Persembahan Yang Tak Sempurna
Haidar lari tergopoh-gopoh menuju ruangan 5413 tempat dimana Akbar di rawat, wajahnya memelas pucat begitu melihat anak malang itu tengah di pasang berbagai jenis oksigen dan alat EKG yang merekam grafik detak jantungnya yang tak menentu. Ia membawa berbagai berkas persyaratan administrasi Akbar untuk tindakan selanjutnya, menemui sang dokter yang masih mengawasi intens kondisi Akbar.
“Bapak... Ayahnya ananda Akbar?”
Haidar menggeleng, “Bukan, tapi saya walinya, saya sudah menyelesaikan semua urusan administrasinya jadi tolong agar cepat segera di tangani.”
Setelah dokter menerima beberapa berkas persyaratan yang dibawa Haidar akhirnya mereka segera membawa Akbar ke ruangan tindakan segera.
“Haidar!”
Suara melengking Nafisa seketika membuat Haidar menghela nafas lega.
“Gimana Akbar?!”
“Masih di periksa di dalam.”
“Astagfirullah... bisa-bisanya aku teledor banget, harusnya aku siapin makan malam untuk Akbar, kupikir Mpok Yati tahu kalau Akbar tuh alergi seafood...” “Padahal aku baru ninggalin dia sebentar...”
Haidar refleks mengeluarkan tangannya hendak menepuk pundak Nafisa namun tersekat begitu ia sadar bahwa... posisinya sekarang sudah tak pantas untuk melakukan hal demikian.
Ia harus tahu diri.
“Sudah, yang penting sekarang Akbar lagi di obati. Lain kali jangan teledor, ini fatal banget, nyawa Akbar bisa terancam, Nafisa.”
Nafisa mengangguk lesu, seketika mereka semua bangun dari tempatnya setelah seseorang berjas putih datang membawa kabar selanjutnya tentang Akbar.
“Bagaimana dok?!”
“Alhamdulillah belum begitu parah kok, hanya saja reaksi alerginya masih belum reda seratus persen jadi lebih baik ananda Akbar di rawat dulu beberapa hari ini.” “Selanjutnya bisa di urus lagi ya administrasinya untuk rawat inap.”
“Baik, Dok.”
“Silahkan ikut saya, Pak.”
DRRTT...
Anela Maryam : Mas Haidar masih lama? Anela Maryam : Mas belum sempet cobain dessert buatan aku lho hehehe aku masukin kulkas ya untuk besok... Anela Maryam : Akbar gimana, Mas?
Haidar menghempas nafasnya kasar dengan kedua jari tangannya yang mengusap kedua netranya gusar. Jujur saja, ia merasa bersalah karena telah merusak rancangan dinner romantis istrinya yang sudah di susun rapih-rapih, hatinya entah kenapa bergerak dengan sendirinya begitu saja.
Urusan hati menjadi peer besar baginya saat ini.