Bali, and The Promise

Keluarga Shashi memutuskan menginap di salah satu penginapan yang dekat dengan pantai Seminyak dan menikmati tiap momen sama-sama. Tari, ibundanya dan adiknya, Riana tak bisa menutupi rasa bahagianya yang tak pernah merasakan liburan setelah kepergian Ayahandanya.

Sampai langit sudah gelap dan bulan sabit menyapa. Riana dan juga Tari sudah menetap di kamar hotel sedangkan Shashi duduk di pinggir pantai menikmati desiran angin malam dengan suara ombak. Pilihannya untuk pulang ke Bali sangat tepat terutama ketika kepalanya hampir pecah setelah menyelesaikan sidang proposalnya. Shashi menghirup napas dalam-dalam, langit gemintang yang cantik di atas sana membuat gadis itu merasa rileks.

Tapi lagi-lagi hatinya masih terasa hampa.

Perlahan ia membuka ponselnya yang tak berdentang, dimana ia menantikan satu saja notifikasi chat dari kontak yang dia pin menjadi prioritas. Benaknya tak ingin menuntut tapi soal hati dan rindu itu tak bisa dibendung. Ia membuka foto kebersamaannya dengan kekasih hati yang kini jauh dari jangkauan. Lekukkan senyum miris terlukis sempurna di wajah cantik Shashi, berharap bahwa senyuman ini bisa sedikit memudarkan rasa sakit yang menusuk dadanya.

Sayang itu tak ada gunanya.

Shashi ingin menangis sekencang mungkin bersama laut, mungkin mereka akan dengar bagaimana jeritan perih dari hatinya. Jeritan hati itu mungkin takkan di dengar tapi setidaknya sampai kepada Rivan. Tapi ia takut yang ada warga panik keluar mengira Shashi terseret ombak.

“Boleh gak sih berharap kalau dia ada di sini?” gumamnya lirih.

Setiap insan berhak mengait harapan seperti yang dilakukan Shashi, entah harus terwujud atau tidak tapi hati nurani takkan bisa menyembunyikan sekecil apapun kebohongan. Shashi adalah gadis tangguh berhati batu, bukan karena dia orang jahat tapi dia sering melawan apa kata hati nuraninya.

Termasuk perasaan rindu yang ia kubur dalam-dalam.

Ia memutuskan untuk buka semua akun sosial media Rivan yang masih menampilkan kebersamaannya dengan Erika. Dengan perasaan rindu yang dalam, tentu saja membuat Shashi rentan untuk cemburu. Berita tentang Rivan dan Erika ada dimana-mana bahkan selalu menjadi topik hangat di setiap sosial media, mungkin juga di televisi karena Shashi tak begitu sering nonton televisi. Mereka tampak serasi, sama-sama bersinar di pusat yang sama dan pastinya... mereka satu dunia.

Kalau seandainya Rivan memaling hati, sepantasnya Shashi tahu diri. Dia memang berdiri bukan pada tempatnya.

Tapi ini soal hati, dimana perasaan cinta yang datang tiba-tiba dan mengikat mereka pada satu hubungan. Untuk dilepas juga terlalu sakit, Shashi tak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya dan sangat aneh kenapa Rivan membuat perasaannya bisa tak terkendali.

“Rivan... aku kangen.”

Kalimat itu keluar dari bibir manis Shashi, bersama deraian air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia merasa lemah juga bodoh dalam satu waktu, hatinya seolah mengharapkan bahwa semesta akan memberi belas kasihan terhadap luka dari rindu yang dia pendam sendiri. Tak ada keajaiban, tak mungkin terjadi keajaiban bahwa rindunya itu terbalas.

Di sini hanya ada suara ombak, langit malam yang penuh gemintang juga dirinya yang masih terisak.

Sampai ada suatu kehangatan yang melingkar di bahu ringkuhnya.

“Aku kangen banget sama kamu.”

Sepasang mata Shashi terbelalak sempurna, dia hendak menoleh namun tubuhnya seolah terkunci. Aroma maskulin yang mencuat membuat dada Shashi semakin sesak.

“Maaf, Shachi, maaf seribu maaf.”

Suara bariton yang dirindukan tatkala tangisan Shashi yang semakin kencang. Dia merasa bahwa dirinya tenggelam dengan mimpinya. Rivandy Nathaniel, dia kembali.

“Shachi, maaf aku ngelewatin berapa hal tentang kamu ya? Sidang proposal dan juga... rambut pendek kamu.” Rivan mengecup pucuk kepala gadis kasihnya, “Cantik, apapun itu kamu tetap cantik, aroma kamu juga masih sama. Masih jadi favorit aku.”

Shashi tak menjawab, dia menunduk dengan tetesan air matanya.

“Maaf, kamu ngelaluin banyak hal karena aku ya?”

Shashi menggeleng, “Enggak, gapapa.”

“Terus kenapa nangis?”

Rivan intens menatap kedua iris kelam Shashi sedangkan yang ditatap berusaha menghindari tatapan pria di hadapannya.

“Aku... Aku gak tahu kenapa nangis kayak gini tapi yang jelas aku kangen sama kamu, tapi rasa kangennya sampai bikin dada aku sakit.”

Rivan mengangguk, “Terus?”

“A-Aku ngerti kok kesibukan kamu, situasi kamu, Katherine cerita banyak tentang kamu cuman gak tahu kenapa hati aku tetap sakit. Aku ngerasa perasaan aku ini egois tapi gak bisa aku kontrol, mau marah juga gak bisa—”

Rivan memeluk erat lagi tubuh ringkuh Shashi.

“Gapapa, gak ada yang salah sama perasaan kamu. Maaf, kamu harus laluin ini semua.”

Kata maaf itu bukanlah obat dari luka, rasanya semakin sesak di dada Shashi.

“Jangan minta maaf... Aku beneran ngerasa bego tahu gak...”

“Enggak, Shachi, aku ngerasa bersalah dengan situasi ini. Seharusnya kamu gak ngelaluin ini.”

“Jangan gitu, aku kan bilang apapun itu kita hadapin sama-sama.”

Shashi mendongak, jari kelingkingnya terulur di hadapan wajah Rivan.

“Mau buat janji gak?” ujar gadis itu. Rivan diam sejenak, tangan Shashi meraih jemari besar milik pria kasihnya dan menarik satu jari kelingkingnya untuk dikait. “Janji bahwa kita akan laluin semuanya apapun yang terjadi, dan jangan pernah ada pikiran untuk pergi.”

Bibir Rivan gemetar.

“Janji?” Shashi mengulang lagi kalimatnya.

Dengan uluman senyum tipis, Rivan mengangguk. Ia mengeratkan kaitan jari kelingkingnya dibawah langit pantai Seminyak dan ombak yang terus berdesir. Mereka saling menatap lekat, tangan besar Rivan menangkup dua sisi wajah gadis kasihnya seraya mengelus pelan pipinya dengan lembut. Mereka terkekeh, detak jantung yang begitu kencang sampai rasanya ingin meledak. Perlahan tapi pasti, Rivan mendekatkan wajahnya kepada sang kekasih untuk meraih satu kecupan di bibir ranumnya yang merekah. Shashi memejam mata, tenggelam dengan satu sentuhan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Malam ini tertulis sejarah, yaitu sebuah janji yang di ikrarkan juga kecupan pertama ini.

Perasaan bahagia namun perih menjadi satu. Sejarah ini bisa menjadi awal akhir yang bahagia atau justru menjadi cerita luka. Terserah bagaimana takdir. Shashi hanya mengharapkan kehangatan ini berlangsung lebih lama...

Atau selamanya.