Gama & Chelsea

Hujan deras mengguyur bumi, mengetuk jendela kaca kamar Chelsea membunuh kesunyian. Masih di posisinya, Chelsea tak melepas pelukannya sedikitpun dari tubuh Gama. Pemuda itu juga tak bergerak, justru tangannya menepuk pelan bahu milik Chelsea. Desiran jantung yang mungkin akan terdengar, tapi pemuda itu lebih memikirkan bagaimana cara agar melepas pelukan ini.

“Ghazaaaa, tahu gak sih—” Mata Chelsea membulat sempurna begitu mendapati laki-laki di hadapannya itu bukan Ghaza, melainkan Gama. Gadis itu praktis menjerit, dia melangkah mundur cepat dengan wajah yang memerah padam, “Lo siapa?!”

“A-Ah ini, gue disuruh Ghaza buat anterin bubur!” Kalimat Gama sedikit terbata-bata, “Gue udah chat lo berkali-kali tapi gak dibales terus pintu di depan juga gak dikunci jadi gue masuk aja!”

Demi Tuhan, ini cewek pengen banget gue jitak, kenapa sih dia bener-bener ceroboh... dari pintu yang gak dikunci terus asal meluk orang....

“Oh ya by the way gue kakaknya Ghaza, Gama,” ujar pemuda itu sambil mengulurkan tangannya. Dia ingin cepat pergi dari situasi canggung ini.

Chelsea hanya memandang kosong tangan Gama yang terulur.

“Lo Chelsea kan? Adek gue banyak cerita soal lo.”

Chelsea masih diam.

Ini orang punya mulut gak sih?

Kepala gadis itu mendongak dengan tatapan nanarnya. Kedua mata mereka saling bertemu bersama hembusan air conditioner yang semakin menusuk tulang. Semesta seolah memberikan satu garis diantara kedua insan itu.

“Temenin gue di sini please?”


“Lo abis putus ama cowok lo?” Gama berakhir duduk di ruangan ini bersama seorang gadis yang baru ia temui. Tampaknya, gadis di hadapannya itu tak canggung dengan situasi ini sedangkan bagi Gama ini cukup membuatnya kikuk. Dia tidak pernah berada di satu ruangan berdua dengan perempuan, apalagi di ruangan tertutup seperti ini.

“Gak tahu bisa disebut cowok gue atau bukan...” tutur Chelsea lesu, “Kita juga gak ada hubungan jadi untuk apa gue galau gini, dia emang berhak deketin cewek lain tapi gimana ya....”

Cewek kalau patah hati pertahanannya bisa selemah ini ya.

“Tapi kalian komitmen?” entah sejak kapan Gama jadi ingin lebih tahu cerita Chelsea.

“Gak tahu juga, kita kayak orang pacaran tapi sembunyi-sembunyi juga.”

Gama mengernyit dahi, “Kenapa sembunyi-sembunyi?”

“Katanya belum waktunya untuk di publish.

Pemuda itu geleng-geleng. Sepanjang Gama mendengar cerita Chelsea dia tak berhenti menderu desahnya. Dia baru menemukan seorang gadis aneh yang begitu ceroboh seperti Chelsea, dan entah kenapa Ghaza ingin sekali memperkenalkan gadis ini kepadanya. Di posisinya, Gama memandang Chelsea dari atas sampai bawah. Wajah cantiknya dengan pipi merah merona, rambut hitam lurus yang jatuh dan sedikit acak-acakkan.

Tunggu dulu, Gama terdengar seperti pria mencurigakan.

Seketika perhatiannya teralihkan pada sebuah iPad yang masih menyala, menampilkan sebuah ilustrasi yang begitu ia kenal. Itu ilustrasi dari novel tulisannya.

“Lo lagi baca novel?” tanya Gama sambil menunjuk iPad Chelsea.

“Oh... iya, gue kalo lagi galau biasanya baca novel yang bisa mancing gue buat nangis,” Chelsea meraih iPad-nya lalu menunjukkan novel yang dia baca kepada Gama, “Ini special e-book dari penulis favorit gue, tahu gak sih? lucu banget deh, masa tiba-tiba pas tengah malem ada e-mail masuk ternyata ada special e-book masuk di e-mail, Gue gak ngerasa pernah ikut giveaway atau apapun tapi mungkin ini hadiah dari Tuhan,” kalimatnya terputus sejenak seiring bibirnya melekukkan senyuman tipis.

“Buku-buku Mr. Gems itu membuat gue bahagia, dan sedih secara bersamaan makanya gue ngefans banget sama dia.”

Pujian itu membuat Gama ingin melambung tinggi. Pemuda itu terhenyak dengan bagaimana Chelsea memberi kesan kepada tulisannya. Tanpa disadari, tangan Gama mendarat ke pucuk kepala Chelsea.

“Just do what makes you happy.”

Kalimat singkat namun bermakna dalam bagi Chelsea. Gadis itu terkekeh pelan.

“Kita baru kenal ya padahal, sorry udah bikin lo repot-repot nemenin gue nge-galau, biasanya gue ditemenin sama Ghaza soalnya,” ucap Chelsea.

“Gapapa, kebetulan adek gue juga ada urusan jadi biar gue yang gantiin toh gue lagi senggang,” Gama berdiri dari tempat duduknya, “Kalau gitu lo istirahat lagi, lupain semua yang bikin lo sedih, kalau besok udah sembuh nanti bisa cari sesuatu yang bikin lo bahagia,” tangan besarnya membenarkan posisi selimut Chelsea seraya menepuk pelan lagi bahu mungil sang gadis. Chelsea hanyut dengan kehangatan Gama. Tak heran kenapa Ghaza begitu bersikukuh mempromosikan kakaknya kepada Chelsea.

“Oh ya, omong-omong gue boleh minta minum gak?” tanya Gama.

“Boleh, anggep aja kayak rumah sendiri! Lo bikin kopi aja atau teh di dapur!” jawab Chelsea.

“Yang dingin-dingin ada?”

“Ada kok, ambil aja jus yang ada di kulkas.”

Gama mengangguk mantap sambil melangkah pergi keluar kamar. Jaket denim yang dia pakai sudah sejak tadi dilepas dan menguntai di sisi bahunya, Gama melangkah cepat menuju dapur berukuran 40 cm itu dan menelisik tiap sudut ruangan. Ini kali pertama Gama masuk ke dapur orang, biasanya dia tak pernah berlaku seperti ini. Bagi pemuda itu, memasuki dapur orang bukan sesuatu yang lazim kecuali kalau sudah sangat dekat tapi di sepanjang hayat Gama tak pernah ada sejarahnya dia menggunakan dapur orang seperti dapur sendiri.

Pemuda normatif itu kikuk mengambil gelas yang ada di atas lemari. Dia celingukan mencari dispenser air yang letaknya ada di sudut ruangan lalu teringat dengan kata-kata Chelsea.

Ambil aja jus di kulkas.

Itu yang ditangkap Gama, pemuda itu langsung membuka kulkas dan mencari minuman jus yang disebutkan Chelsea. Perhatiannya teralihkan kepada satu botol besar berukuran 1.5 liter yang berisi cairan berwarna ungu pekat.

“Ini jusnya?” Gama mengambil botol itu dan membuka tutup botolnya, dia mengendus sedikit yang memberikan semerbak aroma anggur yang kuat. Entah kenapa Gama lebih tertarik dengan minuman anggur yang ada di genggamannya. Dia menuangkan penuh minuman itu ke dalam gelasnya dan menyesap cepat.

“Wih enak nih, seger!” Gama meneguk habis minumannya sampai tak tersisa di gelas.

Ada yang aneh, kenapa kepala Gama terasa begitu pusing?

Gama meletakkan gelasnya di wastafel cuci piring. Langkahnya sempoyongan dan dia menyandarkan tubuhnya di atas sofa ruangan tamu. Dunianya seolah berputar, dan dia tak sanggup menahan kepalanya yang hampir pecah. Sejenak dia memejam matanya sampai tak sadar dirinya sudah terlelap panjang.



“ASTAGA, CHELSEA KAMU NGAPAIN???!!!!”

Suara melengking itu membangunkan Gama dari tidurnya. Kedua matanya masih sulit untuk dibuka namun sejak tadi dia merasa ada yang memukul-mukul lengan telanjangnya. Tunggu dulu, lengan telanjang?

“Jadi selama Papa sama Mama gak ada kamu bawa laki-laki kesini, Chelsea?!”

“DEMI TUHAN ENGGAK!! CHELSEA GAK TAHU KENAPA GAMA ADA DI SAMPING CHELSEA!!”

Gama berusaha sekuat mungkin untuk bangkit, dia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur sampai ia tersontak dengan kehadiran dua orang tua Chelsea dan Ghaza di belakangnya.

“KAMU APAIN ANAK SAYA?!”

Gama terperanjat. Pandangan tajam Farhan itu menusuk tepat di mata Gama.

“Ya Tuhan... aku sudah menjaga anak gadisku sebaik mungkin tapi tetap kelolosan...” lirihan Ratna dalam dekapan Ghaza membuat Gama kebingungan sejak tadi.

“AKU GAK NGAPA-NGAPAIN!! JUSTRU AKU GAK TAHU KENAPA GAMA TIDUR DI SAMPING AKU MAHH!!” Chelsea masih memekik.

“Kamu pikir mama percaya sama kamu sedangkan ada laki-laki telanjang dada ikut tidur di samping kamu?!”

Kedua mata Gama melotot, ternyata bagian atasnya sudah tak dibalut kain apapun dan cepat tangannya merebut selimut di samping Chelsea. Gadis itu juga ikut menatap tajam Gama.

“GAMA LO NGAPAIN SIH SEMALEM?! KENAPA BISA IKUT TIDUR DISAMPING GUEEEEE??!!” jerit Chelsea hampir menangis.

“Gu-gue gak tahu! Semalem kan gue di bawah!” ujar Gama gelagapan.

“DI BAWAH APANYA??!!” sahut kedua orang tua Chelsea bersamaan.

“Di-di-di ruang tamu! Saya ketiduran di situ!” Bibir Gama terus gemetar, rasanya seperti runtuh semua harga diri Gama. Entah kenapa tragedi mengenaskan ini harus menimpa hidupnya dan parahnya harus melibatkan orang yang baru dia kenal. Tangisan Ratna semakin kencang dipelukan Ghaza sedangkan Farhan terus mengerutkan dahinya.

Gama berusaha mengingat-ngingat lagi semalam ada kejadian apa yang membawanya ke kamar ini karena di ingatan terakhir Gama, dia tertidur pulas di sofa ruangan tamu, bukan di kamar Chelsea dan paling penting dalam keadaan baju terpasang bukan telanjang dada begini.

“Please, Pah, Mah... percaya sama Chelsea... Chelsea gak ngapa-ngapain sama Gama, kita baru kenal kemarin... kemarin Gama kesini buat anterin bubur titipan Ghaza bukan yang lain,” suara purau Chelsea membuat suasana semakin runyam. Gadis itu menitikkan air matanya yang membuat hati Farhan dan Ratna tersentuh.

“Kamu serius gak ngapa-ngapain sama anak ini, Chelsea?” tanya Farhan dengan tegas.

“Serius, Pah, Chelsea—urghh... hoeeekk!!” Chelsea lari ke kamar mandinya dan lagi-lagi situasi itu membuat situasi semakin menegang. Farhan melotot lagi ke arah Gama, ekspresi murkanya benar-benar terlukiskan membuat bulu kuduk Gama berdiri detik itu juga.

Anjrit apes banget gue!!!