shinelyght

Kedatangan Rivan dengan Shashi disambut sorak ramai antusias para penggemar namun yang hanya didengar oleh Shashi hanyalah sebuah cercaan. Gadis itu meremat ujung rok dress hitam selututnya sambil menunduk takut, pandangan tajam yang menusuk juga kalimat-kalimat hinaan. Meskipun tak ada pemberontakan karena penjagaan yang sangat ketat, Shashi bisa merasakan bahwa mereka semua mengharapkan Shashi enyah dari hadapan mereka. Tangan besar Rivan mengait erat di jemari mungil Shashi seolah memberi kekuatan gadis itu untuk berdiri sebentar lagi, dan mata sayunya memberi isyarat bahwa sebentar lagi Rivan akan membagi sedikit energi. Shashi masih tak berani mendongak tapi uluman senyum tipis menjadi jawaban untuk pria itu.

Kamera yang sudah menyoroti kemesraan dua insan yang dipasangkan dalam satu acara itu, semenjak pemberitaan komentar jahat Shashi yang akan ditindak lanjut, Roy juga para kru menjadi lebih hati-hati dalam perihal editing acara yang tak menyudutkan satu pihak. Di satu sisi, Shashi merasa lega dengan pemberitaan itu karena memang cukup berefek untuk mengurangi komentar jahat yang menimpanya tapi di sisi lain ia tahu kalau ini semua karena Rivan. Pengorbanan apa yang diberikan lelaki itu sampai pihak manajemennya ikut turun tangan? Shashi tahu itu bukan hal mudah untuk dikabulkan.

Di ujung sana tepatnya belakang kamera, ada sosok pria paruh baya dengan kacamata hitamnya memerhatikan tiap gerak gerik dua pelakon yang tengah berperan baik di depan kamera tapi mata elangnya itu tak bisa menepik bahwa diantara dua insan itu ada sesuatu. Ia jadi teringat ketika Rivan datang ke kantornya dengan wajah serius dan meminta satu hal yang tak pernah diduga.

“Saya akan ambil project film dengan Erika Tsabita tapi dengan satu syarat, jangan pusatin spotlight acara sama Shashi Amara.” “Bintang tamu acara itu saya jadi tolong tindakin semua komentar jahat Shashi Amara dan bilang sama Roy untuk gak ada lagi editing acara kayak gitu.”

Rafi mendongakkan kepalanya untuk memusatkan perhatiannya lebih intens di tiap ekspresi yang tampak di wajah Rivan. Senyuman cerah yang tak biasa, tatapan dalam yang bermakna juga kontak fisik yang berlebihan. Improvisasi? bagi Rafi itu omong kosong, pria itu ingin menelisik lebih jauh tentang Shashi Amara.

“Halo? Tolong ikutin tiap pergerakan Rivan setelah acara ini ya.”


Rivan : Cepetan sini ke tangga darurat, 10 menit lagi aku harus ke panggung.

Shashi menoleh kanan-kiri dan mengambil langkah tak bersuara di lorong gedung yang tak ada lalu lalang siapapun. Shashi langsung memasuki pintu tangga darurat yang letaknya ada di ujung ruangan sana, tak ada siapapun begitu ia turun satu tangga, pergelangan tangannya ditarik paksa sampai tubuhnya terjatuh di dada bidang yang mencuat aroma manis woody yang begitu khas.

Tangan besarnya mengalung erat di bahu Shashi memberikan sebuah hangat juga kenyamanan. Semua keresahan yang dirasakan Shashi perlahan luruh dengan hangatnya pelukan yang diberikan Rivandy Nathaniel. Perlahan mereka melepas pelukannya, ibu jari Rivan mengusap pelan pipi gembib gadisnya dan mengagumi tiap inci fitur wajah cantik Shashi yang ia tatap saat ini.

“Tadi takut, sayang?” tanya Rivan dengan suara serak manisnya membuat jantung Shashi berdebar kencang.

“Sedikit…” jawab Shashi lirih.

Rivan tertawa pelan, ia mendekap lagi kepala Shashi dalam dadanya membiarkan gadis kasihnya mendengar tiap degupan jantung yang seolah menggemakan nama Shashi.

“Gapapa, semuanya baik-baik aja kok pelan-pelan pasti situasinya membaik.” Shashi tahu, dibalik situasi yang membaik itu ada pengorbanan Rivan yang tidak ia ketahui.

“Rivan, itu… berita tentang pihak manajemen yang ikut turun tangan soal komentar jahat, karena kamu yang minta?”

Rivan menggeleng pelan, “Udah gak usah dipikirin - ”

“Jangan gitu, kamu bilang apa sama manajemen kamu?”

“Udah, Shashi, itu bukan urusan kamu - ”

“Kamu gak nyusahin diri kamu kan? Please, Rivan, jangan peduliin - ”

“Shashi, udah ya, kamu tenang aja everything is gonna be okay, aku gak mengorbankan apa-apa dan ini semua juga buat reputasi aku juga, kamu pikir kamu doang yang dapet komentar jahat?”

Rivan berbohong karena semua yang dia lakukan karena rasa pedulinya kepada Shashi yang tak lagi kuat menahan cercaan orang-orang tak bertanggungjawab. Shashi dibuat bungkam, ia tahu kalau Rivan tak sepenuhnya berkata jujur tapi apalah daya kalau lelaki itu bersikukuh dengan pernyataannya. Biarkan mereka berdua tenggelam dengan kehangatan yang mereka buat sendiri sebelum menghitung mundur acara fanmeeting dimulai. Tanpa mereka sadari bahwa ada yang memata-matai pergerakan mereka.

“Shashi Amara… hari ini tamat riwayat kamu.”


Setelah Rivan yang keluar duluan dari ruangan tangga darurat, Shashi kembali memantau situasi dan bergegas keluar bersama wajah datarnya. Langkah kecil tak bersuara seketika terbenam dengan deritan roda dari rak yang membawa empat botol jus jeruk yang didorong oleh seseorang serba hitam. Shashi menduga itu bagian dari kru, jadi ia menyapa orang tersebut.

“Tunggu sebentar.”

Shashi menoleh, orang tadi menyerahkan rak tersebut kepada gadis beriris legam itu hingga alisnya mengernyit heran.

“Bawa ini untuk kru lain sama Rivan, ada minuman khusus untuk Rivan jadi jangan sampai tertukar,” Tangannya yang dibalut sarung tangan lateks itu menunjuk ke sebuah botol yang ditempeli label nama RIVANDY NATHANIEL besar-besar. Gadis itu mendelik begitu mendengar perintah orang tadi yang cukup mencurigakan, tapi Shashi masih belum berpikir panjang sampai orang serba hitam tadi lari meninggalkan Shashi di sana. Akhirnya gadis itu mendorong rak itu menuju backstage acara fanmeeting dan langkahnya terhenti begitu Alice menghampiri Shashi.

“Kamu kemana aja?! Ayo cepetan sini, kamu belum nyapa Pak Rafi secara langsung!” Alice menarik pergelangn tangan mungil Shashi menuju seorang pria paruh baya yang tengah berdiri menyilang tangannya memerhatikan bagaimana kameramen meliput seisi ruangan. Rak berisi minuman barusan Shashi tinggal begitu saja disamping panggung. Mata sayu Rafi praktis melirik tajam sosok Shashi yang menyapanya dengan kikuk, ia menelisik dari ujung kepala hingga kaki gadis itu.

“Kita baru ketemu waktu awal briefing ya?” tanya Rafi dengan suara pelan tapi mengintimidasi.

“Iya betul, Pak,” jawab Shashi dengan gugup.

Rafi menyungging senyum miringnya, “Bagaimana? Kamu menikmati syuting acara ini?”

Shashi menegup salivanya bulat-bulat, iris kelam Rafi benar-benar menusuk gadis itu hingga kepalanya ingin terasa pecah. Apa ada kalimat yang bisa menenangkan tatapan tajam pria itu?

“Lu-Lumayan, kok, semuanya… menyenangkan.”

“Tapi kemarin kamu dapat banyak hate comment karena evil editing Roy bukan begitu?”

Roy langsung mendelik begitu dengar namanya disebut seolah memberi sinyal bahaya yang mengancam posisinya. Shashi cepat menggeleng.

“Ah tapi setelah keluar berita kemarin sudah mulai berkurang kok, Pak!” Shashi peka dengan situasi Roy berusaha untuk menenangkan Rafi.

“Orang yang berhak mendapat perlindungan saya itu seperti permata mahal yang harus diperlakukan sebaik mungkin, kamu telah mendapatkan perlindungan saya jadi selanjutnya saya harus apa biar kamu tetap aman? Perlu saya pecat Roy?” pertanyaan itu terdengar seolah menyudutkan Roy tapi faktanya tidak, Rafi sedang menguji mental Shashi yang sebenarnya. Gadis itu gemetar di tempatnya, tak tahu harus mengatakan apa lagi setelah hempasan tawa remeh keluar dari bibir tipis Rafi, “Setidaknya setelah kamu mendapat perlindungan dari saya, tahu posisi kamu nona manis, kamu ngerti kan maksud saya?” bisikan itu menohok dada Shashi.

Rafi mengancam Shashi.

Pria itu mengendus sesuatu yang lain dari dirinya juga Rivan. Wajah Shashi menegang sempurna, bola matanya bergetar hebat. Shashi khawatir kalau ini akan menjadi pertanda buruk pula untuk Rivan yang masih di atas panggung sana sedang bercengkrama dengan para penggemarnya. Lelaki itu hebat bisa memasang topeng setebal itu di tengah ruangan redup yang sangat dingin ini. Senyuman manisnya begitu bersinar, sampai orang rela berbondong-bondong untuk mengantri di sana.

“Gak usah di pikirin omongan Pak Rafi, beliau emang agak judes,” ucap Alice yang dibalas ketawa renyah Shashi. Gadis itu tersontak begitu mendapati Alice sedang meneguk jus jeruk yang serupa dengan minuman yang dia bawa barusan.

“Mbak, itu jus jeruk dapet darimana? Ambil dari sana?” tanya Shashi sambil menunjuk rak yang ada di samping panggung.

Alice menggeleng, “Lah, udah dibagiin kali dari tadi itu di samping stage minuman siapa? Nih punya kamu,” wanita itu memberikan satu botol jus jeruknya kepada Shashi namun bukan itu yang Shashi maksud. Firasat buruk mulai mengguncang dadanya, ia berlari menuju rak yang dia bawa dan minuman berlabelkan nama Rivan sudah tak ada di sana.

Minuman itu… ada sesuatu.

Benar saja, orang serba hitam tadi sudah naik di atas panggung dengan minuman yang dia bawa. Rivan tak sadar apapun.

“Halo, kok pakai jaket sama masker gitu, gak gerah?” tanya Rivan kepada orang serba hitam tadi dan dibalas gelengan lesu, “Mana sini albumnya biar aku tanda tangan, namanya siapa?”

“Tu-Tulisin aja semangat ujian, gak usah pakai nama,” orang tersebut cepat menyodorkan botolnya kepada Rivan, “Ini minuman untuk Kak Rivan!”

Rivan memencak matanya, “O-Oh kamu bawain aku minuman? Ya ampun lucu banget sampai dikasih label gini, makasih ya” tutur pria itu dengan ramah dan diterima botol minuman itu.

“Boleh minum sekarang gak kak? Aku mau tahu rasanya enak atau enggak.”

Sekali lagi pria itu mendelik, “Eh? Boleh sih,” Rivan tanpa curiga sedikit pun membuka tutup botol itu yang tertutup rapat dan begitu hendak ia minum…

“STOP DISANAAA!!!!!”

Jeritan Shashi yang menggelegar mengejutkan seisi ruangan itu terlebih gadis itu berlari ke atas panggung menghampiri Rivan.

“Ke-Kenapa?!” decak Rivan bingung, Shashi merebut botol minuman yang dia curigai dan mengendus-endus isi minumannya. Wangi kacang khas yang mencuat dari isi minuman itu menjawab semua kecurigaan Shashi, orang serba hitam tadi langsung mendecik lidahnya dan berlari sekuat tenaga menghindari kejaran Shashi.

Kalian jangan remehkan Shashi si mantan atlit taekwondo yang handal, gadis itu melepas sepatu berhak tingginya sembarang dan melempar salah satu sepatunya hingga mengenai tepat sasaran ke ubun-ubun si pelaku. Begitu targetnya jatuh tersungkur, cepat Shashi menarik tangannya dan meniarapkan orang tersebut hingga topi hitamnya terlepas membuat rambut panjangnya yang ia sembunyikan tergerai.

“Shashi?!” pekik Rivan dengan semua kru SMTV yang ikut berlari menyusul Shashi.

“PANGGIL POLISI CEPETAN!! DIA MAU NGERACUNIN RIVAN TADI PAKE MINUMANNYA!!” titah Shashi sambil sekuat tenaga menahan tubuh pelaku.

“Le-Lepasin, dasar pelacur!” gertak si pelaku dengan ekspresi gelapnya. Semua langsung terkesiap kaget mendengar cacian itu tertuju kepada Shashi, terutama Shashi sendiri. Kalimat itu lebih dari sekedar caci atau hinaan, martabatnya bagai di pecahkan berkeping-keping. 

Gue…pelacur?

“Lo tahu gak? Lo tuh gak lebih dari seorang pelacur, lo jadi haters Kak Rivan cuman buat narik perhatian aja buat deket-deket sama dia kan? Lo tuh menjijikan, gak kalah menjijikan dari kotoran tahu gak?! Kalau gue bilang lo harus mati itu gak pantes, lo harus hidup dalam penghinaan— ”

“JAGA MULUT LO!!!!!” Rivan menggertak dari belakang dengan mata yang menyalak sempurna, langkah kaki tegap pria itu mendekat namun Valent cepat menahan tubuh Rivan agar artisnya tak berbuat lebih jauh. Rivan sudah tak mampu membendung amarahnya begitu lihat Shashi di hina-hina, “Mulut lo itu - ”

PLAAKKK!!!!

Wajah perempuan itu ditampar keras-keras oleh Shashi hingga terpental. Semuanya dibuat mematung di tempatnya, Shashi berdiri dan menarik kerah jaket anak perempuan itu dengan kasar sambil menatapnya dengan tatapan membunuh. Rivan yang ada di sana juga tak kalah shock, ekspresi Shashi tak pernah segelap itu.

Shashi benar-benar menyeramkan.

“Ngomong sekali lagi di depan saya,” Shashi menarik lagi kerahnya, satu tangannya mencengkram dua pipi lawannya hingga kedua mata mereka saling menatap langsung, “Bilang, saya pelacur sekarang.”

Siapa yang tak gentar dengan aura intimidasi Shashi yang begitu kuat? Bahkan orang di belakangnya saja praktis melangkah mundur.

“Setidaknya saya bukan fans gagal yang merendahkan martabatnya sebagai manusia… hanya karena obsesi seperti kamu,” Shashi menghempas tubuh pelaku sekuat tenaga, kedatangan tim polisi membuat semua menghela napas lega. Di situ Shashi dimintai keterangan lebih lanjut atas kesaksiannya begitupun Rivan juga kru SMTV, acara fanmeeting terpaksa berhenti di tengah-tengah karena insiden ini.

Tanpa Shashi sadari, titik balik dari nasibnya berubah mulai detik ini.

“Tauhid, dimana kita yakin bahwa Allah Azza Wa Jalla itu adalah satu-satunya Tuhan yang patut kita sembah, satu-satunya Tuhan yang menciptakan dan menggerakan seluruh alam semesta. Pertanyaannya, apa kita sungguh-sungguh meyakini hal itu?” Tangan Haidar masih menggores banyak peta konsep dari semua penjelasannya yang mendetail, “Coba saya mau tanya satu orang, kamu yang tadi rambut pirang! Kira-kira kamu yakin gak dengan konsep tauhid ini?”

Angel, gadis berambut pirang yang ditunjuk pemuda itu hanya menganga gagap, “Uh... sa-saya gak tahu, kak...”

“Sekarang gini, kamu yakin Allah itu satu-satunya Tuhan yang patut disembah?”

“Yakin...”

“Kamu yakin kalau Allah yang menciptakan seluruh manusia di muka bumi ini?”

“Yakin...”

“Yakinnya seratus persen atau setengah-setengah?”

Angel hanya mengatup bibirnya rapat.

“Oke silahkan duduk” pinta Haidar, “Mulut kita mungkin bisa mengatakan bahwa kita yakin dengan konsep tauhid ini tapi... sangat sedikit orang yang bisa memahami apa maksud dari tauhid yang saat ini kita pelajari. Saya ambil contoh gampangnya, orang-orang yang tauhidnya kuat, dia tidak perlu khawatir dengan hari esok, orang yang tauhidnya kuat, dia tidak akan takut kelaparan atau takut gak punya uang, orang yang tauhidnya kuat... dia yakin Allah menjamin semua kehidupan kita dan paham semua petunjuk yang ada di dalam Al-Qur'an.” “Semua hukum yang saat ini kita pelajari sebenarnya, itu juga ada kaidahnya dalam Al-Qur'an, masalahnya, kalian ini meyakini tidak dengan semua isi kitab kalian? Kalau tidak, berarti tauhid yang ada dalam diri kalian itu belum kuat.” Haidar membuka kitab Al-Qur'annya dengan hati-hati, “Yang bawa Al-Qur'an, buka surat An-Nur ayat 30, yang gak bawa cari di Google atau aplikasi Al-Qur'annya.”

Semua membuka surat yang diminta oleh pengajarnya itu serempak

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat', Saya ambil contoh surat ini karena relate dengan fenomena yang sering terjadi di lingkungan sekitar kita, di ayat ini laki-laki diminta untuk menjaga pandangannya dan kemaluannya, dan bagaimana kalau mereka, laki-laki, tidak menjaga kedua hal tersebut?” “Itulah yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual,” Haidar kembali menggoreskan spidolnya, “Nah tapi kalian suka dengar kan kalau perempuan harus menjaga auratnya?”

“Iya kaakk...!!!”

“Itu ada di ayat berikutnya, coba lihat terjemahannya.”

Janganlah kalian tampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa melihatnya alias aurat. Aurat itu ibarat perhiasan yang harus kita jaga, kita lindungi dan kita pelihara sebaik mungkin dari orang-orang yang tidak berhak menyentuh bahkan melihatnya sedikitpun.” “Ada lagi di surat Al-Ahzab ayat 59, disitu di jelaskan batasan-batasan aurat bagi perempuan yang harus di tutupi. Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang” “Berarti jelas kan, kenapa Allah memerintahkan kita untuk menutup aurat kita rapat-rapat? Itu demi kebaikan kita sendiri agar tidak di ganggu, atau di lecehkan.” “Itulah kenapa penting sekali kita memahami seluruh isi Al-Qur'an, karena dari satu kitab suci ini, semuanya di jelaskan secara detail. Gak cuman setengah-setengah.”

Eliza mengangkat tangannya tinggi-tinggi, “Tapi, Kak, kenapa masih banyak orang-orang yang berhijab panjang sekalipun masih di lecehkan??”

Haidar terkekeh, “Menurut kamu, di kasus itu yang salah itu pihak perempuannya apa laki-lakinya?” “Perempuannya sudah menutup aurat, berarti laki-lakinya yang gak menjaga pandangan dan kemaluannya kan?”

Eliza tertegun, “O-Oh iya juga ya...”

“Baik pihak laki-laki atau pihak perempuannya, kita semua sudah punya aturannya masing-masing yang harus dilaksanakan demi kebaikan kita juga. Dan seandainya kita bisa mengikuti semua aturannya dengan baik, yaa gak ada lagi yang namanya pelecehan, atau tindakan kriminal yang lain.” “Jadi istilah 'educate your son, protect your daughter' itu memang berlaku.”

Anela menatap penuh harap sosok laki-laki berparas eksotis di hadapannya, suara hangatnya namun berintonasi tegas, hatinya pun ikut terhenyak. Akhirnya Anela mantap melabuhkan hati di pelabuhan yang lebih tepat dari sebelumnya.

Đức Thịnh · Horang Suwolga

Ibra berlari secepat kilat menuju ruang bersalin yang sudah di arahkan. Pria itu tak sendiri, ada Hasan, sahabatnya di Turki yang turut menemani Ibra dan saat ini keduanya sama-sama berharap cemas akan kelahiran Ayu hari ini.

“Ibrahim! pelan-pelan larinya ini rumah sakit!” seru Hasan.

“Mana bisa!! Istri saya kondisinya tak sadarkan diri!!” decak Ibra panik.

“Tenangin diri dulu, nanti kan kamu harus dampingi istri kamu!”

Ibra menoleh ke belakang, “Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa, saya gak mau kehilangan orang terkasih saya lagi jadi tolong JANGAN CEGAH SAYA SEKARANG!!!” gertak pria itu, karena memang jantungnya sedang naik-turun mengkhawatirkan kondisi sang istri yang sedang memperjuangkan buah hatinya. Hasan mematung, ia hanya bisa mengikuti apa yang di katakan Ibra dan menghentikan langkahnya.

“Ya sudah, memang tidak ada yang bisa mencegah anak itu.”



Sekarang Ibra sampai di depan ruang bersalin dengan penampilannya yang sudah acak-acak. Perawat yang ada di dalam mempersilahkan Ibra untuk masuk dan menyaksikan istrinya sedang terbaring lemas. matanya setengah memejam namun ia bisa melihat tubuh tegap Ibra ada di sisinya. Ayu membuka sedikit mulutnya, “Kak... sakit....”

Ibra meneteskan air matanya, “Iya, sayang, kuat ya? saya ada disini,” pria itu menggenggam erat jemari lesu Ayu yang mendingin. Jantung Ibra terasa di cabik-cabik, begitu banyak pikiran negatif yang menghantui kepalanya namun dengan tegar pria itu membesarkan harapannya. Ayu, dan buah hatinya, mereka akan selamat.

“Baik, bunda, sekarang tarik nafasnya pelan-pelan, gapapa kalau masih lemas... untuk ayahnya, tolong beri kekuatan untuk bundanya ya....”

Pria itu mengangguk patuh atas pinta sang dokter, Ayu menarik nafasnya pelan-pelan dan di detik ia memulai perjuangannya....

“Oke kita mulai, satu... dua.... tiga!”

“UH! UKHHHHH!!! SAKIIIITTTTT!!!!!!”

Dengan kekuatan penuh Ayu menggenggam keras lengan suaminya, Ibra tak menghiraukan rasa sakit dari genggaman istrinya karena ia lebih fokus memberikan kekuatan untuk istri tercintanya.

“HUWAAAAA!!! SAKIIIITTTTTTT!!!!”

“Ayo kamu bisa, sayang, kuat yaa!”

“SAKITTT KAKKKK, HUWAAAA!!!”

“Istighfar sayang, istighfar....!”

“Astaghfirullah hal... ADZIM!!!”

Tak sengaja tangan Ayu meraih rambut Ibra dan menjambaknya keras hingga pria itu ikut merintih kesakitan, “ADUDUDUDUHH SAYANG JANGAN DI JAMBAK RAMBUT SAYAA!!!”

“UKHHHH!!! KAK IBRAAA HUWAAAA!!!”

“I-Iya sayang, saya disini! adududuh!!”

Ayu mengatur nafasnya lagi yang tersengal-sengal. Entah apa yang ia rasakan namun seketika ada yang lepas, dari perjuangannya ini. Matanya memejam sejenak, menitikkan satu tetes air matanya... seketika semuanya gelap.

Ayu tak sadarkan diri.

“Yu? Ayudia? Sayaang?” Ibra yang panik menggoyangkan tubuh Ayu yang tergolek lemas.

“Selamat, Pak, atas kelahiran putranya, alhamdulillah lahir dengan sehat....”

Mata Ibra membulat sempurna, tangannya yang meraih tubuh mungil malaikat kecilnya, sekali lagi ia meneteskan air mata harunya bahkan sudah menangis tersedu-sedu. Hatinya menghangat, memerhatikan tiap inci wajah putranya yang sekilas menyerupai dirinya.

“Dokter, ini... kenapa istri saya tak sadarkan diri? ini kenapa?!”

Dengan cepat sang dokter melakukan tindakan lanjut untuk Ayu yang tergolek lemas. Detak jantung wanita itu melemah membuat dada Ibra gusar bukan main, ia tak ingin ada sebuah tragedi lagi dalam hidupnya.

“Kondisi istri bapak hanya sedang keletihan, bapak bisa tunggu di luar dulu ya biar kami bawa ke ruangan intensif terlebih dahulu.”

Ibra di arahkan untuk keluar dari ruangan bersalin, dengan hati yang tak rela meninggalkan sisi istri tercintanya. Di luar ruangan ternyata sahabat Ibra sudah menunggu, “Bra, gimana kondisi Ayu?!”

Ibra menganga gagap, dengan mata sembabnya ia mencengkram erat lengan Hasan menahan sakit yang merujam dadanya.

“Ini gara-gara saya... harusnya saya langsung pulang nemenin Ayu... harusnya saya ada di samping dia tadi....”

“Kenapa, Bra?!”

“Ayu kondisinya lemah banget....”

Hasan menepuk-nepuk pundak sahabatnya, memeluk pelan untuk menenangkan ketakutan Ibra, “Enggak, emang melahirkan itu sangat melelahkan, istri kamu baik-baik aja, Bra.”

“Tapi setidaknya kalau ada saya, pasti cepat penanganannya, dia gak akan dibawa kesini dalam kondisi pingsan!”

“Percaya sama saya, semuanya baik-baik saja....”

Hasan yang berusia di atas 3 tahun dari Ibra tentu pernah merasakan posisi sahabatnya ini ketika dulu sang istri melahirkan anak pertamanya. Ia yakin betul bahwa takdir baik berpihak kepada pasangan muda ini. Ibra masih menangis menggaungkan nama Ayu berulang-ulang, sambil dalam hatinya itu berdoa agar istrinya itu kembali dengan sehat.

“Bra... lebih baik kita shalat aja ya? Sampaikan doa melalui sujud kamu.” ajakan Hasan membuat Ibra tersadar sejenak, pria itu langsung bangkit dan mengiyakan ajakan sahabatnya.

Serahkan semuanya sama Allah, Ibrahim... Ayu pasti baik-baik saja.



Mata Ayu perlahan terbuka dan mendapati ruangan serba putih di sekitarnya, dengan cairan infus yang sudah menjulur di tangan kirinya. Kepalanya masih terasa melayang, namun ia merasakan ada sebuah kehangatan yang terus mencengkram sebelah tangannya yang kosong.

Jemari besar Ibrahim bersama lelapnya, semalaman pria itu tidak melepas tangannya setelah Ayu di pindahkan ke ruangan perawatan VVIP-nya. Wanita itu mendelik, tangan kirinya berusaha menggapai surai coklat legam suaminya dan mengelus pelan.

Ibra langsung terbangun dari tidurnya, ia langsung terkesiap dan menggenggam bahu lemah istrinya, “A-Ayu?! kamu... kamu udah enakan?!”

Ayu mengangguk pelan, “Iya, cuman... masih agak capek aja....” lalu pria itu membenarkan posisi bantalnya dan menyandarkan punggung Ayu dengan lembut agar mendapatkan posisi nyaman. Ibra tersenyum simpul, jemarinya menyelipkan anak rambut sang istri di telinganya lalu mengecup kening Ayu dengan hangat.

“Terima kasih sudah mau berjuang, istriku....” Ibra menatap dalam netra sayu sang istri, dan Ayu membalasnya dengan kekehan kecil. Ayu mengelus pipi Ibra dengan lembut, lalu menyandarkan kepalanya di bahu lebar suami tercinta.

“Saya panggil dokter dulu ya, kamu tiduran lagi aja kalau mau.”

Ayu mengangguk lemah, dan cepat pria itu keluar dari kamar. Ayu menatap punggung besar Ibra dengan kemeja lusuh yang sudah ia pakai 2 hari berturut-turut, saking khawatirnya, Ibra sampai lupa untuk pulang hanya sekedar membersihkan diri bahkan ia hanya makan sekali. Mata Ayu beralih ke arah keranjang yang di dalamnya sudah ada sosok bayi mungil yang tertidur pulas.

Ahmad Rafif El-Fatih

Wanita itu melekukkan senyum bahagianya, “Nama yang indah, terdengar sangat pemberani...”

“AYUUUUU!!”

Suara melengking dari ibu mertuanya, yakni Anela juga Haidar yang baru saja mendarat tadi siang begitu mendengar kabar Ayu melahirkan hari ini, mereka bergegas pesan tiket malamnya dan memesan taksi untuk berangkat ke rumah sakit.

“U-Umi kapan kesininya?! kok??!!”

“TAU GAK SIH?! BEGITU UMI DAPET KABAR DARI IBRA, ABI SAMA UMI LANGSUNG CUUUUSSS NGUEEEENGGG NAIK PESAWAT KARENA KHAWATIR SAMA KAMUU!!!” Anela memeluk erat tubuh putri menantunya itu, “Gimana keadaan kamu? masih lesu nak?”

“Masih agak capek... tapi udah enakan kok.”

Haidar menatap lemat-lemat tubuh mungil cucunya disana, bahkan pria baya itu sudah menjatuhkan satu bulir air matanya.

“Masha Allah... Rafif....” ucap Haidar sambil menggendong bayinya.

Anela tertawa pelan, “Kamu tau gak? kemaren tuh sambil panik nungguin kamu sadar, Ibra telepon abinya buat minta saran nama bayi kamu.”

Ayu mendecak, “Oh ya?”

“Iya! mana pake debat segala, si Ibra mau nama anaknya yang simpel dan mudah di ingat sedangkan abinya ya gitu, suka ribet sendiri.”

Ayu mendengarnya tertawa geli, perutnya masih sakit terutama di bagian bekas jahitannya namun tetap, rasa bahagia yang tak terbendung ini menyembuhkan sebagian besar rasa sakit yang ia rasakan.

Hari ini, Ibrahim dan Ayu sudah resmi menjadi orang tua dari seorang putra tampan yang penuh harapan dan doa keduanya!

Selamat untuk kalian berduaa!

Ayu menengadahkan tangannya, mengucap beberapa doa untuk kelancaran pernikahannya hari ini. Riasan cantik yang sudah tampil di depan meja rias, Ayu terus menatap dirinya yang sudah di balut gaun pernikahan.

Hari ini, Ibra dan Ayu akan mengikat janji sucinya.

Pagi yang cerah nan menyejukkan, Ayu tak berhenti mengucap syukur karena sudah sampai tahap sini setelah melewati perjuangan cintanya selama 8 tahun. Kak Ibra... gimana ya ijab qabulnya? mau lihat deh.

Tok... tok... Ketukan pintu dari sosok Mina dan Amara di belakangnya, mereka mendecak kagum dengan kecantikan Ayu hari ini sebagai pengantin.

Dang, you look stunning, Ayu, cantik banget gak bohong,” puji Amara terpukau.

“Masha Allah adik ipar aku...” Mina langsung berlari memeluk tubuh Ayu dengan erat, perhatian Ayu teralihkan ke arah seorang bayi yang di gendong Mina.

“Hi, baby Kaira... nyenyak banget nih tidurnya....”

“Haha, iya nih aunty habis mimi cucunya banyak! Padahal seru lagi lihatin omnya gemeteran pas ijab qabul.”

Ayu menutup mulutnya kaget, “Kak Ibra gemeteran tadi kak?”

“BEUH AYU.... gemeteran banget... ya kan, Amara?!”

“Iya, Yu, hahaha... suaranya ampe getar gitu terus bapak kamu ikut ngetawain.”

Ayu tertawa geli begitu membayangkan gimana gugupnya lelaki kasihnya itu pada saat ijab qabul. Begitu mereka bercakap sebentar, sudah ada arahan dari pihak WO untuk Ayu menyusul Ibra di tempat pelaminan, kedua wanita yang ada di ruangan itu akhirnya berjalan mendampingi Ayu menuju awal hidup barunya.

Begitu Ayu masuk dengan tampilan gaun cantiknya di hadapan para hadirin, semuanya mengucap kagum. Kedua mempelai yang terlihat luar biasa pada hari ini, terutama Ibra. Ia cukup terkejut bahwa kecantikan Ayu hari ini beribu-ribu kali lipat.

“Ya, silahkan untuk kedua mempelai untuk saling menukar cincin sebagai simbol ikatan....”

Aba-aba dari MC menggerakan kedua insan itu untuk saling memakaikan cincinnya. Ibra menatap lemat-lemat jemari cantik sang istri dengan lukisan henna indahnya, pria itu tersenyum hangat.

“Lembut, dan hangat. Saya gak akan melepaskan tangan ini, Ayudia.”

Ayu menitikkan air mata harunya, “Begitu pun aku, aku tidak akan melepas tangan ini, Kak,” sang puan langsung mencium punggung tangan suaminya. Ibra melukiskan senyuman lebarnya, ia mengecup lembut kening Ayu dengan penuh kasih sayang.

Dan kini, keduanya sudah resmi menjadi pasangan suami-istri. Kedua insan yang sudah di takdirkan itu menaruh semestanya di masing-masing pundak, terutama Ibra yang kini sudah punya Ayu sebagai 'rumah.' Tangan mereka saling mengait erat, Ibra yang terus memandang wajah cantik istrinya meresapi kasih sayang dari keduanya, Ayu juga merasa aman setiap jemari kekar suaminya mengeratkan genggaman tangannya. Mereka saling menyandar, memejam matanya terhenyak....



“Ayu, kamu dimana? masih di kamar mandi?” Sekarang adalah malam pertamanya Ibra dan Ayu sebagai sepasang suami istri. Siangnya mereka sudah larut dengan status barunya, sekarang malah berubah menjadi canggung luar biasa, terutama bagi Ayu yang kini tak berkerudung. Ia tahu bahwa dirinya sudah sah menjadi istri dari Ibra, tapi dadanya berkecamuk hebat setiap ia membayangkan rambut panjang indahnya itu di lihat langsung oleh pria pujangga hatinya.

Tak ada pilihan lain, Ayu memakai jaket hoodie yang ia bawa dan memakaikan kupluknya hingga rambut panjangnya itu tersembunyi sempurna. Ia keluar dari kamar mandi dengan ekspresi se-natural mungkin tapi bagi Ibra, kelihatan jelas istrinya itu sedang tegang.

“Ngapain pake jaket? emang kamu kedinginan?” tanya Ibra dengan kaos polos hitamnya ia menggosok rambut basahnya dengan handuk, “Kamu keramas gak? ntar bau kalo di tutup hoodie kayak gitu.”

Ayu menggeleng cepat, “E-Enggak bau kok! nanti aku ambil handuk dulu buat ngeringin—”

Ibra menarik lengan mungil istrinya, lalu memeluk erat tubuh kecilnya dari belakang. Pria itu menenggelamkan wajahnya di bahu Ayu, membuat jantung Ayu berdesir hebat.

“Kamu bawa parfum kamu gak?” tanya Ibra.

“Ba-bawa kok...” jawab Ayu.

“Pake dong, saya suka wangi kamu,” Ibra mendongak sedikit, melihat sisi samping wajah cantik Ayu dan mengelus pipi lembutnya dengan perlahan. Mata Ibra yang sayu tertuju ke tiap inci fitur wajah istrinya, sedangkan tangan satunya lagi ia membuka kupluk yang menutupi rambut coklat gelap milik Ayu sampai tergerai indah. Wajah Ayu sudah memerah bak kepiting rebus, membuat Ibra terkekeh gemas dan mencubit kedua pipi tembam Ayu, “Oh kamu tuh kalau malu mukanya bakal semerah ini ya? hahaha gemes banget sih....” Ibra menatap lagi dengan dalam kedua netra cantik sang istri lalu menangkup kedua pipinya. Mata sang tuan sayu, lalu dengan cepat Ibra mengecup pelan pipi istrinya dan Ayu memejam matanya rapat-rapat.

“Nonton yuk?” ajak Ibra, ia tahu bahwa istrinya saat ini masih canggung dengan situasi mereka saat ini dan ia ingin wanita tercintanya itu merasa nyaman terlebih dahulu.

“Nonton apa, Kak?”

Anime kesukaan kamu.”

Ayu bergeming panjang, “Gimana kalo kakak temenin aku tamatin Boruto biar gak kena spoiler endingnya?”

“Ah kepanjangan, nanti gak bisa manja-manjaan.”

“Nontonnya sambil manja-manjaan, Kak...”

Ibra menggeleng, malah mengeratkan pelukannya lagi, “Gak mau, nonton anime movie aja yang cuman sejam abis itu baru kita manja-manjaan.”

“Berarti kita nontonnya gak usah manja-manjaan nih?”

Ibra malah makin mengeratkan pelukannya hingga wanita mungilnya merasa sesak, “Jangan gitu... tetep kayak gini nontonnya....”

Reaksi Ibra mengocok perut Ayu geli, akhirnya mereka benar memutuskan untuk menyalakan TV yang di sediakan hotel lalu memutar salah satu anime romansa sesuai request Ayu. Ibra mengambil posisi duduk duluan di sofa, lalu ia membuka lebar-lebar tangannya di hadapan sang istri yang mengundang tanda tanya di benak Ayu.

“Sinii, kan nontonnya sambil peluk....”

Ayu menjawab oh ria dengan ketawa renyahnya, wanita itu mendaratkan tangannya memeluk leher sang suami erat. Ibra mengecup rambut Ayu dan dalam posisi saling menghangatkan, dan kini mereka menyaksikan filmnya sama-sama. Aroma marshmallow khas Ayu mengecohkan fokus Ibra, membuat pria itu terus mencuri-curi pandang, lalu ia membisik kepada istrinya.

“Sayang.”

Ayu langsung terkesiap, “Ha-hah?! tadi kakak bilang apa?!”

Ibra tersenyum cengir, “Istriku sayang.”

Sekali lagi wanita itu dibuat salah tingkah, ia menutup wajahnya menahan malu namun Ibra dengan cepat menahan tangan Ayu agar ia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana wajah Ayu itu memanas.

“Kakak ih udah dong, jangan godain aku muluu! jantung aku mau meledak rasanya!”

“Kenapa? kamu tau gak kalau bikin baper istri itu dapet pahala?”

“Yaa tapi kasih aba-aba dulu dong, beneran jantung aku gak kuat huwe....”

“Mana ada kasih aba-aba, kamu kira pertandingan!”

“Ih tapi tetep aja, KAK IBRA BAHAYA BANGET NIH!!!”

Ibra tertawa terbahak-bahak, laki-laki itu mengeratkan lagi pelukannya lalu menatap dalam mata sang istri...

“Nanti kita wudhu dulu ya,” Ibra mengecup lagi pucuk kepala Ayu, “Setelah ini kita shalat dua rakaat.”

Mata Ayu memencak sempurna. Ia menegup salivanya bulat-bulat dan hanya membalas anggukan kecil.

Setelah mereka menyelesaikan movie date dan suasana keduanya sudah mulai mencair. Akhirnya mereka melakukan rangkaian shalat sunnah dua rakaat sebelum melakukan ibadah mereka selanjutnya sebagai sepasang suami istri. Di akhir mereka mengucap salam, Ayu memandang punggung Ibra terhenyak, memutar ulang memori masa mudanya ketika hati kecilnya hanya bisa berdoa agar suatu saat nanti akan ada momen ia bisa menjadi seorang makmum dengan Ibra sebagai imamnya.

Allah mengabulkan doanya, dan sampailah pada hari ini.

Ayu mencium punggung tangan suaminya untuk meminta ridho, dan Ibra menaruh jemari lentik istrinya itu di pipi hangatnya. Jarinya yang besar menggenggam erat telapak tangan dingin Ayu, mengelus-elus setiap jari mungil dan meresapi kenyamanan antara keduanya.

“Ayu,” Ibra membisik lagi dengan suara seraknya.

“Iya?” Ayu menjawab dengan sangat lembut.

“You're my favorite blue.”

Ayu mendelik, “Apa itu maksudnya?”

“Warna biru itu melambangkan kedamaian dan ketenangan, Ayu, dan saya suka warna biru. Kamu juga identik dengan semuanya serba biru, seperti sekarang kamu pakai hoodie warna biru.” “Kamu adalah lambang sebagai rumah yang saya cari selama ini, yang memberikan kedamaian dan kehangatan untuk saya.”

Ayu meneteskan air mata harunya yang tak terbendung di pelupuknya, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami dan Ibra membalasnya dengan pelukan lagi dengan erat.

Setelah mereka saling mengungkapkan cintanya yang dalam, malam itu menjadi malam yang panjang bagi kedua insan yang sudah saling melabuhkan semestanya.

— Blue Undersky, END — 01 Februari 2022

Flashback, seminggu sebelum Ibra berangkat ke Turki, di kediaman Ayu....

Ibra menegup salivanya bulat-bulat, kali ini ia datang tidak sendirian melainkan ada ayahnya juga kakak iparnya yang ikut mendampingi Ibra.

“Deg-degan ya?” goda Husein.

“Berisik lu, Bang.” cetus Ibra menutupi rasa gugupnya.

Akhirnya pemuda itu melangkahkan kakinya ke sebuah rumah yang akan memberikan jawaban dari takdir. Berharap namun cemas bahwa kali ini yang baik-baik berpihak padanya.

“Assalamualaikum...” Ibra duluan yang mengucap salam, kedatangannya langsung di sambut oleh pria baya yang ternyata juga sudah menantikan kehadiran Ibra.

“Waalaikumsalam, nak Ibra, Haidar, nak Husein, silahkan masuk.”

Ketiga tamu di persilahkan untuk duduk dan tak lama suguhan teh jahe hangat sudah ada di atas meja tamu. Kaki Ibra gemetar bukan main, ia takut sekali kedatangannya ini tak akan diterima, mengingat ia pernah datang untuk sesuatu yang menyakitkan seolah ia menarik kembali semua kata-katanya dengan mudah. Tapi bagaimana? itulah yang namanya takdir takkan ada yang tahu.

“Bagaimana Ayu di kantor, Bra?” tanya Ustadz Fadhil.

“Bagus kok, Pak, Ayu sekarang sudah semakin bagus pekerjaannya, lebih gesit dan sabar,” jawab Ibra.

“Saya dengar kamu baru resign ya? sudah matang semua persiapan kuliah kamu?”

“Sudah, Pak, Alhamdulillah.”

“Saya doakan yang terbaik untuk kamu.”

Ibra menegup salivanya lagi, jantungnya sudah berpacu cepat bahkan tangannya berkeringat. Ia mulai mengatur tempo nafasnya, di kepal kuat tangannya, inilah saatnya Ibra membuka suara.

“Um, Pak Fadhil, sebelumnya kedatangan saya kesini ingin meminta izin, Pak....”

“Izin apa?”

“Melamar putri bapak.”

Suasana ruang tamu semakin menegang bahkan Haidar dan Husein yang posisinya hanya mendampingi ikut was-was. Pokoknya mereka sudah siap menanggung malu kalau niat baiknya di tolak.

“Ibrahim...” Fadhil tertawa kecil, “Kamu lupa terakhir kalinya kamu datang kesini karena apa?”

Pertanyaan yang sangat menggoncangkan hati, Ibra benar-benar pasrah dengan hasil akhirnya.

“Tidak, saya masih ingat, Pak.”

“Setelah kamu datang untuk memutus, sekarang kamu datang lagi untuk kembali?”

Ibra menahan nafasnya.

“Saya... memohon maaf apabila pada saat itu melukai hati bapak dan juga putri bapak, butuh pemikiran panjang bagi saya untuk bisa sampai di tahap ini, Pak, karena selama saya bersama putri bapak... ada rasa yang ingin saya wujudkan dalam hidup saya.” “Saya hanya bisa melihat masa depan saya bersama Ayudia, Pak, dan saya ingin Ayudia terus ada di sisi saya.”

Fadhil masih tak ingin menjawab cepat permintaan Ibra, ia meneguk teh jahenya lalu mengajukan satu pertanyaan lagi sebagai penentu dari keseriusan Ibra.

“Saya ingin bertanya satu kali lagi.” “Apa alasan kuat kamu hingga akhirnya kembali memilih Ayu sebagai wanita pilihan kamu, Ibrahim?”

Ibra sudah menyiapkan jawabannya.

“Karena Ayudia, adalah definisi hangatnya sebuah rumah bagi saya, Pak. Setiap saya ada di samping Ayu, entah kenapa semua beban yang saya pikul hilang. Ayu seolah memberikan ruang bagi saya, untuk menjadi diri saya sendiri di saat orang-orang menaruh harapan dan ekspetasi tinggi terhadap saya.”

Fadhil masih terus bergeming, tak akan habis kalau ia terus bertanya karena sejujurnya sang ayah dari gadis yang ingin di pinang Ibra ini masih belum sepenuhnya rela.

Tapi ia teringat, bahwa putrinya juga masih mengharapkan kisah cinta 8 tahunnya terwujud.

“Ayu bagaimana? sudah tahu kamu ingin meminangnya?”

“Saya ingin meminta izin terlebih dahulu sama Bapak sebelum saya melamar Ayu-nya langsung.”

Fadhil menghela nafas panjang, “Percuma kalau saya bilang iya tapi Ayu-nya gak mau. Saya sih bagaimana putri saya.”

Mata Ibra membulat sempurna, “E-Eh, jadi... boleh nih, Pak?”

“Ya monggo, kalau di terima anak saya syukur, kalau enggak yaudah kamu yang sabar ya.”

Ibra mendecak YES kencang-kencang tanpa melihat situasinya yang masih di rumah 'calon mertua'. Fadhil terkekeh geli, sedangkan Haidar langsung berdiri dan memeluk kawannya sebagai ucapan terima kasih, di ikut Husein juga sebagai awal mula mengikat tali kekerabatan.

Sekarang satu langkah lagi, Ibra akan menemukan 'rumah' yang sesungguhnya.

Ibra menegup salivanya bulat-bulat, kali ini ia datang tidak sendirian melainkan ada ayahnya juga kakak iparnya yang ikut mendampingi Ibra.

“Deg-degan ya?” goda Husein.

“Berisik lu, Bang.” cetus Ibra menutupi rasa gugupnya.

Akhirnya pemuda itu melangkahkan kakinya ke sebuah rumah yang akan memberikan jawaban dari takdir. Berharap namun cemas bahwa kali ini yang baik-baik berpihak padanya.

“Assalamualaikum...” Ibra duluan yang mengucap salam, kedatangannya langsung di sambut oleh pria baya yang ternyata juga sudah menantikan kehadiran Ibra.

“Waalaikumsalam, nak Ibra, Haidar, nak Husein, silahkan masuk.”

Ketiga tamu di persilahkan untuk duduk dan tak lama suguhan teh jahe hangat sudah ada di atas meja tamu. Kaki Ibra gemetar bukan main, ia takut sekali kedatangannya ini tak akan diterima, mengingat ia pernah datang untuk sesuatu yang menyakitkan seolah ia menarik kembali semua kata-katanya dengan mudah. Tapi bagaimana? itulah yang namanya takdir takkan ada yang tahu.

“Bagaimana Ayu di kantor, Bra?” tanya Ustadz Fadhil.

“Bagus kok, Pak, Ayu sekarang sudah semakin bagus pekerjaannya, lebih gesit dan sabar,” jawab Ibra.

“Saya dengar kamu baru resign ya? sudah matang semua persiapan kuliah kamu?”

“Sudah, Pak, Alhamdulillah.”

“Saya doakan yang terbaik untuk kamu.”

Ibra menegup salivanya lagi, jantungnya sudah berpacu cepat bahkan tangannya berkeringat. Ia mulai mengatur tempo nafasnya, di kepal kuat tangannya, inilah saatnya Ibra membuka suara.

“Um, Pak Fadhil, sebelumnya kedatangan saya kesini ingin meminta izin, Pak....”

“Izin apa?”

“Melamar putri bapak.”

Suasana ruang tamu semakin menegang bahkan Haidar dan Husein yang posisinya hanya mendampingi ikut was-was. Pokoknya mereka sudah siap menanggung malu kalau niat baiknya di tolak.

“Ibrahim...” Fadhil tertawa kecil, “Kamu lupa terakhir kalinya kamu datang kesini karena apa?”

Pertanyaan yang sangat menggoncangkan hati, Ibra benar-benar pasrah dengan hasil akhirnya.

“Tidak, saya masih ingat dengan betul.”

“Setelah kamu datang untuk memutus, sekarang kamu datang lagi untuk kembali?”

Ibra menahan nafasnya.

“Saya... memohon maaf apabila pada saat itu melukai hati bapak dan juga putri bapak, butuh pemikiran panjang bagi saya untuk bisa sampai di tahap ini, Pak, karena selama saya bersama putri bapak... ada rasa yang ingin saya wujudkan dalam hidup saya.” “Saya hanya bisa melihat masa depan saya bersama Ayudia, Pak, dan saya ingin Ayudia terus ada di sisi saya.”

Fadhil masih tak ingin menjawab cepat permintaan Ibra, ia meneguk teh jahenya lalu mengajukan satu pertanyaan lagi sebagai penentu dari keseriusan Ibra.

“Saya ingin bertanya satu kali lagi.” “Apa alasan kuat kamu hingga akhirnya kembali memilih Ayu sebagai wanita pilihan kamu, Ibrahim?”

Ibra sudah menyiapkan jawabannya.

“Karena Ayudia, adalah definisi hangatnya sebuah rumah bagi saya, Pak. Setiap saya ada di samping Ayu, entah kenapa semua beban yang saya pikul hilang. Ayu seolah memberikan ruang bagi saya, untuk menjadi diri saya sendiri di saat orang-orang menaruh harapan dan ekspetasi tinggi terhadap saya.”

Fadhil masih terus bergeming, tak akan habis kalau ia terus bertanya karena sejujurnya sang ayah dari gadis yang ingin di pinang Ibra ini masih belum sepenuhnya rela.

Tapi ia teringat, bahwa putrinya juga masih mengharapkan kisah cinta 8 tahunnya terwujud.

“Ayu bagaimana? sudah tahu kamu ingin meminangnya?”

“Saya ingin meminta izin terlebih dahulu sama Bapak sebelum saya melamar Ayu-nya langsung.”

Fadhil menghela nafas panjang, “Percuma kalau saya bilang iya tapi Ayu-nya gak mau. Saya sih bagaimana putri saya.”

Mata Ibra membulat sempurna, “E-Eh, jadi... boleh nih, Pak?”

“Ya monggo, kalau di terima anak saya syukur, kalau enggak yaudah kamu yang sabar ya.”

Ibra mendecak YES kencang-kencang tanpa melihat situasinya yang masih di rumah 'calon mertua'. Fadhil terkekeh geli, sedangkan Haidar langsung berdiri dan memeluk kawannya sebagai ucapan terima kasih, di ikut Husein juga sebagai awal mula mengikat tali kekerabatan.

Sekarang satu langkah lagi, Ibra akan menemukan 'rumah' yang sesungguhnya.

Beramai-ramai dari keluarga, kerabat, dan rekan-rekan Ibra mengantarkan sang pemuda menuju boarding gate. Ibra tersenyum sangat lebar, ia tak menyangka bahwa ia sudah berada di titik akhir, dimana ia bisa meraih mimpinya sejak lama yang ia kubur dalam-dalam.

“Nak, kamu baik-baik disana, pokoknya kamu kenalin semua situasi lingkungannya, masyarakatnya dan jangan lupa terus berdoa ya,” pinta Haidar, lalu ia memeluk erat tubuh putranya, “Doa abi selalu menyertai kamu.”

“Siap, abi, makasih banyak.”

Giliran sang ibunda, Anela memeluk Ibra lalu menciumi seluruh wajah putranya hingga sang putra menggerutu karena malu di perhatikan teman-temannya.

“Anak umi sayang, pokoknya di sana hati-hati yaa? kan cuacanya dingin banget jadi terus pakai baju hangat ya nak?”

“Iya umi, Ibra gak lupa kok.”

“Sering-sering telepon ya? Umi bakalan kangen banget.”

Ibra mengangguk, lalu matanya teralih ke arah gadis berhijab yang tersenyum simpul ke arahnya. Mereka saling berhadapan, lalu Ibra merogoh sesuatu dari tas ranselnya yakni sebuah tas kertas kecil yang ia kunci rapat-rapat. Ia menyerahkan tas itu kepada Ayu.

“Buat kamu, sebelum buka isinya tolong buka suratnya dulu ya.”

Ibra mengetuk kening Ayu dengan dua jarinya, mereka ulang adegan favorit dalam serial anime kesukaannya yakni Naruto, dimana ketika Sasuke hendak pergi dan mengetuk kening Sakura di dahi lebarnya.

“Terima kasih, Ayu, untuk semuanya.”

Wajah Ayu bersemu merah, lalu Ibra segera beranjak pergi menuju gerbang dan melambaikan tangannya lagi ke arah pengantarnya. Ia berjalan penuh gagah dan yakin, ternyata memang ada takdir baik yang sudah menantikan kehidupannya.

Sekarang Ibra, nikmatilah masa-masamu.



Begitu pesawat Ibra sudah lepas landas, jarak antara Ibra dengan Ayu sudah terbentang antar negara, meskipun berat tapi gadis itu ikhlas dengan pilihan sang pujaan hati. Sekarang giliran Ayu yang menata lagi tujuan hidupnya.

“Oh ya, kan Kak Ibra kasih aku sesuatu, apa ya kira-kira?” Ayu membuka straples yang mengait tas kertasnya, matanya terbelelak sempurna dengan isi yang ada di tas sana.

Kotak cincin

Disana ada surat yang tak bersampul, hanya kertas putih sederhana yang di lipat segiempat.

Tunggu chat saya pukul 17:45 WIB, begitu saya chat wajib fast respond. Awas kalo enggak.

Sekali lagi jantungnya berdegup tak karuan, rasanya ingin meledak dan Ayu kelimpungan. Kejutan apalagi yang akan di kasih Ibra?

Aduh ini apalagi...

Acara aqiqah dari teman SMA Ibra dan Yogi dijadikan ajang reuni satu sama lain setelah sekian lama Ibra tak pernah datang ke acara reuni sekolah. Semuanya menyambut kedatangan Ibra, terutama para kaum hawa yang ada disana, mereka masih saja membahas pesona Ibra yang tak pernah luntur sejak SMA.

“Masa sih Ibra masih single? gak ada pendamping sama sekali?”

“Ya ampun kamu kok jadi makin keren sih, Bra.”

“Ibra mau aku kenalin gak sama temen aku?”

Pemuda itu langsung keluar dari kerumunan, ia mendecak kesal dan Yogi bisa melihat jelas pemuda itu tak berhenti gerutu, sejak pertama kali mereka datang ke acara.

“Bra, lu kenapa dah bete gini? mau balik?”

“Ntar dulu gua masih ada urusan disini.”

“Urusan apa?”

Ibra menunjuk ke tumpukkan kado yang ada di atas meja, “Gue belum kasih kado, kan kadonya di Ayu!”

Yogi langsung menoleh ke arah gadis berhijab biru yang tak asing baginya sedang bersama seorang pria tampan. Keduanya tampak asyik berbincang bahkan tertawa lepas disana, lalu ia melirik lagi ke arah Ibra yang berwajah masam. Sekarang Yogi paham apa maksud dari 'urusan' yang Ibra bilang.

“Ayudia,” panggil Ibra dengan nada tajamnya.

Yang di panggil tersontak di tempat lalu berbalik badan ke arah Ibra yang ada di belakangnya.

“Eh, Kak Ibra, udah sampai,” Ayu melirik teman lawan bicaranya barusan, Syauqi, “Kak Syauqi inget Kak Ibra kan Ketua Ekskul kita dulu? sekarang aku kerja di kantornya sebagai sekretaris.”

Syauqi mengangguk, “Bra, masih inget gua gak? hahaha...”

“Gak kenal. Lu siapa?” ketus Ibra.

“Lah parah banget, gak inget ama temen sendiri?”

Ayu ikut menyanggah, “A-Ah itu kak, mungkin karena kakak banyak berubah jadi Kak Ibra lupa.”

Tangan Syauqi langsung menjulur ke Ibra, “Yaudah kenalan lagi gak nih? gue Syauqi.”

Ibra tersenyum penuh arti lalu ia membalas jabatan tangan Syauqi keras-keras, bahkan laki-laki yang di jabat tangannya menelan bulat-bulat rintihan sakitnya.

“Ibrahim.”

Singkat padat dan jelas. Suasana kedua pria itu mendadak berubah jadi mencekam, terutama di pihak Ibra yang terus memberi tatapan tajam kepada Syauqi, sedangkan Syauqi, justru ia tertantang untuk menggoda lebih jauh kesabaran Ibra.

“Ayu, kamu masih sama ya kesukaannya warna biru. Dari dulu tuh barang-barang kamu semuanya warna biru, tapi gapapa, untuk sekarang kamu cantik dengan jilbab biru kamu,” ucap Syauqi merendahkan suaranya, semakin mengguncang dada pemuda yang ada di samping Ayu.

“Eh? Ma-Makasih, Kak....” Ayu tak paham dengan situasinya namun ia berusaha netral. Ibra masih diam menahan murka, tangannya mengepal keras, kalau ada lapangan luas yang bisa di jadikan arena pertarungan mungkin Ibra sudah melayangkan tinjunya itu tepat di wajah Syauqi.

“Kamu mau kasih kado ke Tyas kan? Yuk bareng sama aku—”

Kalimat Syauqi terpotong begitu Ibra menarik lengan mungil Ayu ke belakang punggungnya.

“Ayu bareng sama gue,” desis Ibra tajam.

“Lho? yaudah kita bertiga aja.”

“Gak mau, Ayu bareng sama gue.”

“Emang kenapa?”

“Karena kita hadiahnya berdua.”

Mata Syauqi menyipit dan Ayu disana langsung gelagapan.

“AH ITU... jadi tuh kita hadiahnya—”

“Ngapain kamu klarifikasi ke dia? emang salah kalau kita hadiahnya berdua?”

“Bukan gitu, Kak Ibra—”

Ibra menarik paksa lengan Ayu menuju ruangan utama dimana tuan rumah berada disana, “Ayo kita kasih kadonya sekarang!” titahnya tanpa mempertimbangkan persetujuan Ayu karena tujuan pemuda itu satu, Syauqi harus menjauh dari Ayu.

Ia geram melihat Ayu dekat-dekat dengan pria lain.

Sekarang kehadiran Ibra dan Ayu cukup menggemparkan satu ruangan utama, karena pasalnya mereka semua tahu siapa Ibrahim, dan juga soal Ayu dan perihal hatinya. Semua mata tertuju ke arah dua insan itu, tapi Ibra tak peduli dengan semua tatapan dari seisi ruangan.

“Ini Kak Ibrahim El Fatih kan?” tanya Tyas, sang tuan rumah sekaligus sahabat Ayu di masa sekolahnya.

“Iya, disini saya mau kasih hadiah dari saya dan Ayu,” Ibra memberi isyarat ke Ayu agar menyerahkan kadonya itu.

“I-Iya, Yas, ini kado dari aku sama Kak Ibra. Selamat ya.”

Tyas mengernyit dahinya, “A-Apa tadi?! dari kamu sama Kak Ibra?!”

“Iyaa.”

“Hadiah berdua?”

Ibra menimpal, “Iya.”

Tyas dan tamu-tamu disana langsung tertawa cekikikkan, mengangguk-angguk kepalanya penuh arti seolah mereka paham dengan situasi kedua insan itu.

“Oke kalau gitu, makasih ya....” Tyas terus tersenyum cengir, begitu Ibra membalik badan pergi, cepat tangan Tyas menarik Ayu agar telinganya mendekat.

“Aku tunggu ya undangan kalian berdua.”

“IHHH TYAS!!”



“Kakak pulang duluan aja, aku masih mau ngobrol sama Tyas.”

Ibra cemberut begitu Ayu menolak ajakannya untuk pulang bersama. Yogi yang disana hanya menyaksikan percakapan Ibra dan Ayu, meskipun meringis dalam hati karena ia bagaikan sebuah figuran numpang lewat di momen keduanya.

“Kamu pulang naik apa?”

“Kereta.”

“Bahaya, ayo pulang aja sama saya.”

“Enggak kak, aku gapapa udah biasa kali naik kereta.”

“Kalau kamu lupa waktu gimana? tau-tau udah malem terus nekat gitu naik kereta? gak, bahaya, ayo pulang.”

“Enggak kak... ini masih siang paling sebelum maghrib aku udah pulang....”

“Ayudia, ayo pulang!”

“Ah gak mau....”

Yogi yang jengah langsung menarik tangan Ibra dari percakapannya yang takkan ada ujungnya, “Eh, semprul, lu ngapain ngatur-ngatur anak orang....”

“Ya abisnya Ayu gak mau pulang...!”

“Lu bukan lakinya anjrit! biarin aja sih dia mau main!” Yogi membisik lagi, “Ntar kalo dia kesel sama lu, jadinya ilfeel gimana? kelar lu!”

Ibra menegup salivanya bulat-bulat, ia melihat lagi wajah kecut Ayu karena terus dipaksa pulang oleh pemuda tersebut. Ucapan Yogi membuatnya gemetar.

“Ya-Yaudah!” Ibra menghampiri Ayu lagi, “Yaudah kalo gitu, tapi kalau udah sampai rumah kabarin saya ya? jangan lupa lho!”

Ayu terkekeh, “Iyaaa nanti aku kabarin.”

“Jangan lupa, kalo lupa awas kamu, saya marah.”

“Enggaaak, Kak Ibraaa....”

Lekukan senyum lembut Ibra terlukis di wajahnya, lalu pemuda itu melambaikan tangan pamit kepada Ayu dan di balas lambaiannya. Entah kenapa Ibra merasakan sesuatu di dadanya yang menghangat. Ada sesuatu yang membuatnya campur aduk, cemas, lega, di jadikan satu tapi yang jelas ada sesuatu yang berterbangan di bawah perutnya.

Yogi tersenyum miring, Oh gitu....

Ibra dan Ayu menyelesaikan meetingnya setelah 2 jam lamanya mereka duduk. Begitu banyak pekerjaan yang harus di selesaikan sebelum Ibra mengakhiri masa jabatannya, setelah keduanya keluar dari gedung, sesuai kesepakatan akhirnya Ibra dengan Ayu pergi untuk mencari kado.

Mall yang cukup luas ini membuat Ibra kewalahan mencari parkiran. Sejak tadi laki-laki itu tak berhenti menggerutu, sampai akhirnya ia menemukan tempat parkir yang strategis menuju pintu masuk.

“Aduh tempat segede ini saya gak tahu tempat kado bayi dimana...” keluh Ibra.

Ayu menepuk bahu sang pemuda, “Itu ada departement store lagi diskon besar-besaran!” sahut Ayu dengan girang lalu gadis mungil itu menarik lengan Ibra menuju department store yang ada disana. Pemuda itu tersontak, begitu banyak diskon besar-besaran dari baju hingga aksesoris yang ada. Ibra bukan tipe penggila belanja, membeli barang sesuai kebutuhan dan menerima semua harga yang ada meskipun angkanya fantastis, asalkan Ibra butuh.

Seperti kemarin membelikan baju Ayu yang harganya hampir satu juga, menurut Ibra itu biasa dan tak masalah selama ia bisa membayarnya. Ibra hanya suka berbelanja merchandise Boruto, itu saja.

“Lah baju-baju murah ya disini,” sontak Ibra sambil melihat-lihat price tag bajunya.

“Biasanya kalau lagi awal bulan diskon lagi gede, Pak, kan banyak karyawan yang baru dapat gajian.”

“Tapi ini murah banget,” Ibra mengambil satu jas coklat yang tergantung disana, “Saya beli jas yang sejenis harganya 2 juta, kok disini cuman 800 ribu?”

Ayu tertawa geli, “Tergantung bapak beli baju di merk apa, sama bahan kualitasnya. Kelihatan kok, baju yang bapak pakai semuanya mahal-mahal.”

Ibra memanggut-manggut kepalanya, akhirnya mereka berjalan lagi ke bagian Baby & Toddler. Ayu berlari kecil mengambil beberapa satu set kotak alat makan bayi yang biasa dijadikan kado untuk kerabat yang baru melahirkan. Ayu bergeming panjang, di ikuti Ibra yang ikut menganalisa kotak itu entah apa yang ingin ia telaah. Intinya biar gak kelihatan bloon amat depan Ayu.

“Orang-orang pasti udah banyak kasih hadiah ini,” gumam Ayu, “Apa mendingan kita kasih satu set baju bayi gitu ya?”

Ibra mengangkat kedua bahunya, “Saya ngikut aja.”

Ayu mengambil langkah duluan di depan Ibra. Lelaki bersurai coklat legam itu menatap lemat-lemat punggung mungil Ayu, kehadirannya yang selalu ada setiap Ibra butuh membuat ia sedikit merasakan kehangatan akan hadirnya sosok Ayudistya Ningrum. Jantungnya tak berdegup kencang sebagaimana ia rasakan ketika bersama Rose, tapi ia merasa aman. Jalan bersanding seperti ini membuat hatinya nyaman, bagaikan mentari pagi yang hangat namun bersamaan angin menenangkan ikut memberikan kesejukan. Belum lagi ia selalu terhenyak tiap kali dirinya mencium aroma manis marshmallow dari Ayu.

Keanehan apa lagi yang Ibra rasakan?

“Permisi, Mbak, saya mau lihat baju-baju untuk bayi ya.”

“Boleh, Ibu, untuk usia berapa?”

“Baru lahir sih, Mbak, ini untuk kado kerabat.”

Pegawai sales yang berjaga langsung mengantarkan kedua insan itu ke sebuah lorong yang berisi baju-baju bayi.

“Kita lagi ada promo khusus, bu, untuk merk DreamKids ini bisa dapat potongan 15% dengan minimal total belanja 500 ribu.”

Ayu mengerut dahinya, “Merk DreamKids aja, mbak? yang lain gak ada?”

“Gak ada, kak, hanya merek itu aja.”

Gadis itu membuka price tag dan matanya melotot begitu angka yang terpampang disana tak sesuai harapan. Ibra membuka price tagnya.

“Kenapa? kita beli aja ini mumpung lagi promo,” ucap Ibra memberi ide.

Ayu mendekati telinga Ibra, “I-Itu, Pak, harga satuannya aja 300 ribu sedangkan saya gak enak kalau beli satuan doang untuk kado. Kalau mau beli satu set total-totalnya bisa sejuta.”

Ibra menghela nafas panjang, “Ribet banget sih cewek, udah mbak, beli aja semua satu set saya beli yang untuk cewek sama cowok 4 pasang ya.”

Ayu menganga lebar-lebar, “E-Eh kok banyak-banyak banget, Pak?! sayang uangnya ih!”

“Lebih sayang otak saya harus mikir A B C perkara mau kasih kado doang, entar biar orangnya bisa milih sendiri mau yang mana!”

“Tapi, Pak....”

“Punya kamu juga saya yang bayarin, jadi gak usah khawatir kamu ngeluarin uang banyak.”

“Eh kok gitu, Pak?! Jangan ah—”

“Itu kado dari kita berdua.”

Ayu tak berkutik lagi, langkah Ibra yang cepat menuju kasir lalu ia melakukan transaksinya. Gadis itu mengejar Ibra.

“Kak Ibraa, ini kadonya serius... bilangnya dari kita berdua?”

“Iya,” Ibra mengambil pulpennya, “Kartu ucapannya biar saya yang tulis.”

Dengan telaten lelaki itu menuliskan kalimat singkat untuk kartu ucapannya. Sedangkan Ayu masih diam mematung.

Selamat atas kelahiran bayinya! Semoga apa yang di doakan oleh orang tuanya bisa tercapai dan bayi yang lahir kelak menjadi anak yang membanggakan!

From : Ibrahim & Ayudia



Setelah selesai berburu kado, perut Ibra sudah tak tahan dengan demo para cacing yang terus menggema. Mereka makan di sebuah restoran lokal karena seperti biasa, Ibra sangat menginginkan sop iga bakar saat ini.

“Kakak kebanyakan makan daging apa gak takut kolestrol?” tanya Ayu sambil tertawa geli.

“Mumpung masih muda, puas-puasin makan yang 'beracun' hahaha....” jawab Ibra nyeleneh, “Abis ini saya mau ke toko kue sebentar deh, mau makan dark chocolate cake rasanya.”

Seketika ia jadi teringat lagi, dark chocolate cake adalah makanan favorit dari mendiang Rose, wanita pujaan hatinya dulu. Ia menghempas senyum kecilnya. Ah... gue lagi kangen sama dia hahaha....

“Silahkan, pak, bu....”

Akhirnya hidangan yang ditunggu sudah siap di santap, Ibra menyambut makanannya dengan girang bak anak kecil. Ayu sudah mulai biasa dengan sisi lain dari Ibra yang terkadang mengejutkan, dari sosok Ibra yang tegas berwibawa berubah menjadi bocah tengil yang manja.

“Dagingnya dikit banget deh, gak sesuai harga,” gumam Ibra sambil menyeruput supnya, “Tajem banget rempahnya, mendingan sop iga bakarnya Ayu kemana-mana.”

Ayu tersontak, “Kenapa, kak?”

“Ini sopnya, rasanya kurang pas saya gak suka,” Tanpa pikir, Ibra menyodorkan sendok berisi supnya ke Ayu membuat gadis itu praktis mundur. Ibra langsung tersadar akan tindakannya, “E-Eh maaf, Ayu, maksud saya ini saya mau nunjukin supnya gak enak...”

Ayu lagi-lagi hanya bisa tertawa geli, saat ini Ibra terlihat sangat menggemaskan dengan seribu tingkahnya.

“Kenapa ya... setiap saya bareng kamu tuh, saya jadi lepas kendali untuk nunjukkin sisi asli saya,” Ibra menutup wajahnya malu, “Kadang-kadang suka malu kalau di pikir-pikir. Kamu kan sekretaris saya.”

“Gapapa kok, kak, mungkin karena kita udah kerja lumayan lama jadi merasa nyaman untuk nunjukkin sisi asli masing-masing.”

“Kalo kamu sendiri gimana?”

Ayu mendelik, “Hm?”

“Kamu... kalo sama saya nunjukkin sisi aslinya gak?”

Pertanyaan itu tak bisa Ayu jawab di detik itu juga. Ibra masih menatapnya penuh harap, tapi Ayu tak bias membalas tatapan itu.

“Um, Kak, sopnya keburu dingin nanti makin tajem lho rasanya,” Ayu hanya bisa mengalihkan topik dan melahap sotonya dengan canggung. Ibra tersontak lalu cepat melahap sampai habis makanannya.



Akhirnya kedua insan itu menyudahi kegiatan mereka di mall besar tersebut. Keduanya menyandar di bangkunya masing-masing sambil menghela nafas panjang—meleburkan rasa lelah setelah berkeliling mall sepanjang hari.

“Kapan kamu kasih kadonya?” tanya Ibra.

“Acaranya minggu depan sih,” jawab Ayu.

“Oh oke kalau gitu, perlu saya ikut datang juga gak?”

Ayu menganga gagu, “A-A-Ah.... itu... terserah kakak....”

“Gak usah lah ya? saya gak kenal, saya titip salam aja lewat kamu.”

Ayu mengangguk gugup, hampir saja akan ada momen kebersamaannya lagi yang bisa membuat jantungnya tidak sehat. Hari ini cukup banyak momen mendebarkan antara keduanya, rasanya Ayu ingin lari secepatnya dari situasi ini namun tentu tak mungkin ia melakukan demikian.

Kini sang gadis melirik wajah pemuda yang tengah sibuk menyetir. Fitur wajah sempurnanya dan aroma citrus yang sejak tadi mencuat dari tubuhnya, pesona Ibra memang tak main-main.

Wanita mana yang akhirnya beruntung menggaet hati sang pangeran impian?

Bahkan Ayu sendiri sudah tereleminasi sejak awal. Akankah ada keajaiban yang bisa mewujudkan cinta karamnya?

Ibra memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, tak sengaja perhatiannya teralih ke motor scoopy merah yang sudah terparkir di sampingnya. Suara pekik ketawa Mina yang menggelegar mengejutkan Ibra, Girang amat si Mina kedatangan tamu.

Begitu Ibra masuk ke rumahnya, sosok kedua perempuan cantik yang saling bertukar canda tawa menyambut kedatangannya.

“Eh adikku tersayang baru pulang....” sambut Mina dengan senyuman cengirnya, di balas Ibra dengan mata yang membola malas. Disana ada Ayu yang memberikan senyum simpul, ikut menyambut kedatangan Ibra.

“Abi sama umi kemana?” tanya Ibra.

“Abi lagi kontrol ke rumah sakit jadi umi yang nemenin, makanya aku bosen dirumah sendirian,” jawab Mina dengan nada manja.

“Sabar dikit kan gua gak pulang malam.”

“Ya aku bosen lihat muka kamu mulu, mau ketemu muka orang baru.”

Ibra geleng-geleng, lalu matanya teralihkan ke meja tamunya yang kosong.

“Oh, Ayu belum di suguhi apa-apa?” cepat Ibra menggulung lengan kemejanya yang mulai lusuh, “Kamu mau minum apa?”

Mina bangun dari duduknya, “Aduh aku lupa tadi nyuguhin, keasikan ngobrol sama Ayu.”

“Gak usah, biar gue aja yang bikin minumannya,” Ibra menoleh lagi ke Ayu, “Kopi, teh, atau coklat hangat?”

“Gak usah repot-repot, Kak, aku kan cuman—”

“Oke coklat hangat aja ya, kamu duduk aja disitu temenin Mina.”

“Kak Ibra gak usah ih! Bentar lagi aku pulang—”

Ibra mengernyit dahinya, “Siapa suruh kamu cepet pulang? ini masih jam setengah 6 belum jam 7, temenin kakak saya dulu disini. Nanti kamu shalat maghrib sekalian makan disini aja.”

Ayu menganga, tak bisa lagi menolak apa yang di titah oleh laki-laki itu. Mau tak mau, akhirnya ia mengikuti perintah Ibra untuk menetap disana lebih lama.

Sekarang giliran pemuda itu berurusan dengan dapur, ia membuka satu toples yang berisi bubuk coklat lalu menuangkannya di cangkir klasik berwarna putih keemasan itu. Ia juga membuka kulkas, melihat bahan makanan apa yang bisa ia ciptakan jadi hidangan lezat.

Oh ya, Ibra memiliki bakat terpendam soal dunia memasak tapi ia sembunyikan karena masih ingin bermanja-manja dengan masakan ibunda tercinta.

“Kaaak! Tadi umi masak gakk??” sahut Ibra dari dapurnya.

“Tadi cuman masak sayur labu buat aku, kamu bikin aja sendiri!” balas Mina lalu ia membisik lagi ke Ayu, “Adek aku tuh sebenernya jago masak lho, Yu, tapi ketutupan malesnya aja yang edan. Dia tuh gak kayak yang kelihatan di kantor sok-sokan galak, tegas, berwibawa gitu tapi kalau lagi mode manja beuuhh... gleyotan seharian melukin umi...!”

“AMINAH GUE DENGER YA!!!”

Mina menutup mulutnya rapat-rapat, “Dih kuping panjang dia.”

Gelak tawa Ayu pecah melihat tingkah dua insan kakak-adik ini.



“Maaf ya, saya cuman bisa masak ini doang.”

Sajian roti lapis berisi daging sapi tebal yang terpanggang sempurna, lalu telur matang yang tampak rapih bak buatan chef bintang lima membuat Ayu mendecak kagum. Masakannya terlihat begitu berkelas.

“Kak, ini kelihatannya enak banget...” ucap Ayu terkagum-kagum.

“Duduk dulu, terus cobain makanannya baru ngomong enak enggaknya hahaha....”

Ayu mengikuti pinta dari Ibra, lalu ia mengambil pisau dan garpu yang ada di sisi piringnya. Ia memakan satu potongan roti yang tersaji, dan matanya seketika berbinar.

“Hmm... ini enak banget!” decak Ayu.

Ibra tersenyum penuh kemenangan, “Hoho sudah saya duga masakannya gak gagal, yaudah habiskan ya!” dadanya lega begitu tamunya puas dengan makanan yang ia buat. Ibra tanpa ragu juga melahap rotinya dengan tangan, sedangkan Mina disana yang enggan untuk makan hanya terkekeh geli melihat keduanya sedang makan dengan lahap. Mina memandang lemat wajah adiknya yang semakin berisi pasca keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah, perlahan kamu sudah mulai kembali lagi, Ibra....

“Kak Ibra kalau jago masak gini kenapa gak coba bikin sop iga bakar sendiri aja?”

Yang ditanya mencibir, “Ribet, saya males.”

Mina menyanggah, “Tuhkan, malesnya udah gak ketolong banget, Ayu!”

Ayu tertawa terbahak-bahak, “Tapi emang masaknya agak ribet sih, kalau bisa pesen aja kenapa harus masak?”

Ibra mengacungkan jempol setuju, “Beuh saya setuju banget sama kamu, pemikiran yang cerdas!”

Ketiganya berbagi cerita dengan gelak tawa membahagiakan.



“Udah adzan maghrib, saya shalat di masjid ya, kalian jama'ah aja di ruang musholla,” Ibra menyodorkan sepasang mukena yang ada di dekatnya ke Ayu, “Nih pake.”

“Oh iya, makasih, Kak.”

Mina mengambil posisi duduknya tegap sebelum memulai takbiratul ihram. Ayu yang posisinya menjadi imam langsung mengangkat kedua tangannya.

“Allahu Akbar.”

Flashback

Ibra di masa remajanya, pada saat itu ia tengah shalat dhuha sendirian karena yang seharusnya ia ikut bersama-sama di masjid sebelum memulai pelajaran namun karena kali ini ia terlambat masuk kelas, terpaksa ia lakukan itu sendiri.

Ternyata Ibra tak sendiri, seorang gadis mungil yang berlari tergopoh-gopoh dengan tas ransel yang ia jinjing—tampaknya gadis itu memiliki nasib yang sama dengan Ibra.

“Allahu akbar.”

Suara Ibra yang menggema membuat sang gadis itu tersontak. Matanya terbelelak begitu menyadari siapa pemuda di balik punggung luasnya.

“Eh, itu Kak Ibra?” sontaknya dengan nada membisik, jantungnya seketika berdegup kencang tak menentu. Pin nama Ayudistya Ningrum itu menahan jeritan dalam hatinya, bagaimana bisa ia saat ini berada di situasi yang sama dengan laki-laki pujaan hatinya?

Ayu terdiam sejenak menatap punggung Ibra yang masih bersembahyang, benaknya membayangkan bila suatu saat nanti jika takdir merestui, ketika Ibra berdiri di depannya sebagai imam baginya dan juga—

“Ayuu!” sahutan kawannya membuyarkan semua imajinasi Ayu. Gadis itu bergedik, menatap tajam kawannya namun tak di hiraukan, malah kawannya itu menoleh ke depan—arah shaf laki-laki dan menyadari kehadiran Ibra.

“OH ADA KAK IBRA YA???”

Yang disebut namanya menoleh ke sumber suara, cepat-cepat Ayu lari menuju tempat wudhu seraya tangannya menyeret kawannya yang bermulut ember.

“Ih kamu mah kebiasaan, Tyas!”

“Ya aku kelepasan, Ayu....”

“Orangnya ampe nengok gitu ih!!”

Kawan yang dipanggil Tyas tersenyum penuh arti, “Ciee tadi kamu bayangin apa tentang Kak Ibra?”

Ayu menggeleng cepat, ia memfokuskan tujuannya untuk melaksanakan shalat dhuha.

Begitu shalat selesai, Ayu bersalaman dengan Mina. Matanya tertuju ke seluruh ruangan musholla sambil dadanya terhenyak.

Gimana ya, rasanya di imamin shalat sama Kak Ibra....



“Kamu hati-hati di jalan, jangan lewat gang kecil kalau udah malem, bahaya,” tutur pemuda itu yang baru saja pulang dari masjid—melepas Ayu yang akan pulang ke rumahnya.

“Iya, Kak Ibra, Kak Mina, aku pamit ya... Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, dadaah Ayu!” sahut Mina dengan riang. Ibra masih diam di tempatnya, memastikan Ayu aman sampai keluar dari blok rumahnya. Sekarang lelaki itu memicing matanya tajam ke sang kakak.

“Apa lo lihat-lihat gue?!” desis Mina jengkel.

“Lain kali gak usah ketemu Ayu kalau cuman buat gibahin orang, terutama gibahin gue!”

Mina menjulurkan lidahnya, “Emang aku ngegibahin kamu? kan aku nyindir kamu langsung wleek!”

Ibra menarik nafasnya dalam-dalam, “Ya jangan ngejelek-jelekin gue juga dong, gue kan bosnya di kantor.”

Mina tak menggubris, malah bersenandung ria sambil masuk ke rumahnya dengan telinga yang ia tutup rapat-rapat.

Bukan Ibra-Mina kalau seharian tanpa ada keributan.