“Maryam... bangun, shalat shubuh...”
“Uhh... bentar, Mas, 5 menit lagi...”
“Udah mau siang, ayo bangun.”
“Uhm...”
Haidar bergeming sejenak, lalu dengan sigap ia langsung menangkat tubuh istrinya bak tuan putri hingga membuat perempuan itu terperanjat kaget.
“E-Eh, Mas Haidar?!”
“Adik saya kalo susah bangun saya giniin juga, ayo bangun atau saya bawa kamu sampai ke tempat wudhu.”
“Perlu saya hukum kamu?”
Wajah Anela langsung memerah panas bak kepiting rebus, akhirnya ia mengalah dan segera turun dari angkutan suaminya. Haidar hanya terkekeh melihat Anela yang malu-malu langsung lari menuju ruang wudhu. Lucu juga si Maryam, hahahaha
Sekarang giliran adiknya, Aisyah yang belum ia jumpai tanda-tanda kehidupannya alias belum bangun juga dari tidurnya. Haidar mengetuk pintu adiknya itu 3 kali, “Dek... Aisyah, ayo bangun sudah shubuh nih.”
Tak ada jawaban.
“Aisyah bangun, saya tahu kamu masih marah sama saya tapi bukan berarti kamu gak bangun untuk shubuh juga.”
Masih tak ada jawaban.
“Aisyah Izzati, kalo masih gak ada jawaban juga saya angkut badan kamu ke tempat wudhu.”
Akhirnya Haidar langsung terobos masuk ke kamar adiknya dan matanya langsung melotot, pemuda itu mendapati adiknya yang masih dibalut mukena tengah tergeletak di lantai dengan keringat dingin yang bercucuran di wajahnya. Nafas Aisyah juga tersengal-sengal hingga mengeluarkan lirihan sakit dari bibir manisnya...
“Ukh... dingin... Bang...”
“Astagfirullah hal adzim, Aisyah!!”
Haidar langsung mengangkut tubuh adiknya yang bersuhu tinggi itu cepat dan membawanya ke dalam mobil sedan putih miliknya untuk di bawa ke rumah sakit agar bisa di tindak cepat.
“Mas Haidar, Aisyah kenapa??!!”
“Aisyah kena demam tinggi jadi saya mau bawa dia ke rumah sakit terdekat, kamu disini dulu aja, Maryam, jaga rumah. Saya gak akan lama.”
“Nanti saya kabari kamu.”
Anela gelagapan tak paham, mau bertanya lagi tapi suaminya sudah beranjak pergi menancap gas mobilnya. Ya Allah, semoga Aisyah gak kenapa-kenapa...
“Dok, gimana kondisi adik saya?”
Sang dokter hanya menghela nafas panjang, “Pola makan adiknya dijaga?”
“Terjaga kok, dok.”
“Tapi saya lihat adik kamu sepertinya ada gejala maag.”
Haidar tersontak, terkejut dengan penjelasan dokternya barusan.
“Dan juga pengaruh stress, sepertinya adik kamu lagi banyak pikiran atau emosinya sedang tak terkontrol makanya langsung nge-down fisiknya.”
“Istirahatkan aja dulu dari semua kegiatannya, terus rutin minum obat nanti juga sembuh sendiri. Wajar kok kalau anak remaja kayak gini, mereka masih belum bisa mengontrol emosinya dengan baik makanya bisa mempengaruhi hormon hingga tubuhnya sampai ngedrop kayak gini.”
“Ini resep obatnya langsung saya bawa, nanti kakaknya bisa ambil ke apotik ya.”
“Baik, Dok.”
“Kalau begitu saya permisi.”
“Terima kasih banyak, Dokter.”
Setelah Dokter pergi dari tempatnya, giliran Haidar yang mendampingi adiknya disana. Tangan besarnya mengelus lembut kepala adiknya yang masih bersuhu panas, seketika ia jadi ingat pada sebuah memori...
dimana ia mengalami hal yang sama seperti adiknya saat ini...
Flashback 10 tahun yang lalu...
“KENAPA HARUS SAYA TERUS YANG DI ANDALKAN??!! SAYA JUGA MAU MAIN KAYAK ANAK-ANAK LAIN!!! SAYA CAPEK!!!”
“ORANG-ORANG KENAPA BERHARAP BANYAK SAMA SAYA??!! SAYA INI MANUSIA BUKAN NABI!!!”
Haidar yang masih berusia 15 tahun pada saat itu, begitu Abahnya sakit-sakitan dan di rawat di rumah sakit, Haidar menerima banyak tekanan dari kiri-kanannya untuk menjadi seseorang yang akan mengemban tanggung jawab di pondok pesantren milik keluarganya. Sedangkan Haidar sendiri sebenarnya... punya mimpi.
“Kenapa saya gak bisa sekolah di sekolahan umum?! Saya maunya jadi dokter bukan jadi ustadz atau kyai!!”
“Haidar, sadar dengan posisi kamu sekarang! Kamu itu anak dan cucu pertama di keluarga kita! Justru kamu itu harus sadar diri dengan amanah ini!“seru Abinya
“Saya sudah muak, SAYA MUAK UNTUK MENGIKUTI KEINGINAN ORANG LAIN!!!”
“SAMPAI BUMI TERBELAH PUN, SAYA GAK AKAN MAU MASUK PESANTREN DAN NERUSIN POSISI ABAH DI PONDOK!!!”
BRAK!!! Haidar membanting pintu keras-keras dan mengunci dirinya di dalam kamar. Membiarkan amarahnya itu terus menjulur ke semua peraliran darahnya hingga otaknya itu terasa mendidih. Haidar merasa dirinya benar untuk mempertahankan pendiriannya sampai akhirnya keesokan pagi, Haidar juga ditemukan demam tinggi dan sesak nafas.
“Abi... maafin Haidar... maafin Haidar udah ngebentak Abi...”
Abi hanya menghempas nafasnya kasar, “Ini teguran langsung dari Allah, Dar. Pertama, kamu sudah mendahulukan emosi kamu dan membentak Abi, kedua, kamu hampir mengecewakan banyak orang dan tidak menjalankan amanah kamu untuk berjuang di jalan agama.”
“Abi tidak menghalangi jalan kamu untuk mencapai mimpi kamu, sekolah di pesantren pun kamu tetap bisa menjadi seorang dokter, tapi kamu tetap harus ingat dengan posisimu. Kamu memang tidak sama dengan anak-anak yang lain.”
Akhirnya pemuda itu merenungkan kata-kata sang Ayahanda, mencoba untuk berpikir dengan pikiran yang lebih jernih dan mempertimbangkan lagi pilihannya...
Sampai akhirnya Haidar menyerah sendiri dengan mimpinya, dan memilih jalannya yang sekarang untuk lebih mendalami ilmu agama dan meneruskan amanah keluarganya.
“Lho, Bang Haidar?”
Suara bariton dari belakang punggungnya membuyarkan lamunan panjang pria berparas eksotis itu, Naresh, laki-laki muda itu tiba-tiba datang menghampirinya.
“Eh, kamu...?”
“Saya Naresh, kemarin yang mampir ke pondok, Bang.”
“Owalah iya, Naresh, kok kamu ada disini?”
“Enggak, saya... abis ketemu Ayah saya disini.”
“Itu adiknya Bang Haidar kenapa?”
Haidar menoleh ke Aisyah sebentar, “Ah enggak, badannya lagi ngedrop aja tiba-tiba panas dingin jadi saya langsung bawa kesini.”
“Hmm...”
Haidar langsung tersontak dan ia berdiri menghadap Naresh, “Ah iya, saya mau minta maaf atas perilaku lancang adik saya kemarin. Mungkin dia sedang ada masalah atau—”
“Gapapa, Bang, saya paham. Memang kita sempet berselisih waktu awal ketemu.”
Berselisih?
“Be-Berselisih gimana?”
“Ya gitu, ada sedikit konflik aja hahaha tapi gapapa, saya sudah memaafkan dia kok.”
“Lagipula saya juga ada salah sama dia sebelumnya, saya belum sempat minta maaf.”
Sebenarnya ada apa ini Aisyah dengan Naresh?
“Permisi, keluarganya Aisyah ya? Bisa di proses dulu administrasinya?“tiba-tiba kedatangan seorang suster memberi aba-aba kepada Haidar untuk pergi ke bagian resepsionis untuk mengurus administrasi rumah sakit.
“Waduh, kalau gitu tolong jaga adik saya, sus—”
“Biar saya aja.”
Haidar tertegun, “Ah, gak usah, biar suster aja—”
“Saya aja, saya gak bakal macem-macem. Lagipula rame kan disini.”
Memang ruangan IGD hari ini sedang ramai-ramainya, tapi tetap ada sekelibat perasaan khawatir Haidar begitu melihat gelagat pemuda tampan ini terhadap adiknya.
“Maaf, Pak, bisa segera di proses? Soalnya biar gak mengantri lagi dari belakang.”
Naresh seolah memberi sinyal kepada Haidar agar segera cepat mengurus urusannya hingga akhirnya Haidar tak ada pilihan lagi.
Sekarang Naresh yang duduk di kursi samping Aisyah yang masih memejam matanya.
“Saya tahu kamu pura-pura tidur, Aisyah.”
Aisyah tersentak, ia membuka satu matanya dan mendapati laki-laki bersurai hitam berparas putih susu itu menatapnya remeh.
“Demam karena emosi yang meledak, kamu tipe orang yang mendem?”
“Bukan urusan kamu.”
“Urusan saya karena saya yang buat kamu marah, bukan begitu?”
Aisyah menganga, “Kamu cenayang ya?!”
“Daripada cenayang, memang kamu orangnya gampang di tebak.”
Gadis itu mencibir bibirnya, ia langsung membangunkan tubuhnya dan menyandar ke tembok agar lebih rileks dengan posisinya.
“Saya minta maaf, sudah kurang ajar sama kamu kemarin.”
Aisyah terkejut, ucapan maaf Naresh seolah terdengar ketus tapi tulus. Pemuda itu bahkan berani menatap kedua mata Aisyah secara langsung.
“Udah kan? Gak usah marah lagi, nanti malahan sakitnya lebih parah daripada sekedar demam.”
Aisyah menunduk, “Saya juga minta maaf kemarin ngusir kamu, saya juga lancang... harusnya saya gak kayak gitu.”
“Lancang banget sih, padahal Abang kamu kelihatannya sangat berpendidikan tapi adiknya malahan berani ngusir tamu.”
“Kayaknya agama gak pernah ngajarin kayak gitu.”
Aisyah menatap sinis Naresh, “Memang itu salah saya, jangan bawa-bawa agama.”
“Lho, saya cuman bilang emang gak ada kan agama yang mengajarkan kayak gitu? Bahkan Islam sendiri bukannya sangat memuliakan tamu?”
“Memang! Makanya saya bilang itu murni kesalahan saya—”
“Eh ada apa ini ribut-ribut?!”
Kedatangan Haidar menyudahi perdebatan panjang antara Aisyah dengan Naresh, “Aisyah, kondisi kamu masih ngedrop, tolong kontrol emosi kamu!”
“Dia duluan yang ngajak ribut!”
“Lho kok saya?!”
“Memang iya kok?!”
“Kamu aja yang mudah terpancing marahnya!”
“Ih siapa yang gak marah coba kalo situ ngomong kayak gitu?!”
“Udah, udah, stop! Aisyah, kita pulang sekarang ya... kamu harus istirahat total dirumah.”
“Naresh, terima kasih sudah menjaga adik saya.”
“Gak usah berterima kasih sama dia, Bang, malahan lebih baik dia gak usah ada disini!”
“Hush! Aisyah Izzati!”,
Aisyah memutar kedua bola matanya malas seraya melipat kedua lengannya angkuh di dada. Naresh hanya tertawa, ia sama sekali tidak tersinggung.
Nih cewek lucu juga, ya, jadi makin penasaran
“Yaudah kalo gitu kita pulang dulu ya, Naresh, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati, Bang.”
Akhirnya Aisyah dengan Haidar beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan laki-laki pemilik nama Naresh itu duduk sendirian dengan derai tawa gelinya setiap mengingat wajah marahnya Aisyah.
“Aisyah Izzati ya namanya...”
“Kayaknya kita bakal sering ketemu kedepannya.”
“Kenapa sih kamu gak bisa di kontrol emosinya? Dikit-dikit ngegas, apalagi sama orang yang lebih tua, gitu-gitu Naresh lebih tua 5 tahun dari kamu, Aisyah!”
Aisyah tak menggubris, hanya menatap pemandangan kota dengan ekspresi malas.
“Aisyah...”
“Udah ngomelnya, Bang?”
Aisyah menatap tajam Abangnya, “Kondisi aku lagi gini mau ngomelin aku apalagi?”
Haidar membalas tatapan adiknya nanar, “Aisyah... Abang tuh bukan ngomel sembarangan tapi memang ada yang harus diluruskan dari sikap kamu...”
“Aisyah tahu kok Aisyah salah, Aisyah bukan anak TK yang butuh bimbingan khusus bahwa ini benar atau salah, Aisyah udah akil baligh jadi Aisyah udah tahu mana yang salah, mana yang benar!”
“Abang bahkan gak tahu kan situasi aku sama si Naresh, Naresh itu gimana? Semua itu bagaikan hitam dan putih buat Abang padahal ada sesuatu yang abu-abu yang kita sendiri gak bisa jelaskan.”
“Abang selalu gitu, semua harus benar menurut Abang.”
Ini kali pertamanya Aisyah protes dengan pola pendidikan dirinya terhadap sang adik.
Jangan sampai Aisyah mengalami hal yang sama seperti aku dulu, Mas...
Haidar jadi teringat ucapan istrinya, mungkin benar kalau Haidar terlalu keras mendidik adiknya itu.
“Oke... Oke, kali ini Abang memang salah terlalu keras sama kamu. Abang minta maaf.”
“Abang gak denger penjelasan kamu dulu secara langsung dan terlalu cepat menyimpulkan masalah, Abang niatnya cuman untuk mendidik kamu, Aisyah, karena sekarang Abang megang 2 peran orang tua sekaligus untuk kamu.”
“Sekali lagi... Abang minta maaf.”
Tangan Haidar yang kokoh itu langsung mencubit pipi adiknya gemas hingga adiknya itu meringis kesakitan, “Udah dong, ngambeknya... Abang minta maaf, ya? Nanti sampe rumah kamu ceritain semuanya sama Abang, okey?”
“Ish! Minta maaf sih minta maaf tapi gak usah nyubit pipi dong!”
“Kalo gitu, Abang harus beliin Aisyah makanan dulu baru Aisyah maafin!”
“Eh apa-apaan itu?! Maafin kok ada syaratnya?!”
“Ya gak segampang itu lah, gara-gara Abang aku sakit gini!”
“Kalo ada Abi mah, Abang bisa di ceramahin 24 jam sekaligus gara-gara udah bikin adiknya sakit.”
Haidar menghela nafasnya panjang, “Hah... Yaudah, ini bukan semata-mata biar dimaafin kamu, tapi biar kamu juga cepet sembuh.”
“Yaudah mau beli makan apa?”
“Aisyah mau makan ramen kayak Naruto di minimarket samping Indoapril!”
Haidar mengernyit, “Hah? Ramen? Ya Allah anak ini bener-bener... kamu terpengaruh betul ya sama Naruto?!”
“Ih apaan sih, Aisyah kalo lihat Naruto makan ramen tuh kayak enak banget soalnya! Aisyah kan jadi kepo!”
“Ayo cepetan beli! Sekalian beliin buat Kak Anela!”
“Hedeh... kalo bukan karena kamu sakit mah, yaudah kita beli ramen dulu ya sekarang.”
“Asikk!! MELUNCUUURRR!!!!”