Kumpul

“EYANGG??!!”

Gue gak nyangka kalau Eyang lagi main kerumah juga. Gue langsung lari memeluk tubuh Eyang yang sudah semakin ringkuh menua, suara puraunya yang bijaksana itu benar-benar gue rindukan.

“Tuan putri Eyang gimana kabarnya nih...??”

“Baik dong!! Eyang gimana?? Anela kangen banget deh sama Eyang...!”

“Hahaha iya, Eyang baik-baik aja kok cuman... karena udah tua gini jadi Eyang harus lebih menjaga kesehatan...”

Memang, sekarang gue bisa lihat sosok Eyang sudah tak lagi berdiri bersama tongkatnya, melainkan ia duduk di kursi roda bersama Pak Romi di belakangnya.

“Eyang sakit apa sampai pake kursi roda gini?!”

Eyang tersenyum pilu, “Daripada sakit... kayaknya udah faktor usia, Anela...”

“Ah gak juga, kok! Eyang gak setua itu!”

“Umur 83 itu masih muda menurut Anela?”

“Muda! Muda banget! Jadi Eyang harus tetep sehat!” “Eyang harus lihat nanti cicit-cicit Eyang dari cucu kesayangan nih!”

Eyang tertawa geli, tingkah Anela yang polos ini ternyata masih sama, dari dulu memanglah Anela seperti ini... Ekspresif, ceria dan penuh enerjik... Aku harap tidak akan ada orang yang bisa merebut senyumnya seperti ini...

Suasana makan malam yang di percepat itu terasa lebih hangat dari sebelumnya. Bukan lagi urusan bisnis, atau permainan politik yang menjadi topik utama justru kenangan manis lalu yang jadi topik pembicaraan hari ini. Gue bersyukur, sudah lama gue inginkan kehangatan ini ada pada keluarga gue dan hari ini terwujud semuanya...

Terima kasih, Ya Allah...

Gue duduk di pinggir kolam menatap tiap tetes yang gue tumpahkan, membentuk sebuah getaran genangan di bayang-bayang wajah gue, otak gue berputar ke beragam arah, tapi yang kini mengganggu pikiran gue tentunya masih tentang Mas Haidar.

“Merenung apa kamu, Anela?”

Eyang dengan Bang Jeffry di belakangnya cukup membuyarkan lamunan panjang gue.

“Ah enggak kok, cuman mau hirup udara segar”jawab gue berusaha menutupi semua kekhawatiran gue agar tak tampak di wajah

Senyuman hangat itu, kembali meneduhkan hati gue dengan tangannya yang berusaha meraih pucuk kepala gue susah payah. Bang Jeffry juga duduk di samping gue ikut mencelupkan kakinya tanpa berucap sepatah kata pun.

“Kenapa Haidar gak ikut?“tanya Eyang

“Masih ada urusan di pondok, Eyang... Mas Haidar titip salam untuk semuanya...“jawab gue

“Waalaikumsalam... iya sampaikan salamnya balik untuk Haidar...” “Lalu Anela, kira-kira kenapa nih duduk sendirian kayak gini?”

“Kan tadi Anela bilang lagi nyari udara segar...”

“Itu hanya kalimat orang-orang yang sedang berusaha menenangkan pikiran kalutnya.”

Oke, salah banget emang untuk pretending to be okay depan Eyang.

Gue hanya bisa diam menunduk, lagi-lagi seribu kalimat gundah berkecamuk di dada gue...

“Kehidupan setelah rumah tangga itu ternyata tak mudah ya?”

Mata gue melotot seketika, Eyang cuman terkekeh disitu sambil memberi isyarat kepada Bang Jeffry untuk pergi meninggalkan kami berdua disini.

“Eyang, ini gak seperti yang Eyang duga—”

“Sudah, Anela, Eyang gak berpikir yang tidak-tidak, hanya saja... ini namanya firasat orang tua...” “Eyang sudah membesarkan kamu 20 tahun, jadi sudah pasti Eyang tahu segala hal tentang kamu salah satunya ketika kamu sedang ada masalah. Kamu bukan tipe yang memendam masalah, kecuali kalau masalah itu bisa merugikan orang lain.” “Dulu kan kamu kalau habis dimarahin dama Papa, kamu cuman diem aja tapi ngerengek mau makan cheesecake yang banyak sampe begah, inget gak?”

Gue mengangguk mengiyakan.

“Waktu dulu tuh ya, Eyang bingung kenapa kamu minta kue sebanyak itu dan itu kamu lakukan secara berkala, sampai-sampai Eyang minta Pak Romi pura-pura nginep di rumah kamu untuk melihat situasi rumah dan ternyata benar, kamu habis dimarahin sama Papa kamu.” “Kamu inget kata-kata kamu ketika Eyang tanya soal Papa?”

Gue bergeming sejenak, “... Aku larang Eyang untuk marahin Papa...”

“Nah ternyata sifat itu masih ada di diri kamu sekarang...” “Apapun masalahmu dengan Haidar, nak, Eyang tahu kalau kalian bisa menghadapinya. Kehidupan rumah tangga memanglah tak selalu manis, tapi begitu satu per satu masalah bisa kalian selesaikan sama-sama... percayalah, itu yang akan menjadi cerita bermakna sepanjang hayat kalian nanti.” “Eyang bangga dengan sikapmu, Anela, alih-alih kamu menceritakan masalah rumah tanggamu kepada orang-orang dan menjadi aib, kamu lebih memilih untuk mencari cara agar pikiran kamu kembali jernih dan pulang dalam keadaan baik-baik saja...” “Sebelumnya kamu sudah izin kan dengan Haidar kalau kamu mau makan malam disini?”

“Sudah, Eyang...”

“Pertahankan sikapmu yang patuh sebagai istri itu, nak... Percayalah, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dalam kebaikan...” “Dan pahala berbaktinya seorang istri kepada suami itu Masha Allah besarnya, Anela, kalau kamu bisa menjadi sosok rumah yang dirindukan bagi keluarga kecilmu kelak, kamu bisa masuk surga dari pintu manapun, nak.”

Seketika gue teringat dengan ucapan Mas Haidar...

“Kamu adalah tempat pulang saya saat ini, Maryam...”

Hati gue terenyuh,

Gue harus pulang sekarang.

“Satu lagi, Anela...”

Gue mendelik sejenak.

“Percayalah, Haidar benar-benar memegang kata-katanya untuk menjagamu dan membawamu ke syurga-Nya, nak... dia tidak membual dengan janjinya itu.” “Kamu tahu Eyang tidak pernah salah dalam menilai orang, dan tidak mungkin Eyang menitipkan tuan putri kecil kesayangan Eyang kepada orang yang salah.”

Gue tersenyum simpul,

“Terima kasih, Eyang...”

Eyang menggeleng pelan,

“Terima kasih kembali, tuan putri...”