shinelyght

Kriet...

“Assalamualaikum...”

Haidar terkejut melihat istrinya yang tengah terpulas di atas sofa.

“Maryam...?”

Anela hanya bergerak sebentar, lalu membuka sedikit matanya dan mendapati wajah suaminya yang membangunkannya dari tidur.

“Maaf ya, kamu jadi harus nungguin saya pulang kayak gini. Lain kali kalau saya pulang malam kamu duluan aja di kamar.”

Anela tak menghiraukan ungkapan Haidar.

“Maryam? Kamu... marah sama saya?”

Anela menggeleng, “Enggak kok, aku ngantuk mas, yuk tidur.”

GREP! Haidar menarik tangan Anela hingga tubuh mungil wanitanya terjatuh di dada bidang milik pria berparas eksotis itu.

“Saya gak mau kita tidur dalam keadaan kayak gini. Ayo kita bicara, Maryam.”

“Mas, besok aku ada kelas pagi, mending kita tidur—”

“Saya dan Nafisa hanyalah rekan kerja sekarang, saya membantu Nafisa dengan anaknya di pondok untuk membalas jasa dia sebagai guru.” “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Anela menarik nafasnya panjang, berusaha untuk tidak terbawa dengan segala pikiran negatif yang menghantui kepalanya.

Ya sudah, percaya saja apa kata sang suami.

“Iya aku percaya, tadi... aku agak sensitif aja gara-gara cara Mas memandang Nafisa tuh beda.” “Mungkin akunya aja yang suudzon.”

“Maryam, saya tuh—”

“Udah ya, Mas, saya mau tidur serius deh ngantuk banget, udah jam 12.” “Kalo mau ngomong besok aja.”

Entah kenapa... sorot mata Maryam sekarang jadi sendu sekali, duh saya buat kesalahan besar kayaknya...

“Satu lagi.”

Haidar mendongak.

“Aku akan coba untuk berteman sama Nafisa jadi aku gak akan suudzon lagi sama Mas.” “Boleh kan?”

Haidar menghela nafasnya lega,

“Tentu boleh, kenapa tidak?”

Mobil putih berhenti sempurna di depan rumah kayu jati kuno dengan bangunan khas jawa. Haidar masih menatap wajah Anela yang masih terlukis raut bahagianya.

Semoga Maryam masih tersenyum gini setelah bertemu Nafisa...

“Mas Haidar? Kok bengong?”

Pria bersurai bersurai coklat legam itu menggeleng pelan, tangan besarnya mengelus lembut pipi sang istri, “Nggak, saya gapapa. Yuk turun.”

Masih dengan perangai cerianya, Anela membawa bunga dari suami tercintanya itu agar bisa ditunjukkan ke Aisyah sebagai bentuk sukacitanya.

Haidar masih berhenti di tempatnya, kakinya kaku untuk melangkah mengikuti istrinya dari belakang...

Ia takut jika masa kininya berguncang hanya karena masa lalunya datang mampir.

Inilah kenapa setiap kisah harus di selesaikan semuanya baik-baik.

Haidar harap, pertemuan Anela dengan Nafisa ini menjadi jalan untuk benar-benar mengakhiri masa lalu yang sempat mengikat hatinya... dan bekas ikatan ini akan menghilang sempurna.

“Bang Haidar! Kak Anela!”

Sahutan melengking Aisyah menyambut kehadiran pasangan itu, Anela lari memeluk tubuh mungil gadis itu dan memamerkan buket bunga pemberian Haidar ke Aisyah, “Lihat nih, pemberian abangmu!“ujuk Anela dengan bangganya.

“Ciee Bang Haidar bisa juga ya romantis! Dikira... masih harus remedial dulu gitu sama Bang Adit atau Bang Marco...”

Haidar hanya tertawa renyah.

”... Seperti yang kita ketahui, Fatimah Radhiallahu Anhu adalah salah satu sosok wanita inspiratif yang harus kita teladani sifat-sifatnya sebagai seorang mukminin...”

Suara menenangkan ini membuat langkah kaki Haidar langsung terhenti.

“Kalian tahu kisah beliau ketika menyerahkan kalung berharga satu-satunyanya kepada seorang musafir?” “Pada saat itu, ada seorang musafir yang menemui Rasulullah saw di sebuah masjid. Musafir itu kemudian meminta belas kasih Rasulullah karena bekal makanan dan seluruh hartanya telah habis. Bahkan si musafir juga menjelaskan bahwa pakaian yang dimilikinya hanya yang menempel di badannya ketika itu...”

Haidar menatap dari kejauhan, sosok wanita berhijab panjang berwarna biru pastel. Wanita itu dengan penuh pengkhayatan membacakan kisah inspiratif dari sosok putri Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

“Rasulullah saw kemudian meminta maaf kepada si musafir karena saat itu beliau tidak memiliki makanan atau benda lain yang bisa diberikan kepada si musafir. Lantas Rasulullah menyuruh si musafir untuk pergi ke rumah Rasulullah agar meminta bantuan kepada putrinya, Fatimah Az-Zahra...”

“Nafisa.”

Nafisa terkejut bukan main begitu sosok Haidar ada di belakangnya dan melihat dirinya tengah mengajar.

“Haidar...?”

“Ah ini kali kita bertemu di pondok, bukannya... Adit kasih tahu soal hari ini?”

Nafisa terkesiap, “Ah... afwan, Haidar, aku lupa...”

Mereka hanya bisa saling bertukar senyum sapa, Haidar memanggil istrinya yang masih asik berbincang dengan Aisyah,

“Kamu masih ingat kan dengan Maryam, istri saya?”

“Ah iya, Assalamualaikum, Anela...?” “Namanya Anela atau Maryam...?”

Haidar tersenyum, “Maryam itu panggilan sayang dari saya, karena saya suka arti dari nama itu.”

Nafisa tersenyum simpul, “Oh iya, artinya suci, bukan begitu?”

Haidar mengangguk, “Maryam, ini Nafisa, teman SMA saya yang menjadi guru disini. Dia mengajar Fiqih disini tapi tampaknya sekarang lagi sesi dongeng...?”

“Iya, lebih tepatnya sesi membaca cerita inspiratif dari tokoh Islam.”

“Ah iya, maaf, itu maksud saya.”

Anela menjawab oh ria, “Oh ya, salam kenal, Mbak Nafisa...”

“Kalau begitu, Nafisa, silahkan dilanjutkan ceritanya. Saya dengan istri saya disini cuman mau memantau kok kegiatan disini.”

Nafisa mengangguk nurut, kakinya kembali menjadi pembuka cerita yang terpotong, menyambung kembali bait kisah yang akan dijadikan bahan pembelajaran anak-anak pada hari ini... dan juga Anela.

“Oke, kita lanjut lagi ya ceritanya...” “Sesampainya di rumah Rasulullah, si musafir langsung menemui Fatimah dan menjelaskan maksud kedatangannya. Fatimah Az-Zahra yang memiliki kelembutan hati lantas berpikir bagaimana cara agar bisa membantu musafir tersebut meski saat itu Fatimah juga tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada musafir...” “Akhirnya, Fatimah teringat bahwa dirinya masih memiliki kalung pemberian Ali bin Abi Thalib, hadiah spesial pernikahannya. Kalung bersejarah itu pun diberikan kepada si musafir agar dijual dan hasilnya bisa digunakan untuk membeli keperluan perjalanannya.”

Anela sedikit terhenyak dengan pembawaan cerita yang dibawakan Nafisa kepada anak-anak di pondok sana. Keibuan, dan kelembutan yang ia bawa dalam setiap bait penyampaiannya benar-benar meresap dalam hati. Siapapun itu, pasti akan terkesima dengan sosok Nafisa.

Tapi...

Kenapa sekarang Haidar tak bisa melepas pandangannya dari Nafisa?

Tatapan Haidar itu sangat dalam, dan penuh dengan kesedihan. Ada apa dengan Haidar?

“Mas...?”

Haidar langsung membuyarkan lamunan panjangnya, “Ya? Kenapa?”

Anela menatap lagi kedua mata suaminya itu, memberikan sebuah sinyal tanda tanya ada apa dengan dirinya hari ini... tapi Anela sudah mendapat jawabannya sendiri.

“Kamu lapar? Mau pulang aja atau nungguin saya disini sampai pulang—”

“Saya mau pulang.”

Haidar tersontak, “Kamu gak mau denger kisahnya Fatimah...?”

“Lebih baik saya denger di YouTube aja.” “Kalo gitu saya pulang ya.”

“Ya sudah kalau gitu saya antar—”

“Gak usah, saya naik ojek online aja.”

“Naik ojek online gimana?! Kan ada saya—”

“Kalo Mas khawatir, mending saya naik motor sama Aisyah.”

“Kenapa harus naik motor sama Aisyah, Maryam? Kamu ada apa sih?!”

“Saya mau cari udara segar, kalo gitu silahkan di lanjut pekerjaan Mas.”

Anela langsung pergi meninggalkan pria berparas eksotis itu diam terpatung disana, menarik tangan Aisyah agar cepat-cepat membawanya pergi dari tempat ini.

Tempat ini seketika berubah menjadi menyesakkan semenjak kehadiran Nafisa disini.

Entahlah, hanya insting wanita yang sedang bergejolak ketika mata seorang laki-laki itu terlalu dalam pada lamunan...

Anela harus waspada.

“Gimana kondisi Sleman, Dit...?”

“Seperti biasa, Bu, tetap klasik tapi ngangenin... hehe...”

“Kapan kamu balik ke Jakarta?”

“Gak tahu, Bu, masih banyak urusan disini...”

“Kamu inget Cindy, anaknya Bu Agustina yang pernah tetanggaan sama kita dulu?”

“Ah iya inget.”

“Anaknya ayu tenan, lho, Dit... santun, keibuan... Ibu suka deh.”

Pemuda berusia 25 tahun itu sudah tahu ke arah mana perbincangan ini, ia hanya terkekeh sambil mengulum senyuman simpulnya, “Ibu... sabar sedikit lagi ya?”

“Lho kenapa? Ibu cuman mau bantuin kamu cari jodoh.”

“Iya sih...”

“Ada pacar kamu di Sleman?”

“Eh enggak, Bu...!”

“Terus apa lagi alasannya? Sudah berapa wanita yang ibu tawarkan kamu tolak, Dit...”

“Ibu... Adit lagi banyak urusan disini, begitu selesai semua Adit janji deh, Adit udah mulai fokus cari pendamping.” “Sabar ya bu...?”

“Terus kapan dong Ibu gendong cucu?”

“Secepatnya Ibu, ntar dapet 1 paket kok!”

Adit langsung mengatup mulutnya, laki-laki itu menepuk jidatnya keras-keras dan lengkingan suara Ibu yang memekik sukses membuat dahi Adit basah karena keringat dingin.

“1 PAKET GIMANA, DIT?! JANGAN BIKIN IBU MIKIR YANG ENGGAK-ENGGAK DEH!!”

“Astagfirullah gini maksud Adit, Bu...!”

“CEPETAN PULANG DEH KE JAKARTA, APA KAMU GAK MALU DITINGGAL KAWIN SAMA MARCO, HAIDAR?!” “Siapapun wanita pilihanmu, tetap harus dalam seleksi Ibu! Ibu harus tahu bibit-bebet-bobot calon istrimu!”

Haduh mampus gue...

“Yaudah kalo gitu Adit balik kerja dulu ya, Bu.”

“Jangan menghindar kamu, Adit! Adit?!”

TUUTT

Aditya Mahesa, pria bersurai hitam legam dan berparas putih oriental itu hanya bisa menderu nafas kasar sambil melempar ponselnya ke meja. Kalau bukan soal bakti terhadap orang tua, Adit sebenarnya malas untuk mengangkat telepon Ibunya yang sudah ke sekian kali.

Topiknya gak jauh-jauh minta cucu.

Bukan berarti Adit enggan untuk menikah, ia juga sedang usaha untuk mencari wanita yang tepat untuk mendampingi hidupnya.

Sayangnya...

“Mas Aditya...?”

Hatinya tlah terkait dengan satu perempuan.

“Gimana kondisi kamu, Angel? Sudah enakan?”

“Alhamdulillah sudah, maaf, Mas, entah kenapa denger nama Jovian masih buat emosi saya gak stabil.”

“Iya saya paham, tapi pikirkan kondisi bayi di kandungan kamu. Kalau kenapa-kenapa itu yang lebih repot.” “Kamu sudah makan?”

“Belum, Mas, tadi Fathiyah ngajak saya buat bikin nasi gudeg cuman—”

“Siapa suruh kamu boleh masak?”

Wanita berkerudung putih itu tertegun.

“Kamu tuh hamil besar, Angel, rentan sekali itu bayi dalam kandungan kamu!”

“Saya gak enak, Mas, saya udah numpang tinggal disini, belajar banyak terus di layanin—”

“Sudah, saya yang jamin kamu jadi gak usah banyak khawatir.” “Kamu harus melahirkan anak kamu dalam keadaan yang sehat, cukup,“Adit bergegas mengambil kunci motornya, “Kamu lagi pengen sesuatu gak? Biar saya beliin sekalian.”

“Uhm... lagi pengen nasi gudeg sih, tapi kreceknya yang banyak...”

“Sama apalagi?”

“Itu aja...”

“Susunya masih banyak gak? Perlu saya beli lagi?”

“Masih kok, Mas...”

“Yaudah kalo gitu saya pergi dulu, kamu istirahat aja dulu di kamar sebelum cek ke dokter kandungan lagi nanti.” “Kalo perlu apa-apa panggil Fathiyah.”

“Ma-Makasih, Mas Adit.”

Adit tak menggubris ungkapan kecil Angel yang menatap punggung pria itu menghilang dari pandangannya. Melihat bagaimana cara Adit memperlakukan Angel tentu membuat hatinya sedikit meringis, seandainya hari itu... Angel tak buta karena cinta fananya...

Mungkin sosok Adit akan datang di waktu yang tepat.

Tidak dalam keadaan seperti ini.

Angel merasa sangat tidak tahu diri jika ia berharap lebih kepada pria itu setelah apa yang terjadi selama ini.

Ini semua... karena Jovian, laki-laki brengsek yang tlah menghancurkan hidupnya.

Jovian harus menerima ganjaran yang setimpal. Dia harus merasakan penderitaan Angel bahkan harus lebih parah.

Maafkan Mama ya, nak... kamu harus lahir dari perempuan kotor seperti Mama dan laki-laki brengsek seperti Jovian... Maafin Mama...


Flashback beberapa bulan yang lalu...

“SUS! SUSTER TOLONG CARI PASIEN KAMAR 109! DIA GAK ADA DI KAMARNYA!!”

“Pak tolong cari semua penjuru kamar dan ruangan!”

Adit datang terheran-heran dengan jaket denimnya itu menghampiri salah satu suster, “Ini... ada ribut apa, Sus?”

“Ini, Mas, ada pasien kabur... kebetulan dia ini hamil muda terus ada indikasi gangguan mental juga, kami takut pasiennya kenapa-kenapa...”

Mendengar itu Adit langsung bergegas ikut membantu mencari sosok pasien yang di deskripsikan tersebut. Hatinya gusar, begitu mendengar seorang wanita yang hamil muda dimana itu mengingatkan pada Ibunya dulu yang mengandung dirinya...

Jangan-jangan gadis ini bernasib sama dengan Ibunya dulu...

BRAK!!

Adit menggebrak pintu darurat yang terkunci lalu langsung lari ke atas menuju loteng rumah sakit, firasatnya berkata bahwa Adit harus cari pasien itu disana...

Ternyata benar.

“MBAK BAJU BIRU DISANAA!!!!“Adit berteriak hingga gadis itu sedikit terperanjat. “STOP DISANA!!! TOLONG JANGAN NEKAT—”

“JANGAN MENDEKAT!!!”

Adit tersentak, langkah kakinya membeku begitu gadis malang itu malahan melangkah mundur satu langkah

“DIAM DISITU ATAU SAYA LONCAT DARI SINI??!!”

“MBAK! TOLONG TENANGIN DIRI DULU... JANGAN NEKAT, KASIAN ADEK BAYINYA...!!”

“UNTUK APA?! ANAK INI LAHIR DARI PEREMPUAN KOTOR SEPERTI SAYA, DAN DIA AKAN MEMILIKI SEORANG AYAH YANG BRENGSEK SEPERTI LAKI-LAKI ITU, BUKANNYA DIA AKAN LEBIH MENDERITA KALAU SAYA MELAHIRKAN ANAK INI??!!”

“BAYI DALAM KANDUNGAN ITU SUDAH JADI TAKDIR TUHAN MBAK, KASIHAN...!!”

“KENAPA TUHAN SEKEJAM ITU??!! APA DIA GAK KASIHAN DENGAN BAYI INI??!!”

“ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM, MBAK, SABAR DULU!! JANGAN NGOMONG KAYAK GITU, AYO KITA OMONGIN BAIK-BAIK YA..??”

“GAK MAU!!” “Kehidupan saya... sudah sangat menyedihkan, saya adalah aib keluarga, hidup susah pun gak ada yang peduli, gak punya siapa-siapa... SEKARANG HARUS NANGGUNG ANAK INI KARENA LAKI-LAKI BAJINGAN ITU!!! APAKAH ANAK INI HARUS MERASAKAN HAL YANG SAMA??!! KENAPA TUHAN TEGA??!!”

“SABAR MBAK, JANGAN NGOMONG GITU...!”

“Saya gak mau anak ini menderita karena saya, laki-laki itu kabur entah kemana dan saya gak mau anak ini lahir tanpa seorang ayah jadi lebih baik saya mati aja!”

“SAYA AKAN BANTU KAMU!!”

Mata gadis itu memencak lebar-lebar.

“Saya akan bantu kamu untuk cari ayah dari kandungan itu, dan saya akan bantu memenuhi kebutuhan kamu dan bayi dalam kandungan kamu!” “Di dekat sini ada pondok yang bisa kamu tinggali sementara, jadi kamu gak perlu merasa sendirian...” “Jangan buat bayi kamu semakin menderita karena pilihan ekstrem kamu... dia berhak hidup, dia berhak punya masa depan, jangan rebut haknya, mbak...” “Kamu bisa perbaiki semuanya dari awal, jadi ayo, turun dari situ dan ikut sama saya...”

Satu bulir kristal lolos dari mata gadis itu hingga sesegukan, ia melangkah maju menghindari pegangan besi yang membatasi ketinggian dari gedung, kakinya lemas di tempat dan gadis itu tersungkur tak sadarkan diri.

Adit cepat-cepat membopong tubuh gadis itu ke bawah menuju kamarnya, serontak seluruh suster dan dokter yang bertugas menghampiri tubuh gadis malang itu yang masih lemas tak sadarkan diri.

Sang dokter menjelaskan kondisi gadis itu dari awal, ketika ia dinyatakan hamil 3 bulan lalu beberapa indikasi gangguan mental yang di idapnya seperti depresi tingkat 6, PTSD dan insomnia, hingga asal muasal gadis itu.

“Jangan bilang... Haidar kenal sama anak ini? Bisa jadi kan dia salah satu mahasiswanya Pakde...“gumamnya

Begitu Adit menghubungi Haidar perihal gadis yang ia temui itu ternyata benar, itu mahasiswanya malahan berkawan dekat dengan calon istri sahabatnya itu.

“Namamu Angel kan?”

Setelah tak sadarkan diri semalaman, gadis sang pemilik nama Angel akhirnya bangun dan jauh lebih tenang dari sebelumnya.

“I-Iya mas betul...”

“Perkenalkan saya Adit, ya saya kebetulan lagi lewat aja karena habis antar Bibi saya kesini terus dengar ada pasien kabur jadi saya ikut bantu cari dan ternyata itu kamu.” “Lain kali jangan nekat begitu, kamu akan sangat menyesal kalau kamu benar-benar mati dengan cara ekstrem seperti itu.”

Angel menunduk saking malunya dengan perbuatannya semalam, “Ma-Maaf, Mas, saya... benar-benar frustasi dengan hidup saya... kenapa... kenapa nasib saya bisa seburuk ini... kenapa saya—”

“Itu pilihan hidup kamu, anak itu juga salah satu dari pilihan kamu dengan pacarmu. Kenapa kamu harus salahkan Tuhan?” “Saya tahu saya bukan di posisi untuk menasihati tapi mumpung kamu lagi sadar saya akan luruskan sedikit cara berpikir kamu, bayi itu adalah takdir dari apa yang tlah kamu perbuat. Takdir Tuhan itu tidak pernah ada yang buruk selama kamu menghadapinya dengan jalan yang benar. Kamu sudah berbuat salah sebelumnya hingga akhirnya kamu mengandung anak kamu, maka selanjutnya apa kamu mau berbuat salah lagi dengan mati sia-sia karena bunuh diri?” “Semua manusia memang pernah salah, kamu sudah berbuat salah sebelumnya berarti yang kamu harus lakukan itu adalah perbaiki masa depan kamu dengan berubah menjadi orang yang lebih baik dari sekarang.”

Angel meremas ujung selimutnya erat, hatinya benar-benar hancur ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya Adit...

Karena ucapan itu mengingatkan ia dengan sosok yang tak asing.

“Omong-omong kamu mahasiswanya Pak Eko ya?”

Angel mendelik, “Iya, Mas...”

“Kenal Haidar? Yang pernah gantiin beliau waktu sakit.”

Angel semakin terkaget-kaget, “Iya! Kenal banget! Temen saya tunangannya Kak Haidar!”

Adit menghela nafas panjang, “Temen kamu tahu kondisi kamu?”

Angel menggeleng cepat bahkan menggenggam kedua tangan Adit memohon, “TOLONG MAS! TOLONG!! JA-JANGAN KASIH TAHU TEMEN SAYA!! SAYA GAK MAU TEMEN-TEMEN SAYA TAHU KONDISI SAYA SEKARANG, SAYA MOHON SEKALI SAMA MAS!!”

Lagi-lagi Adit cuman bisa menatap iba gadis yang ada di hadapannya, ia betul-betul gadis yang hidup sebatang kara...

Sebagaimana dulu Ibunya yang dulu terseok-seok sambil membawa dirinya yang masih berada di dalam kandungan... dan Ibunya bertemu dengan sosok Abah Faqih yang bersedia menampung Ibunya di pondok miliknya hingga melahirkan Adit dalam keadaan sehat wal afiat, dan akhirnya Adit di besarkan dalam lingkungan yang baik bersama keluarga Haidar.

Adit harap bayi dalam kandungan Angel akan merasakan demikian juga...

“Ya sudah kalau begitu, sekarang kamu istirahat dulu sampai benar-benar pulih.” “Mulai detik ini, kamu akan slalu dalam pantauan saya.”

Adit hanya mengharapkan hal ini bisa menjadi amal ibadahnya kelak karena tlah menyelamatkan 2 nyawa dalam sekaligus...

Bismillah.

Pagi-pagi lebih tepatnya pukul 6, lekukan senyum sumringah gue langsung terlukis begitu cookies buatan gue sudah matang sempurna dari oven. Emang-emang deh zaman sekarang tuh kalo nyari resep tuh udah gampang dan canggih, padahal dulu gue cuman bermodal masak makanan pasta simple atau makanan instan tapi sedikit demi sedikit gue jadi bisa explore banyak resep makanan anti gagal! Hehehe...

Tinggal belajar masak makanan rumah aja nih, gue masih payah banget.

“Wangi banget pagi-pagi.”

Suara serak Mas Haidar mengejutkan gue dari belakang, “Saya ketiduran tadi pas selesai ngaji, kebangun lagi gara-gara wangi kue kamu.”

“Eh iya mas? Maaf ya jadi ganggu tidur kamu...”

Mas Haidar menggeleng seraya tersenyum lembut, ia memanggut dagunya di bahu gue sehingga jarak kami betul-betul terpotong, jantung gue lagi-lagi berdesir tak menentu.

“Bikin apa?“tanyanya dengan nada dalamnya

“Bi-Bikin cookies...”

“Suapin dong satu.”

Dengan gemetar gue mencoba untuk menyuap satu cookies ke mulutnya, Mas Haidar langsung melahap satu cookies sambil melempar tatapan smirk kearah gue.

“Enak kuenya, saya suka.”

Ya Allah mleyot gue...

“Kamu bikin berapa banyak, Maryam?”

“Lu-Lumayan banyak sih...”

“Bungkusin beberapa untuk tetangga, mereka pasti suka kue kamu.”

Gue mendelik, “Eh tapi, Mas, aku bikin banyak untuk cemilan kita...”

Mas Haidar menoleh, “Maryam, kalau kita memasak dan aroma masakan itu sampai ke rumah tetangga kita alangkah baiknya kita berbagi dengan mereka, setidaknya dengan tetangga sebelah kita.” “Itu adab bertetangga dalam Islam, jadi lebih baik kita bagikan saja kue kamu itu ke tetangga sekalian kamu kenalan dengan mereka.”

Gue hanya bisa menuruti apa kata suami, akhirnya gue mengambil beberapa plastik kecil dengan pita cantik yang ada di rak atas kulkas, gue membungkus sekitar 3 bungkus plastik berisi kue buatan gue yang di ikat sempurna dengan pita warna-warni nan cantik ini.

Senyuman Mas Haidar langsung tersungging lebar, “Nah gitu dong, yuk kita bagiin sekarang.”


“Assalamualaikum Tante Rita... Haidar nih...”

Seorang wanita paruh baya berjilbab ungu itu langsung keluar dari rumahnya, menyambut kehadiran Mas Haidar dengan penuh sukacita, “Waalaikumsalam, Haidar... wah pagi-pagi udah datang ada apa?”

Mas Haidar langsung menepuk kedua bahu gue sehingga tubuh gue sedikit ke depan, “Ini kenalkan istri saya, Maryam, kebetulan istri saya abis masak kue jadi mau bagi sedikit untuk Tante...” “Maryam.”

“Ha-Halo, Tante... saya Anela... i-ini kue untuk Tante...”

Tante Rita langsung tersenyum sumringah begitu menerima kue buatan gue, “Wah kayaknya enak nih, makasih banyak ya nak Anela... eh dipanggilnya Anela atau Maryam nih?”

“Boleh panggil apa aja, Tante, hehehe...”

Mas Haidar menimpal, “Maryam panggilan sayang saya, Tan.”

AGDJSKSL MAS HAIDAR INI DIRUMAH ORANG SEMPET-SEMPETNYAAA!!! 😭😭😭

“Hmph, kamu ini ya, udah jago ngalusin perempuan!” “Kalo gitu yuk masuk, kita minum teh dulu, Tante mau banyak ngobrol nih sama Anela!”

Tante Rita menggandeng lengan gue akrab dan menuntun kami ke kursi kayu sederhananya di ruangan tamu rumahnya.

“Sudah menikah berapa lama ini?”

“Baru seminggu, Tante...”

“Wah masih pengantin baru, pasti lagi lengket-lengketnya ini...”

Kami tertawa renyah, entah kenapa sebuah fakta bahwa kami ini adalah pasutri masih buat gue salah tingkah gak karuan😭

Maklum ya guys... gue gini-gini tuh gak pernah pacaran...

Agresif di awal doang, pas udah kayak gini jiper juga gue.

“Saya jadi kangen sama anak saya di Australia, dia udah bangun keluarga sama suaminya disana... oh ya, Haidar, Teh Aghni titip salam tuh sama kamu...”

Gue membisik, “Teh Aghni tuh... siapa, mas?”

“Anaknya Tante Rita, dulu waktu saya UN SMP di ajarin sama Teh Aghni.”

“Dulu Haidar dan Aghni seperti kakak adik, karena Teh Aghni 7 tahun lebih tua dari Haidar ya?”

“Iya, Tante, dulu Teh Aghni banyak bantu saya...”

“Sekarang kalian sudah berkeluarga semua, Tante jadi terharu...” “Tante masih simpen nih foto kamu waktu masih kecil.”

Mas Haidar langsung mencegat Tante Rita beranjak dari tempatnya, “Ga-Gak usah Tante, disini aja kita ngobrol santainya gak usah repot-repot, hehehe...”

Gue celingukan bingung, dan Tante Rita juga hanya bisa duduk mengikuti arahan Mas Haidar yang mendadak gelisah.

“Haidar.”

“Ya, Tante?”

“Kapan atuh rencana punya momongan?”

UHUK!! UHUKK!! Mas Haidar langsung tersedak minumannya, gue jadi ikutan malu sekaligus menutup setengah muka gue yang mulai memerah tomat.

“Lho kok kaget gitu sih?! Kalian gak ada persiapan apa-apa gitu?!”

“Bu-Bukan gitu, Tante—”

“Coba Anela, kamu mau punya berapa anak?!”

Aduh mampus gue...

“U-Ukh... du-dua?”

“Sekalian aja empat! Biar rame rumahnya!”

Mas Haidar masih terbatuk-batuk kaget.

“Aghni tuh Tante nasehatin biar punya anak banyak tuh susah! Dia bilang 2 anak aja cukup! Nanti nih ya, kalo udah tua kayak Tante gini nyesel punya anak dikit!” “Anak satu-satunya, perempuan pula, udah di bawa pergi sama anak orang! Akhirnya masa tua Tante sekarang sendirian deh. Mau ketemu cucu juga susah!”

Dengernya kasihan sih, ta-tapi kan...

Kita masih belum kepikiran punya anak, kita aja belum ngapa-ngapain 😥

“Kamu mau ikut promil gak? Tante punya kenalan bidan bagus deh, mereka punya promil yang bagus juga udah banyak testimoninya!”

“Uh... Makasih, Tante, ta-tapi Anela masih mau fokus studi dulu... Anela belum selesai kuliahnya...”

“Oh gitu?”

“Iya...”

“Ya gapapa! Itu bisa di program juga! Nih ya, Anela, zaman sekarang tuh canggih lho mau punya anak pertama cowok ada caranya, mau punya anak cewek ada caranya bahkan mau punya anak kembar pun ada caranya juga!” “Haidar, kamu juga sebagai kepala keluarga harusnya berpikir lebih panjang lagi dong! Kamu harus punya rancangan keluarga seperti apa yang ingin kamu bangun, terus planningnya gimana... kalian nikah kan bukan cuman perkara halal bisa mesra-mesraan selesai!”

Mas Haidar kelihatannya tenang banget ngadepin pertanyaan kayak gini. Mana dia tadi ngetawain gue gara-gara gue kelimpungan ngejawab setiap pertanyaan Tante Rita.

Kebiasaan banget emak-emak😫

“Makasih banyak sarannya, Tante... tapi Haidar juga udah punya rencana keluarga sendiri kok, jadi gak usah khawatir.” “Kalo nanti Tante mau gendong cucu pokoknya deket deh, Tante udah tinggal terima jadi.”

Terima jadi udah kayak joki skripsi aja... ish, Mas Haidar nih...!

“Pokoknya nanti kalo ada apa-apa, kalian kesini aja ya, oke? Haidar itu udah kayak anak Tante sendiri jadi jangan sungkan kalau mau minta tolong.”

Kami berdua mengangguk mantap, “Terima kasih, Tante Rita.”


“Maryam.”

“Hm?”

“Kepikiran ya omongan Tante Rita?”

Gue tertegun, “E-Enggak kok, biasa aja.”

“Kalo saya kepikiran sih.”

Seketika tangan gue berhenti menyisir rambut gue yang masih setengah basah, bukan gak mau tapi... ada sebuah gejolak lain yang ada di hati gue seolah mengatakan gue ini belum siap sampai ke jenjang sana. Salah gak sih gue kayak gini?

“Kamu gak mau daftar promil dulu yang di tawarin Tante Rita tadi?”

“Em... Mas—”

“Kalau kamu gak mau ya gapapa, saya gak maksa. Saya kebiasaan soalnya kalau denger orang minta sesuatu gak bisa nolak.” “Dan permintaan mereka juga gak salah buat kita, kan? Saya suka lihat juga orang-orang ikutan promil jadi lebih terprogram rancangan keluarganya”

Gue hanya bisa memberi senyuman pasi sebagai jawaban.

“Kayaknya aku perlu waktu untuk pikirin lagi, Mas...”

Mas Haidar menjawab oh ria, “Oh... ya sudah kalau gitu.” “Udah malem sekarang, yuk tidur.”

Mas Haidar mematikan lampunya dan tidur membalikkan tubuhnya memunggungi gue. Apa gue udah mengecewakan Mas Haidar? Karena buat gue gak segampang itu untuk membangun keluarga, apalagi gue masih fokus studi kayak gini.

Gue takut... nanti rencana keluarga kita jadi gak sesuai harapan dan malah lebih mengecewakan Mas Haidar.

Ah gak tahu deh, gue bimbang banget!

Gue langsung bergerak memeluk punggung Mas Haidar dari belakang, mencoba untuk menjadikan pelukan ini sebagai jaminan bahwa kita pasti bisa melalui semuanya dengan baik...

Aku harap Mas Haidar bisa lebih bersabar...

“Mas Haidar...”

“Hm?”

“Aku cinta sama Mas.”

Mas Haidar langsung membalik tubuhnya dan membalas pelukan gue lebih erat.

“Sudah tenang aja, saya gak marah, saya paham situasi kamu.” “Sekarang tidur ya, banyak hal yang harus kita lakukan besok.”

“Iya mas...”

Syukurlah kalau begitu...

“Maryam... bangun, shalat shubuh...”

“Uhh... bentar, Mas, 5 menit lagi...”

“Udah mau siang, ayo bangun.”

“Uhm...”

Haidar bergeming sejenak, lalu dengan sigap ia langsung menangkat tubuh istrinya bak tuan putri hingga membuat perempuan itu terperanjat kaget.

“E-Eh, Mas Haidar?!”

“Adik saya kalo susah bangun saya giniin juga, ayo bangun atau saya bawa kamu sampai ke tempat wudhu.” “Perlu saya hukum kamu?”

Wajah Anela langsung memerah panas bak kepiting rebus, akhirnya ia mengalah dan segera turun dari angkutan suaminya. Haidar hanya terkekeh melihat Anela yang malu-malu langsung lari menuju ruang wudhu. Lucu juga si Maryam, hahahaha

Sekarang giliran adiknya, Aisyah yang belum ia jumpai tanda-tanda kehidupannya alias belum bangun juga dari tidurnya. Haidar mengetuk pintu adiknya itu 3 kali, “Dek... Aisyah, ayo bangun sudah shubuh nih.”

Tak ada jawaban.

“Aisyah bangun, saya tahu kamu masih marah sama saya tapi bukan berarti kamu gak bangun untuk shubuh juga.”

Masih tak ada jawaban.

“Aisyah Izzati, kalo masih gak ada jawaban juga saya angkut badan kamu ke tempat wudhu.”

Akhirnya Haidar langsung terobos masuk ke kamar adiknya dan matanya langsung melotot, pemuda itu mendapati adiknya yang masih dibalut mukena tengah tergeletak di lantai dengan keringat dingin yang bercucuran di wajahnya. Nafas Aisyah juga tersengal-sengal hingga mengeluarkan lirihan sakit dari bibir manisnya...

“Ukh... dingin... Bang...”

“Astagfirullah hal adzim, Aisyah!!”

Haidar langsung mengangkut tubuh adiknya yang bersuhu tinggi itu cepat dan membawanya ke dalam mobil sedan putih miliknya untuk di bawa ke rumah sakit agar bisa di tindak cepat.

“Mas Haidar, Aisyah kenapa??!!”

“Aisyah kena demam tinggi jadi saya mau bawa dia ke rumah sakit terdekat, kamu disini dulu aja, Maryam, jaga rumah. Saya gak akan lama.” “Nanti saya kabari kamu.”

Anela gelagapan tak paham, mau bertanya lagi tapi suaminya sudah beranjak pergi menancap gas mobilnya. Ya Allah, semoga Aisyah gak kenapa-kenapa...


“Dok, gimana kondisi adik saya?”

Sang dokter hanya menghela nafas panjang, “Pola makan adiknya dijaga?”

“Terjaga kok, dok.”

“Tapi saya lihat adik kamu sepertinya ada gejala maag.”

Haidar tersontak, terkejut dengan penjelasan dokternya barusan.

“Dan juga pengaruh stress, sepertinya adik kamu lagi banyak pikiran atau emosinya sedang tak terkontrol makanya langsung nge-down fisiknya.” “Istirahatkan aja dulu dari semua kegiatannya, terus rutin minum obat nanti juga sembuh sendiri. Wajar kok kalau anak remaja kayak gini, mereka masih belum bisa mengontrol emosinya dengan baik makanya bisa mempengaruhi hormon hingga tubuhnya sampai ngedrop kayak gini.” “Ini resep obatnya langsung saya bawa, nanti kakaknya bisa ambil ke apotik ya.”

“Baik, Dok.”

“Kalau begitu saya permisi.”

“Terima kasih banyak, Dokter.”

Setelah Dokter pergi dari tempatnya, giliran Haidar yang mendampingi adiknya disana. Tangan besarnya mengelus lembut kepala adiknya yang masih bersuhu panas, seketika ia jadi ingat pada sebuah memori...

dimana ia mengalami hal yang sama seperti adiknya saat ini...

Flashback 10 tahun yang lalu...

“KENAPA HARUS SAYA TERUS YANG DI ANDALKAN??!! SAYA JUGA MAU MAIN KAYAK ANAK-ANAK LAIN!!! SAYA CAPEK!!!” “ORANG-ORANG KENAPA BERHARAP BANYAK SAMA SAYA??!! SAYA INI MANUSIA BUKAN NABI!!!”

Haidar yang masih berusia 15 tahun pada saat itu, begitu Abahnya sakit-sakitan dan di rawat di rumah sakit, Haidar menerima banyak tekanan dari kiri-kanannya untuk menjadi seseorang yang akan mengemban tanggung jawab di pondok pesantren milik keluarganya. Sedangkan Haidar sendiri sebenarnya... punya mimpi.

“Kenapa saya gak bisa sekolah di sekolahan umum?! Saya maunya jadi dokter bukan jadi ustadz atau kyai!!”

“Haidar, sadar dengan posisi kamu sekarang! Kamu itu anak dan cucu pertama di keluarga kita! Justru kamu itu harus sadar diri dengan amanah ini!“seru Abinya

“Saya sudah muak, SAYA MUAK UNTUK MENGIKUTI KEINGINAN ORANG LAIN!!!” “SAMPAI BUMI TERBELAH PUN, SAYA GAK AKAN MAU MASUK PESANTREN DAN NERUSIN POSISI ABAH DI PONDOK!!!”

BRAK!!! Haidar membanting pintu keras-keras dan mengunci dirinya di dalam kamar. Membiarkan amarahnya itu terus menjulur ke semua peraliran darahnya hingga otaknya itu terasa mendidih. Haidar merasa dirinya benar untuk mempertahankan pendiriannya sampai akhirnya keesokan pagi, Haidar juga ditemukan demam tinggi dan sesak nafas.

“Abi... maafin Haidar... maafin Haidar udah ngebentak Abi...”

Abi hanya menghempas nafasnya kasar, “Ini teguran langsung dari Allah, Dar. Pertama, kamu sudah mendahulukan emosi kamu dan membentak Abi, kedua, kamu hampir mengecewakan banyak orang dan tidak menjalankan amanah kamu untuk berjuang di jalan agama.” “Abi tidak menghalangi jalan kamu untuk mencapai mimpi kamu, sekolah di pesantren pun kamu tetap bisa menjadi seorang dokter, tapi kamu tetap harus ingat dengan posisimu. Kamu memang tidak sama dengan anak-anak yang lain.”

Akhirnya pemuda itu merenungkan kata-kata sang Ayahanda, mencoba untuk berpikir dengan pikiran yang lebih jernih dan mempertimbangkan lagi pilihannya...

Sampai akhirnya Haidar menyerah sendiri dengan mimpinya, dan memilih jalannya yang sekarang untuk lebih mendalami ilmu agama dan meneruskan amanah keluarganya.

“Lho, Bang Haidar?”

Suara bariton dari belakang punggungnya membuyarkan lamunan panjang pria berparas eksotis itu, Naresh, laki-laki muda itu tiba-tiba datang menghampirinya.

“Eh, kamu...?”

“Saya Naresh, kemarin yang mampir ke pondok, Bang.”

“Owalah iya, Naresh, kok kamu ada disini?”

“Enggak, saya... abis ketemu Ayah saya disini.” “Itu adiknya Bang Haidar kenapa?”

Haidar menoleh ke Aisyah sebentar, “Ah enggak, badannya lagi ngedrop aja tiba-tiba panas dingin jadi saya langsung bawa kesini.”

“Hmm...”

Haidar langsung tersontak dan ia berdiri menghadap Naresh, “Ah iya, saya mau minta maaf atas perilaku lancang adik saya kemarin. Mungkin dia sedang ada masalah atau—”

“Gapapa, Bang, saya paham. Memang kita sempet berselisih waktu awal ketemu.”

Berselisih?

“Be-Berselisih gimana?”

“Ya gitu, ada sedikit konflik aja hahaha tapi gapapa, saya sudah memaafkan dia kok.” “Lagipula saya juga ada salah sama dia sebelumnya, saya belum sempat minta maaf.”

Sebenarnya ada apa ini Aisyah dengan Naresh?

“Permisi, keluarganya Aisyah ya? Bisa di proses dulu administrasinya?“tiba-tiba kedatangan seorang suster memberi aba-aba kepada Haidar untuk pergi ke bagian resepsionis untuk mengurus administrasi rumah sakit.

“Waduh, kalau gitu tolong jaga adik saya, sus—”

“Biar saya aja.”

Haidar tertegun, “Ah, gak usah, biar suster aja—”

“Saya aja, saya gak bakal macem-macem. Lagipula rame kan disini.”

Memang ruangan IGD hari ini sedang ramai-ramainya, tapi tetap ada sekelibat perasaan khawatir Haidar begitu melihat gelagat pemuda tampan ini terhadap adiknya.

“Maaf, Pak, bisa segera di proses? Soalnya biar gak mengantri lagi dari belakang.”

Naresh seolah memberi sinyal kepada Haidar agar segera cepat mengurus urusannya hingga akhirnya Haidar tak ada pilihan lagi.

Sekarang Naresh yang duduk di kursi samping Aisyah yang masih memejam matanya.

“Saya tahu kamu pura-pura tidur, Aisyah.”

Aisyah tersentak, ia membuka satu matanya dan mendapati laki-laki bersurai hitam berparas putih susu itu menatapnya remeh.

“Demam karena emosi yang meledak, kamu tipe orang yang mendem?”

“Bukan urusan kamu.”

“Urusan saya karena saya yang buat kamu marah, bukan begitu?”

Aisyah menganga, “Kamu cenayang ya?!”

“Daripada cenayang, memang kamu orangnya gampang di tebak.”

Gadis itu mencibir bibirnya, ia langsung membangunkan tubuhnya dan menyandar ke tembok agar lebih rileks dengan posisinya.

“Saya minta maaf, sudah kurang ajar sama kamu kemarin.”

Aisyah terkejut, ucapan maaf Naresh seolah terdengar ketus tapi tulus. Pemuda itu bahkan berani menatap kedua mata Aisyah secara langsung.

“Udah kan? Gak usah marah lagi, nanti malahan sakitnya lebih parah daripada sekedar demam.”

Aisyah menunduk, “Saya juga minta maaf kemarin ngusir kamu, saya juga lancang... harusnya saya gak kayak gitu.”

“Lancang banget sih, padahal Abang kamu kelihatannya sangat berpendidikan tapi adiknya malahan berani ngusir tamu.” “Kayaknya agama gak pernah ngajarin kayak gitu.”

Aisyah menatap sinis Naresh, “Memang itu salah saya, jangan bawa-bawa agama.”

“Lho, saya cuman bilang emang gak ada kan agama yang mengajarkan kayak gitu? Bahkan Islam sendiri bukannya sangat memuliakan tamu?”

“Memang! Makanya saya bilang itu murni kesalahan saya—”

“Eh ada apa ini ribut-ribut?!”

Kedatangan Haidar menyudahi perdebatan panjang antara Aisyah dengan Naresh, “Aisyah, kondisi kamu masih ngedrop, tolong kontrol emosi kamu!”

“Dia duluan yang ngajak ribut!”

“Lho kok saya?!”

“Memang iya kok?!”

“Kamu aja yang mudah terpancing marahnya!”

“Ih siapa yang gak marah coba kalo situ ngomong kayak gitu?!”

“Udah, udah, stop! Aisyah, kita pulang sekarang ya... kamu harus istirahat total dirumah.” “Naresh, terima kasih sudah menjaga adik saya.”

“Gak usah berterima kasih sama dia, Bang, malahan lebih baik dia gak usah ada disini!”

“Hush! Aisyah Izzati!”,

Aisyah memutar kedua bola matanya malas seraya melipat kedua lengannya angkuh di dada. Naresh hanya tertawa, ia sama sekali tidak tersinggung.

Nih cewek lucu juga, ya, jadi makin penasaran

“Yaudah kalo gitu kita pulang dulu ya, Naresh, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, hati-hati, Bang.”

Akhirnya Aisyah dengan Haidar beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan laki-laki pemilik nama Naresh itu duduk sendirian dengan derai tawa gelinya setiap mengingat wajah marahnya Aisyah.

“Aisyah Izzati ya namanya...” “Kayaknya kita bakal sering ketemu kedepannya.”


“Kenapa sih kamu gak bisa di kontrol emosinya? Dikit-dikit ngegas, apalagi sama orang yang lebih tua, gitu-gitu Naresh lebih tua 5 tahun dari kamu, Aisyah!”

Aisyah tak menggubris, hanya menatap pemandangan kota dengan ekspresi malas.

“Aisyah...”

“Udah ngomelnya, Bang?”

Aisyah menatap tajam Abangnya, “Kondisi aku lagi gini mau ngomelin aku apalagi?”

Haidar membalas tatapan adiknya nanar, “Aisyah... Abang tuh bukan ngomel sembarangan tapi memang ada yang harus diluruskan dari sikap kamu...”

“Aisyah tahu kok Aisyah salah, Aisyah bukan anak TK yang butuh bimbingan khusus bahwa ini benar atau salah, Aisyah udah akil baligh jadi Aisyah udah tahu mana yang salah, mana yang benar!” “Abang bahkan gak tahu kan situasi aku sama si Naresh, Naresh itu gimana? Semua itu bagaikan hitam dan putih buat Abang padahal ada sesuatu yang abu-abu yang kita sendiri gak bisa jelaskan.” “Abang selalu gitu, semua harus benar menurut Abang.”

Ini kali pertamanya Aisyah protes dengan pola pendidikan dirinya terhadap sang adik.

Jangan sampai Aisyah mengalami hal yang sama seperti aku dulu, Mas...

Haidar jadi teringat ucapan istrinya, mungkin benar kalau Haidar terlalu keras mendidik adiknya itu.

“Oke... Oke, kali ini Abang memang salah terlalu keras sama kamu. Abang minta maaf.” “Abang gak denger penjelasan kamu dulu secara langsung dan terlalu cepat menyimpulkan masalah, Abang niatnya cuman untuk mendidik kamu, Aisyah, karena sekarang Abang megang 2 peran orang tua sekaligus untuk kamu.” “Sekali lagi... Abang minta maaf.”

Tangan Haidar yang kokoh itu langsung mencubit pipi adiknya gemas hingga adiknya itu meringis kesakitan, “Udah dong, ngambeknya... Abang minta maaf, ya? Nanti sampe rumah kamu ceritain semuanya sama Abang, okey?”

“Ish! Minta maaf sih minta maaf tapi gak usah nyubit pipi dong!” “Kalo gitu, Abang harus beliin Aisyah makanan dulu baru Aisyah maafin!”

“Eh apa-apaan itu?! Maafin kok ada syaratnya?!”

“Ya gak segampang itu lah, gara-gara Abang aku sakit gini!” “Kalo ada Abi mah, Abang bisa di ceramahin 24 jam sekaligus gara-gara udah bikin adiknya sakit.”

Haidar menghela nafasnya panjang, “Hah... Yaudah, ini bukan semata-mata biar dimaafin kamu, tapi biar kamu juga cepet sembuh.” “Yaudah mau beli makan apa?”

“Aisyah mau makan ramen kayak Naruto di minimarket samping Indoapril!”

Haidar mengernyit, “Hah? Ramen? Ya Allah anak ini bener-bener... kamu terpengaruh betul ya sama Naruto?!”

“Ih apaan sih, Aisyah kalo lihat Naruto makan ramen tuh kayak enak banget soalnya! Aisyah kan jadi kepo!” “Ayo cepetan beli! Sekalian beliin buat Kak Anela!”

“Hedeh... kalo bukan karena kamu sakit mah, yaudah kita beli ramen dulu ya sekarang.”

“Asikk!! MELUNCUUURRR!!!!”

Gadis mungil berjilbab merah muda yang saat ini sedang membawa motor vespa kuno-nya itu tengah bersenandung kecil. Menikmati perjalanannya bersama angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya, Aisyah Izzati, itulah namanya, ia tak sabar untuk membuat kue nanti bersama anak-anak pondok yang lain dengan bahan-bahan yang saat ini ia bawa.

Motornya berhenti begitu lampu lalu lintas di hadapannya berdentang warna merah, awalnya terlihat biasa-biasa saja sampai akhirnya...

TUK!

Tiba-tiba ada kaleng kosong yang menyentak pelipis matanya keras.

“Astagfirullah... HEH!!”

Aisyah tidak tinggal diam, gadis muda itu turun dari motornya lalu menghampiri sosok pengemudi mobil sport mewah berwarna hitam berkilau yang menjadi pelaku pelempar kaleng kosong barusan ke wajahnya.

“Mas! Kalo buang sampah tuh pada tempatnya dong! Gak tahu peraturan banget sih?!”

Pemuda berparas tampan itu tak menggubris, hanya menatap sinis Aisyah sejenak lalu memaling wajahnya lagi.

“Mas! Heh! Denger gak? Situ budeg ta?!”

Kesabaran Aisyah sudah mulai semakin menipis begitu ocehannya terus di anggap angin lalu oleh pemuda angkuh tersebut, saking kesalnya, Aisyah membalas melempar kaleng itu tepat di wajah pemuda itu hingga ia memekik dan melototi kedua mata Aisyah.

“Anjrit... WOY!!”

“Itu pembalasan! Tadi kamu juga ngelempar tu kaleng kena muka saya!”

Aisyah menghentakkan kakinya emosi, lalu cepat-cepat dia menancap gas motornya begitu lampu hijau sudah berdentang.

Duh, semoga aja aku gak ketemu lagi sama cowok tadi...


“Dari mana aja kamu, Syah?”

“Abis beli bahan-bahan kue.”

“Kenapa gak laporan ke aku?”

“Untuk apa aku laporan sama Bang Marco?”

Marco mengatup bibirnya rapat-rapat, kalian harus tahu satu hal, Aisyah memanglah sangat ceria dan usil tapi lain cerita kalau dengan laki-laki selain abangnya. Aisyah sering kali mengacuhkan bahkan tidak menganggap kehadiran cowok yang enggan ia ajak bicara.

“Kamu kok judes banget sih sekarang, kayaknya kemarin-kemarin kamu gak gini.”

Aisyah punya alasannya, ia jadi malas bicara dengan Marco semenjak abangnya itu terus-menerus melarangnya berinteraksi dekat dengan teman abangnya itu. Pasti Bang Marco ngomong yang aneh-aneh sama Abang ampe dia ngomel-ngomel gak jelas kayak kemarin! Malesin banget!

“Ntar ada tamu, buatin kopi ya.”

Aisyah gak balas, tapi ia menuruti pintanya Marco.

Suara mesin mobil terdengar jelas dari luar hingga membuat taruna itu bergegas lari menuju pintu depan pondok. Aisyah dengan telatennya masih sibuk memanaskan air tekonya dan menyeduh kopi sachet untuk 2 orang.

“Mbak Aisyah duh repot-repot gini biar Bude aja yang anterin...”

“Gapapa, Bude, biar Aisyah aja.”

Aisyah menutun nampan coklat dengan dua cangkir kopi di atasnya menuju ruang tamu.

“Wah kamu mahasiswa kedokteran ya? Sudah semester berapa ta?”

“Semester 5, Bang.”

“Udah banyak praktek itu, terus, terus gimana nih acaranya, kamu juga ikut kontribusi ntar?”

“Iya, nanti saya bersama teman-teman...”

Aisyah datang bersama kopi hangatnya membuat senyuman sumringah Marco langsung terlukis jelas.

“Naresh, kenalin nih adiknya Bang Haidar...”

Begitu kedua insan itu saling menatap...

“HAH KAMU?!”

Mereka berdua langsung tersontak bahkan Aisyah sampai menjatuhkan nampannya saking shock dengan pertemuan kedua yang tak terduga ini.

Pertemuan yang sangat tidak di inginkan.

“Kalian udah saling kenal—”

“NGAPAIN KAMU DISINI??!!“Aisyah memekik, dari ujung kepala sampai ujung kaki pemuda di hadapannya benar-benar masih melekat di kepala Aisyah.

Dia adalah laki-laki kurang ajar yang tadi melempar kaleng ke wajahnya.

“Oh jadi kamu adiknya Bang Haidar?“tanya Naresh dengan nada sinis

“Kamu siapanya Bang Haidar?!“Aisyah balik tanya dengan nada tinggi

Marco mengambil alih, “Dia mahasiswanya abang kamu, dek, namanya Naresh, dia anak kedokteran.” “Sebentar lagi kan ada ada acara—”

“Cepat pergi dari sini, saya gak mau lihat laki-laki kurang ajar ini lama-lama di pondok sini!”

Aisyah langsung menyambar nampannya yang tergeletak di lantai lalu mempercepat langkah kakinya meninggalkan ruang tamu dengan perasaan takut sekaligus marah yang bergejolak di hatinya.

“A-Ah maaf ya, maklum itu... Aisyah kan masih SMA, kayaknya lagi ada masalah makanya agak meledak-ledak emosinya... Suwun lho, Naresh.”

Naresh menggeleng cepat, “Ah enggak, gapapa, saya paham.”

Adiknya Bang Haidar ya... lucu juga. Gue jadi punya alasan untuk datang lagi kesini.

“Mas, Mas, aku pake baju ini bagus gak?!”

“Hm.”

“Kalo ini bagus gak?!”

“Hm.”

“Mas lihat deh ini baju lucu banget warnanya aku suka! Cocok gak di aku?”

“Hm? Hm...”

Gue langsung merengut sebal, “APAAN SIH MAS HAM HEM HAM HEM KEK KEONG!! NGOMONG DONG YANG BENER!!” “Aku kan dandan cantik gini cuman buat kamu! Pilihin kek yang bagus buat aku!”

“Lho saya mah terserah kamu mau pake baju apa asalkan sopan dan menutup aurat.”

“Ya setidaknya bantu dong! Aku kan juga mau tau mas seleranya kayak gimana, ish, sebel banget! dah ah, gak jadi belanja!”

Mas Haidar langsung cepat menahan lengan gue, “Eh udah gak usah ngambek juga... yaudah cepet kamu pilih bajunya nanti saya yang tentuin.”

Nah gitu kek, gue langsung cepat mengambil 2 baju yang cukup menarik perhatian gue dan menunjukan keduanya di hadapan suami gue,

“Mending yang warna pink atau biru?”

Mas Haidar bergeming, “Hmm... biru deh.”

“Kenapa biru?”

“Karena saya suka warna biru.”

Gue menatap lagi baju pilihan Mas Haidar, “Hmm... aku gak sreg ah, jadi aku ambil yang warna pink aja!“sudah mantap dengan pilihan gue, akhirnya gue mempercepat langkah kaki gue menuju kasir terdekat.

“Ya Allah... untung istri...”


“Mas, Mas!”

“Hm?”

“Ceritain dong kisah cinta Mas dulu waktu muda!”

Entah kenapa setelah mendengar permintaan gue, Mas Haidar langsung tersedak-sedak dengan makanannya. Ia cepat meraih air mineral di samping makanannya lalu berhenti sejenak dengan aktivitas makannya.

“Kenapa kamu kepo soal itu?”

“Ya aku mau tahu aja orang yang pernah Mas cintai dulu.”

Mas Haidar geleng-geleng, “Kalo gitu kamu dulu, baru saya.”

“Aku? Yah Aku mah gak seru ceritanya, Mas, aku kan gak pernah pacaran!”

“Saya juga, cuman...”

Alis gue mengerut, “Cuman?”

Mas Haidar langsung menghela nafas panjang, “Oke kalo gitu saya duluan yang cerita, tapiiii.... saya gak mau cerita ini bikin kita jadi salah paham. Ini cuman pengulangan masa lalu aja karena kamu yang minta.”

Gue mengangguk semangat, gue mempersiapkan posisi gue untuk menyimak dengan baik cerita dari Mas Haidar soal masa lalunya itu...

“Dulu waktu saya masih SMA, saya adalah seorang pribadi yang kaku dan paling anti dengan cinta-cintaan. Saya punya ambisi sendiri untuk mempertahankan prestasi saya di masa sekolah sampai akhirnya... saya bertemu dengan seorang perempuan, yang berhasil menggebrak tembok besar dalam diri saya.” “Saya gak pernah menyangka, bahwa perasaan jatuh cinta itu ternyata seindah ini. Saya merasa hidup saya berwarna karena dia, semangat belajar saya meningkat dua kali lipat karena dia dan pokoknya dia adalah segala-galanya untuk saya.”

Gue gak nyangka banget, ternyata seorang Mas Haidar pernah bucin pada masanya. Beruntung banget sih perempuan itu.

“Perasaan saya terbalas, kami tidak berhubungan secara resmi hanya saja saling surat menyurat untuk jaga komunikasi sampai akhirnya kami janji untuk kuliah sama-sama di Kairo dan menikah disana tapi sayangnya saya gak lolos, tapi dia lolos.”

Gila, sampai punya planning untuk menikah. Mas Haidar kalo udah mencintai seseorang gak main-main ya.

“Akhirnya kami tetap pegang janji kami, saya akan menyusul dia ke Kairo sambil kuliah S2 dan saya berusaha sekeras mungkin untuk bisa mendapatkan beasiswa S2 ke Kairo tapi pada akhirnya, karena memang bukan jodoh ya... dia lebih memilih menikah dengan pria lain disana.” “Dia sudah lelah menunggu saya, janji itu seolah jadi sepah yang dibuang. Saya benar-benar patah hati, belum lagi pada saat itu saya juga masih berkabung karena kepergian Umi, yaa namanya juga hidup. Sampai akhirnya saya benar-benar menutup pintu hati saya, butuh waktu bertahun-tahun untuk menata hati saya yang sudah dihancurkan.” “Hingga akhirnya saya bertemu kamu, Maryam.”

Gue tertegun, mendengar kisah patah hati Mas Haidar yang sungguh hebat itu membuat dada gue juga ikut berkecamuk. Tangan Mas Haidar menjulur ke tangan gue dan dia menggenggam tangan gue erat-erat...

“Jujur saja, awal pertemuan kita di kampus itu bukanlah awal kesan yang bagus. Saya sangat tidak suka cara berpakaian kamu yang terbuka pada saat itu, belum lagi desas-desus tentang gaya hidup kamu yang bebas... saya sampai menyangkal kalau kamu itu Maryam yang saya kagumi 15 tahun yang lalu.”

Jarinya yang besar mengelus lembut kepalan tangan kami yang terkait, jantung gue gak bisa berhenti berdetak apalagi pas lihat senyumannya yang meneduhkan hati.

“Tapi memang hidup itu penuh kejutan, saya gak nyangka bahwa sosok Anela yang pakai baju bolong di bahu... sekarang memakai kerudung panjang dengan anggunnya, dan dia menjadi istri saya.”

Lagi-lagi tangannya Mas Haidar menuntun telapak tangan gue untuk menangkup pipi halusnya,

“Jadi gak penting sebenarnya siapa cinta pertama saya waktu muda tapi yang terpenting itu, adalah cinta sejati saya yang ada di depan mata saya saat ini.”

Jantung gue rasanya mau meledak, senyuman Mas Haidar yang tak pernah gue lihat sebelumnya kini terus terlukis di wajahnya khusus untuk gue. Rasanya bahagia banget, seolah gue adalah manusia spesial yang pantas memiliki sosok Mas Haidar sepenuhnya.

“Aku cinta sama Mas”kalimat itu keluar dari bibir gue, Mas Haidar tersenyum lebar seraya menepuk pucuk kepala gue dengan penuh kelembutan.

“Pulang yuk, kita harus beres-beres baju kan? Besok kita udah harus pulang.” “Kamu... gak keberatan kan tinggal di rumah saya? Karena kasihan Aisyah kalau sendirian, saya takut adik saya kenapa-kenapa.”

Gue mengangguk mantap, “Gapapa, Mas! Aku malahan seneng kok bisa nemenin Aisyah juga, hehehe...!”

Mas Haidar terkekeh, “Iya tuh, adik saya seneng banget sama kamu. Tadi aja nitip salam katanya kangen main sama Kak Anela, bukan sama abangnya.”

“Kamu mah kebanyakan ngehukum Aisyah, Mas! Hahahahaha... Nanti kalau ada aku awas yaa... aku yang lindungin Aisyah dari hukuman kamu!”

“Eh kok gitu? Yaudah berarti kamu juga saya hukum ya...!”

“Ih jahat! Masa istrinya juga di hukum!”

“Hahahahaha...”

Mas Haidar, Allah memang tidak salah menempatkan kamu di hatiku... karena takdir yang menyatukan kita merupakan anugrah terindah untukku.

Terima kasih sudah mau menjadi bagian hidupku.

Sumpah.

Gue.

BINGUNG BANGET!!!

Ini... gue satu kamar sama Mas Haidar? Serius? Ya Allah... mau buka kerudung aja sekarang canggung banget...

“Kamu gak gerah? Gak mau ganti baju?”

MAU MENINGGAL GUE WOY!!! GUE GATAU HARUS NGAPAIN!!

“I-Iya mas, aku... mandi dulu.”

Gue cepet-cepet ambil handuk dari koper dan mempercepat langkah gue ke dalam kamar mandi guna menghilangkan semua pikiran yang mengganggu kepala gue. Serius ya, dulu emang gue nakal karena tukang mabok tapi gue berani bersumpah kalau GUE GAK PUNYA PENGALAMAN PACARAN SAMA SEKALI!!! Gue gak tahu cara mengawali hubungan dengan laki-laki karena ya... gue yang dulu gak suka terikat komitmen. Deket ama cowok iya, tapi kalau benar-benar berhubungan gitu gue gak pernah.

Pasti sehari setelah PDKT gue putusin itu cowok.

NAH SEKARANG, GUE HARUS SEHIDUP SEMATI SAMA COWOK????

Meskipun cowok itu Mas Haidar, tapi tetep, GUE GUGUP BANGETT!!!😭😭😭

Mau pulang aja rasanya...

“Maryam, kenapa kamu lama-lama di kamar mandi?!”

INI MAS HAIDAR NUNGGUIN GUE?? YA ALLAH PLEASE GUE DEG-DEGAN 😭😭

“Cuaca lagi dingin, jangan mandi lama-lama!”

Mulut gue udah gak sanggup jawab sahutan Mas Haidar dari luar. BISA GAK SIH GUE MENGHILANG DULU SEHARI AJA BUAT NGUMPULIN NYALI ABIS ITU DATENG LAGI, CLING! ASHAJVDKAL capek.

Mampus, jilbab gue jatoh di sofa! Aduh... Anela bego!

Gak ada pilihan lagi.

“Ngapain kamu nutupin kepala kamu kayak Masha and The Bear gitu?”

Gue cuman senyum cengengesan, “Rambut aku basah banget soalnya... hehehehehehehehe...”

Jelek banget gue, gatau ah capek gue.

“Kita sudah sah suami-istri, Maryam, untuk apa kamu tutupin lagi rambut kamu di depan saya?”

PEKA BANGET SIH JADI ORANG!

“A-Ah gitu ya, Mas?“meski begitu, tangan gue masih belum bisa melepas dari handuk yang membungkus rambut gue. SET! Mas Haidar bangun dari posisi baringnya lalu berjalan mendekati gue di meja rias...

“Aneh banget kamu, tadi pas resepsi masih ceria kenapa sekarang jadi pendiam gini?”

Gak usah nanya, Mas... saya jadi makin gak bisa ngomong...😭😭😭

“Kamu gugup ya sekarang? Tadi saya yang gugup, sekarang kamu yang gugup.”

Dengan lembut, Mas Haidar menyingkirkan kedua tangan gue yang masih menempel di handuk yang menutupi rambut gue, lalu mengambil alih menggosok rambut gue dengan lembut.

“Kamu potong rambut ya?“tanya Mas Haidar membuka topik

“I-Iya, Mas.”

“Kenapa?”

“Bi-Biar gak gerah aja.”

Mas Haidar tersenyum seraya menatap kedua mata gue dari cermin, “Cantik.”

Please atuh lah, mau tewas aja gue disini.

Mas Haidar menghentikan tangannya lalu melipat rapih handuk yang barusan membalut rambut gue, ia melangkah lagi ke arah kasur dan menyandarkan tubuhnya di dashboard ranjang.

“Sini.”

Gue tertegun, membelelakkan kedua mata dan mengatup kedua bibir gue saking gugupnya, gue mencoba mendekat ke arah ranjang perlahan...

Mas Haidar menepuk sisi sampingnya, memberi aba-aba agar gue duduk di samping dia dengan jarak yang sangat dekat. Ya gue tau kok kita udah sah, tapi... apa ya... GUE KENAPA CANGGUNG BANGET SIH HUWEEEEEEE

“Gak usah takut, saya gak akan macem-macem.”

IYA MAS AKU TAHU KOK MAS ORANGNYA BAIK, AKUNYA AJA YANG LAGI DONGO😭😭😭😭😭

Begitu gue mendaratkan tubuh gue di samping Mas Haidar sesuai aba-abanya, dengan cepat, tangan Mas Haidar merangkul erat lengan gue dan menyandarkan kepalanya di bahu gue dengan nyaman. Degupan jantung gue berdesir tak menentu, aroma maskulin Mas Haidar yang baru saja gue hirup sukses menjadi penghangat gue di kala terpaan angin air conditioner bersuhu 18 Celcius ini menusuk tulang gue.

“Kalau kamu belum siap gapapa, saya paham. Saya gak akan memaksa kamu,“Mas Haidar menatap kedua mata gue intens, “Kita bisa jalani semuanya pelan-pelan, Maryam.”

Mas Haidar menepuk lengan gue lembut, seolah menenangkan jiwa gue yang masih dirundungi takut bercampur gugup hingga akhirnya kedua rasa itu luluh dengan sendirinya...

“Maryam.”

“Ya, Mas?”

“Jangan tinggalkan saya, ya?” “Saya benci perpisahan.”

Gue mengangguk pelan, membiarkan diri gue tenggelam lebih dalam dengan kehangatan yang diberikan oleh Mas Haidar, “Iya, Mas... saya gak akan ninggalin Mas Haidar.”

Mas Haidar tersenyum lembut, “Tutup mata kamu.”

Gue mengikuti aba-aba Mas Haidar, lalu sedetik kemudian gue merasakan ada benda hangat yang menyentuh dahi gue dengan sangat perlahan namun dalam...

Gue membuka mata, melihat jarak antara wajah kami sudah terpotong bahkan hanya tinggal sejengkal.

Mas Haidar terkekeh, begitupun gue, dan akhirnya kami kembali saling memberi kehangatan hingga akhirnya... kita terlelap dalam pelukan.

Berada di tengah gedung dengan pakaian simbolik seorang pengantin membuat Haidar tak bisa menutupi rasa gugupnya. Bayangkan saja, gara-gara Eyangnya itu, pernikahan mereka benar-benar menjadi pemberitaan nasional bak artis sensasional.

“Eyang... apa harus kita undang media ini?“ucap Haidar sambil terus mengusap tangannya yang berkeringat dingin

“Haidar... Anela itu cucu kesayangan Eyang, pernikahannya adalah sebuah momen sakral yang harus di abadikan oleh masyarakat. Semua orang Indonesia pasti tahu Anela, dan Anela pasti menginginkan pernikahannya itu jadi pemberitaan utama di dunia...”

Meanwhile Anela...

”...SAMA SEKALI ENGGAK!”

Di ruang pengantin wanita pun kini tengah panas karena perasaan gugup. Anela gak hentinya ngomel dan merutuk perbuatan Eyangnya yang malah sengaja mengundang banyak awak media untuk meliput acara pernikahannya.

“Gue paling gak suka kalo ada media yang meliput kehidupan gue kayak gini! Argh, gue bukan artis!!!”

“Ini belum seberapa, Nel, Eyang lo bisa aja ngundang presiden atau sekalian ketua serikat PBB di hadirkan langsung ke pernikahan lo—”

“Ish, Eliza!“decak Indry, membuat gadis yang rambutnya di cepol samping itu menutup mulutnya

“Udah, Nel... sekarang tuh hari besar lo, gak penting ada media atau enggak tapi yang terpenting itu... HARI INI LO HALAL SAMA KAK HAIDAR!!! UHUYYY!!!“seru Indry penuh sukacita

Eliza ikut menyahut, “Iyaaa Nel! Akhirnya deh tuh, lo bisa uwu-uwuan sama Kak Haidar tanpa harus ada kata 'tunggu nanti pas akad' HAHAHAHA ANJAY!!” “Nanti... kalo udah malem pertama kabarin kita ya? Hihihi...”

Anela memukul ringan lengan Eliza dan hanya bisa ikut tertawa renyah dengan guyonan sahabatnya itu.

Akhirnya... hari yang ia nanti-nantikan tiba dalam hidupnya hari ini.

Karena pernikahan Haidar-Anela ini di selenggarakan secara syariat Islam, kini Haidar tengah duduk menghadap sang Ayahanda Anela dengan penuh keyakinan sedangkan sang pengantin wanita di tempatkan di ruangannya sampai akad ijab-kabul nanti terucap. Sorot tajam mata calon Ayah Mertuanya itu sejujurnya sangat mengintimidasi pemuda berparas eksotis tersebut tapi... mau tidak mau dia harus bisa menghadapinya dengan kepala dingin.

“Lap dulu tanganmu, saya tahu kamu gugup”kata Papa Anela dengan lugas, membuat Haidar malu setengah mati.

“Maaf, Pak.“jawab Haidar kikuk.

Papa Anela menghela nafasnya panjang, “Haidar.”

Haidar mendongak kepalanya.

“Hari ini, saya secara sah akan menyerahkan anak saya sama kamu, jadi tolong... jangan kecewakan saya dengan mengecewakan putri saya.” “Kalau kamu sudah tidak menginginkan anak saya, kembalikanlah dengan benar kepada orang tuanya... kami tidak akan pernah menolak kehadiranmu untuk itu.”

Ungkapan itu terdengar bermakna dalam namun cukup mengiris hati, Haidar akan merasa sangat bodoh jika hal itu memang terjadi kepada kehidupannya.

“Inshaa Allah, Pak Darren, saya tidak akan mengecewakan Pak Darren dan hal itu tidak akan pernah terjadi kepada putri anda, karena saya sungguh-sungguh ingin menjadikan Maryam sebagai wanita satu-satunya di hidup saya.” “Saya akan pegang betul kata-kata saya.”

Papa Anela menghempas senyuman simpulnya, bersamaan dengan kedatangan penghulu dan saksi di meja akad, pria paruh baya itu mengulurkan tangannya di hadapan Haidar.

“Kalau begitu, sekarang kamu sudah boleh panggil saya Ayah.”

Haidar tersenyum sumringah sambil menjabat tangan Ayah Mertuanya itu antusias.

“Baik, Ayah.”

Akad ijab-kabul... akan segera dimulai.

“Saudara Haidar El Fatih bin Eko Wijayanto, saya nikahkan engkau dengan anak saya, Anela Haliza Maryam Soetomo binti Darren Adi Soetomo dengan maskawin seperangkat alat shalat dan hafalan surat Ar-Rahman dibayar tunai!”

“Saya terima nikah dan kawinnya, Anela Haliza Maryam Soetomo binti Darren Adi Soetomo dengan maskawin tersebut dibayar tunai!”

“Sah?!”

“SAAHHH!!!”

“Alhamdulillah...”

Akad ijab-kabul tlah terlaksana dengan baik dan lancar, lantunan Ar-Rahman yang tlah di hafalkan Haidar akhirnya menjadi pembuka bagi Anela untuk duduk di kursi pelaminan bersamanya sebagai pasangan suami-istri yang sah.

Perasaannya kini lega namun bercampur aduk, ada gugup sekaligus haru, yang jelas... hari ini adalah titik perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan keduanya.

Selamat untuk Haidar dan Anela!


Resepsi...

Sudah berapa lama Haidar dan Anela berdiri menyambut salam dan ucapan selamat di tempat pelaminan? Kalau boleh jujur, kaki Anela rasanya sudah mati rasa.

“Mas... kakiku sakit...“lirih Anela sambil menarik kecil ujung baju suaminya itu

“Sabar sedikit, sebentar lagi resepsi selesai kok,“balas Haidar datar

“Huwaaa capek... mau cepet-cepet istirahat terus tidur...“keluh Anela dengan gaya khasnya yang childish

Kalian mau tahu? Haidar yang biasa dengan sekarang ketika sudah menjadi pasangan sah pun tetap tak ada perubahan. Dingin, kaku dan berwajah datar. Perhatian pun enggak.

Anela cuman bisa cemberut dan merutuk dalam hati.

“Haidar?”

Suara lembut datang dari seorang wanita berhijab biru pastel, dengan seorang balita berusia sekitar 3 tahun di dekapannya, wanita itu sukses membuat Haidar melotot dan membisu di tempat.

“Na...Nafisa?”

Anela memencak matanya, Ini... siapa?

Nafisa, dengan senyuman manisnya yang sama menungkup tangannya, “Selamat ya Dar, atas pernikahanmu. Semoga samawa selalu...“ucapnya lembut, “Akhirnya kamu bisa menemukan cinta sejatimu, Dar.”

Haidar tersenyum pasi, “Terima kasih.”

Nafisa menolehkan kepalanya ke arah Anela, “Selamat ya, Anela, semoga kalian samawa dan selalu dalam keberkatan Allah Azza Wa Jalla...” “Aku harap, Haidar bisa menjadi imam yang cukup baik untuk kamu.”

Anela membalas jabatan Nafisa, “Terima kasih, saya yakin kok Mas Haidar bisa menjadi imam yang baik untuk saya.”

Nafisa ikut tersenyum teduh, “Syukurlah, kamu memang tidak salah pilih.”

Setelah Nafisa pergi melewati mereka, suasana Haidar dan Anela berubah menjadi canggung dan kikuk. Sebenarnya Anela tidak ingin terlalu mencari tahu soal hubungan Haidar dengan gadis itu, tapi... ini cukup janggal.

Sudah, Anela... fokus aja ama hari ini, sekarang hari besar untuk kamu! Oke? Nanti aja cari tahunya...

Tep. Anela menggenggam tangan Haidar yang sedikit bergetar karena gugup, memberikan senyuman kecilnya dengan harap bisa sedikit meluluhkan sebagian dari rasa gugup sang suami...

“Sekarang udah boleh kan?“ucapnya dengan nada semi membisik, membuat Haidar sedikit gemas tapi... dia ingin menggoda sedikit istrinya itu.

“Belom,“jawabnya sambil menarik tangannya dari genggaman sang istri

Terlukis ekspresi kecewa dari wajah Anela, dengan kekehan kecilnya ia kembali meraih tangan Anela dan mengaitkannya erat di sela-sela jari besar nan kokohnya.

“Saya bercanda.”

Haidar sukses membuat istrinya itu salah tingkah, mereka sama-sama tertawa di hari besarnya...

Sekali lagi, selamat menempuh kehidupan baru... Haidar, Anela... 😊

“Ayo ajarin Mama juga pakai jilbab panjang kayak gini!”

Gue cukup kaget dengan permintaan Mama yang satu ini, seneng sih tapi kayak gak nyangka aja gitu, secara Mama tuh orangnya sangat fashionable dan kekinian, Alhamdulillah kalau Mama jadi ikut hijrah sama-sama kayak gini.

“Gampang, Ma, beli aja kerudung bergo dulu kayak Anela nih, sama beli pashmina yang panjangnya sekitar 200x75 cm nanti kita belajar model hijab yang syar'i tapi tetep kelihatan cantik.”

Senyuman lebar Mama menyungging sempurna hingga menampilkan lesung pipit manisnya dari sudut pipi, “Anela, jujur aja, Mama... bahagia sekali dengan diri Anela yang sekarang... dan kamu bisa mendapatkan pendamping seperti Haidar” “Sekarang Mama sudah bisa bernafas lega...”

Mama merangkul bahu gue erat,

“Kamu adalah permata kami, Anela.”

Ucapan itu benar-benar menyentuh hati terdalam gue, membuat sedikit berat juga untuk meninggalkan rumah tapi... ini sudah menjadi fase hidup gue.

Gue sudah cukup dewasa untuk di timang-timang lagi.

“Anela... sayang Mama.”

Mama mengecup pipi gue hangat, “Kami jauh lebih sayang kamu, Anela”

Padahal gue gak nyebut Papa disitu 🙄


“Hah? Papa gak tidur 2 hari?”

Mama mengangguk sambil terus melahap ramennya itu, “Iya! Pas Mama tanyain tuh ya... katanya efek obat eh semalem akhirnya Papa cerita kalau dia gak bisa tidur karena mikirin kamu!” “Papa tuh... diem-diem masih gak rela kalau anak gadisnya mau dibawa pergi sama anak orang...! Hihihihi...”

Apaan, tadi pagi juga gak ada nyapa-nyapanya, malahan nyuruh persiapin bahan skripsi dari sekarang biar bisa cumlaude. Aneh tuh orang!

“Enggak tuh, tadi aja Papa cuek sama Anela malahan disuruh nyari bahan skripsi dari sekarang!”

Mama terkekeh kecil, tangannya berhenti menyendok kuah miso di mangkuknya lalu menghadap ke arah gue dengan lurus, “Anela sayang, Mama akan menitipkan satu pesan untuk kamu, sebelum nanti kamu menikah biar kamu gak kaget ketika seandainya kamu melihat cara suami kamu mengungkapkan cintanya dengan cara yang berbeda...” “Memang, Papa itu sangat keras terhadap kamu dan Bang Jeffry, lalu tidak pernah memperhatikan kalian secara langsung tapi... Papa punya cara sendiri untuk mengungkapkan perasaan cintanya.”

Mama merogoh ponsel dari tasnya, lalu membuka layar dan menampilkan sebuah gambar rumah dengan pemandangan yang sangat bagus di sekitarnya, ada danau jernih bersama rerumputan hijau yang asri nan bersih...

Rumah ini bagaikan istana buat gue.

“Papa memberikan rumah ini untuk kamu, beserta pesannya...”

Mama menggeser layar berikutnya, disitu terdapat kertas yang berisi goresan tulisan tangan Papa dan tlah di scan beserta tanda tangan bermaterai Papa...

Untuk putriku, Anela...

Anela malaikat kecilku, sangat menyukai pemandangan hijau yang asri dengan danau biru nan luas. Sepulang dari Sleman, aku selalu mendengar ocehannya mengenai waduk besar yang ada di Pondok Abah Faqih, dan aku menginginkan anakku menikmati itu sebagai miliknya...

Mungkin akan memakan waktu lama untuk menciptakan istana impiannya, tapi aku sebagai Papanya tetap akan mewujudkannya apapun caranya.

Karena senyum bahagianya, lebih berharga dari setumpuk uang yang akan aku keluarkan nanti untuk mewujudkan istananya...

14 Januari 20XX Darren Adi Soetomo

Bulir kristal yang menumpuk di pelupuk mata gue berhasil lolos membasahi pipi, bayangan monster yang selama ini melekat di sosok Papa seketika luruh dengan rasa haru yang menyesakkan dada.

“Semalam Papa bilang sama Mama... dia menyesal karna sempat salah menilai Haidar, calon suamimu...” “Haidar... datang meminangmu bukan hanya sekedar bermodal cinta dan kata-kata manis, tapi dia sungguh-sungguh ingin mengajak kamu ke syurga bersama... dan itu benar-benar menyentuh hati kami berdua, Anela...” “Kami berdua beruntung sekali, bisa mendapatkan sosok seperti Haidar yang akan menjadi bagian keluarga kami. Tolong ya nak, kamu harus patuh dengan suamimu nanti apapun yang terjadi... tetaplah ada di sisinya, jadilah rumah yang hangat bagi keluarga kecilmu nanti...”

Mama menggenggam tangan gue erat...

“Selamat menempuh kehidupan baru ya, putriku...”

Gue gak bisa sembunyikan lagi perasaan ini, pelukan kami yang masih terkait terus gue peluk erat-erat...

“Mah...”

“Ya sayang?”

“Anela mau ketemu Papa...”

Mama tersenyum lembut, “Coba lihat ke belakang”

Gue tertegun, mata gue sontak melotot begitu melihat Papa dengan kemeja berantakannya itu tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal...

Papa...

“Kamu kenapa nangis sesegukan gini?! Haidar abis ngapain sama kamu?!”

Bukannya tenang, justru tangisan gue semakin pecah. Setelah bayang-bayang buruk itu lepas dari sosok Papa, seketika gue bisa melihat sisi lemahnya yang menatap gue sayu, dengan rambutnya yang terus memutih mengikuti jalannya waktu...

Ya Allah, selama ini hamba berdosa banget bisa memendam perasaan benci sama Papa selama 20 tahun...

“Kamu kenapa, nak? Haidar abis ngapain? Perlu Papa datengin?”

Gue menggeleng kencang, “Enggak... Mas Haidar gak kenapa-kenapa...”

Papa langsung memeluk gue erat, menenggelamkan kepala mungil gue di dadanya yang bidang, aroma maskulin yang menghangatkan ini... sudah berapa lama gue membenci aroma ini?

Bisa-bisanya gue membenci tempat sandaran senyaman ini? Anela lo udah gila emang.

“Papa... Maafin Anela, Pa... Anela sayang Papa...”

Wajah Papa seperti kebingungan, namun Mama memberi sinyal bahwa kita semua baik-baik saja.

Tangan besar Papa menepuk pundak gue lembut, membelai kepala gue yang dibalut hijab...

“Putri sholehah Papa... maafin Papa juga ya...” “Terima kasih, sudah mau menjadi putri kebanggaan kami... Papa... sangat bangga dengan Anela, terutama... soal keputusanmu sekarang... untuk hijrah... terima kasih, nak...”

Seumur-umur...

Selama 20 tahun ini, baru sekarang kalimat itu terucap dari kedua sudut bibir Papa...

Dada gue rasanya remuk, tapi bercampur bahagia. Kapan lagi gue bisa merasakan kehangatan keluarga seperti ini?

“Anela sayang Papa sama Mama... hiks hiks...”

Mama ikut memeluk tubuh ringkuh gue yang masih tenggelam di pelukan Papa.

“Kami juga sangat sayang Anela...” “Jadilah istri yang baik untuk suamimu ya, anakku...”