This Is Our First Date?

Gama membuka pintu apartemennya dan mendapati Chelsea yang baru selesai mengikat tali sepatunya asal-asalan. Pemuda itu menghela napas panjang.

“Gak usah buru-buru gitu kali,” ujarnya sambil membungkuk mendekati Chelsea. Tangan besarnya sigap mengikat ulang tali sepatu Chelsea, gadis itu tertegun lalu menepis tangan Gama dari kakinya.

“Gue bisa sendiri,” Chelsea mengambil alih lagi ikat tali sepatunya. Gama terkekeh. Penolakan Chelsea tak lagi tampak seperti menyebalkan melainkan bagi Gama, menggemaskan.

Ia bisa melihat jelas telinga Chelsea memerah padam.


“Lo sukanya kemana?” tanya Gama seraya fokus menyetir. Lalu lalang jalanan yang cukup padat karena jam pulang kantor, sedangkan Chelsea sibuk mencari tempat yang ingin ia kunjungi bersama Gama. Setidaknya kalau orang yang diajak ini tidak menyenangkan, tempat yang ia kunjungi harus jauh lebih menyenangkan.

“Lo suka baca buku kan?”

Chelsea tersontak, “Iya, emang kenapa?”

“Pas banget gue mau lihat buku, mau gramedia date aja?”

Mendengar kata date dari bibir Gama praktis membuat gadis itu bergedik ngeri. “Date? Lo gak salah bilang kita gramedia date?

Gama menghentikan mobilnya tepat di lampu merah sambil menoleh ke arah Chelsea. Tangannya usil menjentik pelan kening gadis di sampingnya, tawa remehnya mengiring seolah menganggap pertanyaan Chelsea barusan adalah pertanyaan bodoh.

“Terus menurut lo sekarang kita ngapain?” tanyanya dengan suara berat purau. Matanya lurus menatap lekat iris legam milik Chelsea yang mematung. “This is our first date, isn't it?”

Mobil kembali melaju setelah 60 detik menunggu lampu hijau berdentang. Pertanyaan itu seolah menjadi angin, namun bukan berarti tak ada jawaban. Gama sudah tahu apa jawaban pastinya, sedangkan Chelsea terlalu malu untuk mengetahui jawabannya.


Mata Chelsea berubah berbinar setelah menghirup aroma buku baru di sekitarnya. Gramedia date, atau apalah judulnya yang penting pergi ke Gramedia adalah pilihan paling tepat. Anggap saja Gama sekarang beruntung bisa membuat suasana hati gadisnya itu senang. Chelsea berlari kecil menuju rak buku novel fiksi dan mencari novel yang ditulis penulis favoritnya

Mr. Gems.

Gama mengikuti istrinya itu dari belakang, memerhatikan tiap pergerakan Chelsea yang saat ini seperti anak kecil kegirangan melihat mainan.

“Ini nih, buku You Look Beautiful Tonight cetakan keduanya!” decak Chelsea girang, “Katanya ada revisi di bagian special chapter-nya, gue mau beli ah!”

Gama mengulum senyum tipis, ia tak menyangka bahwa tulisan karyanya bisa membuat orang sebahagia ini.

“Lo happy banget ya kalau beli novelnya Mr. Gems?” tanya Gama.

Chelsea mengangguk semangat, “Iya! kan gue pernah bilang sama lo, buku-buku Mr. Gems itu bisa bikin gue bahagia dan sedih dalam satu waktu, terus tiap karakternya itu seolah hidup banget, romantisnya juga klasik tapi ngena! Kebetulan ya gue gak punya banyak begitu temen jadi buku itu kayak dunia gue, dan Mr. Gems menciptakan banyak hal berkesan untuk dunia gue!”

Hati Gama tersentuh, tatapan hangatnya begitu dalam ketika ia memandang wajah bahagia Chelsea saat menceritakan betapa gadis itu mencintai karya-karyanya. Tanpa sadar, tangannya menepuk pelan pucuk kepala istrinya. Chelsea mendongak, tatapan hangat Gama mengundang tanda tanya.

“Lo kenapa? Kok lihatin gue kayak gitu?” tanya Chelsea dengan sinis.

“I like the way you smile, Chelsea.”

Mata Chelsea membulat sempurna.

“Ma-Maksudnya?”

Tepukan pelan di kepala sang gadis berubah menjadi usapan kasar hingga rambut coklatnya itu tampak acak-acakan.

“Lo kalo senyum kelihatannya jadi gak rese, makanya banyakin senyum daripada cemberut!” Gama meninggalkan Chelsea mematung di tempatnya sambil terbahak-bahak.

“IHHHHHH EMANG LAKI RESE LO!!!”


Gama berinisiatif, dua tangannya sudah membawa es krim cone satunya rasa coklat dan satunya lagi rasa vanila. Es krim coklat yang ia bawa dikhususkan untuk sang istri, karena sekali lagi, Gama ingin melihat senyum Chelsea, sedangkan coklat itu membawa hormon bahagia bukan begitu?

Tapi justru wajah masam Chelsea yang menyambut kedatangannya.

“Gue gak suka coklat,” ucapnya membuat dada Gama tertohok.

“Ya udah, yang vanila aja mau?” tawar Gama dengan harap membuat suasana hati Chelsea lebih baik tapi justru malah makin memburuk.

“Gak suka juga, gue kalau makan es krim selalu rasa stroberi gak pernah di mix sama rasa lain.”

Gama mengelus dada, ini kenapa rasanya kayak bawa anak TK jalan-jalan ya?

“Udah gak usah rewel, ini makan aja yang ada!” Gama mulai frustasi, ia memaksa Chelsea untuk menerima es krim yang sudah dia belikan. Gadis itu membalas cemberut lagi, ia menatap lama es krim vanila nya. Matanya melihat bagaimana ekspresi jengkel Gama sambil melahap es krim coklatnya.

Gemas, begitulah yang ada di pikiran Chelsea.

“Lo marah ya?”

“Enggak.”

“Ih tapi nada bicaranya beda!”

“Apa sih, habisin es krimnya!”

Chelsea tertawa renyah, justru dengan usil dia merebut es krim Gama dan lari entah ke arah mana.

“CHELSEA, ITU ES KRIM GUE!!”

“Hahahahaha! Gantinya karena lo gak beliin gue es krim stroberi ya dua-duanya buat gue lah!”

“Heh, kok curang?! Sini gak?!”

Momen kebersamaan mereka, mulai terasa menyenangkan.