Gue melihat keramaian anak-anak yang sedang mengikuti minggu sehat dengan pengecekan kesehatan gratis. Ada yang lari ketakutan karena takut di suntik padahal tidak, ada yang justru dia menantang diri di hadapan teman-temannya, dan ada juga yang memanfaatkan peluang untuk mendapatkan makanan dan minuman gratis dari perawat setelah kesehatannya di check. Lucu-lucu deh pokoknya hahaha...
Tangan gue yang masih mengait di jemari Mas Haidar seketika ia genggam erat, Mas Haidar menatap gue lembut, dia meletakkan punggung tangan gue di dadanya...
“Mas.”
“Hm?”
“Kebayang ya... nanti kalau kita punya anak kayak gimana...”
“Pasti bakal lucu-lucu, ya gak, Mas?!”
Mas Haidar tertawa kecil, “Iya...”
Pandangan gue terhenti kepada sosok laki-laki jangkung berparas putih tampan yang sangat tidak asing bagi gue, dengan jas putihnya dia sedang menggendong seorang anak kecil.
Naresh?! Kenapa dia disini?!, pikirku
“Ma-Mas, kok... ada Naresh?!“sontak gue
“Hm? Dia anaknya ketua yayasan rumah sakit yang fasilitasin pengecekan ini, Maryam”balas Mas Haidar santai
O-Oh, ini... acaranya Rumah Sakit punya keluarga Naresh itu?! Duh gue males banget ketemu dia!
Tatapan kami bertemu dari kejauhan, tanpa ba-bi-bu Naresh berlari kecil menghampiri kami disini, senyuman lebarnya ia tujukan ke Mas Haidar dan mereka berjabat tangan akrab, kok bisa sih Naresh sok akrab gitu sama Mas Haidar?!
“Hai, Nel”sapanya, gue hanya melirik sebentar lalu memaling wajah dari tatapan Naresh, “Kayaknya... lo masih ada dendam sama gue, Nel.”
Mas Haidar menyenggol lengan gue, “Gak boleh gitu, maafkan saja sudah kalau dia ada salah”tegur Mas Haidar dengan nada membisik, gue hanya memautkan bibir cemberut.
“Kayaknya kehidupan lo sekarang jauh lebih baik ya, Nel, di bandingkan sebelumnya.”
“Hm.”
“Kabar temen-temen lo gimana?”
“Baik.”
Naresh menghela nafasnya panjang, “Kalo lo masih marah sama gue gapapa, Nel, gue tetep gak bosen kok untuk minta maaf.”
“Gue akuin emang kata-kata gue dulu jahat, sekarang gue juga berusaha memperbaiki diri dan masih belum sampai ke tahap kayak lo.”
“Lo hebat, gue kagum sama lo.”
Ungkapan Naresh entah kenapa mulai sedikit menyentuh hati gue, gue bisa melihat dari tatapan matanya yang nanar itu, Naresh... beda dengan Naresh dulu yang gue kenal.
“Ehem. Terima kasih untuk ungkapannya Naresh”tiba-tiba Mas Haidar menyergah percakapan antara gue dengan Naresh, “Sudah selesai ngobrolnya? Kalau sudah saya mau ajak istri saya keliling dulu. Kamu silahkan lanjutkan pekerjaan kamu.”
“Ayo, Maryam.”
Mas Haidar menarik paksa rangkulannya dan meninggalkan Naresh diam mematung disana. Gue mengernyit heran, tadi kan Mas Haidar sendiri yang nyuruh gue ngomong, jangan cuekin Naresh kayak tadi tapi kenapa dia yang kesel dan narik gue pergi kayak gini?
“Kamu bareng Aisyah aja dulu di saung sana, dia lagi main sama anak-anak pondok yang belum dapet giliran.”
“Saya masih harus mantau pengecekan disana.”
“Oh yaudah aku ikut Mas—”
“Gak usah, saya gak mau istri saya terbuai dengan tatapan buaya kelas kakap disana. Ternyata gak adik saya aja yang harus saya jaga betul-betul, ternyata kamu juga harus saya jaga.”
Tunggu...
Ini Mas Haidar cemburu?
“Mas... cemburu sama Naresh?”
Mas Haidar tertawa renyah, “Cemburu? Ngapain saya cemburu sama anak kecil kayak Naresh?!”
“Tapi tadi Mas gak seneng aku ngobrol sama Naresh...”
“Maryam, laki-laki dan perempuan bukan mahram itu tidak boleh saling bertatapan kayak tadi. Itu tetap di katakan zina, ngerti?”
“Saya harus menjaga kamu sebagai seorang suami.”
Ish, segitu susahnya bilang cemburu. Jual mahal banget jadi laki 😒
“Yaudah iyaaa...! Aku sama Aisyah aja kalo gitu.”
“Iya, kamu tunggu saya aja disana.”
“Jangan kemana-mana ya!”
“Iya...”
Mas Haidar langsung berlari ke ruang utama meninggalkan gue di tengah lorong sendirian, beneran deh, gue gak habis pikir sama suami gue, emang kenapa sih cuman sekedar bilang kangen, cemburu, sayang tuh kayak susah banget? Apa dulu sama Nafisa dia gak pernah mengekspresikan perasaannya kayak gitu juga? Jangan-jangan lebih romantis sama Nafisa lagi daripada sama gue?!
Tuhkan, overthinking lagi gue ah 🙃
“Aisyah!”
Sang pemilik nama itu langsung membalas sahutan gue dengan lambaian tangannya riang. Dia masih sibuk memberikan tausiyah untuk anak-anak kecil di saung sana, gue tidak berniat untuk mengganggu waktunya, jadi gue hanya duduk di sebelah Aisyah tanpa membuat suara sedikitpun.
“Jadi... Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sendiri adalah sosok pribadi yang sangat memperhatikan kesehatannya, coba kira-kira apa aja sih tips sehat dari Baginda Rasulullah?”
“Olahraga memanah dan berkuda!!”
“Ya! Berarti kita harus rajin berolahraga!”
“Makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang!”
“Betul! Agar kita bisa makan secukupnya dan gak bikin gendut! Karena sesungguhnya, pada zaman sahabat dulu ada orang yang perutnya buncit dan di tegur oleh Umar bin Khattab ra. beliau mengatakan kalau perut buncit itu adalah azab dari Allah, kenapa begitu?”
“Karena perut buncit itu membuat kita malas untuk beribadah dan mendatangkan banyak penyakit! Jadi hayo... siapa nih yang masih suka makan banyak...”
“Jamal tuh, Kak!! Perutnya gede banget kayak gentong!!”
“Enak aja kamu!! Nanti lihat aja, ntar gede aku kurus ganteng kayak Aliando!!”
“Tenang aja, Kak Aisyah, nanti Jamal ikutin semua tips sehatnya Rasulullah biar nanti gak gendut lagi!!”
“Hahahahaha....”
Gue terhenyak dengan semua penyampaian tausiyah dari Aisyah, adik ipar yang begitu gue sayangi seperti adik sendiri. Di rumah, Aisyah itu adalah sosok gadis kecil yang manja seperti pada usianya tapi kalau sudah menjalankan tugasnya sebagai guru disini... Aisyah jadi terlihat sangat dewasa dan keibuan. Dulu waktu dia ngajarin gue di pondok sini juga keren sih, tapi beda banget ketika sekarang dia mengayomi adik-adik yang lebih muda darinya.
Kakak adik sama ternyata, mereka punya jiwa mengayomi yang kuat.
“Kak Anela kok gak sama Abang? Abang kemana?”
“Itu, Mas Haidar lagi ngawas—”
“HUWEEEEEEEEEE!!!!! GAK MAUUUU!!!!! GAK MAUUUU!!!!!!”
Semua terkejut dengan suara amukan anak kecil dari ruang utama sana, seketika anak-anak kecil itu berdiri dan lari tergopoh-gopoh ke sumber suara. Mau gak mau, gue dan Aisyah juga ikut lari kesana untuk melihat situasi
tapi...
“Sstt... Akbar, ini Om ada disini jangan nangis ya? Gak di suntik kok cuman di cek sebentar aja.”
“Aduh, Haidar, maaf ya Haidar rewel gini... nak, sini nak sama Bunda...”
“GAK MAU OM HAIDAR GAK MAUUU!! AKBAR GAK MAU DI CEK SAMA DOKTER TAKUT!!! MAUNYA SAMA OM HAIDAR!!!”
“Iya nak, ini Om disini sama Akbar ya... yuk anak baik, di cek dulu ya sebentar aja... yuk, yuk...”
Gue bisa melihat betapa Mas Haidar mengkhawatirkan anak laki-laki itu seperti anaknya sendiri, dengan Nafisa di sampingnya seolah-olah mereka tampak seperti... sebuah keluarga.
Dada gue sakit, sakit banget.
Kenapa ya?
Lemah banget heran.
“Ustadz Haidar sama Ustadzah Nafisa cocok ya?! Akbar kan selama ini jauh sama Ayahnya.”
“Iya, dan kayaknya di antara santri yang lain, Ustadz Haidar lebih perhatian ke Akbar...”
Mas... Aku masih mau berprasangka baik karena kamu hanya sekedar bersimpati dengan anaknya... Ayo, Anela, lawan semua pikiran-pikiran buruk kamu sama Mas Haidar...
“Huwaaa...! Gak mau! Gak mau!”
“Nak...”
“Nih!”
Gue berusaha untuk membesar hati, memberikan satu coklat kepada balita yang di dekap erat oleh Mas Haidar itu hingga tangisannya terhenti.
“Nih coklat, nanti kalau udah enakan, pasti kamu gak takut lagi sama Pak Dokter!”
Mas Haidar diam terpaku dengan tindakan gue, begitupun Nafisa disana. Anak laki-laki bernama Akbar itu langsung mengambil coklatnya dan meminta gue untuk membukakan coklat itu untuknya. Dia melahap satu batang dua batang coklat dengan riang, dan seketika ia lupa dengan ketakutannya.
“Coklatnya enak?”
“Enyak...”
“Nah, sekarang Akbar mau kan di cek sama Dokter sebentar?”
Akbar menatap kedua mata gue lalu beralih ke Mas Haidar dan Bundanya, Nafisa, lalu ia mengangguk ke arah gue pelan. Kami semua menghembuskan nafas lega.
“Nah, yuk di cek dulu sama Dokter...”
Mas Haidar tersenyum lebar ke arah gue, dia merangkul bahu gue erat-erat sambil melayangkan satu kecupan singkat di pucuk kepala gue.
“Terima kasih ya, Maryam.”
Gue cuman bisa tersenyum miris.