Bersebrangan

Gue menghentikan mobil di depan rumah dengan sempurna. Jujur aja, chat Mas Haidar masih belum gue bales karena bingung mau bales apa. Nada bicaranya juga udah murka gitu ya jiper gue😭

“Maryam!”

Sahutan Mas Haidar kembali membuat gue bergedik ngeri, gue berusaha untuk memasang wajah baik-baik saja dan menatap lurus kedua mata suami gue dengan berani.

“Puas?”

“Puas apa?”

“Puas kamu udah jadi pemberontak?”

Kenapa nada bicaranya jadi nge-judge gini?

“Pemberontak? Mas, aku tuh pulang ke rumah orang tua dan aku perginya sama Abang sendiri, bukan sama yang lain.”

“Tapi saya sudah minta kamu untuk tunggu saya kan?”

“Ya saya lagi mau pergi sama Bang Jefri, kenapa? gak boleh?”

“Iya gak boleh. Kamu kemana-mana harus sama saya.”

“Yaudah, sehari ini kok, biasanya juga sama Mas perginya”begitu gue melengos pergi melewati Mas Haidar, tangan besarnya menahan lengan gue dengan kasar sehingga gue sedikit merintih kesakitan.

“Begitu cara bicara kamu sama suami?“desis Mas Haidar tajam, “Kamu harus tahu kalau sekarang ini yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu itu saya, saya harus extra menjaga kamu karena kamu adalah amanah saya di dunia dan akhirat! Kenapa sih gak bisa kerjasama untuk nurutin aja apa kata saya? Pernah saya minta macam-macam sama kamu?!” “Bahkan saya tidak menuntut kamu untuk melakukan pekerjaan istri dengan baik, Maryam!”

Apa?

“Apa Mas bilang? Emangnya saya kurang apa? Saya masak, bersih-bersih, melakukan semua pekerjaan rumah tangga dengan baik kok! Saya juga gak nuntut macem-macem sama Mas bahkan ketika kemarin saya cemburu sama Nafisa pun saya tetap mengalah!” “Apa saya ini masih terlihat kurang baik sebagai istri di mata Mas Haidar?!”

“Bukan begitu, dengerin penjelasan saya—”

“Mas tahu? Yang saya mau tuh cuman satu dari Mas... kapan Mas mau buka hati untuk saya...?!” “Mas bilang Mas ikhlas lillahi ta'ala menerima pernikahan ini, tapi yang saya lihat sekarang, saya ini seolah nambahin beban tanggung jawab Mas di dunia dan akhirat!!”

Gue udah gak kuat menahan air mata yang udah menumpuk di pelupuk mata gue. Akhirnya gue menangis sesegukan, menutup pintu rapat-rapat dan meringkuk kedua lutut gue menutupi suara tangisan gue yang mungkin tidak teredam suaranya.

Ternyata... Menikah itu gak semudah yang gue bayangkan,

Bahkan ketika gue menikahi orang yang gue cintai sekalipun...


Haidar membuka pintu kamar perlahan ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, setelah perselisihannya dengan sang istri, pria itu memutuskan untuk sedikit merenung di saung taman belakangnya agar pikirannya lebih jernih.

Ia mengaku salah karena tlah membentak istrinya itu sehingga membuat wanita kasihnya itu meneteskan air mata, seharusnya Haidar bisa lebih menahan diri...

Entah kenapa dia jadi lepas kontrol

Pernikahan mereka masih seumur jagung, masih butuh penyesuaian untuk saling mengenal diri masing-masing tapi... kenapa harus melalui pertikaian seperti ini?

Haidar sangat benci perselisihan...

Karena dia benci perselisihan, maka dia pula yang memberanikan diri untuk mengakhiri perselisihannya

Haidar mendekati tubuh istrinya yang sudah terlelap dibalik selimut, punggungnya yang dingin ia peluk erat-erat dan tak lupa ia memberikan kecupan hangat di dahinya dengan lembut...

“Maryam, maafin saya tadi sudah membentak kamu... maaf kalau kata-kata saya melukai hati kamu...” “Saya salah, selama ini memang kamu sudah melakukan yang terbaik sebagai istri... maaf kalau saya melupakan kerja keras kamu...” “Jangan tinggalin saya, saya benci perpisahan, Maryam... maafin saya...”

Pada akhirnya Haidar langsung terlelap dalam pelukannya dan Anela sedikit membuka matanya, kembali merenungkan perkataan suaminya barusan dan membalas lagi pelukan Haidar tak kalah erat seraya membisik...

“Bukan permintaan maaf yang aku mau, Mas... tapi hati Mas yang aku mau...” “Tapi ya sudah gapapa, lebih baik kita jalani semuanya pelan-pelan...” “Aku cinta sama Mas.”