Tentang Kamu

Alunan merdu Haidar dalam melantunkan ayat suci Al-Qur'an meneduhkan hati Anela yang tengah berbaring di atas kasur sambil menatap tiap inci wajah suami tercintanya itu.

“Kamu ngelihatin saya kayak gitu yang ada saya gak fokus ngajinya, Maryam...”

Anela hanya tersenyum cengir sambil memeluk erat lengan suaminya manja. Rutinitas Haidar yang slalu mengaji sebelum tidur itu benar-benar menjadi alunan favorit Anela sebelum tidur. Anela juga mengaji, tapi suaranya tak bisa seindah dan sedalam Haidar. Suara tenor yang menenangkan milik Haidar seolah sukses menyentuh hatinya dan menjadi zat adiktif bagi Anela untuk ingin terus mendengarnya.

Dibandingkan dengar suara sendiri yang sumbang, mending dengerin suaranya Haidar yang menenangkan bak alunan suara yang turun dari surga, pikir Anela.

“Mas baca surat apa?”

“Hm?“Haidar tersenyum simpul, “Maryam.”

“Ish ngegombal mulu nih! Serius aku!”

“Serius, nih, saya lagi baca surat Maryam.”

Anela menjawab oh ria, “Oh...“lalu Haidar di sampingnya, akhirnya menyudahi bacaannya dan merangkul hangat istrinya itu dengan erat.

“Yah, Mas... kok berhenti sih ngajinya? Masih mau denger lagi...”

“Lain kali kita ngajinya berdua, bukan saya doang.” “Nanti saya ajarin.”

Anela cemberut, Haidar meraih pucuk kepala istrinya dengan lembut dan saling menyandarkan kepalanya, tenggelam dengan kehangatan yang mereka buat. Kalau boleh jujur, inilah tempat pulang yang dirindukan Haidar selama ini.

“Maryam...”

“Iya mas...”

“Banyak hal yang gak saya ketahui dari kamu, dan mulai sekarang, saya ingin mengenal kamu lebih dalam...” “Saya gak mau mengecewakan kamu lagi, Maryam.”

Anela tersenyum simpul, menenggelamkan lagi kepalanya di dalam pelukan sang suami, “Iya mas... saya juga mau ngenalin mas lebih dalam lagi.” “Kita mulai darimana ya?”

“Mulai dari cerita kesukaan kamu, apa yang kamu benci, terus apapun deh. Biar nanti saya gak salah lagi sama kamu.”

“Hmm... aku suka sama kue cheesecake

“Oh gak berubah...”

“Mas masih inget???”

“Masih dong, dulu satu pondok heboh gara-gara tangisan kamu yang super kenceng karena gak ada cheesecake di Sleman.”

“Hahahaha kok aku gitu sih...”

“Namanya juga anak kecil, terus apalagi?”

“Aku suka croissant isi nutella! Itu enak banget mas! Kalo di rumah tuh ya, pasti aku minta Bibi atau Mama buatin itu untuk aku!”

“Oh yang kamu bawain kemarin itu?”

“Iya! Nanti aku mau beli croissant yang banyak sama selai nutella-nya biar bisa bikin disini! Hehehe...”

Haidar terkekeh geli, “Kalo yang gak kamu suka apa?”

Anela menatap Haidar nanar, “Aku... benci kebohongan, Mas.” “Dari kecil aku selalu bertemu orang-orang bermuka dua yang selalu berbicara manis dengan keluargaku tapi memiliki tujuan yang jahat demi perusahaan Eyang. Aku... lebih baik sakit karena fakta, di bandingkan di hibur dengan sebuah kebohongan. Kebohongan itu adalah awal dari sebuah pengkhianatan, jadi aku gak mau ada kebohongan sekecil apapun itu.”

Haidar bisa lihat kesenduan yang ada di mata Anela sekarang, ia merasa ada pesan tersirat dari ungkapan istrinya itu.

“Makanya mas...” “Seandainya kamu memang tidak mencintai aku... dan sudah tak ingin melanjutkan pernikahan ini... tolong bilang sejujur-jujurnya sama aku. Aku tidak akan memaksa lagi.”

“Maryam, kenapa kamu bilang kayak gitu?”

“Karena mulut bisa saja dusta, tapi hati nurani gak bisa, Mas.” “Bukannya orang munafik melakukan hal demikian, Mas?”

“Maryam.”

Haidar melepas rangkulannya dan memegang kedua bahu Anela dengan tegap. Ia menatap lurus kedua mata istrinya itu, memberikan sebuah keyakinan kuat bahwa hal yang diucapkan Anela barusan tidak akan pernah terjadi.

“Saya punya mimpi, sudah lama saya ingin kuliah di Kairo dan kesempatan itu ada di depan mata saya. Seharusnya saya pergi ke Kairo, Maryam...” “Tapi saya lebih memilih untuk menikahi kamu, kenapa? Karena hati saya lebih menginginkan pernikahan ini dibandingkan terbang ke Kairo... dan kalau memang saya tidak menginginkan kamu, saya bisa saja langsung pergi ke Kairo tapi nyatanya, saya tidak memilih untuk pergi kesana, Maryam...” “Jadi tolong, jangan buat saya menyesal dengan keputusan saya untuk menikahi kamu, Maryam, dan kamu harus tahu satu hal yang sangat penting dari saya.” “Saya benci perpisahan.”

Haidar meraih tangan mungil Anela, dimana disitu ada jari manisnya yang tersangkut cincin ikatan sucinya.

“Kamu adalah sayap yang lebih saya butuhkan menuju syurga-Nya dibandingkan dengan Kairo, Maryam.”

Tanpa sadar, wanita berparas putih itu meneteskan air matanya, Haidar memeluk lagi tubuh mungil istrinya erat...

“Tolong, Maryam... Jangan tinggalkan saya, ya?“lirih Haidar.

“Enggak, Mas... aku akan slalu ada di samping Mas...”

“Kamu adalah tempat pulang saya saat ini, Maryam, dan selamanya akan selalu begitu...”

“Iya mas...”

Hingga akhirnya mereka terlelap dengan posisi saling menghangatkan satu sama lain.

Tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Mas Haidar, karena syurga-Ku... ada padamu, Mas...