shinelyght

Sekarang ada gue, Angel dengan Husein yang ia dekap erat dan Eliza yang sibuk cemilin kastangel rumahan buatan Angel.

“Husein... Husein mana ketawanya hihihi... lucunyaa...“Gue masih asik sibuk memainkan mimik muka untuk melihat tawanya Husein yang benar-benar gemesin banget. Kalo boleh jujur, kadang gue mikir apa perlu punya momongan ya untuk dapetin perhatiannya Mas Haidar, tapi kayaknya situasi kita kurang meyakinkan dengan Mas Haidarnya yang masih sibuk banget dengan bukunya dan gue yang bentar lagi harus nyusun skripsi.

Lama-lama capek juga gue ya...

“Nel? Kok muka lo muram gitu sih?”

Gue tersontak begitu Angel menegur gue yang tenggelam dengan lamunan gue sendiri.

“Hah? Enggak kok, cuman mikirin judul skripsi ehehehe.”

“Serius?”

“Iya...”

“Mas Haidar gapapa kan?”

Gue mengatup bibir gue rapat-rapat. Pengen jawab gapapa tapi... gue capek untuk ucapin kata-kata itu lagi.

Gue memutuskan untuk diam.

“Kenapa, Nel? Kak Haidar masih sibuk sama mantannya?“sarkas Eliza, dia meletakkan toples kastangel di sampingnya dan duduk lurus menatap gue serius, “Nel, kalo kayak gitu lo gak boleh diem aja. Lo harus ngomong seada-adanya sama Kak Haidar.”

Angel celingukan bingung, “Ma-Mas Haidar punya mantan? Dia pernah pacaran?!”

“Pokoknya wanita masa lalunya lah, sekarang jadi parasit kehidupannya Kak Haidar sama Anela.” “Nel, kalo lo sampe sering pundung kayak gini berarti kehadiran perempuan itu sangat membahayakan. Apapun alasannya, lo harus bisa take a control of your husband, jangan biarin hati dia yang lemah keambil alih sama simpati picisan si perempuan itu!”

Angel mulai mengerti situasi gue dengan tangannya yang menjulur menepuk bahu gue, “Nel...”

Tanpa sengaja, satu per satu bulir air mata gue jatuh ke pipi dan mengalir semakin deras tak tertahankan. Dada gue sesek banget, gatau kenapa kayak... rasanya mencekik sekali.

Masa iya sih, sampai detik ini hatinya Mas Haidar masih belum bisa gue gapai?

“Duh tuan putri kita nangis sampai segininya... berarti bener dunia lagi gak baik-baik aja ini...“Angel merangkul erat bahu gue, membiarkan bajunya itu basah dengan air mata gue yang gak bisa berhenti mengalir.

“Sumpah, tuh cewek pengen gue usir jauh-jauh ke benua Afrika sekalian! Ugh, gue jadi inget pelakor di drakor The World of Married anjir!” “Nel, lo kan punya kuasanya Eyang Indra! Lo minta Eyang lo aja buat ngusir tuh perempuan dari kehidupan lo!!”

Gue menyeka air mata gue paksa agar tak lagi mengalir, “Gak bisa, Liz... gue gak mau Eyang tahu masalah gue sama Mas Haidar...” “Eyang udah percaya banget sama Mas Haidar, gue gak mau Mas Haidar kenapa-kenapa.”

“Ya tapi lo yang sekarang lagi kenapa-kenapa, Nel! Batin lo gak kesiksa apa kayak gini?!” “Ya meskipun gue tau Kak Haidar bukan tipe orang sejahat itu untuk mendua tapi yang kita khawatirkan tuh perempuannya! Nel, gak ada yang namanya akur sama mantan tuh gak ada! Seakur-akurnya mantan, pasti mereka udah hidup masing-masing! Masalahnya kan enggak, Perempuan itu seolah bergantung sama Kak Haidar dengan memanfaatkan simpatinya Kak Haidar!”

Eliza mendengus kasar sambil menggaruk kepala frustasi, Angel meletakkan bayinya ke atas ranjang dan kembali duduk di samping gue sambil menepuk-nepuk bahu gue pelan.

“Gue... udah sering marah karena soal Nafisa, dan gue udah capek untuk marah lagi karena kasus yang sama. Semua udah di luar kuasa gue, masa gue harus pecat Nafisa? Gue gak mau dzalim juga, Liz...” “Gue lagi berusaha memahami situasinya Nafisa, jadi single parent itu gak gampang.”

“Gak ada yang bilang gampang, harusnya dia mikir dong kalo dia memanfaatkan simpati orang tentang statusnya itu justru buat dia kelihatan kayak rendahan!” “Gimana ya, jadi cewek tuh tahu posisi gitu lho! Haidar udah beristri, dia akan punya keluarga sendiri jadi lo jangan terus-terusan hadir gitu lho di kehidupannya Haidar! Cukup jadi rekan kerja biasa apa susahnya sih?!” “Argh itulah kenapa gue benci oknum bernama mantan!”

Angel langsung menyergah ungkapan Eliza, “Liz, posisinya Anela sama Mas Haidar itu rumit. Lo gak bisa asal judge kayak gitu.” “Anela bener, kita gak bisa asal singkirin Nafisa dari kehidupannya, itu dzalim secara Nafisa itu kan single parent. Kita sama-sama cari caranya biar Nafisa ini gak terus ganggu Mas Haidar.”

Rasanya kepala gue mau pecah, bayangan wajah lugu Nafisa itu merujam dada gue. Jujur aja, memang gue gak suka dengan kehadirannya tapi entah kenapa gue sendiri juga kasihan sama posisinya,

Coba aja berteman sama Kak Nafisa

Tiba-tiba gue teringat ucapan Aisyah pada saat pertama kali gue udah mulai gelisah soal Nafisa. Gue belum sempat melakukan itu, dan mungkin bisa jadi hanya dengan cara itu gue bisa mengurangi semua prasangka buruk gue soal mereka.

Oke, mulai besok, gue akan coba pelan-pelan.

Meanwhile Adit dari luar kamarnya... dapat mendengar jelas percakapan Angel dan kawan-kawannya itu soal Haidar dan Anela...

“Feeling gue bener, kalo gitu Nafisa bener-bener harus dalam pantauan gue.”

Sekarang ada gue, Angel dengan Husein yang ia dekap erat dan Eliza yang sibuk cemilin kastangel rumahan buatan Angel.

“Husein... Husein mana ketawanya hihihi... lucunyaa...“Gue masih asik sibuk memainkan mimik muka untuk melihat tawanya Husein yang benar-benar gemesin banget. Kalo boleh jujur, kadang gue mikir apa perlu punya momongan ya untuk dapetin perhatiannya Mas Haidar, tapi kayaknya situasi kita kurang meyakinkan dengan Mas Haidarnya yang masih sibuk banget dengan bukunya dan gue yang bentar lagi harus nyusun skripsi.

Lama-lama capek juga gue ya...

“Nel? Kok muka lo muram gitu sih?”

Gue tersontak begitu Angel menegur gue yang tenggelam dengan lamunan gue sendiri.

“Hah? Enggak kok, cuman mikirin judul skripsi ehehehe.”

“Serius?”

“Iya...”

“Mas Haidar gapapa kan?”

Gue mengatup bibir gue rapat-rapat. Pengen jawab gapapa tapi... gue capek untuk ucapin kata-kata itu lagi.

Gue memutuskan untuk diam.

“Kenapa, Nel? Kak Haidar masih sibuk sama mantannya?“sarkas Eliza, dia meletakkan toples kastangel di sampingnya dan duduk lurus menatap gue serius, “Nel, kalo kayak gitu lo gak boleh diem aja. Lo harus ngomong seada-adanya sama Kak Haidar.”

Angel celingukan bingung, “Ma-Mas Haidar punya mantan? Dia pernah pacaran?!”

“Pokoknya wanita masa lalunya lah, sekarang jadi parasit kehidupannya Kak Haidar sama Anela.” “Nel, kalo lo sampe sering pundung kayak gini berarti kehadiran perempuan itu sangat membahayakan. Apapun alasannya, lo harus bisa take a control of your husband, jangan biarin hati dia yang lemah keambil alih sama simpati picisan si perempuan itu!”

Angel mulai mengerti situasi gue dengan tangannya yang menjulur menepuk bahu gue, “Nel...”

Tanpa sengaja, satu per satu bulir air mata gue jatuh ke pipi dan mengalir semakin deras tak tertahankan. Dada gue sesek banget, gatau kenapa kayak... rasanya mencekik sekali.

Masa iya sih, sampai detik ini hatinya Mas Haidar masih belum bisa gue gapai?

“Duh tuan putri kita nangis sampai segininya... berarti bener dunia lagi gak baik-baik aja ini...“Angel merangkul erat bahu gue, membiarkan bajunya itu basah dengan air mata gue yang gak bisa berhenti mengalir.

“Sumpah, tuh cewek pengen gue usir jauh-jauh ke benua Afrika sekalian! Ugh, gue jadi inget pelakor di drakor The World of Married anjir!” “Nel, lo kan punya kuasanya Eyang Indra! Lo minta Eyang lo aja buat ngusir tuh perempuan dari kehidupan lo!!”

Gue menyeka air mata gue paksa agar tak lagi mengalir, “Gak bisa, Liz... gue gak mau Eyang tahu masalah gue sama Mas Haidar...” “Eyang udah percaya banget sama Mas Haidar, gue gak mau Mas Haidar kenapa-kenapa.”

“Ya tapi lo yang sekarang lagi kenapa-kenapa, Nel! Batin lo gak kesiksa apa kayak gini?!” “Ya meskipun gue tau Kak Haidar bukan tipe orang sejahat itu untuk mendua tapi yang kita khawatirkan tuh perempuannya! Nel, gak ada yang namanya akur sama mantan tuh gak ada! Seakur-akurnya mantan, pasti mereka udah hidup masing-masing! Masalahnya kan enggak, Perempuan itu seolah bergantung sama Kak Haidar dengan memanfaatkan simpatinya Kak Haidar!”

Eliza mendengus kasar sambil menggaruk kepala frustasi, Angel meletakkan bayinya ke atas ranjang dan kembali duduk di samping gue sambil menepuk-nepuk bahu gue pelan.

“Gue... udah sering marah karena soal Nafisa, dan gue udah capek untuk marah lagi karena kasus yang sama. Semua udah di luar kuasa gue, masa gue harus pecat Nafisa? Gue gak mau dzalim juga, Liz...” “Gue lagi berusaha memahami situasinya Nafisa, jadi single parent itu gak gampang.”

“Gak ada yang bilang gampang, harusnya dia mikir dong kalo dia memanfaatkan simpati orang tentang statusnya itu justru buat dia kelihatan kayak rendahan!” “Gimana ya, jadi cewek tuh tahu posisi gitu lho! Haidar udah beristri, dia akan punya keluarga sendiri jadi lo jangan terus-terusan hadir gitu lho di kehidupannya Haidar! Cukup jadi rekan kerja biasa apa susahnya sih?!” “Argh itulah kenapa gue benci oknum bernama mantan!”

Angel langsung menyergah ungkapan Eliza, “Liz, posisinya Anela sama Mas Haidar itu rumit. Lo gak bisa asal judge kayak gitu.” “Anela bener, kita gak bisa asal singkirin Nafisa dari kehidupannya, itu dzalim secara Nafisa itu kan single parent. Kita sama-sama cari caranya biar Nafisa ini gak terus ganggu Mas Haidar.”

Rasanya kepala gue mau pecah, bayangan wajah lugu Nafisa itu merujam dada gue. Jujur aja, memang gue gak suka dengan kehadirannya tapi entah kenapa gue sendiri juga kasihan sama posisinya,

Coba aja berteman sama Kak Nafisa

Tiba-tiba gue teringat ucapan Aisyah pada saat pertama kali gue udah mulai gelisah soal Nafisa. Gue belum sempat melakukan itu, dan mungkin bisa jadi hanya dengan cara itu gue bisa mengurangi semua prasangka buruk gue soal mereka.

Oke, mulai besok, gue akan coba pelan-pelan.

Meanwhile Adit dari luar kamarnya... dapat mendengar jelas percakapan Angel dan kawan-kawannya itu soal Haidar dan Anela...

“Feeling gue bener, kalo gitu Nafisa bener-bener harus dalam pantauan gue.”

“Angel...”

Aku menoleh, mengejar sumber suara yang kian mengecil hingga menampakkan sosok wanita bergaun putih dengan lekukan senyumnya yang menawan...

Aku gak kenal pasti tapi... dia gak asing.

Aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat.

“Malaikat kecil Mama, gimana kabar kamu, nak?”

Mama...

Itu Mama?

“Mah?”

“Sini sayang, Mama kangen sama Angel...”

Langkah kakiku gemetar, meraih kedua tangan Mama yang kini menjulur untukku... Mama memelukku erat.

Ini pertama kali dalam hidupku, aku bisa merasakan hangatnya pelukan seorang Mama. Kehangatan ini benar-benar aku rindukan sepanjang hayatku. Ah nyamannya...

“Mah... Angel selama ini kangen banget sama Mama...”

“Iya sayang, Mama juga nak...”

“Mah... Angel ngelaluin banyak hal tanpa Mama disini... Angel bertahan sendirian, Mah...”

“Kamu sudah melalui semuanya dengan baik, nak, Mama bangga sama Angel...” “Maaf ya, kamu harus bertahan hidup sendirian, tapi... Mama bersyukur kamu bisa mendapatkan cahaya hidayah secepat ini...” “Mama senang sekali dengan pencapaian Angel sekarang...”

Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mama, mengembalikan jiwa masa kanak-kanakku dimana aku tak bisa seperti ini bersama Mama pada saat itu, membiarkan semua rasa lelahku selama di dunia melebur menjadi rasa nyaman. Ah aku mau seperti ini selamanya...

“Angel mau kayak gini terus sama Mama...”

Mama tersenyum simpul, tangannya meraih tanganku yang dingin, “Angel sayang, takdir kita, takdir Mama dengan Angel... jelas berbeda, sayang...” “Semua kerja kerasmu selama di dunia ini, masih belum dilunaskan dengan kebahagiaan. Kamu masih bisa bahagia di dunia sana...” “Bersama malaikat kecilmu.”

Tubuhku mendelik, aku segera mengangkat kepalaku dan memandang ke belakang... bayanganku langsung mengarah kepada orang-orang yang aku cintai, dimana mereka saat ini sedang menanti kehadiranku, tangisan anakku yang seolah menyeru memanggilku...

Hatiku perih, namun... kenyamanan yang kurasakan saat ini benar-benar membuatku ingin tinggal disini lebih lama... apa tidak bisa?

“Mah... Angel mau disini sebentar lagi, apa gak bisa?”

“Malaikat kesayangannya Mama... gak kasihan lihat orang-orang dibawah sana sedang menunggumu pulang?”

Sekali lagi aku menoleh ke belakang, dan lagi-lagi yang menggerakkan tubuhku untuk bangkit adalah...

Sujudnya Mas Adit.

“Mama bisa merasakan kencangnya doa orang-orang yang menyayangi kamu, Angel... mereka belum siap untuk kepergian kamu...” “Pulanglah bersama mereka, nak, jalanmu masih panjang...”

Aku meraih lagi tangan Mama, namun kian lama rasanya tak lagi hangat...

Seperti serpihan bunga yang terbang satu per satu, meninggalkan wanginya yang begitu merindukan, Mama tersenyum lagi bersama sinar kepergiannya...

“Mama... akan selalu ada di sisi kamu, Angel...”

Set...

PET!!

Pandanganku terbuka bersama air mata, dan orang pertama yang aku lihat di sampingku...

“Mas... Adit...?”

Mas Adit langsung berdiri kaget, “A-Angel?!”

Aku tak sanggup berkata-kata lagi... hanya aroma alkohol yang mencuat tajam di indra penciumanku, dan perasaanku masih mengambang di atas ranjang.

Tergopoh-gopoh sang dokter dan rombongan susternya menghampiriku dan memeriksa keseluruhan kondisi fisikku yang bahkan tak sanggup aku rasakan lagi.

“Masha Allah, ini mukjizat, Pak, kondisi Angel saat ini sudah cukup stabil. Sekarang tinggal istirahat yang cukup saja disini sampai pulih total.“ucap sang dokter, “Bunda... Alhamdulillah anaknya lahir dengan selamat... sekarang sedang di rawat di inkubator, nanti Bunda bisa lihat ya dedeknya.. “

Ah... anakku selamat... Terima kasih, Ya Allah...

“Untuk saat ini, Angel belum bisa ketemu banyak orang ya, Pak, biarkan Angel istirahat dulu sampai benar-benar pulih.”

“Baik, Dokter.”

“Kalau begitu permisi.”

Mas Adit kembali menatapku, aku bisa melihat dengan jelas matanya itu sembab habis nangis, tangannya sedikit bergetar dan kerutan alisnya itu menggambarkan perasaan khawatirnya yang begitu besar terhadapku...

“Angel... syukurlah...”

Maafin aku ya Mas Adit...

“Angel, saya takut sekali kehilangan kamu, saya gak tahu harus apa kalau kamu pergi meninggalkan saya...”

Mas Adit...

“Terima kasih, kamu sudah mau bertahan, Angel...”

Hatiku terenyuh bersamaan satu bulir kristal itu jatuh dari pipi Mas Adit.

“Mas...”

“I-Iya?!”

“Anakku...”

“Ah, Husein? Nanti katanya mau dibawa kesini kok...”

“Hu...sein?”

Mas Adit langsung garuk-garuk kepalanya, “Ah iya, tadi sebelum kamu sadar... suster menanyakan nama dari anak itu sama saya dan yang terlintas di kepala saya itu Husein, cucu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Jadi saya beri nama Husein untuk anak kamu.” “Nama lengkapnya Husein Muhammad Al Farizi, kamu...suka?”

Nama itu terdengar indah...

“Su...ka...ba...gus, Mas...”

“Alhamdulillah kalau begitu, Haidar juga bantu saya buat nyari nama lengkapnya juga tadi, hahaha...” “Sudah kalau begitu, kamu istirahat ya, nanti kamu bisa lihat bayinya kok setelah ini,” “Saya mau urus beberapa administrasi dulu sebentar, tunggu ya.”

Mas Adit beranjak dari tempatnya dan disini aku benar-benar bersyukur bisa memilih untuk pulang bersama orang-orang terkasihku...

Mama benar, sebentar lagi akan ada kebahagiaan yang sedang menantiku disini.


Sebelum Angel siuman...

“Bapak... Ayahnya bayi ini?”

Adit mendelik begitu di datangi seorang suster ketika ia masih sibuk memandangi bayi laki-laki yang masih terkurung di inkubator dari balik kaca. Adit tak sendirian, ada Haidar disana yang ikut menemani Adit.

“Ah saya—”

“Maaf, Pak, kalau boleh tahu anaknya mau diberi nama apa?”

Adit langsung gelagapan, Angel gak pernah kasih tahu nanti anaknya mau diberi apa...

“Duh, Dar, gua bingung nih...”

“Ya gue juga, kan bukan anak gue.”

“Bantuin lah.”

“Duh bentar deh bentar.”

Sekelibat ada satu nama yang terlintas di kepala Adit.

“Husein.”

Haidar tersontak, dan sang suster dengan cepat menuliskan satu kalimat nama yang terucap dari bibir Adit. Husein, cucu Rasulullah yang di kenal sebagai pemimpin yang di hormati banyak orang, sosok itu seolah menjadi doa bagi Adit untuk malaikat kecil itu.

“Husein... apa?”

Haidar langsung mencolek pundak Adit, “Al Farizi artinya bagus, Dit, ksatria yang menunggang kuda.”

“Oke, Husein Muhammad Al-Farizi.”

“Husein Muhammad Al-Farizi... oke kalau begitu, terimakasih, Pak...”

“Oh ya, saya belum sempat azankan bayinya, Sus...”

“Mohon maaf, Pak, untuk saat ini kondisi anaknya belum stabil untuk dikeluarkan dari inkubator jadi mohon bersabar dulu... nanti kalau sudah bisa dikeluarkan, baru Bapak bisa gendong anaknya nanti bersama Bundanya...” “Semoga Bundanya bisa cepat sadar dan ketemu sama anaknya, ya, Pak...” “Saya permisi...”

Haidar menepuk pundak sahabatnya itu, “Mending kita doa untuk Angel dulu, Dit, Inshaa Allah semuanya akan baik-baik aja.”

Adit mengangguk lesu, dan kembali mengaitkan harapannya agar bisa melihat wanita kasihnya itu cepat membuka mata...

Masih ada kisah yang harus mereka bangun sama-sama bersama malaikat kecilnya.

“Angel... kamu tahu bahwa di dunia ini kita punya pahlawan yang sesungguhnya?”

“Um... para Nabi dan Khalifah Islam?”

“Itu pahlawan bagi para umat Muslim, tapi ini adalah pahlawannya kita.”

“Pahlawan negara...?”

“Pahlawan kita, Angel, bagi kehidupan kita.”

Angel masih berpikir keras soal tersebut di kelasnya pada saat mondok di Sleman, Angel kembali berpikir namun sayangnya masih tak ada jawaban.

“Jadi, Pahlawan yang ada dalam kehidupan kita adalah...” “Ibu.”

Hati Angel seketika bergetar, kalimat Ibu yang mampu menyentuh hatinya seolah kembali mengingatkan dirinya dengan sosok almarhum Mamanya.

“Mengandung 9 bulan dengan segala resiko tinggi yang bisa saja mengancam jiwanya, begitu melahirkan, Ibu kita bertarung demi nasib selanjutnya antara hidup atau mati, tapii... Ibu kita tak memikirkan nasibnya, melainkan nasib kita, Angel.” “Pahala seorang wanita yang meninggal karena melahirkan itu adalah mati syahid, dan begitu ia bisa hidup dan melahirkan bayinya itu, seorang Ibu tak berhenti berjuang disitu, menyusui sampai kita berusia 2 tahun, mendidik dan mendampingi tiap momen penting hidup kita... Ibu adalah sosok yang sangat berperan penting bagi kehidupan kita bahkan menjadi penentu ridho Allah terhadap kita, Angel.” “Itulah yang saya sebut tadi, Ibu... adalah pahlawan sesungguhnya yang ada di kehidupan kita.”

Angel sedikit termenung dengan materi tausiyah kali ini... seolah keberkatan seorang Ibu itu akan menjadi hadiah terindah dalam hidupnya... tapi... apakah itu masih berlaku untuknya?

“Alangkah indahnya saya bisa merasakan itu di jalan yang benar, apakah itu masih berlaku untuk saya yang kotor ini, Ustadzah?”

“Inshaa Allah, Angel, kamu bukanlah wanita kotor. Kamu hanya pernah tersesat dan sedang hijrah menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya...” “Islam itu indah, dan Allah pun Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Perjuangan kamu saat ini pun terhitung sebagai jihad, Angel, karena kamu sedang berjuang di jalan Allah.” “Saya yakin, bayi yang nanti lahir dari perutmu itu akan menjadi buah hasil dari perjuanganmu, Angel... Inshaa Allah...”

Ungkapan itu menghangatkan hati Angel, seolah semangatnya untuk berjihad dengan bayinya itu semakin menggebu-gebu. Ia bersumpah, bahwa ia akan menjadikan anaknya itu sebagai generasi Qur'an.

Angel pun sama, dia akan mempertaruhkan hidup dan matinya untuk anaknya, seperti yang dilakukan Mamanya dulu untuknya...

“Saya mau menjadi sosok pahlawan itu untuk anak saya, Bu Ustadzah...”


“Dok, dok! Kondisi anak saya bagaimana??!!”

Keluarga Angel, Adit, Haidar, Anela dan kawan-kawannya saling mengadah tangan memanjat doa, hatinya mengait harapan tentang kabar Angel selanjutnya namun wajah kelam sang dokter itu justru membuat mereka semakin gelisah.

“Untuk bayinya, Alhamdulillah selamat dan saat ini sedang di rawat intensif di inkubator, namun Ibunya... masih kritis dan belum bisa sadarkan diri...”

Lutut Adit langsung melemas di tempatnya, Haidar cepat memapah tubuh Adit dan Papa Angel pun tak kuasa menahan air matanya dan bersandar lemah di bahu sang istri, begitupun Anela dan kawan-kawannya... mereka memencak kedua matanya shock dan diam mematung tak tahu harus bereaksi apa... hanya segumpal air mata yang sudah menumpuk dan hendak jatuh dari pelupuk matanya.

Sungguh mereka belum siap dengan kepergian Angel.

“Dok... tolong Dok... selamatkan Angel... tolong selamatkan Angel...“Adit dengan pilu berlutut memohon-mohon kepada sang dokter

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, sekarang kami hanya bisa berharap akan ada keajaiban mukjizat yang akan menolong Angel...”

Semua masih semu, harapan hidup Angel masih tergantung di langit bersama rahasia takdir...

Semoga Angel bisa kembali pulang bersama orang-orang tercintanya dengan kebahagiaan yang sedang menantinya di dunia...

“Mbak ini stroller berapa harganya?”

“Lagi promo bunda, jadi 800 ribu dari 1,2 juta.”

Disana ada Angel, yang sedang membawa dua kantong besar belanjaannya dan berjalan melihat-lihat perlengkapan bayi yang ada di pusat perbelanjaan kota. Wanita itu memang datang sendiri, tanpa kawalan siapapun, Angel tak mau merepotkan orang sekitarnya.

Lagipula ia ingin menikmati dunianya sendiri sebagai seorang calon ibu.

“Bunda ada yang jemput? Barangnya banyak sekali soalnya...”

“Ah enggak, Mbak, gapapa... saya pake taksi online kok...”

“Ya sudah saya bantu bawa ya belanjaannya...”

“Gak usah, Mbak, Makasih banyak... saya bisa bawa sendiri kok.”

“Bunda tunggu disini aja kalau gitu.”

“Enggak, Mbak, saya masih mau ke toko sebrang nyari makanan.” “Makasih banyak tawarannya ya...”

Terlihat jelas wajah sang pegawai disana sangat mengkhawatirkan kondisi Angel dengan perut besarnya yang membawa kantung belanjaannya susah payah. Gak habis pikir kenapa Angel gak mau dibantu sama sekali seolah memang tak membutuhkannya. Akhirnya Angel benar-benar berjalan sendirian.

Ia sampai di pinggir pemberhentian jalan, menunggu lampu merah berdentang dan alunan musik singkat sebagai aba-abanya menyebrang. Angel membuka ponselnya dan iseng mengambil beberapa foto selfie untuk menikmati momennya.

CKIIITTT!!!

Bunyi rem mobil memekik dari kejauhan, semua sontak menjerit namun Angel terlambat...

Di detik ia menoleh, tubuhnya langsung terpental jauh ke tengah jalan.

“ASTAGFIRULLAH TOLONG ADA KECELAKAAN TOLONGG!!!”

“TELEPON 112 CEPAT!!”

“TOLONG!!! TOLONG!!! ADA TABRAK LARI!! MOBILNYA KABUR!!!”

Suara itu kian lama terdengar menjauh, rasa sakit yang luar biasa dengan aliran darah yang mengalir dari bawah perutnya itu sungguh membuatnya ingin menjerit namun... bibirnya kelu dengan kalimat yang ia ucapkan lirih...

“To...long... anak...saya...”

“Mbak ini stroller berapa harganya?”

“Lagi promo bunda, jadi 800 ribu dari 1,2 juta.”

Disana ada Angel, yang sedang membawa dua kantong besar belanjaannya dan berjalan melihat-lihat perlengkapan bayi yang ada di pusat perbelanjaan kota. Wanita itu memang datang sendiri, tanpa kawalan siapapun, Angel tak mau merepotkan orang sekitarnya.

Lagipula ia ingin menikmati dunianya sendiri sebagai seorang calon ibu.

“Bunda ada yang jemput? Barangnya banyak sekali soalnya...”

“Ah enggak, Mbak, gapapa... saya pake taksi online kok...”

“Ya sudah saya bantu bawa ya belanjaannya...”

“Gak usah, Mbak, Makasih banyak... saya bisa bawa sendiri kok.”

“Bunda tunggu disini aja kalau gitu.”

“Enggak, Mbak, saya masih mau ke toko sebrang nyari makanan.” “Makasih banyak tawarannya ya...”

Terlihat jelas wajah sang pegawai disana sangat mengkhawatirkan kondisi Angel dengan perut besarnya yang membawa kantung belanjaannya susah payah. Gak habis pikir kenapa Angel gak mau dibantu sama sekali seolah memang tak membutuhkannya. Akhirnya Angel benar-benar berjalan sendirian.

Ia sampai di pinggir pemberhentian jalan, menunggu lampu merah berdentang dan alunan musik singkat sebagai aba-abanya menyebrang. Angel membuka ponselnya dan iseng mengambil beberapa foto selfie untuk menikmati momennya.

CKIIITTT!!!

Bunyi rem mobil memekik dari kejauhan, semua sontak menjerit namun Angel terlambat...

Di detik ia menoleh, tubuhnya langsung terpental jauh ke tengah jalan.

“ASTAGFIRULLAH TOLONG ADA KECELAKAAN TOLONGG!!!”

“TELEPON 112 CEPAT!!”

“TOLONG!!! TOLONG!!! ADA TABRAK LARI!! MOBILNYA KABUR!!!”

Suara itu kian lama terdengar menjauh, rasa sakit yang luar biasa dengan aliran darah yang mengalir dari bawah perutnya itu sungguh membuatnya ingin menjerit namun... bibirnya kelu dengan kalimat yang ia ucapkan lirih...

“To...long... anak...saya...”

“Mas bosen nonton Ikatan Cinta mulu...”

Haidar melongo heran, “Lah kan ini film kesukaan kamu, bukan kesukaan saya.”

“Mas sukanya film apa?”

“Dokumenter.”

“Ah bosen! Yang seru dong!”

“Film action paling, saya gak terlalu suka nonton film sebenernya. Lebih suka baca buku.”

“Kalo gitu aku mau ajak Mas nonton film drakor kesukaan aku di Netflix!”

“Drakor tuh, Drama Korea?”

“Iyaa hehehehe....”

“Ya Allah, gak jauh-jauh dari Ikatan Cinta tetep aja Drama Korea...” “Yaudah terserah kamu, saya kan cuman nemenin kamu nonton aja.”

Anela tersenyum riang dengan sangat lebar dan dia mencari drama kesukaannya melalui aplikasi Netflix yang ada di Smart TV.

“Lah kok udah di tengah episode aja sih? kenapa gak dari awal?”

“Yaa soalnya Mas gak akan nikmatin ceritanya dari awal! Jadi mending ikutin aja episode yang udah aku tonton aja!”

Haidar geleng-geleng, “Iya deh terserah kamu aja.”

Akhirnya mereka menikmati filmnya bersama-sama, dengan Anela yang menyandar kepalanya di bahu lebar milik suaminya itu. Menangis, tertawa dan berbagai perasaan yang tergambar jelas di wajahnya itu di tiap episode...

Sedangkan Haidar, dia kaget begitu ada adegan ciuman yang cukup sensual ada di adegan drama tersebut. Cepat-cepat tangannya itu menutup mata istrinya rapat-rapat agar tidak melihat adegan tak senonoh itu.

“Astagfirullah hal adzim, Maryam! Kamu nonton film beginian ya kalo gak ada saya?!”

“Ih apaan sih, Mas?! Biasa aja kali, saya kan bukan Aisyah!”

“Ya tetep aja itu gak senonoh! Mending kamu nonton sinetron Ikatan Cinta dibanding drama beginian!”

“Mas Haidar... di drama itu kan mereka udah pasangan suami-istri... ya wajar lah kalo mereka begitu!”

Seketika tubuh pemuda itu mendelik setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut istrinya, Haidar menarik nafasnya dan mencoba menghadap lurus wajahnya dengan wajah sang istri hingga Anela jadi risih salah tingkah sendiri.

“Ke-Kenapa Mas?”

“Kamu bilang... suami-istri wajar kayak gitu?”

“Iya lah!”

“Kita suami-istri, kira-kira kita pernah gak melakukan sejauh itu?”

Wajah Anela langsung memerah padam bak kepiting rebus, dengan wajah suaminya itu yang kian mendekat... suasana mereka berdua jadi sedikit berbeda dari biasanya.

“Mas...? Kok Mas kayak diem gitu natap akunya... ada yang salah...?”

“Enggak... gak ada yang salah kok...”

“Mas, Ih!”

Satu layangan bantal mendarat tepat di wajah Haidar hingga pemuda itu terpingkal-pingkal dengan sikap istrinya yang masih malu-malu kucing.

“Kamu tuh ternyata masih polos banget ya, Maryam, gak nyangka saya.”

“Justru Mas ternyata diem-diem bandel! Iseng banget sih!”

“Emang kenapa kalo saya iseng sama istri sendiri? Reaksi kamu juga lucu banget, hahahaha...”

“Mas, Ih!”

“Maryam.”

“Apa?!”

“Kamu... masih belum siap?”

Mata Haidar berubah menjadi nanar menatap istrinya penuh harap, seolah Anela paham maksud dari suaminya itu, ia tak menjawab, melainkan ia menunduk diam dan memaling wajahnya dari sang suami.

“Oh, masih belum ya?“Haidar menghela nafasnya berat, “Yaudah gapapa kok, saya paham. Kalo gitu saya ke kamar dulu—”

GREP! Anela menahan jemari suaminya itu, Haidar sontak menoleh dan sekarang tatapan Anela yang sendu itu seolah memiliki arti untuk suaminya...

“Aku... Aku siap kok... cuman... aku takut...”

Lagi-lagi Haidar membelelakkan matanya lebar.

“Kamu siap? Serius?”

“Siap ta-tapi takut...”

“Takut kenapa?”

“Ya takut aja, tapi aku percaya kok sama Mas Haidar...” “Bagaimanapun aku ini istrinya Mas Haidar kan, bukan begitu?”

Perasaan campur aduk mulai berkecamuk di dada sang pemuda itu. Anela melebar tangannya, lalu Haidar dengan cepat langsung membawa tubuh mungil istrinya itu seperti tuan putri ke dalam kamarnya...

Malam itu, menjadi malam yang panjang bagi pasangan tersebut 😌🙏💗

Haidar tergopoh-gopoh lari dari mobilnya dan di sambut dengan kehadiran istrinya yang sudah duduk menyilang dada, mata yang sembab dan kerudung tak menentunya itu, pemuda berkemeja putih pucat itu menatap nanar wajah murka Anela yang sudah tak terbendung. Tangan besarnya berusaha meraih pipi basah wanita kasihnya namun dengan cepat tangan itu di tepis,

“Maryam...”

“Untuk apa saya duduk disini?”

Haidar mendelik.

“Untuk apa saya duduk disini nungguin Mas pulang? cuman untuk dengerin Mas manggil-manggil nama saya doang?!”

“Bukan, Maryam...”

“Sekarang Mas mau jelasin apalagi? alasan apalagi yang saya harus dengar hanya karena Mas terbiasa berbohong sama saya?”

“Maryam, saya belum sempat jelaskan sama kamu.”

“Selalu kalimat itu yang keluar dari mulut Mas!”

“Makanya tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan, Maryam!”

“Apakah penjelasan Mas bisa aku percaya sepenuhnya?!”

“Dengerin saya dulu—”

“AKU CAPEK MAS!!!”

Pekikan Anela cukup mengejutkan Haidar di tempatnya.

“Aku capek Mas, aku capek harus nahan sakit ketika tahu bahwa aku bukanlah satu-satunya yang ada di hati kamu, Mas—”

“Sebentar, omongan kamu mulai gak karuan, Maryam—”

“Lalu buku ini apa?!”

Haidar membelelakkan matanya bulat-bulat, kedua buku hariannya itu ternyata sampai di tangan istrinya itu... bisa dipastikan kalau Anela ini salah paham.

“Mas masih nyimpen buku harian Mas, dan disini masih ada foto Nafisa!!”

“Maryam, itu buku harian lama dan memang masih saya simpan.”

“Simpan untuk apa?! Untuk Mas kenang lagi masa lalu gitu?! Orang jelas-jelas buku ini masih Mas buka lagi kok!!”

“Astagfirullah hal adzim, bukan, Maryam... saya masih buka buku harian itu karena saya lagi cari bahan materi untuk buku saya!”

“Hah, alasan klise! Mas, saya bisa tahu jelas di mata Mas kalau Mas itu masih cinta sama Nafisa!!”

“Saya berani bersumpah, Maryam, kalau saya sudah tidak ada lagi perasaan sama Nafisa!”

“Kalau begitu, coba saya tanya satu hal ini sama Mas Haidar...” “Mas... Apa Mas mencintai saya?”

Haidar diam mematung, dan disitu terlihat mata Anela bergetar hebat dengan gumpalan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.

“Maryam, saya akan jelaskan semuanya satu per satu—”

“Jawab dulu, Mas cinta gak sama aku??!!”

Anela sudah berhasil meloloskan tiap bulir air mata pedihnya di hadapan Haidar.

“Maryam...”

“Mas... gak cinta sama aku?”

“Bukan begitu, Maryam...”

“Jadi selama ini... di hati Mas itu gak ada aku?”

“Astagfirullah, Maryam bukan begitu... tolong dengerin saya...”

“Mas, pertanyaan saya simpel... Mas Haidar cinta sama saya?”

Haidar mengepal tangannya kuat-kuat, kenapa kalimat cinta itu seolah sulit keluar dari bibir lelaki itu?

Jika kata cinta itu memang mudah keluar dari bibir, tapi bagi Haidar... yang namanya cinta itu dari hati, bukan begitu?

“Ketiga kalinya saya bertanya dan Mas tidak memberi jawaban sama sekali.” “Kalau begitu saya sudah dapat jawabannya.”

TEP! Haidar menahan lengan Anela yang hendak beranjak, genggamannya kian mengerat, sorot mata pemuda itu juga tak kalah tajam.

“Apalagi, Mas?!”

“Apakah diam itu selalu menjadi jawaban tidak? Kamu selalu menuntut saya untuk menjelaskan semuanya tapi kamu tidak pernah memberi saya kesempatan untuk bicara.”

“Karena Mas sudah sering bohong sama saya!”

“Kalau begitu kamu lebih baik diam tanpa mendengar penjelasan saya seperti ini? Kamu lebih baik kita berselisih seperti ini?”

Anela menangis lagi, cengkraman suaminya itu kian melemah sampai akhirnya turun ke punggung tangan mungilnya dan menggenggamnya erat-erat.

“Tolong... beri saya kesempatan saya untuk menjelaskan semuanya, Maryam... saya gak mau kita berselisih paham kayak gini...” “Saya minta maaf kalau sudah banyak melukai hati kamu...”

“Saya gak butuh permintaan maaf yang kesekian kalinya dari Mas, tapi yang saya butuhkan sekarang... adalah jawaban dari pertanyaan saya tadi, Mas...” “Mas Haidar... cinta sama saya?”

Haidar menatap pilu wajah istrinya, ia memeluk punggung ringkuh Anela erat dan menenggelamkan kepalanya di bahu wanita kasihnya...

“Bagaimana bisa saya tidak mencintai kamu... sedangkan sayap saya untuk pergi ke syurga-Nya ada di kamu, Maryam...” “Kamu-lah sayap saya... Anela Haliza Maryam... Tentu saja saya cinta sama kamu.”

Air mata Anela semakin berderai deras hingga tangannya menggenggam erat ujung baju suaminya. Perasaan dalam hatinya bercampur aduk, lega sekaligus perih yang berkecamuk dalam dadanya, tapi yang jelas... jarak hati antara mereka kian lama semakin menipis...

“Apakah ucapan Mas bisa aku pegang?”

“Inshaa Allah, Maryam, karena saat ini saya benar-benar mengatakan apa kata hati saya dan itu jujur perasaan saya.”

“Sekarang Mas jujur... Mas pulang malam itu ngapain aja? bahkan kemarin Mas sampai gak pulang ke rumah...?“akhirnya Anela mengeluarkan pertanyaannya lagi

Haidar menghela nafasnya panjang,

“Saya sedang sibuk menulis project buku baru saya, Maryam, dan sebagian besar materi yang saya butuhkan itu ada di pondok.” “Memang itu di luar jadwal saya di pondok, saya sengaja mengerjakan semua pekerjaan saya di pondok biar saya bisa pulang rileks dan istirahat sama kamu di rumah...” “Maaf kalau ternyata itu membuat kamu jadi sering merasa sendirian, kalau memang kamu mau saya kerja di rumah juga gapapa... saya akan usahakan itu untuk kamu.”

Anela menggeleng pelan, “Sudah, Mas, cukup. Saya juga salah karena udah mikir yang enggak-enggak soal Mas apalagi semenjak saya lihat buku harian Mas itu...”

“Saya paham, Maryam, wanita mana yang tidak gelisah begitu lihat ada foto wanita lain di buku suaminya...” “Lain kali saya lebih hati-hati, saya gak lama membutuhkan buku ini nanti setelah itu buku ini akan saya buang.”

Anela tak merespon, melainkan terus memeluk erat tubuh suaminya itu hingga sesak, pemuda itu terkekeh kecil...

“Aduh, Maryam, sa-saya sesak nafas nih...”

“Mas janji ya gak boleh lagi ada rahasia-rahasiaan lagi!” “Anggap hari ini adalah terakhir kalinya kita berantem karena permasalahan yang sama!”

“Iya... enggak lagi deh...”

“Tapi, Mas... coba bilang lagi dong, bilang kalau Mas cinta sama saya!”

Haidar mendelik, “Hah? Emang kurang jelas saya ngomongnya tadi?”

“Gapapa mau denger lagi ajaaa... please?? 🥺”

“Hah...” “Iya, Maryam, saya cinta sama kamuuuu....”

Anela melompat girang dan memeluk lagi tubuh suaminya kencang.

Semoga kejutan saya nanti bisa membuatmu jauh lebih bahagia dari ini, Maryam...

Kali ini Anela, Angel, Eliza dan Kak Indry tengah berdiri di depan rumah besar bercat putih kuno, dengan imitasi hitam legam yang terlihat baru di cat, Angel menegup air liurnya bulat-bulat. Angel sudah siap dengan segala perlakuan kedua orang tuanya nanti begitu melihat dirinya sekarang.

“Guys kalian tunggu di depan aja ya, biar gue yang masuk ke dalem.” — Angel

“Eh tapi nanti kalo ada apa-apa gimana, Ngel?!” — Anela

“Udah gapapa, gue bisa sendiri kok, kalian siap-siap aja disini.” — Angel

Angel memberanikan dirinya untuk melangkah masuk ke rumahnya. Dulu, Angel sangat membenci situasi dimana ia harus memasuki rumah ini dan menerima berbagai komplain, dengan perlakuan kasar dari keluarganya tapi sekarang... Angel sudah siap untuk menghadapinya lagi dengan lapang dada. Mungkin hari ini akan lebih parah reaksi keluarganya dibanding biasanya.

“Assalamualaikum... Pah, Mah...?”

Laki-laki paruh baya berkacamata itu menatap shock putrinya yang berbadan dua saat ini, Angel tersenyum simpul sambil menahan nafasnya.

“Pah...”

“Angel... kamu...”

“Angel pulang, Pah...”

Wajah pria itu seketika memerah murka, tangannya melayang dan Angel segera berlindung diri dari serangan Papanya...

tapi ternyata bukan layangan pukul yang ia dapat, melainkan sebuah pelukan hangat dan air mata pilu sang Ayahanda yang tlah kehilangan putrinya berbulan-bulan.

“Angel... kamu sudah pulang nak... kemana aja kamu... ada apa dengan kamu, Angel...”

Angel membenamkan wajahnya di bahu ringkuh sang Ayahanda, mereka menangis bersama melepas rindu yang perih di dada.

Dari belakang, ada sosok wanita berambut sebahu yang ikut menyambut kehadiran Angel dengan air mata haru. Ia ikut memeluk tubuh kedua orang tersayangnya, mereka merasa lega begitu perjumpaan hari ini terjadi.

Suasana haru ini berlangsung sampai akhirnya Angel melepas pelukannya,

“Pah... Mah... maafin Angel ya udah bikin khawatir...”

“Kamu kemana aja, nak...?! Kamu gak tahu bagaimana kita khawatirnya dengan kamu begitu kamu pergi?!”

“Angel... Angel melalui banyak hal, Pah... sampai akhirnya...“Angel menatap perutnya penuh arti.

Papa Angel menarik nafasnya panjang, “Laras, tolong bawa Angel ke teras belakang. Biar aku yang bicara empat mata dengan Angel.”

“Baik, Mas.”

Tubuh Angel di papah perlahan oleh sang Ibunda tiri, Angel sangat tersentuh dengan sikap lembut kedua orang tuanya saat ini, ternyata... tidak seperti yang ia bayangkan selama ini.

Apakah ini... yang namanya kasih sayang keluarga?

Ternyata indah banget ya...

Angel duduk di kursi besi hitam yang dulu biasa ia tempati sebagai tempat merenung mengurai rindu dengan sang Mama tercinta di syurga sana. Kini, tempat ini tetap terlihat sama. Hanya saja seluruh hembusan debu bertempat disini setelah Angel meninggalkannya berbulan-bulan.

“Angel...”

Suara lirih itu mengejutkan Angel disana, sosok Papanya yang biasa keras dan berbicara dengan intonasi tinggi tiba-tiba menjadi lemah begitu menjumpai Angel yang sekarang ada disini.

“Kamu... darimana saja?”

“Maaf, Pah, aku tahu aku dulu nakal banget—”

“Bukan itu yang Papa tanya, nak.” “Kamu darimana saja selama ini?”

Angel menunduk kepalanya malu...

“Aku... tinggal di Sleman, Pah.”

Mata Papa Angel membulat sempurna, “Kamu... ke Sleman tuh...”

“Iya, aku ke makamnya Mama...”

“Sejak kapan, nak?”

“Sejak aku... mengandung bayi ini, Pah...”

Angel mengusap perutnya pilu, satu bulir air mata Papa Angel seketika jatuh lagi dengan tangannya yang gemetar meraih perut sang putri yang membesar itu...

“Nak... ini... siapa?“suara Papa Angel mulai bergetar

“Maafin Angel, Pah... ini salah Angel...”

“Memang ini salah kamu tapi dengan siapa...?”

Angel menahan segukan tangisnya, “Jo-Jovian, Pah...”

“Siapa itu Jovian? Jenis bajingan macam apa yang membuat kamu jadi begini...??”

“Angel udah gak mau lagi berurusan lagi sama dia Pah, Angel tahu kalo ini semua memang kesalahan Angel jadi... Angel akan bertanggung jawab dengan bayi ini, Pah...” “Papa... Angel mohon restunya ya... izinkan Angel untuk menjadi manusia yang lebih baik bersama anak yang ada di dalam kandungan Angel... meskipun... meskipun Angel sendirian disini tapi... Angel yakin, selama Angel bersama Allah... Angel bisa melalui ini semua...”

Papa Angel mengusap wajah putrinya dengan perasaan kacau yang mencengkram dadanya, bagaimana tidak? hancur sudah hati seorang Ayah begitu melihat putrinya yang terpeleset di jalan yang salah bersama laki-laki bajingan yang tak bertanggung jawab, dan sekarang putrinya lah yang menanggung semua beban dosanya sendirian...

Kalau boleh, yang namanya seorang Ayah, ia ingin berkorban menembus dosa putrinya itu dengan cara apapun bahkan nyawa sekalipun yang menjadi taruhan...

Dan Angel gak sepenuhnya salah...

Ini juga ada sebagian besar kesalahan dari Papa Angel, pikir pria berusia 49 tahun itu...

“Nak... ini bukan sepenuhnya salahmu... Papa juga salah, Papa gak bisa membimbing kamu dengan baik... maafkan Papa yang selama ini selalu mendahulukan ego dan menyakitimu, nak...”

“Angel paham, Pah, Angel memang banyak mengecewakan Papa...”

“Enggak, Angel... ini hanya jalinan komunikasi kita yang belum sempurna... dan jujur saja, memanglah tiap Papa melihat wajahmu itu... Papa selalu teringat dengan mendiang Mamamu...” “Papa selalu merasa bersalah setiap melihat wajahmu, Angel... sampai Papa gak sadar bahwa Papa melampiaskan itu semua dengan kekerasan sama kamu... Papa minta maaf, nak...”

Sekali lagi mereka saling berpelukan erat sambil menangis meraung-raung...

Betapa sakitnya posisi kedua insan ini, dimana adanya luka kehilangan memanglah selalu berbekas sepanjang hayat. Papa Angel maupun Angel sudah bertahan sampai saat ini dengan luka itu, meskipun sosok Tante Laras yang menggantikan posisi itu tapi... tetaplah yang namanya kehilangan tetaplah hilang, takkan ada yang bisa menggantikannya.

“Pah... Angel janji mulai sekarang... Angel akan menjadi anak Papa yang baik dan sholehah sehingga bisa mengantarkan Papa sama Mama nanti ke syurga sama-sama...” “Angel mau membayar semua kekecewaan Papa selama ini... meskipun tidak seberapa tapi setidaknya sedikit saja, Angel mau berusaha menjadi anak yang baik untuk Papa... dan juga Mama Laras...”

Wanita yang dipanggil Mama Laras itu mengusap pipinya yang basah, mengangguk lembut sambil tersenyum simpul.

“Angel... soal bayi dalam kandungan kamu... apa kamu sudah siap dengan semua tanggungan yang akan kamu pikul sebagai seorang Ibu?“tanya Mama Laras, menepuk pelan pundak Angel

Angel mengangguk, “Iya, Mah, Inshaa Allah Angel sudah siap karena sekarang Angel sudah yakin dengan kasih sayang Allah sama Angel. Lagipula, Angel harus tanggung jawab dengan apa yang Angel perbuat... jadi Angel gak mau lari dari masalah.”

“Begini, nak, yang namanya seorang Ibu... itu bukan hanya persoalan mengandung 9 bulan tapi ini adalah tanggung jawab seumur hidup.”

“Angel paham, Mah, Angel tahu kalau ini akan menjadi tanggung jawab yang besar bagi Angel tapi... ini sudah menjadi keputusan hidup Angel.” “Inshaa Allah, Angel siap menanggung risiko sebesar apapun itu bersama bayi ini. Cukup kesalahan Angel sampai bisa mengandung bayi ini, jangan sampai merenggut hak hidup bayi ini juga.”

Papa Angel menyudahi Mama Laras yang masih hendak mengutarakan berbagai pertanyaan amatir soal bayi kandungan Angel...

“Angel, sejujurnya Papa sakit sekali melihat kondisi kamu saat ini tapi... Papa juga bangga dengan sikap kamu yang mau bertanggung jawab seperti ini.” “Jangan pernah lagi lari dari masalah, sekarang kamu tidak sendiri, Papa dengan Mama Laras akan mendukung kamu sepenuhnya.”

Angel kembali menitikkan air mata haru sambil memeluk erat tubuh kedua orang tuanya, dari ujung ruangan sana ada Anela, Eliza dan Kak Indry yang ikut terhenyak dengan suasana haru keluarga ini.

Syukurlah, Angel... ternyata... kepulangan lo ke Jakarta tlah dirindukan oleh alam semesta...

Kini, gue dengan Angel tengah berbincang panjang mengulang histori selama kami tak bertemu berbulan-bulan. Bagaimana kondisi Angel selama di Sleman dengan kondisi gue setelah menikah, pokoknya berbagai topik deh kita omongin.

“Anela...”

“Ya?”

“Sebelum lahiran, gue boleh minta tolong sesuatu?”

“Apa?”

Angel tersenyum tunduk, “Besok sama temen-temen yang lain, temenin gue balik ke rumah ya...”

Mata gue memencak lebar, gue tahu betul bagaimana kondisi keluarga Angel. Gue khawatir kalau mereka melihat kondisi Angel sekarang...

“Angel... lo yakin? lo lagi hamil besar soalnya...”

Angel mengangguk yakin, “Iya, Nel, at least... gue mau ketemu bokap gue. Gue mau ngucapin terima kasih sama bokap karena bokap masih mau merawat gue sendirian sampai akhirnya ketemu nyokap tiri gue, dan juga sekalian ucapan minta maaf... karena gue banyak mengecewakan mereka dulu.” “Meskipun mereka sedikit keras sama gue, tapi mereka berjasa di hidup gue, Nel, seharusnya gue bisa menjadi anak yang membanggakan tapi justru malah sebaliknya... gue banyak mengecewakan mereka. apapun yang mereka lakukan sama gue nanti, gue siap menanggung semua resikonya.”

Hati gue terenyuh, gue seneng banget dengan diri Angel sekarang...

Dia benar-benar menggambarkan arti dari namanya...

Malaikat.

Hatinya benar-benar bagaikan malaikat.

“Iya dong, pasti kita akan dampingi kok.” “Oh ya, mau di hubungi sekarang gak?? Biar besok tinggal berangkat!”

“Hubungi siapa? Eliza sama Kak Indry?”

“Iya lah!”

“Besok pagi aja, Nel, udah malem banget soalnya.” “Oh ya, lo besok ada kuliah?”

“Nggak kok, lusa baru ada kelas.”

“Ohh syukur deh kalo gitu...” “By the way, gue jadi kangen kuliah deh hahaha... harus sabar tahun depan baru bisa lanjut...”

“Lo ambil cuti setahun, Ngel?”

“Iya, gue gak mau langsung drop out dari kampus. Bagaimanapun juga gue harus tetep melanjutkan pendidikan gue, demi anak gue.”

Gue mengacung dua jempol di hadapan Angel, “Gila sih, lo hebat, Angel! Keren betul sobatku ini!”

“Hahaha... sobatku yang ini juga gak kalah keren kok! Aku kan ikutan hijrah gara-gara dirimu, say!”

Kita saling bertukar rasa rindu lagi dengan balutan tawa ceria dan senda gurau.


Sekarang gue di kamar bersama Mas Haidar seperti biasanya, Mas Haidar dengan aktivitas membaca Qur'an sebelum tidur, gue yang sedang mengaplikasikan beberapa produk skincare gue dan merenungkan berbagai hal di depan kaca.

“Mas.”

“Hm?”

“Aku kepikiran sesuatu deh.”

Mas Haidar menoleh, ia menghentikan bacaannya dan meletakkan Al-Qur'an-nya di atas meja laci sampingnya.

“Kepikiran apa?”

“Soal... punya anak.”

Mas Haidar membelelakkan matanya, “Kenapa?”

“Sebentar lagi aku udah bisa ngajuin judul skripsi, jadi... kayaknya bisa dipertimbangin untuk punya momongan setelah aku sidang skripsi...”

“Berapa lama lagi itu?”

“Kurang lebih setahun lagi sih...”

Mas Haidar hanya menghela nafasnya panjang, dia melepas kacamatanya dan menepuk kasur di sampingnya meminta gue duduk disitu, “Sini, dek.”

Gue menuruti aba-aba suami gue. begitu gue duduk di sampingnya, Mas Haidar langsung merangkul lengan gue erat

“Maryam... dengar ya, saya tidak menuntut apapun dari kamu karena pertama kamu harus fokus dengan pendidikan kamu dan kedua, saya tidak ingin membuat kamu tertekan. Lakukan sebisa kamu, punya anak maunya kapan, maunya berapa, biar nanti Allah yang atur, kita sekarang cukup jalani apa yang bisa kita lakukan saja.” “Setelah sidang skripsi kamu selesai, gak cuman urusan anak aja, banyak yang harus kita lakukan tapi kita jalani itu semua pelan-pelan...” “Yang terpenting itu adalah menikmati momen kita saat ini, masa depan biarlah menjadi rahasia takdir, yang penting jangan sampai kita melewatkan tiap detik berharga kita, Maryam.”

Rasanya hangat mendengar kalimat bijak itu keluar dari bibir Mas Haidar. Gue memeluk erat tubuh Mas Haidar dan menenggelamkan wajah gue di dadanya yang terus terdengar suara desirannya...

Gue bahagia banget, bisa punya Mas Haidar dalam hidup gue.

Bahkan detak jantungnya yang kini menjadi milik gue, adalah anugrah terindah dari Allah untuk gue.

Nikmat apa yang Kau dustakan, Ya Allah?

“Iya, Mas... aku paham...”

Gue menatap sekejap kedua mata Mas Haidar, lalu kami saling terkekeh dan memejam mata membiarkan kami terlelap dengan posisi saling menghangatkan ini.

Selamanya... kita akan terus begini kan, Mas?