Dinner
“Assalamualaikum...”
Kehadiran suara tenor khas Mas Haidar membuat senyuman sumringah gue terlukis di wajah gue, tapi yang membuat mata gue tak berkedip ialah 2 kantung kecil dengan satu buket bunga besar yang dia bawa.
“Wa-Waalaikumsalam...”
Mas Haidar memamerkan bawaannya, “Ini hadiah apresiasi saya atas kerja keras kamu sebagai istri.”
Gue merespon cibir, “Yaelah hadiah apresiasi, udah kayak pengabdian masyarakat aja.”
“Yee bukan gitu, kan kamu udah inisatif bikin candle-light dinner sampe dekor meja kayu seindah ini, jadi saya mengapresiasi kerja keras kamu...”
Anela merangkul lengan suaminya erat, “Iya lah, soalnya aku ngerjain semuanya pake hati, hehehe...”
Haidar menghempas kecil tawanya, tangan besarnya mengacak rambut lurus istrinya dan mencium pucuk kepalanya yang beraroma stroberi itu.
Rambut yang diacak, tapi hati Anela yang berantakan.
Anela membawa hidangan makan malamnya di atas meja, tangan mungilnya dengan telaten meletakkan beberapa alat makannya, menuangkan teh chamomile yang sudah ia seduh di dua cangkir kembar, Haidar terhenyak dengan suasana romansa yang hangat ini.
“Maryam...”
Anela menoleh, “Ya?”
“Terima kasih.”
Anela tersenyum simpul, “Kaku banget sih, udah yuk kita makan, di coba nih makanan utama kita malam ini.”
Kedua mata Haidar terbelelak sempurna, di depan matanya kini ada sepiring nasi kebuli dengan semerbak wangi daging kambingnya yang ia rindukan...
Ini adalah makanan terakhir Abi-nya dulu.
“Aku sengaja bikin menu spesial kesukaan Mas, kalo yang aku tahu... makanan ini memberi banyak kenangan untuk Mas Haidar kan?” “Sekarang, dengan menu yang sama, kita menciptakan kenangan juga disini, Mas.”
Haidar tak sengaja menitikkan air matanya yang sudah tak terbendung, pria itu mengusap wajahnya gusar, lalu kembali menampilkan senyum lebarnya sebagai apresiasi atas inisiatif istrinya yang begitu manis. Tangan Haidar meraih tangan kecil Anela yang setengah menggenggam sendok, ia menggenggam tangan istrinya erat dan mengusap pelan punggung tangannya yang halus.
“Maryam, terima kasih... kamu sudah memberikan banyak hal untuk saya.” “Terima kasih... sudah mau menjadi tempat saya untuk kembali pulang...”
Anela terkekeh, “Ya ampun, Mas, ini belum seberapa...”
“Sekecil apapun itu yang kamu berikan kepada saya, tak bisa saya lewatkan begitu saja.” “Makanya saya patut menghargai semua pemberian dari kamu, Maryam.”
Anela ikut terbawa oleh suasana haru antara keduanya, seolah kehangatan yang lebih dalam bersama sepasang lilin romantis, semilir angin malam yang ikut menjadi penyejuk, bagi Anela, bisa jadi malam ini merupakan malam terindah yang pernah ada di hidupnya.
“Semoga malam ini bisa menjadi malam yang terindah untuk kita, Mas.“Anela berucap dengan lekukan senyum teduhnya, Haidar mengangguk kecil dan akhirnya mereka mulai menyantap hidangan malamnya.
Sambil mereka menikmati makan malamnya, berbagai topik ringan menjadi perbincangan mereka. Kenangan masa kecil yang pernah mereka lalui, dan kesukaan mereka bersama cerita random yang mengundang gelak tawa. Pokoknya Haidar dan Anela saat ini benar-benar menikmati waktunya sebagai seorang pasangan yang sesungguhnya.
Sampai jam menunjukkan angka 9 lewat 15...
“Ah iya! Aku lupa!”
Haidar mendelik, “Kenapa?”
“Harusnya kan hari ini episode spesialnya Ikatan Cinta...”
GYUT! Haidar mencubit pipi Anela gemas.
“Kamu tuh ya... momen kayak gini aja masih sempet-sempetnya mikirin sinetron si Mas Al itu!” “Sekarang di hadapan kamu adanya Mas Haidar, bukan Mas Al!'
“Ih bukan gitu... kan bisa kita nobar kayak waktu itu, hehehe...”
“Gak mau.”
“Lho kok gitu?!”
“Nanti kamu fokusnya sama Mas Al, bukan ke saya.”
Anela langsung tersenyum nyeleneh sambil colek pipi suaminya usil, “Ehem, ceritanya Mas Haidar cemburu nih sama Mas Al...?”
“Dih?? Enggak, saya gak bilang gitu.”
“Tuhkan gak mau ngaku, kebiasaan!” “Mas, anak kecil juga tau kalo sikap kamu barusan tuh karena kamu cemburu! Gak usah belaga tsundere gitu deh!”
“Tsundara, tsundere, ngapain sih bahasanya Aisyah dibawa-bawa!”
“Lah emang bener, Mas Haidar tuh tsundere!”
“Saya gak jual mahal.”
“Siapa bilang Mas Haidar jual mahal?”
“Kan tsundere artinya jual mahal.”
“Kalo Mas Haidar beda, Mas Haidar tuh... malu-malu tapi mau! Mas malu ngakuin kalo kangen, cemburu padahal mah... hatinya udah ambyar!”
“Hahahaha... enggak ah, saya gak gitu.”
“Tuhkan, sangkal aja teruuss!!”
Haidar terpingkal-pingkal dengan sikap istrinya yang cemberut gemas.
DRRTT...!!
Tiba-tiba ponsel Haidar bergetar dari sakunya.
“Sebentar ya,“Haidar berdiri dari tempatnya dan Anela juga mengambil kesempatannya untuk membersihkan sisa-sisa piring bekas makannya.
“Halo, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, den?”
“Iya, Mpok Yati, ada apa?”
“I-Ini, den...” “Akbar masuk rumah sakit...”
Haidar tersontak, “Ko-Kok bisa?!”
“Ta-Tadi dia gak sengaja makan udang, tiba-tiba langsung gatal-gatal, bibirnya bengkak dan pingsan di tempat...”
“Astagfirullah hal adzim, terus gimana?!”
“Mbak Nafisa lagi pergi sama Mbak Aliyyah dari jam 7 katanya kejebak macet, dan disini ada urusan administrasi yang harus di selesaikan biar Akbar bisa segera di tangani...” “Kebetulan butuh biaya, Den... saya gak ada uangnya...”
Haidar menoleh ke belakangnya, melihat punggung sang istri yang sedang mencuci piring kotor dengan suasana hati baiknya, Kayaknya... gapapa ya saya tinggal sebentar?
“Yaudah, Mpok, saya kesana.”
“Baik, Den, terimakasih banyak...
TUUT!!
Haidar berlari kecil mengambil kunci mobilnya dan segera membuka pintu mobil tergesa-gesa.
“Mas Haidar?! Mau kemana?!”
“Sebentar, Maryam, ini ada urusan mendadak nanti saya balik lagi kok!”
“Urusan apa malem-malem gini?! Di pondok kah?! Kenapa di pondok?!”
Haidar menghentikan tangannya sebelum menarik gas, “Akbar masuk rumah sakit, Ibunya masih dalam perjalanan dan ada urusan administrasi yang harus di selesaikan agar Akbar bisa cepat di tangani!” “Saya gak akan lama, kamu tunggu aja dirumah!”
TEP! Haidar menyalakan mesin mobilnya dan langsung menancap gas pergi dari pandangan Anela...
Lagi-lagi,
Anela dibuat bimbang dengan posisinya di kehidupan Haidar.