Bandung, Part I
Canggung.
Satu kalimat yang menggambarkan suasana mobil Camry hitam yang dibawa Gama dan tiga penumpang di dalamnya. Ghaza menatap lalu lalang jalanan dari jendela sedangkan Maya terus memerhatikan gerak-gerik Gama dengan Chelsea. Mereka tampak serasi, entah janjian atau tidak kini pakaian yang dipakai sepasang insan itu senada warna putih, saat ini pun Chelsea seolah menjadi istri sigap membacakan Google Maps untuk suaminya. Mata gadis lajang itu berbinar-binar, seperti menyaksikan drama secara langsung.
“Gam, nanti dua ratus meter ke depan belok kanan ya di gang satunya lagi,” pinta Chelsea. Gadis itu memang memiliki satu keahlian ajaib yang membuat Gama takjub, yaitu membaca rute di Google Maps dengan tepat. Biasanya perempuan itu identik dengan buta arah (meskipun tidak semua, tapi kebanyakan. kalau kalian perempuan yang memiliki keahlian membaca maps berbahagialah). Awalnya Gama meminta Ghaza yang membacakan rutenya tapi Ghaza mempromosikan Chelsea sebagai pengarah rute yang tepat.
“Di depan macet kayaknya ada perbaikan jalan,” lanjut Chelsea, Gama menghempas tawa kecilnya lalu mengelus pucuk kepala istrinya gemas. Chelsea hendak menjerit, tapi karena saat ini ada Maya gadis itu memilih diam. Ia menelan bulat-bulat perasaan malunya. Gama sialaaan!
“Maya nih... temen sekelasnya Ghaza sama Chelsea?” ucap Gama membuka topik pembicaraan.
“Iya kak,” balas Maya kikuk.
“Gue ngajak Maya soalnya untuk project akhir gue, Bang, kita mau nge-shoot view yang ada di Bandung Kota,” timpal Ghaza.
Gama menjawab oh ria, “Kalau mau shoot besok aja, ini kita vilanya daerah KBB.”
Maya mengangkat dua alisnya, “KBB tuh apa, Za?” bisik gadis itu.
“Kabupaten Bandung Barat,” balas Ghaza.
Maya memanggut paham, tangannya mencolek Chelsea yang masih berkutat dengan rute di Google Maps.
“Chel, emang KBB ke Bandung Kota jauh ya?” Maya sengaja mengajak temannya bicara karena sedari tadi Chelsea tampak lebih diam dari biasanya.
“Lumayan kalau dari maps.”
Gama melirik istrinya, seperti yang diarahkan Chelsea kalau jalanan saat ini lebih padat dari biasanya. Gama menghentikan mobilnya, ia kembali memandang fitur wajah gadisnya dari samping. Hari ini Chelsea tampak lebih modis, rambut panjangnya ia catok ikal menambah kecantikannya dua kali lipat. Polesan peach makeup yang pas di wajah mungilnya, dan satu aksesoris wajib Chelsea yang selalu terpasang. Jepit rambut merah jambunya.
“Chelsea,” panggil Gama seraya tangannya meraih anak rambut gadis disampingnya. Chelsea mendelik, namun terpaku dengan sentuhan lembut Gama yang menyisipkan rambutnya di telinga. “Cantik banget hari ini.”
Maya yang menyaksikan dari belakang terkesiap kaget, sedangkan Ghaza menahan tawa gelinya. Kedua mata Chelsea terbelelak, dan lagi-lagi gadis itu dibuat salah tingkah. Ini laki bisa gak sih jangan bertingkah di depan Maya?!
“Chel, telinga lo merah banget tuh,” cicir Ghaza dari belakang.
“BERISIK!!!!”
“Gama... ini siapa?”
Kedatangan Gama dan Chelsea menjadi kejutan besar bagi keluarga besar Arkananta. Setelah bertahun-tahun tak bersua lalu kembali hadir menggandeng seorang perempuan, tak ada yang salah karena memang usia Gama sudah sangat pantas membawa pendamping.
“Ini istri saya, Chelsea.”
Kabar itu yang membuat orang bertanya-tanya. Semua sontak bersahutan kaget bahkan reaksinya bisa dikatakan berlebihan sampai terjungkal. Orang tua Gama yang sudah sampai lebih dulu meminta putra sulungnya untuk bicara di depan terkait pernikahannya, seperti yang sudah di rencanakan.
“Halo selamat siang semuanya, lama gak jumpa ya, hahaha...!” Gama melanjutkan kalimatnya, “Papa sama Mama udah ngomong kan ya soal pernikahan saya tapi di sini saya mau mengumumkan sendiri bahwa kedatangan saya saat ini sudah membawa pendamping hidup, yaitu Chelsea Audrey Wijaya. Sayang, sini!” Gama meminta Chelsea untuk berdiri di sisinya, gadis itu gelagapan namun perlahan ia mendekati Gama.
Dari kejauhan sana, ada pandangan sendu yang mengikuti tiap langkah pasangan muda itu.
“Chel?” Suara lirihnya mengejutkan gadis yang dipanggil, ia menoleh ke sumber suara. Hatinya teriris, bagaimana Chelsea memandang sosok lelaki yang pernah bersinggah hati kini menatapnya dengan luka. “Maksud kamu udah nikah... sama Gama?”
Chelsea tak menjawab, pertanyaan itu tak sanggup ia beri jawaban pastinya.
“Chel... kamu—”
Ghaza menarik bahu Abrar, memberikan jarak lebih agar tak mendekati kakak iparnya yang masih diam membeku. Kedua mata Ghaza berubah tajam dan menusuk pandangan nanar Abrar.
“Jaga jarak.” desis Ghaza.
Abrar tak ada pilihan lagi selain mengambil dua langkah ke belakang. Dulu, sosok Chelsea yang menjadi tempat pulangnya sudah tak ada lagi. Di saat ia diberi banyak pilihan soal perempuan, tak ada yang bisa menggantikan luas hatinya Chelsea.
Sepasang mata cantik Chelsea yang ia rindukan, membuat lelaki itu memutar ulang memorinya.
Masih ingatkah Abrar ketika di malam itu, hujan mengguyur deras namun Chelsea tetap setia menunggu kedatangannya di halte sendirian sampai jarum jam menunjuk pukul sembilan...
Tapi Abrar malah membiarkannya, dan berpikir bahwa Ghaza pasti akan datang menjemputnya.
Masih ingatkah Abrar, ketika Chelsea terus mempertanyakan kejelasan dalam hubungan yang mereka jalani selama dua tahun tapi ditepis keras oleh lelaki itu sendiri? Ia membuat dalih bahwa status itu tak ada gunanya selama masih memegang komitmen yang sudah mereka buat...
Tapi Abrar sendiri yang sering menyalahi komitmen keduanya, sampai Chelsea lelah untuk mempertanyakannya lagi.
Masih ingatkah Abrar, ketika teman-temannya bertanya satu hal namun dibalik ini ternyata semesta sudah membuat skenario sendiri untuk kelanjutan hubungannya dengan Chelsea?
“Abrar, kalau Chelsea diambil sama cowok yang lebih baik memperlakukan dia apa lo gak nyesel nanti?
Kamu memandang remeh soal itu, Abrar.
“Gak bakal lah, kayak cewek cuman satu aja. Justru bagus kalo ada cowok yang lebih baik dari gue buat Chelsea.”
Sekarang bagaimana rasanya? Dadamu seperti dirujam seribu tombak sampai sulit bernapas, bukan? Air mata yang selama ini tertahan mulai kumpul di pelupuk matamu. Sekali kedip saja, pipimu akan basah. Kerongkonganmu hendak menggaungkan nama Chelsea agar dia kembali ke pelukanmu tapi sayang, dia sudah mengikat janji dengan pria lain yang pelukannya jauh lebih hangat dibanding kamu, Abrar.
“Maaf,” Chelsea mengucap kata itu dengan lirih di hadapan Abrar.
Tak lama sesosok pemuda lebih tua darinya datang dengan senyuman hangat untuk Chelsea. Dada Abrar kembali tersentak, belum lagi melihat bagaimana jemari gadis cantik di hadapannya terkait dengan hangat, dan Chelsea tertawa pelan. Apakah Chelsea benar-benar sudah bahagia bersama Gama?
Dari kejauhan Ghaza memerhatikan bagaimana suasana sendu yang ada di sana. Sepanjang ia mengenal Abrar, tak pernah tatapan penuh cinta itu hadir ketika menatap sahabatnya di masa lalu, ketika mereka masih menjalin kasih. Ghaza geram, tangannya mengepal kuat dan hampir saja terhasut benaknya untuk menghajar lelaki bermata sipit itu habis-habisan di acara keluarga ini.
“Ghaza?”
Suara lembut itu hadir dari seorang gadis berambut sebahu yang membawakannya minuman.
“Itu Chelsea, Kak Gama sama siapa? Kok kayaknya serius banget.”
Ghaza hanya terdiam, lalu melengos pergi.
“Biarin aja, bukan urusan kita.”
Maya terkejut bukan main.
“Kalian sudah menikah berapa lama?” seperti biasa, para ibu-ibu langsung mengerumuni pasangan muda itu untuk mengintrogasi banyak hal terkait pernikahan mereka yang (super) dadakan.
“Belum lama ini, Tante, kurang lebih sudah jalan tiga minggu pernikahan kita,” ujar Gama dengan begitu sabar.
“Kalian ketemunya dimana? Di Amerika juga?”
Chelsea menyanggah, “Ah enggak, Tante, saya—”
“Chelsea tetangga saya di Cikarang, Tante, dan kebetulan kita sering main bareng juga sama Ghaza jadi disitu awal mula saya jatuh cinta sama... istri saya,” ucap Gama dengan senyum pasinya, ia merangkul lagi bahu Chelsea dengan erat hingga para tantenya menjerit gemas. Rasanya Chelsea ingin terbahak-bahak detik ini juga, kebohongan yang begitu manis di dengar dari bibir Gama. Dasar laki-laki.
“Terus nikahannya gimana? Kenapa gak undang saudara?”
“Ah kebetulan kita memang belum adain resepsinya, Tante—”
“Kalau resepsi mah ya, enakan di Bandung Kota aja! Nanti kita semua bisa bantu!”
“Eh enakan kalau di deket puncaknya sekalian liburan, Dago gitu!”
Tak ada lagi yang bisa menyela kalau ibu-ibu sudah meributkan soal persiapan pernikahan. Gama dan Chelsea pun hanya bisa diam. Semua perhatian memang tertuju kepada Chelsea, sebagai anggota keluarga baru Arkananta. Tak sedikit ada yang berbisik mengenai asal-usul gadis itu, atau pernikahan mereka yang dadakan ini terkesan menyembunyikan sesuatu. Gadis itu hanya bisa diam mematung, dan percuma mengharapkan Ghaza dan Maya yang sedang asyik berbincang mengenai project mereka. Tak ada celah untuk Chelsea bergabung, yang ada nanti jadi nyamuk di antara keduanya.
Di luar tak sengaja Chelsea menangkap sosok Abrar yang sedang duduk menyendiri dengan sebatang rokok yang ia hisap. Punggung luasnya tampak lemah, bukan lagi Abrar gagah yang biasa ia kenal.
Abrar... masa sih dia galau karena gue? batin gadis itu. Ia menyusul ke tempat Abrar berada, pemuda bermata sipit itu terkejut dengan kehadiran Chelsea.
“Eh, Chel...” suara puraunya menyambut kehadiran gadis cantik itu, ya, Chelsea tampil sangat cantik hari ini, sayangnya bukan lagi untuk dirinya.
“Gimana, pengalaman pertama dateng ke acara keluarga Arkananta?” tanya Abrar basa-basi.
“Uhm... masih bingung, tapi semuanya ramah sih,” jawab Chelsea.
“Semoga betah ya, kebetulan ini keluarga hobi banget bikin acara bisa kali sebulan sekali ada aja agenda keluarga, kalau misalnya gak hadir tuh ya kamu bisa ditanya seribu kali alasan kenapa gak hadir di acara itu,” Abrar berceloteh seolah tak ada apa-apa, padahal kini hatinya masih teriris-iris setiap ia memandang mata Chelsea.
“Yaa gue sih ngikut Gama aja, kan gue istrinya,” balas Chelsea, dan fakta bahwa Chelsea adalah istrinya Gama menohok tepat di jantung pemuda itu.
“Chel, aku boleh tanya sesuatu?” Abrar mematikan puntung rokoknya, “Kenapa... Gama?”
Kenapa Gama? Kalau bukan karena kecelakaan, mungkin gak akan ada cerita kalau Chelsea ini istrinya Gama. Harusnya kalimat itu yang menjadi jawaban pasti untuk pertanyaan Abrar, tapi Chelsea memilih jawaban lain...
“Karena dia laki-laki yang memperlakukan gue lebih baik dari lo, Abrar.”
Abrar harus menelan bulat-bulat jawaban itu, tapi ia masih tidak puas.
“Do you love him?”
Cinta? Apa cinta adalah jawaban yang Abrar inginkan?
“Yup, i love him, so much.”
Kebohongan terbesar dalam hidup Chelsea, adalah mengatakan bahwa dia mencintai laki-laki lain dibanding Abrar. Kalau semesta izinkan, rasanya Chelsea ingin memutar balik waktu lalu menarik semua kata-katanya dan memilih untuk diam. Tapi kalau diam... juga tak akan membuat Abrar untuk berhenti. Pasalnya, sudah ribuan kesempatan yang Chelsea berikan untuk Abrar tapi laki-laki itu sendiri yang menyia-nyiakan sampai semesta tak lagi merestui keduanya untuk bersatu.
Abrar tak berhak untuk marah, dan Chelsea tak berhak untuk mempertahankannya lagi.
“Oke kalau gitu, selamat berbahagia kalian.”
Abrar beranjak dari tempatnya meninggalkan Chelsea sendirian di sana. Sekarang gilirannya Chelsea untuk merenungkan semua, cerita yang belum usai dan terpaksa harus di tutup rapat tanpa ada kata penutup.
Lagipula sejak awal pun tak ada pembuka antara mereka, untuk di tutup rapat pun tak ada masalah.
Tapi kenapa Chelsea menangis?