The Truth Untold
“EYANGGG!!!” pekikan keras Anela menggema di seluruh ruangan megah bahkan sampai ke kamar utama milik Eyang Indra. Rumah besar serba putih bak istana itu Anela datangi tanpa ragu, ia yakin kalau Eyang pasti akan memberitahu semuanya, terutama soal pernikahannya dengan Haidar. Anela langsung mendobrak pintu ruangan kerja Eyang dan mendapati sosok Eyang yang sedang mengambil topi koboi kesayangannya.
“Kenapa, Anela?”
“EYANG KENAPA GAK BILANG KE ANELA?!”
Eyang mengerut dahinya, “Bilang apa, nak?”
“EYANG KENAPA GAK BILANG KALO AKU MAU DIJODOHIN SAMA KAK HAIDAR??!!” Bukannya menjawab, Eyang malahan tertawa keras dan menyuruh seluruh asistennya itu keluar dari ruangannya.
“Duduk dulu nak.”
“GAMAU, JELASIN DULU SOAL PERJODOHAN AKU SAMA KAK HAIDAR!”
“Makanya duduk dulu, Eyang akan ceritakan semuanya dari awal...” Eyang mengetuk tongkatnya 3 kali, “Romi, bawakan coklat hangat dengan croissant nutella kesukaan cucu saya.”
“Baik, Pak.”
Senyuman Eyang terlukis begitu tangannya meraih sebuah album foto kecil yang sudah berdebu di balik laci bukunya, “Kita mulai dari sini...” ucapnya seraya menunjuk sebuah foto yang menampilkan sosok Eyang bersama pria baya bersorban di sampingnya, disitu juga ada Anela yang menggandeng erat sosok anak laki-laki yang tingginya mungkin di atasnya 5 cm.
“Ini foto perpisahan kita sebelum pulang ke Jakarta, kamu ingat?”
Anela menggeleng pelan, “Ini yang aku gandeng tangannya... Kak Haidar?”
“Iya, kalian itu benar-benar saling menyayangi, Haidar dengan sabar mengasuh kamu, membimbing kamu bahkan kalian tuh senang sekali bermain bersama, malahan pas kita pulang ke Jakarta tuh, Haidar ngerengek-rengek pengen ikut sama kita lho, hahaha...”
Dada Anela terasa hangat, ternyata kita pernah sedekat itu ya, Kak Haidar...
“Penyesalan terbesar dalam hidup Eyang adalah hidup yang bergelimang duniawi tapi nol besar dalam urusan akhirat. Eyang dari dulu hanya fokus mengejar harta, jabatan dan pengakuan manusia sampai akhirnya... Eyang bertemu Abah Faqih, kakeknya Haidar, disitulah mata Eyang terbuka lebar-lebar.” “Abah Faqih mengajarkan banyak hal tentang Islam kepada Eyang. Disitu Eyang sadar bahwa selama ini Eyang salah dalam mengambil langkah, Eyang terlalu fokus mencari materi yang sementara di dunia sehingga melupakan yang sebenarnya harus kita kejar, yaitu akhirat, yang akan kekal selamanya. Eyang terlambat menyadarinya, ketika melihat para anak santri semangat menimba ilmu Allah... itu cukup membuat dada Eyang terasa sesak, kenapa? karena Eyang disini, malahan mengirim anak-anak Eyang menimba ilmu sampai ke Amerika hanya untuk kepentingan dunia.”
Iya juga ya, dari Papa, Tante Rizka sama Om Fadlan semuanya di kirim untuk sekolah bisnis di Amerika, boro-boro mikirin soal ilmu agama, batin Anela.
“Selama kita tinggal di pondoknya Abah Faqih, Eyang melihat betapa Haidar sangat menyayangi kamu dan Eyang sangat berharap akan ada seseorang seperti Haidar yang akan membina kamu ke jalan Allah.” “Eyang menyampaikan hal tersebut ke Abah Faqih dan beliau setuju untuk menjodohkan kamu dengan Haidar.”
Cerita yang di sampaikan Eyang terdengar seperti dongeng bagi Anela. Gadis itu tak pernah menyangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupannya. Dan ini antara dirinya dengan Kak Haidar.
“Kak Haidar tahu soal ini...?“tanya Anela meyakinkan
“Tahu kok, Eyang juga sudah cerita semuanya sampai soal perjodohan kalian, dia menerimanya tapi sementara ini dia masih butuh waktu untuk menenangkan pikirannya. Yah namanya juga baru kehilangan, kan? Jadi Eyang beri dia waktu sejenak. Sebenarnya kami mau merahasiakan ini dari kamu dulu karena Haidar cerita, kamu ngejar-ngejar dia ya? hahaha... tapi tolong ya, nak, di simpan dulu soal ini. Nanti Haidar akan melamar kamu di waktu yang tepat kok.”
Ish, padahal kan gue pengen tanyain Kak Haidar langsung soal ini...
“Gimana, Anela? Sudah lunas kan hutang cerita Eyang?”
Anela ngerucut bibirnya cemberut, “Harusnya Eyang bilang dari awal dong! Kan capek tahu ngejar-ngejar dia, cuman minta nomor telepon-nya aja setengah mati tahu!”
Eyang langsung tertawa terbahak-bahak, “Dan inilah hasil perjuangan kamu, Anela.” Tangan rentanya mengelus anak rambut cucu kesayangannya, “Eyang bersyukur, Allah tlah menempatkan Haidar di hati kamu, di waktu yang tepat.”
Anela mengulum senyum simpul, memang betul, Allah tidak pernah salah untuk menakdirkan sesuatu dengan hamba-Nya. Dan kehadiran Haidar sebagai sosok yang spesial di hati Anela, dia datang di saat yang tepat, ketika Anela memang benar-benar membutuhkan sosok seperti dia yang akan menjadi kompas dalam hidupnya.
Memang lah Allah itu Maha Baik.
Bismillah, Anela!