shinelyght

“ANGEELLLL!!!!”

“ANELAAAAAA!!!!!”

Gue memeluk erat tubuh ringkuh sahabat gue yang udah lama tak berjumpa, dengan perutnya yang super besar itu dia susah payah meraih punggung gue. Peluhnya sedikit menetes dari sisi pelipisnya, Angel tersenyum tegar di hadapan gue.

“Ya ampuuunn... kayaknya Anela setelah nikah jadi makin chubby pipinya!!”

“IHH KOK GITUU?? BERARTI GUE HARUS DIET DONGG!!”

“Jangan.”

Mas Haidar menyergah percakapan kami cepat.

“Kelihatan lebih sehat, gak perlu diet segala. Saya suka diri kamu yang sekarang.”

Wajah gue bersemu merah, Angel cuman ketawa cekikikan karena melihat reaksi gue mendengar pujian itu keluar dari mulut Mas Haidar.

Gue mencibir malu sambil menarik tangan Angel menuju kamarnya.

“Hah... untung aja gue bawa Angel kesini ya, dia bahagia banget setelah ketemu sahabatnya.” — Adit

“Iya, Maryam juga. Bagaimanapun juga kayaknya mereka kangen masa-masa mudanya...” — Haidar

“Dar, ntar temenin gue ke Rumah Sakit untuk lahirannya Angel ya.” — Adit

“Nanti dulu aja, lo baru dateng kesini jauh-jauh, mending istirahat dulu aja sana di kamar tamu.” — Haidar

“Angel dimana?” — Adit

“Kamar Aisyah.” — Haidar

“Oh...” — Adit

“Kenapa? Kecewa? Sabar dikit, lamarannya aja belum di jawab.” — Haidar

“Astagfirullah enggak, Dar, lu mah gitu kebiasaan mikir macem-macem!” — Adit

“Muka gak bisa dibohongin soalnya, hahahaha, udah sana ke kamar! Istirahat yang cukup sebelum urus yang lain!” — Haidar

“Iya bawel!” — Adit


Setelah kami menyelesaikan ibadah Maghrib kami, tepatnya pukul setengah 7, gue menghidangkan makan malam kami di atas meja dengan rapih. Menampilkan berbagai menu ala eropa andalan gue. Senyuman sumringah gue muncul begitu melihat Mas Haidar menyendok banyak spaghetti buatan gue.

“Woy, inget orang juga lah kalo ambil jatah!“protes Kak Adit

“Itu masih banyak kok, sewot amat sih”balas Mas Haidar sambil melahap satu suapan spaghettinya

“Ckckck, ternyata setelah nikah nafsu makan lo makin gede ya, Dar.”

“Iya lah, makanya ntar lo juga ngerasain sendiri kalo udah nikah.”

Kak Adit seolah skakmat, dia sekelibat melirik Angel dan suasana mereka jadi canggung. Gue menyikut lengan suami gue, ternyata Mas Haidar kalo sama temennya rada jail ya -_– kan kasihan Kak Adit sama Angel makannya jadi kaku gitu.

“Makan aja yang banyak, aku bikin yang banyak kok!“sahut gue berusaha mencairkan suasana

Angel susah payah menyendok satu suapannya itu, gue lihat sejak tadi dia memejam sebelah matanya seolah kesakitan sambil memegang perut besarnya.

“Angel? Kenapa? Ada yang sakit?“Kak Adit yang peka langsung menanyakan kondisi Angel

“Gak, Mas, Gapapa... biasalah kalo perut sakit gini... hehe...“jawab Angel

“Butuh sesuatu? Kamu ada obat gak?”

“Gak, Mas, sudah gapapa. Lanjut aja makannya...”

Gue melihat sikap Angel yang terlihat sangat lembut dengan Kak Adit, beneran, dia beda banget dari Angel yang dulu gue kenal. Dia benar-benar udah berubah.

Angel juga sekarang terlihat sangat berjuang keras dengan bayi yang ia kandung sekarang, padahal... ayah dari bayi itu sudah mencampakkannya tapi Angel dengan bijaksananya memutuskan untuk membesarkan bayi itu...

Semoga saja, Allah benar menurunkan sosok Kak Adit untuk kebahagiaan Angel dan bayinya.

“Maryam?”

Lamunan gue buyar begitu Mas Haidar memanggil nama gue,

“Kenapa melamun? Apa yang kamu pikirin?”

Gue menggeleng cepat,

“Enggak, Mas, gapapa... cuman khawatir aja sama Angel, hehehe...“gue menoleh ke Angel, “Angel, kalo butuh apa-apa sekarang ada gue jadi panggil gue aja ya!”

Angel mengangguk tersenyum, “Iya, Nel, makasih ya...”

Pertemuan gue dengan Angel saat ini... seolah bermakna dalam bagi gue, karena gue pun kelak, akan berada di posisi Angel...

Pagi-pagi sekali pukul 6 tepat, Adit dengan Angel sudah duduk di kursi tunggu dengan urusannya masing-masing. Tadinya Fathiyyah dengan Ibunya ingin ikut ke Jakarta, tapi Fathiyyah harus mengerjakan ujian dulu dan menyusul keesokan harinya.

“Mau minum?“tawar Adit dengan air kelapa yang ada di tangannya

“Ah makasih, Mas...”

“Sebentar, biar saya yang bukain.”

Perlakuan Adit yang begitu lembut dan penuh kasih sayang terhadapnya membuat hati wanita itu menghangat. Wajah datar dinginnya itu tak seperti dengan perlakuannya.

Wanita mana yang tak meleleh?

“Mas Adit...”

“Hm?”

“Mas Adit punya pacar?”

Adit seketika tersedak-sedak dengan minumannya, Pertanyaan macem apa itu?!

“Maksudnya punya calon gak gitu?! Ya... orang kayak Mas Adit kayaknya gak mungkin pacaran tapi misalnya taaruf gitu sama siapa??”

Secercah harapan kecil ada di dalam benak Angel...

“Ada”

Jawaban lugas Adit tlah melenyapkan harapan kecil wanita itu, Tentu saja, Angel, Mas Adit berhak kok memiliki seorang wanita di hatinya. Kamu mikir apa sih...

“Terus gimana calonnya, Mas? Harusnya ikut aja sama kita ke Jakarta.”

“Calonnya orang Jakarta kok.”

Seperti ditusuk dua tombak, sebentar lagi Angel akan melihat sebuah fakta menyakitkan dari kehidupannya Mas Adit...

“Oh gitu... di kirain orang Sleman juga kayak Mas Adit.”

“Keluarga saya di Jakarta semua sekarang, saya di Sleman karena ada pekerjaan aja sekalian ngurus pondok.”

“Mas Adit sama Kak Haidar tuh saudaraan ya?”

“Saudara seiman, tapi rasanya kayak saudara kandung. Saya di besarkan juga sama keluarganya Haidar, jadi kita udah kayak kakak-adik.”

“Oh iya... pantesan sikap kalian sama...”

Angel tertawa geli begitu Adit mengerut satu alisnya heran.

“Kalian tuh sama-sama kayak cuek, dingin tapi ternyata hati kalian hangat. Perlakuan kalian juga sangat lembut, makanya Anela beruntung banget bisa dapetin Kak Haidar...” “Begitupun calonnya Mas Adit, dia adalah wanita yang sangat beruntung bisa memiliki hati Mas Adit.”

Adit menoleh sejenak menatap wajah Angel yang memasang ekspresi nanar. Nada lirih wanita di sampingnya itu tersirat memberi sedikit harapan sehingga mampu menyentuh hatinya...

“Memang, seharusnya wanita itu merasa beruntung karena memiliki hati saya...”

“Iya dong, hahaha...”

“Kalau begitu kamu seharusnya bersyukur, Angel.”

Angel mendelik kaget, “Hah? Kok saya...?”

Adit terkekeh, pria itu duduk menghadap Angel tegap dan memberikan senyuman lembut yang membuat jantung wanita itu berdegup tak karuan...

“Bukannya wanita yang bisa memiliki hati saya harus merasa beruntung?” “Berarti kamu harus bersyukur, Angel...“Adit mengusap wajahnya gusar, “Ah seharusnya saya dapet momennya di Jakarta aja setelah kamu lahiran tapi... kayaknya gak baik lama-lama.”

Angel masih diam menganga, “Ma-Mas Adit...?”

“Angel, mungkin kamu masih perlu banyak waktu untuk berpikir soal ini tapi saya harap, lamaran saya tidak menjadi beban untuk kamu, dengan hati yang tulus dan ikhlas... saya menginginkan kamu menjadi bagian dari hidup saya.” “Izinkan saya untuk menjadi pendamping hidup kamu, dan bertanggungjawab sebagai Ayah untuk anak dalam kandungan kamu, Angel...”

Sesaat lagi, Kereta Api Argo Lawu akan diberangkatkan dari stasiun Yogyakarta, menuju stasiun akhir Gambir Jakarta...

“Ah kereta kita mau berangkat, yuk kita naik keretanya!”

“E-Eh tapi, Mas Adit—”

“Gak usah terburu-buru kasih jawaban, kamu juga gak usah canggung sama saya setelah ini. Saya akan selalu tunggu jawabanmu.” “Sampai bayi kamu lahir, kamu tetap menjadi tanggung jawab saya.”

Adit langsung menyeret 2 koper besarnya dan menuntun langkah Angel yang sedang hamil besar agar tetap seimbang, perasaan Angel sekarang jadi tak karuan. Bagaimana bisa sosok seperti Mas Adit melamarnya di situasi seperti ini? Angel masih tak percaya kalau ini nyata.

Angel harus cepat-cepat bangun dari mimpi indah ini...

tapi ternyata,

ini semua kenyataan.

“EYANGG??!!”

Gue gak nyangka kalau Eyang lagi main kerumah juga. Gue langsung lari memeluk tubuh Eyang yang sudah semakin ringkuh menua, suara puraunya yang bijaksana itu benar-benar gue rindukan.

“Tuan putri Eyang gimana kabarnya nih...??”

“Baik dong!! Eyang gimana?? Anela kangen banget deh sama Eyang...!”

“Hahaha iya, Eyang baik-baik aja kok cuman... karena udah tua gini jadi Eyang harus lebih menjaga kesehatan...”

Memang, sekarang gue bisa lihat sosok Eyang sudah tak lagi berdiri bersama tongkatnya, melainkan ia duduk di kursi roda bersama Pak Romi di belakangnya.

“Eyang sakit apa sampai pake kursi roda gini?!”

Eyang tersenyum pilu, “Daripada sakit... kayaknya udah faktor usia, Anela...”

“Ah gak juga, kok! Eyang gak setua itu!”

“Umur 83 itu masih muda menurut Anela?”

“Muda! Muda banget! Jadi Eyang harus tetep sehat!” “Eyang harus lihat nanti cicit-cicit Eyang dari cucu kesayangan nih!”

Eyang tertawa geli, tingkah Anela yang polos ini ternyata masih sama, dari dulu memanglah Anela seperti ini... Ekspresif, ceria dan penuh enerjik... Aku harap tidak akan ada orang yang bisa merebut senyumnya seperti ini...

Suasana makan malam yang di percepat itu terasa lebih hangat dari sebelumnya. Bukan lagi urusan bisnis, atau permainan politik yang menjadi topik utama justru kenangan manis lalu yang jadi topik pembicaraan hari ini. Gue bersyukur, sudah lama gue inginkan kehangatan ini ada pada keluarga gue dan hari ini terwujud semuanya...

Terima kasih, Ya Allah...

Gue duduk di pinggir kolam menatap tiap tetes yang gue tumpahkan, membentuk sebuah getaran genangan di bayang-bayang wajah gue, otak gue berputar ke beragam arah, tapi yang kini mengganggu pikiran gue tentunya masih tentang Mas Haidar.

“Merenung apa kamu, Anela?”

Eyang dengan Bang Jeffry di belakangnya cukup membuyarkan lamunan panjang gue.

“Ah enggak kok, cuman mau hirup udara segar”jawab gue berusaha menutupi semua kekhawatiran gue agar tak tampak di wajah

Senyuman hangat itu, kembali meneduhkan hati gue dengan tangannya yang berusaha meraih pucuk kepala gue susah payah. Bang Jeffry juga duduk di samping gue ikut mencelupkan kakinya tanpa berucap sepatah kata pun.

“Kenapa Haidar gak ikut?“tanya Eyang

“Masih ada urusan di pondok, Eyang... Mas Haidar titip salam untuk semuanya...“jawab gue

“Waalaikumsalam... iya sampaikan salamnya balik untuk Haidar...” “Lalu Anela, kira-kira kenapa nih duduk sendirian kayak gini?”

“Kan tadi Anela bilang lagi nyari udara segar...”

“Itu hanya kalimat orang-orang yang sedang berusaha menenangkan pikiran kalutnya.”

Oke, salah banget emang untuk pretending to be okay depan Eyang.

Gue hanya bisa diam menunduk, lagi-lagi seribu kalimat gundah berkecamuk di dada gue...

“Kehidupan setelah rumah tangga itu ternyata tak mudah ya?”

Mata gue melotot seketika, Eyang cuman terkekeh disitu sambil memberi isyarat kepada Bang Jeffry untuk pergi meninggalkan kami berdua disini.

“Eyang, ini gak seperti yang Eyang duga—”

“Sudah, Anela, Eyang gak berpikir yang tidak-tidak, hanya saja... ini namanya firasat orang tua...” “Eyang sudah membesarkan kamu 20 tahun, jadi sudah pasti Eyang tahu segala hal tentang kamu salah satunya ketika kamu sedang ada masalah. Kamu bukan tipe yang memendam masalah, kecuali kalau masalah itu bisa merugikan orang lain.” “Dulu kan kamu kalau habis dimarahin dama Papa, kamu cuman diem aja tapi ngerengek mau makan cheesecake yang banyak sampe begah, inget gak?”

Gue mengangguk mengiyakan.

“Waktu dulu tuh ya, Eyang bingung kenapa kamu minta kue sebanyak itu dan itu kamu lakukan secara berkala, sampai-sampai Eyang minta Pak Romi pura-pura nginep di rumah kamu untuk melihat situasi rumah dan ternyata benar, kamu habis dimarahin sama Papa kamu.” “Kamu inget kata-kata kamu ketika Eyang tanya soal Papa?”

Gue bergeming sejenak, “... Aku larang Eyang untuk marahin Papa...”

“Nah ternyata sifat itu masih ada di diri kamu sekarang...” “Apapun masalahmu dengan Haidar, nak, Eyang tahu kalau kalian bisa menghadapinya. Kehidupan rumah tangga memanglah tak selalu manis, tapi begitu satu per satu masalah bisa kalian selesaikan sama-sama... percayalah, itu yang akan menjadi cerita bermakna sepanjang hayat kalian nanti.” “Eyang bangga dengan sikapmu, Anela, alih-alih kamu menceritakan masalah rumah tanggamu kepada orang-orang dan menjadi aib, kamu lebih memilih untuk mencari cara agar pikiran kamu kembali jernih dan pulang dalam keadaan baik-baik saja...” “Sebelumnya kamu sudah izin kan dengan Haidar kalau kamu mau makan malam disini?”

“Sudah, Eyang...”

“Pertahankan sikapmu yang patuh sebagai istri itu, nak... Percayalah, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dalam kebaikan...” “Dan pahala berbaktinya seorang istri kepada suami itu Masha Allah besarnya, Anela, kalau kamu bisa menjadi sosok rumah yang dirindukan bagi keluarga kecilmu kelak, kamu bisa masuk surga dari pintu manapun, nak.”

Seketika gue teringat dengan ucapan Mas Haidar...

“Kamu adalah tempat pulang saya saat ini, Maryam...”

Hati gue terenyuh,

Gue harus pulang sekarang.

“Satu lagi, Anela...”

Gue mendelik sejenak.

“Percayalah, Haidar benar-benar memegang kata-katanya untuk menjagamu dan membawamu ke syurga-Nya, nak... dia tidak membual dengan janjinya itu.” “Kamu tahu Eyang tidak pernah salah dalam menilai orang, dan tidak mungkin Eyang menitipkan tuan putri kecil kesayangan Eyang kepada orang yang salah.”

Gue tersenyum simpul,

“Terima kasih, Eyang...”

Eyang menggeleng pelan,

“Terima kasih kembali, tuan putri...”

Haidar lari tergopoh-gopoh menuju ruangan 5413 tempat dimana Akbar di rawat, wajahnya memelas pucat begitu melihat anak malang itu tengah di pasang berbagai jenis oksigen dan alat EKG yang merekam grafik detak jantungnya yang tak menentu. Ia membawa berbagai berkas persyaratan administrasi Akbar untuk tindakan selanjutnya, menemui sang dokter yang masih mengawasi intens kondisi Akbar.

“Bapak... Ayahnya ananda Akbar?”

Haidar menggeleng, “Bukan, tapi saya walinya, saya sudah menyelesaikan semua urusan administrasinya jadi tolong agar cepat segera di tangani.”

Setelah dokter menerima beberapa berkas persyaratan yang dibawa Haidar akhirnya mereka segera membawa Akbar ke ruangan tindakan segera.


“Haidar!”

Suara melengking Nafisa seketika membuat Haidar menghela nafas lega.

“Gimana Akbar?!”

“Masih di periksa di dalam.”

“Astagfirullah... bisa-bisanya aku teledor banget, harusnya aku siapin makan malam untuk Akbar, kupikir Mpok Yati tahu kalau Akbar tuh alergi seafood...” “Padahal aku baru ninggalin dia sebentar...”

Haidar refleks mengeluarkan tangannya hendak menepuk pundak Nafisa namun tersekat begitu ia sadar bahwa... posisinya sekarang sudah tak pantas untuk melakukan hal demikian.

Ia harus tahu diri.

“Sudah, yang penting sekarang Akbar lagi di obati. Lain kali jangan teledor, ini fatal banget, nyawa Akbar bisa terancam, Nafisa.”

Nafisa mengangguk lesu, seketika mereka semua bangun dari tempatnya setelah seseorang berjas putih datang membawa kabar selanjutnya tentang Akbar.

“Bagaimana dok?!”

“Alhamdulillah belum begitu parah kok, hanya saja reaksi alerginya masih belum reda seratus persen jadi lebih baik ananda Akbar di rawat dulu beberapa hari ini.” “Selanjutnya bisa di urus lagi ya administrasinya untuk rawat inap.”

“Baik, Dok.”

“Silahkan ikut saya, Pak.”

DRRTT...

Anela Maryam : Mas Haidar masih lama? Anela Maryam : Mas belum sempet cobain dessert buatan aku lho hehehe aku masukin kulkas ya untuk besok... Anela Maryam : Akbar gimana, Mas?

Haidar menghempas nafasnya kasar dengan kedua jari tangannya yang mengusap kedua netranya gusar. Jujur saja, ia merasa bersalah karena telah merusak rancangan dinner romantis istrinya yang sudah di susun rapih-rapih, hatinya entah kenapa bergerak dengan sendirinya begitu saja.

Urusan hati menjadi peer besar baginya saat ini.

“Assalamualaikum...”

Kehadiran suara tenor khas Mas Haidar membuat senyuman sumringah gue terlukis di wajah gue, tapi yang membuat mata gue tak berkedip ialah 2 kantung kecil dengan satu buket bunga besar yang dia bawa.

“Wa-Waalaikumsalam...”

Mas Haidar memamerkan bawaannya, “Ini hadiah apresiasi saya atas kerja keras kamu sebagai istri.”

Gue merespon cibir, “Yaelah hadiah apresiasi, udah kayak pengabdian masyarakat aja.”

“Yee bukan gitu, kan kamu udah inisatif bikin candle-light dinner sampe dekor meja kayu seindah ini, jadi saya mengapresiasi kerja keras kamu...”

Anela merangkul lengan suaminya erat, “Iya lah, soalnya aku ngerjain semuanya pake hati, hehehe...”

Haidar menghempas kecil tawanya, tangan besarnya mengacak rambut lurus istrinya dan mencium pucuk kepalanya yang beraroma stroberi itu.

Rambut yang diacak, tapi hati Anela yang berantakan.

Anela membawa hidangan makan malamnya di atas meja, tangan mungilnya dengan telaten meletakkan beberapa alat makannya, menuangkan teh chamomile yang sudah ia seduh di dua cangkir kembar, Haidar terhenyak dengan suasana romansa yang hangat ini.

“Maryam...”

Anela menoleh, “Ya?”

“Terima kasih.”

Anela tersenyum simpul, “Kaku banget sih, udah yuk kita makan, di coba nih makanan utama kita malam ini.”

Kedua mata Haidar terbelelak sempurna, di depan matanya kini ada sepiring nasi kebuli dengan semerbak wangi daging kambingnya yang ia rindukan...

Ini adalah makanan terakhir Abi-nya dulu.

“Aku sengaja bikin menu spesial kesukaan Mas, kalo yang aku tahu... makanan ini memberi banyak kenangan untuk Mas Haidar kan?” “Sekarang, dengan menu yang sama, kita menciptakan kenangan juga disini, Mas.”

Haidar tak sengaja menitikkan air matanya yang sudah tak terbendung, pria itu mengusap wajahnya gusar, lalu kembali menampilkan senyum lebarnya sebagai apresiasi atas inisiatif istrinya yang begitu manis. Tangan Haidar meraih tangan kecil Anela yang setengah menggenggam sendok, ia menggenggam tangan istrinya erat dan mengusap pelan punggung tangannya yang halus.

“Maryam, terima kasih... kamu sudah memberikan banyak hal untuk saya.” “Terima kasih... sudah mau menjadi tempat saya untuk kembali pulang...”

Anela terkekeh, “Ya ampun, Mas, ini belum seberapa...”

“Sekecil apapun itu yang kamu berikan kepada saya, tak bisa saya lewatkan begitu saja.” “Makanya saya patut menghargai semua pemberian dari kamu, Maryam.”

Anela ikut terbawa oleh suasana haru antara keduanya, seolah kehangatan yang lebih dalam bersama sepasang lilin romantis, semilir angin malam yang ikut menjadi penyejuk, bagi Anela, bisa jadi malam ini merupakan malam terindah yang pernah ada di hidupnya.

“Semoga malam ini bisa menjadi malam yang terindah untuk kita, Mas.“Anela berucap dengan lekukan senyum teduhnya, Haidar mengangguk kecil dan akhirnya mereka mulai menyantap hidangan malamnya.

Sambil mereka menikmati makan malamnya, berbagai topik ringan menjadi perbincangan mereka. Kenangan masa kecil yang pernah mereka lalui, dan kesukaan mereka bersama cerita random yang mengundang gelak tawa. Pokoknya Haidar dan Anela saat ini benar-benar menikmati waktunya sebagai seorang pasangan yang sesungguhnya.

Sampai jam menunjukkan angka 9 lewat 15...

“Ah iya! Aku lupa!”

Haidar mendelik, “Kenapa?”

“Harusnya kan hari ini episode spesialnya Ikatan Cinta...”

GYUT! Haidar mencubit pipi Anela gemas.

“Kamu tuh ya... momen kayak gini aja masih sempet-sempetnya mikirin sinetron si Mas Al itu!” “Sekarang di hadapan kamu adanya Mas Haidar, bukan Mas Al!'

“Ih bukan gitu... kan bisa kita nobar kayak waktu itu, hehehe...”

“Gak mau.”

“Lho kok gitu?!”

“Nanti kamu fokusnya sama Mas Al, bukan ke saya.”

Anela langsung tersenyum nyeleneh sambil colek pipi suaminya usil, “Ehem, ceritanya Mas Haidar cemburu nih sama Mas Al...?”

“Dih?? Enggak, saya gak bilang gitu.”

“Tuhkan gak mau ngaku, kebiasaan!” “Mas, anak kecil juga tau kalo sikap kamu barusan tuh karena kamu cemburu! Gak usah belaga tsundere gitu deh!”

“Tsundara, tsundere, ngapain sih bahasanya Aisyah dibawa-bawa!”

“Lah emang bener, Mas Haidar tuh tsundere!”

“Saya gak jual mahal.”

“Siapa bilang Mas Haidar jual mahal?”

“Kan tsundere artinya jual mahal.”

“Kalo Mas Haidar beda, Mas Haidar tuh... malu-malu tapi mau! Mas malu ngakuin kalo kangen, cemburu padahal mah... hatinya udah ambyar!”

“Hahahaha... enggak ah, saya gak gitu.”

“Tuhkan, sangkal aja teruuss!!”

Haidar terpingkal-pingkal dengan sikap istrinya yang cemberut gemas.

DRRTT...!!

Tiba-tiba ponsel Haidar bergetar dari sakunya.

“Sebentar ya,“Haidar berdiri dari tempatnya dan Anela juga mengambil kesempatannya untuk membersihkan sisa-sisa piring bekas makannya.

“Halo, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, den?”

“Iya, Mpok Yati, ada apa?”

“I-Ini, den...” “Akbar masuk rumah sakit...”

Haidar tersontak, “Ko-Kok bisa?!”

“Ta-Tadi dia gak sengaja makan udang, tiba-tiba langsung gatal-gatal, bibirnya bengkak dan pingsan di tempat...”

“Astagfirullah hal adzim, terus gimana?!”

“Mbak Nafisa lagi pergi sama Mbak Aliyyah dari jam 7 katanya kejebak macet, dan disini ada urusan administrasi yang harus di selesaikan biar Akbar bisa segera di tangani...” “Kebetulan butuh biaya, Den... saya gak ada uangnya...”

Haidar menoleh ke belakangnya, melihat punggung sang istri yang sedang mencuci piring kotor dengan suasana hati baiknya, Kayaknya... gapapa ya saya tinggal sebentar?

“Yaudah, Mpok, saya kesana.”

“Baik, Den, terimakasih banyak...

TUUT!!

Haidar berlari kecil mengambil kunci mobilnya dan segera membuka pintu mobil tergesa-gesa.

“Mas Haidar?! Mau kemana?!”

“Sebentar, Maryam, ini ada urusan mendadak nanti saya balik lagi kok!”

“Urusan apa malem-malem gini?! Di pondok kah?! Kenapa di pondok?!”

Haidar menghentikan tangannya sebelum menarik gas, “Akbar masuk rumah sakit, Ibunya masih dalam perjalanan dan ada urusan administrasi yang harus di selesaikan agar Akbar bisa cepat di tangani!” “Saya gak akan lama, kamu tunggu aja dirumah!”

TEP! Haidar menyalakan mesin mobilnya dan langsung menancap gas pergi dari pandangan Anela...

Lagi-lagi,

Anela dibuat bimbang dengan posisinya di kehidupan Haidar.

Gue melihat keramaian anak-anak yang sedang mengikuti minggu sehat dengan pengecekan kesehatan gratis. Ada yang lari ketakutan karena takut di suntik padahal tidak, ada yang justru dia menantang diri di hadapan teman-temannya, dan ada juga yang memanfaatkan peluang untuk mendapatkan makanan dan minuman gratis dari perawat setelah kesehatannya di check. Lucu-lucu deh pokoknya hahaha...

Tangan gue yang masih mengait di jemari Mas Haidar seketika ia genggam erat, Mas Haidar menatap gue lembut, dia meletakkan punggung tangan gue di dadanya...

“Mas.”

“Hm?”

“Kebayang ya... nanti kalau kita punya anak kayak gimana...” “Pasti bakal lucu-lucu, ya gak, Mas?!”

Mas Haidar tertawa kecil, “Iya...”

Pandangan gue terhenti kepada sosok laki-laki jangkung berparas putih tampan yang sangat tidak asing bagi gue, dengan jas putihnya dia sedang menggendong seorang anak kecil.

Naresh?! Kenapa dia disini?!, pikirku

“Ma-Mas, kok... ada Naresh?!“sontak gue

“Hm? Dia anaknya ketua yayasan rumah sakit yang fasilitasin pengecekan ini, Maryam”balas Mas Haidar santai

O-Oh, ini... acaranya Rumah Sakit punya keluarga Naresh itu?! Duh gue males banget ketemu dia!

Tatapan kami bertemu dari kejauhan, tanpa ba-bi-bu Naresh berlari kecil menghampiri kami disini, senyuman lebarnya ia tujukan ke Mas Haidar dan mereka berjabat tangan akrab, kok bisa sih Naresh sok akrab gitu sama Mas Haidar?!

“Hai, Nel”sapanya, gue hanya melirik sebentar lalu memaling wajah dari tatapan Naresh, “Kayaknya... lo masih ada dendam sama gue, Nel.”

Mas Haidar menyenggol lengan gue, “Gak boleh gitu, maafkan saja sudah kalau dia ada salah”tegur Mas Haidar dengan nada membisik, gue hanya memautkan bibir cemberut.

“Kayaknya kehidupan lo sekarang jauh lebih baik ya, Nel, di bandingkan sebelumnya.”

“Hm.”

“Kabar temen-temen lo gimana?”

“Baik.”

Naresh menghela nafasnya panjang, “Kalo lo masih marah sama gue gapapa, Nel, gue tetep gak bosen kok untuk minta maaf.” “Gue akuin emang kata-kata gue dulu jahat, sekarang gue juga berusaha memperbaiki diri dan masih belum sampai ke tahap kayak lo.” “Lo hebat, gue kagum sama lo.”

Ungkapan Naresh entah kenapa mulai sedikit menyentuh hati gue, gue bisa melihat dari tatapan matanya yang nanar itu, Naresh... beda dengan Naresh dulu yang gue kenal.

“Ehem. Terima kasih untuk ungkapannya Naresh”tiba-tiba Mas Haidar menyergah percakapan antara gue dengan Naresh, “Sudah selesai ngobrolnya? Kalau sudah saya mau ajak istri saya keliling dulu. Kamu silahkan lanjutkan pekerjaan kamu.” “Ayo, Maryam.”

Mas Haidar menarik paksa rangkulannya dan meninggalkan Naresh diam mematung disana. Gue mengernyit heran, tadi kan Mas Haidar sendiri yang nyuruh gue ngomong, jangan cuekin Naresh kayak tadi tapi kenapa dia yang kesel dan narik gue pergi kayak gini?

“Kamu bareng Aisyah aja dulu di saung sana, dia lagi main sama anak-anak pondok yang belum dapet giliran.” “Saya masih harus mantau pengecekan disana.”

“Oh yaudah aku ikut Mas—”

“Gak usah, saya gak mau istri saya terbuai dengan tatapan buaya kelas kakap disana. Ternyata gak adik saya aja yang harus saya jaga betul-betul, ternyata kamu juga harus saya jaga.”

Tunggu...

Ini Mas Haidar cemburu?

“Mas... cemburu sama Naresh?”

Mas Haidar tertawa renyah, “Cemburu? Ngapain saya cemburu sama anak kecil kayak Naresh?!”

“Tapi tadi Mas gak seneng aku ngobrol sama Naresh...”

“Maryam, laki-laki dan perempuan bukan mahram itu tidak boleh saling bertatapan kayak tadi. Itu tetap di katakan zina, ngerti?” “Saya harus menjaga kamu sebagai seorang suami.”

Ish, segitu susahnya bilang cemburu. Jual mahal banget jadi laki 😒

“Yaudah iyaaa...! Aku sama Aisyah aja kalo gitu.”

“Iya, kamu tunggu saya aja disana.” “Jangan kemana-mana ya!”

“Iya...”

Mas Haidar langsung berlari ke ruang utama meninggalkan gue di tengah lorong sendirian, beneran deh, gue gak habis pikir sama suami gue, emang kenapa sih cuman sekedar bilang kangen, cemburu, sayang tuh kayak susah banget? Apa dulu sama Nafisa dia gak pernah mengekspresikan perasaannya kayak gitu juga? Jangan-jangan lebih romantis sama Nafisa lagi daripada sama gue?!

Tuhkan, overthinking lagi gue ah 🙃

“Aisyah!”

Sang pemilik nama itu langsung membalas sahutan gue dengan lambaian tangannya riang. Dia masih sibuk memberikan tausiyah untuk anak-anak kecil di saung sana, gue tidak berniat untuk mengganggu waktunya, jadi gue hanya duduk di sebelah Aisyah tanpa membuat suara sedikitpun.

“Jadi... Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sendiri adalah sosok pribadi yang sangat memperhatikan kesehatannya, coba kira-kira apa aja sih tips sehat dari Baginda Rasulullah?”

“Olahraga memanah dan berkuda!!”

“Ya! Berarti kita harus rajin berolahraga!”

“Makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang!”

“Betul! Agar kita bisa makan secukupnya dan gak bikin gendut! Karena sesungguhnya, pada zaman sahabat dulu ada orang yang perutnya buncit dan di tegur oleh Umar bin Khattab ra. beliau mengatakan kalau perut buncit itu adalah azab dari Allah, kenapa begitu?” “Karena perut buncit itu membuat kita malas untuk beribadah dan mendatangkan banyak penyakit! Jadi hayo... siapa nih yang masih suka makan banyak...”

“Jamal tuh, Kak!! Perutnya gede banget kayak gentong!!”

“Enak aja kamu!! Nanti lihat aja, ntar gede aku kurus ganteng kayak Aliando!!” “Tenang aja, Kak Aisyah, nanti Jamal ikutin semua tips sehatnya Rasulullah biar nanti gak gendut lagi!!”

“Hahahahaha....”

Gue terhenyak dengan semua penyampaian tausiyah dari Aisyah, adik ipar yang begitu gue sayangi seperti adik sendiri. Di rumah, Aisyah itu adalah sosok gadis kecil yang manja seperti pada usianya tapi kalau sudah menjalankan tugasnya sebagai guru disini... Aisyah jadi terlihat sangat dewasa dan keibuan. Dulu waktu dia ngajarin gue di pondok sini juga keren sih, tapi beda banget ketika sekarang dia mengayomi adik-adik yang lebih muda darinya.

Kakak adik sama ternyata, mereka punya jiwa mengayomi yang kuat.

“Kak Anela kok gak sama Abang? Abang kemana?”

“Itu, Mas Haidar lagi ngawas—”

“HUWEEEEEEEEEE!!!!! GAK MAUUUU!!!!! GAK MAUUUU!!!!!!”

Semua terkejut dengan suara amukan anak kecil dari ruang utama sana, seketika anak-anak kecil itu berdiri dan lari tergopoh-gopoh ke sumber suara. Mau gak mau, gue dan Aisyah juga ikut lari kesana untuk melihat situasi

tapi...

“Sstt... Akbar, ini Om ada disini jangan nangis ya? Gak di suntik kok cuman di cek sebentar aja.”

“Aduh, Haidar, maaf ya Haidar rewel gini... nak, sini nak sama Bunda...”

“GAK MAU OM HAIDAR GAK MAUUU!! AKBAR GAK MAU DI CEK SAMA DOKTER TAKUT!!! MAUNYA SAMA OM HAIDAR!!!”

“Iya nak, ini Om disini sama Akbar ya... yuk anak baik, di cek dulu ya sebentar aja... yuk, yuk...”

Gue bisa melihat betapa Mas Haidar mengkhawatirkan anak laki-laki itu seperti anaknya sendiri, dengan Nafisa di sampingnya seolah-olah mereka tampak seperti... sebuah keluarga.

Dada gue sakit, sakit banget.

Kenapa ya?

Lemah banget heran.

“Ustadz Haidar sama Ustadzah Nafisa cocok ya?! Akbar kan selama ini jauh sama Ayahnya.”

“Iya, dan kayaknya di antara santri yang lain, Ustadz Haidar lebih perhatian ke Akbar...”

Mas... Aku masih mau berprasangka baik karena kamu hanya sekedar bersimpati dengan anaknya... Ayo, Anela, lawan semua pikiran-pikiran buruk kamu sama Mas Haidar...

“Huwaaa...! Gak mau! Gak mau!”

“Nak...”

“Nih!”

Gue berusaha untuk membesar hati, memberikan satu coklat kepada balita yang di dekap erat oleh Mas Haidar itu hingga tangisannya terhenti.

“Nih coklat, nanti kalau udah enakan, pasti kamu gak takut lagi sama Pak Dokter!”

Mas Haidar diam terpaku dengan tindakan gue, begitupun Nafisa disana. Anak laki-laki bernama Akbar itu langsung mengambil coklatnya dan meminta gue untuk membukakan coklat itu untuknya. Dia melahap satu batang dua batang coklat dengan riang, dan seketika ia lupa dengan ketakutannya.

“Coklatnya enak?”

“Enyak...”

“Nah, sekarang Akbar mau kan di cek sama Dokter sebentar?”

Akbar menatap kedua mata gue lalu beralih ke Mas Haidar dan Bundanya, Nafisa, lalu ia mengangguk ke arah gue pelan. Kami semua menghembuskan nafas lega.

“Nah, yuk di cek dulu sama Dokter...”

Mas Haidar tersenyum lebar ke arah gue, dia merangkul bahu gue erat-erat sambil melayangkan satu kecupan singkat di pucuk kepala gue.

“Terima kasih ya, Maryam.”

Gue cuman bisa tersenyum miris.

Alunan merdu Haidar dalam melantunkan ayat suci Al-Qur'an meneduhkan hati Anela yang tengah berbaring di atas kasur sambil menatap tiap inci wajah suami tercintanya itu.

“Kamu ngelihatin saya kayak gitu yang ada saya gak fokus ngajinya, Maryam...”

Anela hanya tersenyum cengir sambil memeluk erat lengan suaminya manja. Rutinitas Haidar yang slalu mengaji sebelum tidur itu benar-benar menjadi alunan favorit Anela sebelum tidur. Anela juga mengaji, tapi suaranya tak bisa seindah dan sedalam Haidar. Suara tenor yang menenangkan milik Haidar seolah sukses menyentuh hatinya dan menjadi zat adiktif bagi Anela untuk ingin terus mendengarnya.

Dibandingkan dengar suara sendiri yang sumbang, mending dengerin suaranya Haidar yang menenangkan bak alunan suara yang turun dari surga, pikir Anela.

“Mas baca surat apa?”

“Hm?“Haidar tersenyum simpul, “Maryam.”

“Ish ngegombal mulu nih! Serius aku!”

“Serius, nih, saya lagi baca surat Maryam.”

Anela menjawab oh ria, “Oh...“lalu Haidar di sampingnya, akhirnya menyudahi bacaannya dan merangkul hangat istrinya itu dengan erat.

“Yah, Mas... kok berhenti sih ngajinya? Masih mau denger lagi...”

“Lain kali kita ngajinya berdua, bukan saya doang.” “Nanti saya ajarin.”

Anela cemberut, Haidar meraih pucuk kepala istrinya dengan lembut dan saling menyandarkan kepalanya, tenggelam dengan kehangatan yang mereka buat. Kalau boleh jujur, inilah tempat pulang yang dirindukan Haidar selama ini.

“Maryam...”

“Iya mas...”

“Banyak hal yang gak saya ketahui dari kamu, dan mulai sekarang, saya ingin mengenal kamu lebih dalam...” “Saya gak mau mengecewakan kamu lagi, Maryam.”

Anela tersenyum simpul, menenggelamkan lagi kepalanya di dalam pelukan sang suami, “Iya mas... saya juga mau ngenalin mas lebih dalam lagi.” “Kita mulai darimana ya?”

“Mulai dari cerita kesukaan kamu, apa yang kamu benci, terus apapun deh. Biar nanti saya gak salah lagi sama kamu.”

“Hmm... aku suka sama kue cheesecake

“Oh gak berubah...”

“Mas masih inget???”

“Masih dong, dulu satu pondok heboh gara-gara tangisan kamu yang super kenceng karena gak ada cheesecake di Sleman.”

“Hahahaha kok aku gitu sih...”

“Namanya juga anak kecil, terus apalagi?”

“Aku suka croissant isi nutella! Itu enak banget mas! Kalo di rumah tuh ya, pasti aku minta Bibi atau Mama buatin itu untuk aku!”

“Oh yang kamu bawain kemarin itu?”

“Iya! Nanti aku mau beli croissant yang banyak sama selai nutella-nya biar bisa bikin disini! Hehehe...”

Haidar terkekeh geli, “Kalo yang gak kamu suka apa?”

Anela menatap Haidar nanar, “Aku... benci kebohongan, Mas.” “Dari kecil aku selalu bertemu orang-orang bermuka dua yang selalu berbicara manis dengan keluargaku tapi memiliki tujuan yang jahat demi perusahaan Eyang. Aku... lebih baik sakit karena fakta, di bandingkan di hibur dengan sebuah kebohongan. Kebohongan itu adalah awal dari sebuah pengkhianatan, jadi aku gak mau ada kebohongan sekecil apapun itu.”

Haidar bisa lihat kesenduan yang ada di mata Anela sekarang, ia merasa ada pesan tersirat dari ungkapan istrinya itu.

“Makanya mas...” “Seandainya kamu memang tidak mencintai aku... dan sudah tak ingin melanjutkan pernikahan ini... tolong bilang sejujur-jujurnya sama aku. Aku tidak akan memaksa lagi.”

“Maryam, kenapa kamu bilang kayak gitu?”

“Karena mulut bisa saja dusta, tapi hati nurani gak bisa, Mas.” “Bukannya orang munafik melakukan hal demikian, Mas?”

“Maryam.”

Haidar melepas rangkulannya dan memegang kedua bahu Anela dengan tegap. Ia menatap lurus kedua mata istrinya itu, memberikan sebuah keyakinan kuat bahwa hal yang diucapkan Anela barusan tidak akan pernah terjadi.

“Saya punya mimpi, sudah lama saya ingin kuliah di Kairo dan kesempatan itu ada di depan mata saya. Seharusnya saya pergi ke Kairo, Maryam...” “Tapi saya lebih memilih untuk menikahi kamu, kenapa? Karena hati saya lebih menginginkan pernikahan ini dibandingkan terbang ke Kairo... dan kalau memang saya tidak menginginkan kamu, saya bisa saja langsung pergi ke Kairo tapi nyatanya, saya tidak memilih untuk pergi kesana, Maryam...” “Jadi tolong, jangan buat saya menyesal dengan keputusan saya untuk menikahi kamu, Maryam, dan kamu harus tahu satu hal yang sangat penting dari saya.” “Saya benci perpisahan.”

Haidar meraih tangan mungil Anela, dimana disitu ada jari manisnya yang tersangkut cincin ikatan sucinya.

“Kamu adalah sayap yang lebih saya butuhkan menuju syurga-Nya dibandingkan dengan Kairo, Maryam.”

Tanpa sadar, wanita berparas putih itu meneteskan air matanya, Haidar memeluk lagi tubuh mungil istrinya erat...

“Tolong, Maryam... Jangan tinggalkan saya, ya?“lirih Haidar.

“Enggak, Mas... aku akan slalu ada di samping Mas...”

“Kamu adalah tempat pulang saya saat ini, Maryam, dan selamanya akan selalu begitu...”

“Iya mas...”

Hingga akhirnya mereka terlelap dengan posisi saling menghangatkan satu sama lain.

Tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Mas Haidar, karena syurga-Ku... ada padamu, Mas...

Naresh, pemuda berparas tampan nan pangeran itu tengah menatap jam tangannya berkali-kali. Menunggu kehadiran seseorang yang tak kunjung datang, Et dah, Bang Haidar ngaret apa gimana? Gua udah nungguin dari tadi!

“Akbar! Faiha! Mainnya jangan jauh-jauh! Sini kakak potongin buah nih!”

Suara melengking itu mengejutkan Naresh, ia menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok gadis yang tak asing baginya tengah telaten memotong buah sambil tersenyum hangat keibuan...

Aisyah.

“Oh... bisa ngasuh juga kamu”alih-alih menyapa, Naresh justru usil mengejek gadis itu yang tengah duduk santai di saung.

“Ngapain kamu kesini?!“pekik Aisyah

“Mau belajar.”

“Belajar apaan?!”

“Ya belajar ngaji lah.”

“Belajar ngaji? Segede kamu gini gak bisa ngaji?”

Kedua alis tebal Naresh mengerut, “Yaudah sih, kan saya mau belajar!” “Saya kan bukan lulusan pesantren kayak kamu!”

Aisyah tertawa remeh, “Eh, Bang, yang namanya ngaji itu gak mandang situ lulusan mana. Itu tuh pedoman hidup, siapapun itu yang mengaku beriman harus bisa baca Al-Qur'an dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk hidupnya.” “Yah tapi gapapa kok belajar dari sekarang, belum terlambat juga malahan bagus punya kesadaran untuk belajar Al-Qur'an, iya toh?”

Aisyah kembali fokus dengan buah yang di potongnya, Naresh menatap lekat tiap inci fitur wajah gadis di hadapannya, ia akui bahwa gadis ini memang memiliki paras yang cantik menawan, hanya saja kalau di dekati tampaknya pawang di belakang Aisyah sangatlah ganas dan perlu perjuangan ekstra.

“Aisyah.”

“Hm?”

“Kamu—”

“AW!!”

Aisyah memekik begitu jarinya tergores pisau hingga mengalirkan banyak cairan merah segar, “Astagfirullah hal adzim, duh darahnya banyak banget!!“begitu Aisyah hendak menghisap jarinya, dengan cepat Naresh menahan tangan gadis mungil itu dan ia segera merogoh tasnya untuk mengambil dompet P3K daruratnya.

Tangan besar Naresh menangkup tangan Aisyah dengan lembut, “Ada saya sebagai pertolongan pertama kamu jadi gak usah di jilat segala lukanya.”

Naresh segera mengambil beberapa kapas dan membasahinya dengan air mineral yang ada di sampingnya, menyeka setiap aliran darah yang masih mengalir dari jari telunjuk Aisyah yang tersayat, rasa sakitnya memang hilang...

tapi jantungnya yang tak bisa berhenti berdetak.

“Astagfirullah Aisyah, inget ini lagi di obatin... kebanyakan nonton drama Korea nih jadi mikir yang enggak-enggak!!(╥﹏╥)”

“A-Aduh!“rintih Aisyah begitu Naresh sedikit menekan lukanya agar darahnya berhenti mengalir, dengan perlahan Naresh membukanya sedikit demi sedikit, begitu darah sudah berhenti mengalir, ia memberikan luka merah di sekitar sayatan luka pada jari mungil gadis itu.

“Kamu kurang minum ya?”

Aisyah tersontak, “Ha-hah? Enggak juga kok...”

“Sehari ini udah minum berapa gelas?”

“Hmm... 2 botol 350 ml...?”

“Kurang. Sehari minimal tuh 2 liter atau 8 gelas, wajah kamu pucat soalnya.” “Banyak-banyakin makan makanan yang mengandung zat besi juga.”

Naresh selesai merekat luka Aisyah dengan plester, pemuda itu cepat menarik tangannya dan merapihkan dompet P3K nya itu ke dalam tas.

“Ternyata kamu tuh... dokter?”

“Belum, lebih tepatnya saya anak kedokteran.”

“Calon dokter?”

“Bisa dibilang gitu.”

Aisyah mendecak kagum, “Ih hebat, keren...”

Naresh hanya terkekeh, “Kalo kamu kira-kira mau jadi apa?” “Seharusnya anak SMA udah punya tujuan ke depannya kan?”

Aisyah bergeming panjang, “Hmm... sebenernya saya masih bingung mau jadi apa, lagipula kan saya masih 16 tahun juga, masih jauh lah.”

“Kan tetep aja 2 tahun lagi kamu udah harus nentuin mau kuliah jurusan apa nanti, itu kan harus sesuai sama cita-cita kamu.” “2 tahun itu waktu yang singkat, Aisyah.”

Bukannya menjawab, Aisyah malah merengut kesal, “Ya-ya gatau deh! Saya belum mikir kesana! Pusing!”

Naresh mengangkat satu alisnya heran, tapi di satu sisi ia merasa gemas dengan tingkah laku gadis di hadapannya yang masih sangat kekanak-kanakan.

Tapi...

“Kak Aisyah... mau itu...“dua balita kecil datang menyerbu Aisyah sambil memberi isyarat buka mulut meminta buah potongannya.

“Oh iya sayang, eh tapi Akbar, tangan kamu kotor jadi cuci tangan dulu disana sama Kak Faiha, oke? Banyak bakterinya lho hiii....” “Nanti kalau udah selesai, kakak suapin disini.”

Naresh terhenyak dengan kelembutan Aisyah terhadap anak-anak kecil barusan, sisi keibuannya yang sangat melekat itu seolah menghangatkan hati pemuda itu dan tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di kepalanya.

“Aisyah.”

“Hm?”

“Kamu cocok jadi perawat.”

Aisyah mendelik, “Hah? Perawat... Suster maksudnya?”

“Iya, suster di rumah sakit. Kayaknya itu cocok untuk kamu.” “Daripada bingung mikir lagi mau jadi apa kan?”

“Duh, aku gak kuat liat darah! Mana bisa jadi suster gitu!”

“Percaya sama saya, Aisyah.” “Kamu cocok jadi perawat, serius.”

“Ehem!”

Dehaman tenor khas dari belakang kedua anak muda itu sukses membuat mereka mematung belum lagi tatapan tajam yang menusuk ke arah Naresh...

“Saya suruh kamu tunggu di kelas, Naresh, bukannya disini dan berduaan sama adik saya.” “Kalau laki-laki dan perempuan bukan mahram berduaan berarti yang ketiganya siapa?”

”...Bang Haidar...?”

“Owalah bocah edan... Aisyah! Sana kamu ke dapur! Mending kamu bantuin Nafisa bikin puding!!” “Daritadi bocah-bocah udah pada masuk kelas kalian masih disini berduaan, lama-lama ta jitak palamu!”

“Ih, Abang! Siapa juga yang mau berduaan! orang tadi Akbar sama Faiha lagi cuci tangan buat makan buah tau-taunya malah masuk ke kelas!” “Nih liat! Jangan suudzon dulu! Tadi Naresh ngobatin jari Aisyah karena kesayat pisau tau!”

Bukannya lega, Haidar malah melotot ke arah Naresh, “Situ pegang-pegang tangan adik saya?!”

“Ya Allah, Bang, kan saya ngobatin tangannya Aisyah bukan macem-macem!”

“Alah kalian bincang-bincang banyak kok, daritadi saya mantau kalian dari jauh!” “Naresh, mending kamu ikut saya ke kelas sekarang! Jangan sampe saya berubah pikiran dan depak kamu dari sini!!”

Gila, perlu perjalanan panjang buat dapetin cewek modelan Aisyah...

Sedangkan Aisyah...

*Ternyata Naresh gak seburuk yang aku kira, tapi sayangnya sebentar lagi aku harus pergi... kira-kira dia bakal inget aku gak ya...?” Semoga dia bisa terus inget sama aku...

Gue menghentikan mobil di depan rumah dengan sempurna. Jujur aja, chat Mas Haidar masih belum gue bales karena bingung mau bales apa. Nada bicaranya juga udah murka gitu ya jiper gue😭

“Maryam!”

Sahutan Mas Haidar kembali membuat gue bergedik ngeri, gue berusaha untuk memasang wajah baik-baik saja dan menatap lurus kedua mata suami gue dengan berani.

“Puas?”

“Puas apa?”

“Puas kamu udah jadi pemberontak?”

Kenapa nada bicaranya jadi nge-judge gini?

“Pemberontak? Mas, aku tuh pulang ke rumah orang tua dan aku perginya sama Abang sendiri, bukan sama yang lain.”

“Tapi saya sudah minta kamu untuk tunggu saya kan?”

“Ya saya lagi mau pergi sama Bang Jefri, kenapa? gak boleh?”

“Iya gak boleh. Kamu kemana-mana harus sama saya.”

“Yaudah, sehari ini kok, biasanya juga sama Mas perginya”begitu gue melengos pergi melewati Mas Haidar, tangan besarnya menahan lengan gue dengan kasar sehingga gue sedikit merintih kesakitan.

“Begitu cara bicara kamu sama suami?“desis Mas Haidar tajam, “Kamu harus tahu kalau sekarang ini yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu itu saya, saya harus extra menjaga kamu karena kamu adalah amanah saya di dunia dan akhirat! Kenapa sih gak bisa kerjasama untuk nurutin aja apa kata saya? Pernah saya minta macam-macam sama kamu?!” “Bahkan saya tidak menuntut kamu untuk melakukan pekerjaan istri dengan baik, Maryam!”

Apa?

“Apa Mas bilang? Emangnya saya kurang apa? Saya masak, bersih-bersih, melakukan semua pekerjaan rumah tangga dengan baik kok! Saya juga gak nuntut macem-macem sama Mas bahkan ketika kemarin saya cemburu sama Nafisa pun saya tetap mengalah!” “Apa saya ini masih terlihat kurang baik sebagai istri di mata Mas Haidar?!”

“Bukan begitu, dengerin penjelasan saya—”

“Mas tahu? Yang saya mau tuh cuman satu dari Mas... kapan Mas mau buka hati untuk saya...?!” “Mas bilang Mas ikhlas lillahi ta'ala menerima pernikahan ini, tapi yang saya lihat sekarang, saya ini seolah nambahin beban tanggung jawab Mas di dunia dan akhirat!!”

Gue udah gak kuat menahan air mata yang udah menumpuk di pelupuk mata gue. Akhirnya gue menangis sesegukan, menutup pintu rapat-rapat dan meringkuk kedua lutut gue menutupi suara tangisan gue yang mungkin tidak teredam suaranya.

Ternyata... Menikah itu gak semudah yang gue bayangkan,

Bahkan ketika gue menikahi orang yang gue cintai sekalipun...


Haidar membuka pintu kamar perlahan ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, setelah perselisihannya dengan sang istri, pria itu memutuskan untuk sedikit merenung di saung taman belakangnya agar pikirannya lebih jernih.

Ia mengaku salah karena tlah membentak istrinya itu sehingga membuat wanita kasihnya itu meneteskan air mata, seharusnya Haidar bisa lebih menahan diri...

Entah kenapa dia jadi lepas kontrol

Pernikahan mereka masih seumur jagung, masih butuh penyesuaian untuk saling mengenal diri masing-masing tapi... kenapa harus melalui pertikaian seperti ini?

Haidar sangat benci perselisihan...

Karena dia benci perselisihan, maka dia pula yang memberanikan diri untuk mengakhiri perselisihannya

Haidar mendekati tubuh istrinya yang sudah terlelap dibalik selimut, punggungnya yang dingin ia peluk erat-erat dan tak lupa ia memberikan kecupan hangat di dahinya dengan lembut...

“Maryam, maafin saya tadi sudah membentak kamu... maaf kalau kata-kata saya melukai hati kamu...” “Saya salah, selama ini memang kamu sudah melakukan yang terbaik sebagai istri... maaf kalau saya melupakan kerja keras kamu...” “Jangan tinggalin saya, saya benci perpisahan, Maryam... maafin saya...”

Pada akhirnya Haidar langsung terlelap dalam pelukannya dan Anela sedikit membuka matanya, kembali merenungkan perkataan suaminya barusan dan membalas lagi pelukan Haidar tak kalah erat seraya membisik...

“Bukan permintaan maaf yang aku mau, Mas... tapi hati Mas yang aku mau...” “Tapi ya sudah gapapa, lebih baik kita jalani semuanya pelan-pelan...” “Aku cinta sama Mas.”

Anela menggenggam kedua sikunya gundah, melihat pesan dari suaminya yang bernada murka tapi... memang dirinya sedang butuh waktu untuk menata kembali hatinya.

“Anela, nih dimakan dulu croissant-nya, isi nutella kesukaan kamu.”

Rebecca meletakkan satu nampan besar, 2 croissant yang tersaji di atas piring merah muda milik Anela di atasnya, dirinya benar-benar merindukan suasana rumah ini.

Anela duduk di pinggiran kolam renang, mencelupkan kakinya sebetis sambil memain-mainkan kakinya itu guna menghilangkan semua kegelisahannya.

“Lagi ada masalah ya sama Haidar?”

Pertanyaan Rebecca cukup menohok dada Anela.

“Ah enggak kok.”

“Gak usah bohong, sayang, Mama tuh tahu kamu banget...” “Kamu tuh paling gak bisa bohong.”

Anela mencibir, “Ish, selalu gitu bilangnya...”

Rebecca terkekeh, “Kenapa sayang? Ada apa...?”

Anela menghela nafasnya panjang, setiap bayangan wajah Haidar itu melintas di kepalanya entah kenapa dadanya jadi terasa sesak...

“Entahlah, aku cuman ngerasa... kayaknya hati kita gak sama, Mah.”

“Gak sama gimana?”

“Ya gitu... kayaknya cuman aku yang mencintai Mas Haidar sepenuh hati sedangkan Mas Haidar... masih belum mau buka hatinya untuk aku.” “Kita menikah, tapi seolah itu hanya menambah tanggung jawabnya aja... padahal bukan itu pernikahan yang aku mau.”

Anela hanya bisa cemberut sambil menghentakkan kakinya di air hingga menyiprat sepercik buliran bening itu ke wajah keduanya.

“Bagaimana cara Haidar memperlakukan kamu?”

“Ya baik sih, DIA TUH PINTER GOMBAL MAH, tapi kalo di depan orang langsung balik lagi jadi dingin, cuek, kaku kayak kanebo!” “Kadang-kadang aku suka dibuat kaget sama tindakan manisnya tapi kan, bukannya cowok tuh paling lihai ya bertindak manis padahal hatinya menolak?”

Rebecca hanya bisa tertawa melihat anak gadisnya yang gundah karena perihal asmaranya, memang Anela terlihat seolah sudah dewasa tapi di mata sang Ibunda, Anela tetaplah tuan putri kecil yang hobinya merengek seperti sekarang.

“Anela, kamu tahu kan gimana kisah pertemuan Mama sama Papa dulu?“tanyanya seraya mengelus lembut pucuk kepala putrinya itu

“Hmm dijodohin Eyang juga kan ya?”

“Iya, dan pada saat itu... ternyata Papa lagi pacaran sama wanita lain.”

Anela melongo, “SERIUUUSSS???!!!!”

“Iya, Mama nih seolah-olah jadi perusak hubungan orang gitu lho wong Mama gak tahu ya kalo Papa lagi pacaran namanya juga di jodohin, dulu malahan kita maunya kawin kontrak lho, Nel.”

“KAWIN KONTRAK?! IH PAPA JAHAT!!!”

“Iya, jadi kita akan jalani pernikahan ini selama 2 tahun sampai perusahaan Eyang lebih stabil, terus setelah itu... kita bercerai. Papa lagi itu dingin sekali, Mama cuman bisa nelen pahit sendiri karena dia benar-benar serius dengan pacarnya sampai pada akhirnya...” “Pacarnya selingkuh sama sahabat Papa, dan Papa gak punya tempat pulang lagi selain Mama.”

Ternyata Papa sama Mama pernah melewati gonjang-ganjing kehidupan rumah tangga kayak gitu...

“Akhirnya kita sama-sama belajar untuk saling mencintai, dan yaudah deh, lahirlah Bang Jeffry sama kamu, Anela, hahaha...” “Anela sayang, gini, maksud Mama menceritakan kisah Papa sama Mama dulu adalah untuk memberi gambaran bahwa yang namanya hidup berumah tangga itu gak semuanya seindah dongeng-dongeng tuan putri bertemu pangerannya tapi ini perihal menyatukan dua kepala dengan kebutuhannya masing-masing. Dua kepala ini juga pasti memiliki kesulitannya sendiri, nah disitulah yang menjadi tantangan kita untuk menghadapi itu.” “Kalau kita sudah lewati itu semua, udah deh, semuanya jadi lebih mudah kita lewati sama-sama dan lebih banyak bersyukurnya dengan momentum yang ada. Yah meskipun Papa kadang-kadang galak, ngeselin, kaku tapi Mama bersyukur dengan kehadiran Papa di hidup Mama...” “Karena Papa, Mama bisa melahirkan permata-permata Mama yaitu kamu dan Bang Jeffry... hihihi...”

Anela bergeming panjang, Kapan ya aku bisa melewati semuanya... baru segini aja berat banget...

“Jadi ya, selama Haidar masih menghargai kamu sebagai seorang wanita dan istrinya... kamu harus mau terima semua kekurangannya, kalian tuh hidup bersama bukan untuk saling menyempurnakan, tapi saling melengkapi...” “Paham ya, sayang?”

“Hmm...”

“Ehem.”

Suara bariton dari seorang pemuda berusia 28 tahun itu mengejutkan Anela dan Rebecca yang sedang berbincang antar hati.

“Gosip mulu heran, mana sebut-sebut nama Abang”celetuk Jeffry sambil mencomot satu croissant milik Anela

“EH ITU PUNYA GUE!!!“pekik Anela

“Elah bagi dikit! Masih banyak di kulkas, ntar bawa aja semua noh sekalian bawain buat laki lo!”

“Yaudah beneran potong setengah persen.”

Sang Ibunda mengerut dahi, “Setengah persen?”

“EEHHHH ENGGAK MAH ENGGAK, ANELA! GUE PUKUL LO YA!!”

“Yeuh, umur doang 28 kelakuan bener-bener masih kek remaja labil.” “NIKAH DONG MAKANYA!!!”

“Ya Allah turunkan hamba-Mu ini bidadari cantik nan sholehah yang akan menjadi istri hamba, Ya Allah... capek bener di dzalimin adek sendiri...”

Rebecca tersenyum penuh arti, “Kalo Anela... kapan dong punya momongan...? Mama mau gendong cucu nih...”

Anela skakmat di tempat.