi menimpal, “Jujur ini pertama kalinya aku naik MRT lho, di Bali kan gak ada hahaha... jadi aku agak deg-degan juga.”

Rivan menepuk pelan pucuk kepala Shashi, “Tenang aja, ada aku.”

Wajah Shashi sukses dibuat merah bak kepiting rebus, di kamera mungkin mereka dibilang handal dalam berlakon tapi yang sebenarnya memang Shashi dibuat salah tingkah. Rivan juga mengucapkan dialognya sungguh-sungguh. Kereta tujuan mereka sampai, pelan-pelan Rivan menuntun Shashi masuk dan mengambil tempat yang berada di ujung dekat pintu gerbong. Hawa dingin dari air conditioner berhembus di tengah teriknya matahari di Jakarta. Rivan dan Shashi menaati peraturan untuk tidak bersuara dulu selama di kereta.

Lalu lalang kota yang terlihat di jendela membuat kagum Shashi yang baru merasakan naik MRT pertama kalinya. Seolah perjalanan ini menjadi healing di tengah kegundahannya, sedangkan Rivan mematikan sementara kameranya sambil menoleh ke arah Shashi.

Kedua mata cantik gadis kasihnya tampak berbinar, dan hal itu membuat Rivan gemas. Tangan besarnya mengelus pelan surai hitam Shashi.

“Seneng?” bisik Rivan dengan lembut. Shashi balas mengangguk semangat, reaksi antusiasnya disambut dengan derai tawa pelan Rivan. Sang kameramen di depan keduanya menatap intens tiap gerak-gerik sepasang kekasih itu, melihat seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Nuansa kasmaran yang begitu kuat tak menampakkan mereka hanya berpura-pura. Siapapun berhak curiga dengan melihat interaksi mereka.

Sesampainya di pemberhentian Bundaran HI, sekali lagi Shashi mengucap kekagumannya. Gedung-gedung tinggi yang menampilkan kesan modern juga jalanan yang tertata. Rivan mengaktifkan lagi kameranya sambil tangan besarnya mengulur kepada gadis kasihnya—mengisyaratkan untuk saling bergandeng tangan. Dengan gugup, Shashi meraih tangan besar Rivan. Mereka mengait erat jemarinya dengan ibu jari Rivan yang mengelus pelan punggung tangan mungil Shashi. Meskipun cuaca yang panas, tapi angin sejuk menerpa keduanya. Di pinggir jalan banyak terdapat pedagang kaki lima, entah itu hanya sekedar penjual minuman sachet di pinggir jalan atau makanan ringan lain.

Rivan dan Shashi diarahkan ke mall Plaza Indonesia, karena di script tertulis Rivan akan membelikan baju untuk Shashi. Gadis itu tersontak, “Nanti baju yang dibeliin Rivan bakal dibalikin lagi kan?”

Kameramen yang menemani tertawa mendengar pertanyaan Shashi, “Ya enggak lah, emang buat kamu, Shashi. Hadiah perpisahan dari kita semua.”

Rivan mengangguke mengiyakan perkataan pria muda disampingnya, sedangkan ekspresi wajah Shashi tampak tak senang. Bukan karena ia membenci ide itu tapi ia merasa tak enak hati. Pria kasihnya mendekat ke telinga Shashi, “Kenapa kok malah murung?”

“Aku gak enak terimanya.”

“Santai aja, ini pake uang aku kok.”

“Justru karena pake uang kamu!”

Rivan menghentak satu jari besarnya di kening Shashi, “Anggep hari ini adalah hari Shashi sedunia, kamu bebas ngapain aja.”

Tangan mereka kembali mengait erat dan itu dijadikan spotlight adegan acara ini. Para staff yang menonton mereka dari jauh melalui monitor menjerit girang, terutama Alice asisten sutradara yang sejak tadi mencubit gemas Roy. Kemesraan Rivan dengan Shashi memang membuat yang menonton ikut gigit jari. Bisa dipastikan setelah acara ini selesai, Rivan akan mendapat predikat baru sebagai Laki-laki yang ingin dikencani semua perempuan se-Indonesia.

Rivan menunjuk salah satu brand fashion ternama yang harga tiap bajunya membuat Shashi melongo. Ini mah setara ama duit bulanan kos gue!

“Mau pilih sendiri atau aku pilihin?” tanya Rivan dengan senyum hangatnya, membuat Shashi kikuk, “Uh... aku gak tahu harus pilih yang mana.”

Tangan Rivan langsung menarik satu dress cantik berwarna merah muda dan memakaikan baju itu kepada Shashi.

“Ini cantik, mau?” Rivan meyakinkan pilihannya. Shashi masih bergeming panjang.

“Aku jarang pake dress gini, biasanya pake celana.”

“Mau yang ini atau pilih yang lain?”

“Yang lain boleh?”

Rivan mengulum senyumnya lagi, “Iya boleh,” tuturnya dengan lembut. Rivan menarik pergelangan tangan mungil Shashi menuju koleksi baju yang sesuai dengan selera Shashi. Sekarang Rivan mempersilahkan gadis kasihnya lebih dulu untuk memilih baju yang sesuai dengan keinginan, tentu gadis itu bingung. Semua baju tampak glamor tidak seperti baju yang biasa ia pakai, Kalau gue beli baju mahal-mahal nanti kapan pakenya coba? kan sayang kalo dipake terus.

“Gini deh, kamu mau apa sebagai kenang-kenangan untuk kita semua?” Rivan yang membaca gerak-gerik Shashi akhirnya memberikan opsi lain, wajah gadis itu tampak sumringah. Dia meminta Rivan untuk mendekat dan membisikkan permintaannya. Mic yang digunakan Shashi sedang dimatikan jadi takkan terdengar apa permintaannya, Rivan menyanggupi permintaan gadisnya.

“Yaudah kita selesaikan dulu syutingnya di sini ya? Berarti langsung next aja ke tempat selanjutnya?”

Shashi mengangguk mantap.


Hari menjelang gelap, Rivan dan Shashi sekarang duduk di kafe yang menampilkan pemandangan indah kota Jakarta. Gedung-gedung yang memancarkan cahaya cantik juga pohon-pohon di sekitar yang membuat suasana semakin sejuk. Dua gelas java frappucino yang tersisa setengah, sepasang insan yang menjalin kasih itu menikmati percakapan panjang dengan seribu topik. Sekarang suasana berubah menjadi serius, karena mengingat hari ini adalah syuting terakhir. Shashi menundukkan kepalanya.

“Sayang ya, acara kita berakhir sampai sini...” lirih Shashi dibalas anggukan kepala Rivan.

“Iya, sekarang aku udah mulai nikmatin acara ini tiba-tiba berakhir lebih cepat gitu aja....” senyum tipis Rivan membuat dada Shashi semakin perih.

Seandainya acara ini berakhir... apa semuanya tetap sama, Rivan?

Rivan menegakkan posisinya, “Karena hari ini adalah syuting terakhir, ada kesan dan pesan gak dari kamu?”

Shashi menderu napasnya, “Kesan dan pesan ya...” ia meletakkan minumannya ke meja kembali, “Jujur, acara ini... memberi banyak kesan untuk aku, Rivan. Awalnya aku emang cuman mikirin uang semata doang, tapi ini lebih dari itu. Aku belajar banyak dari acara ini, terutama tentang kehidupan lain dari seorang selebriti, bagaimana kerja keras mereka menghibur para penggemarnya, dan aku yang dulu menganggap enteng pekerjaan seorang artis sekarang aku paham kenapa orang-orang bisa memberi banyak cinta terhadap artis idolanya...”

Rivan tersenyum miring, “Kalo gitu, masih mau jadi antifans aku, Shashi?”

Pertanyaan menohok itu mengundang gelak tawa Shashi, “Kalo itu dipikir-pikir lagi deh, hahahaha....”

Mereka kembali terdiam, tangan besar Rivan mengelus pelan surai cantik Shashi yang tergerai indah. Maniknya memandang lekat tiap fitur inci gadis kasihnya. Dibawah langit malam yang tak mendatangkan bulan pun tak jadi masalah karena bagi Rivan, kecantikan Shashi sudah terpancar dengan sempurna.

“Apapun itu, tetap bahagia ya?” Rivan tersenyum simpul, Disampingku, Shashi, karena aku akan menjadikan kamu gadis paling bahagia di muka bumi ini... meskipun itu dibelakang layar.

Shashi membalas ucapan hangat itu dengan senyum cantiknya, “Rivan juga sama ya? Kamu harus bahagia untuk orang-orang yang sayang sama kamu,” tuturnya pelan, Terutama aku, Rivan, bahagialah untuk aku.

Kalimat keduanya terdengar miris karena malam ini adalah malam terakhir keduanya duduk bersama dengan sorot kamera. Tak ada lagi sandiwara yang menyenangkan, meskipun diawali oleh pertikaian tapi waktu membawa momen itu menjadi kenangan indah. Lika-liku Rivan dan juga Shashi menjalani acara ini menjadi sebuah cerita, dan hari esok... mereka sudah menjalani kehidupannya masing-masing.

Sang kameramen ikut menangis haru terbawa suasana keduanya, begitupun para staff yang ikut monitoring mereka dari jauh. Acara mereka sukses berkat keduanya, dan perpisahan ini memang harus dirayakan.

“Abis ini... kamu sibuk dengan project selanjutnya kan?” tanya Shashi sendu.

“Iya, kamu juga fokus ngerjain skripsi lagi bukan?” Rivan balik bertanya.

“Iya,” Shashi menatap nanar gelasnya yang sudah kosong, “Apapun itu, good luck ya?”

“Kamu juga, semoga diperlancar sampai wisuda ya?”

“Rivan mau dateng ke wisuda aku?”

Kalimat itu tak sengaja keluar dari bibir Shashi. Ia lupa kalau sekarang percakapannya terekam monitor dan juga kamera, Shashi bego, harusnya nanti aja nanya soal itu!

“Pasti, Shashi.”

Kedua mata Shashi terbelelak sempurna.

“Itu momen penting kamu kan? Aku pasti dateng.”

Seribu kupu-kupu berterbangan dibawah perutnya, tanpa disadari lagi gadis itu memancar wajah gembiranya.


“Ini... apa?”

Seketika suasana rumah Rivan berubah menjadi pesta barbeque besar-besaran. Di tengah jalan ternyata Rivan dan Shashi berbelanja dulu untuk merayakan pesta perpisahan dengan para staff SMTV. Ini adalah permintaan Shashi, sebenarnya gadis itu hanya meminta pesta pizza tapi Rivan mengusulkan pesta yang lebih meriah lagi.

“Ini semua usulnya Shashi, dia bilang hadiah perpisahan harusnya gak cuman untuk dia tapi untuk kita semua, jadi kita buat pesta perpisahan di sini! Kalian kan juga kerja keras untuk acara ini, jadi jangan sungkan-sungkan ya!” pinta Rivan dengan penuh sukacita. Roy menitikkan air mata haru, ia langsung memeluk erat tubuh Rivan.

“Kayaknya gue harus masuk fanclub lo deh, Van,” ujar Roy.

“Lho kan yang punya ide Shashi, bilang makasih juga tuh sama Shashi,” Rivan membisik lagi, “Minta maaf sekalian soal evil editing lo kemaren.”

Roy menegup salivanya bulat-bulat, langkah kakinya berat menuju gadis yang tengah sibuk memanggang daging. Pria bertopi itu mendeham sampai Shashi menoleh kaget, “Kenapa, Om?”

“Gapapa, mau lihat aja udah mateng belum itu dagingnya?” Roy mulai basa-basi.

“Yang medium udah, tinggal nunggu yang well-done nih.”

SET!! Tiba-tiba Roy membungkuk tubuhnya di hadapan Shashi, “Om Roy?!”

“Shashi, terima kasih untuk semuanya.”

Mata Shashi membulat sempurna.

“Terima kasih untuk kerja kerasnya di acara ini, meskipun kita selesai lebih cepat tapi setidaknya acara ini selesai dengan baik, ya yang soal kemarin juga... itu gue minta maaf, tapi emang itu cara kerjanya di industri ini untuk dapetin rating tinggi, jadi ya memang jadi bagian pekerjaan kita. Kalau lo gak kuat, mending gak usah ikutan acara kayak gini lagi.”

Permintaan maaf Roy memang terdengar seperti tak tulus, tapi Shashi sudah mendapat poin dari kalimat lawan bicaranya.

“Sampai kapanpun saya gak akan pernah terbesit untuk ikut acara seperti ini lagi,” Shashi mendekat ke telinga Roy, “Apalagi jadi artis.”

Shashi menyerahkan sepiring daging yang sudah ia panggang kepada Roy dengan senyum jumawa. Tidak, Shashi sudah memaafkan Roy tapi ia jadi belajar satu hal yang cukup berharga... bahwa manusia pada akhirnya hanya memikirkan keuntungan untuk diri sendiri. Roy meminta maaf bukan karena sadar dengan kesalahannya, tapi untuk menutupi rasa malunya yang tak terbendung kepada Shashi.

Ucapannya tentang acara ini yang memberi banyak kesan bukanlah sebuah kepura-puraan semata. Shashi belajar banyak mengenai macam-macam manusia, dan dia bersumpah untuk menjadi orang yang lebih kuat menghadapi dunia. Fokusnya sudah tak lagi terbagi, sekarang ia fokus untuk mengejar masa depannya.

Karena masih ada satu harapan keluarga yang ada di pundak Shashi.

GREP! Tangan Shashi ditarik ke ruangan belakang. Jarak antara kedua wajah Shashi dan juga Rivan yang hanya sejengkal, aroma jeruk dari napas Rivan membuat jantung gadis itu berdegup kencang.

“Nga-Ngapain sih?! Nanti ketahuan sama yang lain!” desis Shashi berusaha melepas pelukan Rivan.

“Setelah ini aku beneran sibuk, Shachi,” ucap Rivan purau.

“Iya aku tahu, aku juga mau fokus skripsi—”

“Berarti gak usah pindah ya?”

Oh ya, soal pindahan. Shashi lupa akan hal itu.

“Kita bakalan jarang ketemu tapi setidaknya di rumah ini, Shachi, kita bisa habisin waktu cuman di sini jadi jangan pindah ya? kamu gak usah mikirin apa kata Om Rafi—”

“Gak bisa, Rivan.”

“Shachi please—”

“Ini soal harga diri, aku gak tahan dengan tatapan remeh Om Rafi. Sampai sini paham?”

Rivan mendecak lidahnya, dia mencengkram kuat lengan gadis kasihnya. Kepalanya yang berat ia jatuhkan di bahu mungil Shashi sebagaimana ia menjatuhkan semestanya, seraya memejam mata dengan hati pilu. Meskipun bukan akhir dari dunia, tapi berat kalau membayangkan rumah ini tanpa ada kehadiran Shashi lagi.

“Nanti... kalau aku sering ke tempat kamu gimana? Aku gak mau terus-terusan nyamar jadi tukang paket,” ujar Rivan.

“Ya jangan terlalu sering nanti ketahuan, kalau kamu butuh aku biar aku yang ke tempat kamu,” jawab Shashi lugas.

“Kenapa kita pacaran kayak lagi ngelakuin tindakan kriminal sih? Jo sama Katherine kayaknya gak kenapa-kenapa.”

“Jangan,” Shashi menderu napasnya berat, “Pikirin fans kamu, pikirin semua hasil kerja keras yang sudah kamu dapetin, aku gak mau itu semua hancur karena aku.”

“Shachi....”

“Biar aku jadi kekuatan kamu dari belakang ya?”

Entah kenapa pesta yang meriah itu berubah menjadi momen menyesakkan bagi keduanya. Telunjuk mungilnya menyisipkan anak rambut Rivan dengan lembut, lalu beralih kedua tangannya menangkup pipi pria yang lebih tinggi darinya itu. Pancaran mata sendu Rivan mengiris hati Shashi, karena ia juga ingin tinggal di sini lebih lama tapi apalah daya kalau memang semesta tak merestui itu. Om Rafi tidak sepenuhnya salah, karena Shashi harus tahu tempat.

I'll always on your side, and i'll always be there anytime you need me. Kamu gak kehilangan aku.”

Rivan memberikan satu jari kelingkingnya, “Janji?”

Shashi dengan senang hati mengait jari kelingkingnya, “Janji!”

“Shachi gak kemana-mana, janji?”

“Janji, kapten!”

Rivan memancar wajah bahagianya dan memeluk erat lagi tubuh mungil kekasihnya. Shashi tertawa geli, menyambut hangat yang diberikan pria pujangga hati.

Baik di waktu susah ataupun senang, kita selalu bersama kan?