shinelyght

Wajah muram Naresh tampak setelah menghadiri rapat untuk operasi Anela. Tangannya gemetar hebat, bahkan hatinya sangat gusar begitu mendengar banyak pernyataan para dokter barusan.

“Dilihat dari kondisi pasien, untuk melakukan operasi bisa menimbulkan berbagai resiko dan paling fatalnya adalah kematian.”

“Kalo kondisinya kayak gini bukannya tidak ada jalan lain selain operasi? Bahkan kalau terlewat sehari saja tumornya bisa terus menyebar sampai ke otak dan itu lebih bahaya lagi.”

“Dokter Naresh, semua keputusan dan tanggung jawab ada di tangan anda. Tolong renungkan baik-baik apa yang di sampaikan oleh para dokter disini.”

Naresh menggenggam erat-erat jas putihnya, rasanya ingin berteriak namun Naresh urungkan niatnya bulat-bulat. Pemuda itu rasanya ingin gila karena ketakutannya sendiri.

“Demi Allah, gue gak akan maafin diri gue kalo terjadi apa-apa sama Anela nanti... Astagfirullah hal adzim...”

Tubuh Naresh mendelik begitu merasakan ponselnya bergetar panjang di sakunya.

“Halo, Assalamualaikum, dengan Dokter Naresh disini?”

“Waalaikumsalam, Dok! Ini Alisya!”

Naresh membuka kembali ponselnya, ia tak sadar kalau ternyata yang menelponnya itu adalah nomor Aisyah.

“Oh, Alisya... kamu lagi sama Kak Aisyah?”

“Iya! Hehe, kata Kak Aisyah, Dokter habis rapat hal yang sangat penting ya, Dok?”

Naresh terkekeh kecil, “Iya, lumayan penting.”

“Kalo gitu lihat dong video yang Alisya kirim!”

Naresh mengerut satu alisnya, lalu ia membuka kolom chatnya bersama Aisyah dan benar, disana ada video Alisya yang dikirim.

“Video apa nih?”

“Tonton aja, Dok, kalo gitu teleponnya Alisya matiin. Assalamualaikum!”

“Wa-Waalaikumsalam...”

Alisya mematikan ponselnya lalu Naresh akhirnya membuka video berdurasi 1 menit kurang itu dan menyaksikannya dengan serius.

Halo, Dokter Naresh! Uh... Alisya mau bilang sama Dokter kalo Dokter jangan patah semangat dan terus jadi dokter hebat seperti yang Alisya bayangkan! Dokter Naresh adalah dokter terkeren yang pernah Alisya lihat, jadi apapun itu yang dikerjakan Dokter Naresh, selama itu bersama Allah, pasti semuanya selesai dengan baik! Semangat, Dokter Naresh! Go! Go! Go!

Naresh tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi lucu Alisya sambil menunjukkan pose jogetnya yang aneh, seketika keberaniannya mulai terkumpul dan membulatkan tekadnya. Ketakutan terbesarnya mulai melebur menjadi harapan, Alisya betul, selama ia bersama Allah maka apa lagi yang harus kita takutkan?

“Terima kasih, Alisya, Aisyah...”

Alisya dan Aisyah...

“Alisya, mau bantuin Kak Aisyah gak?”

“Bantuin apa, Kak?”

“Bantu semangatin Dokter Naresh ya? Sekarang Dokter Naresh lagi rapat penting untuk menyelamatkan pasiennya dan Dokter Naresh butuh sekali kalimat penyemangat dari kamu.” “Dokter Naresh itu dokter yang hebat kan di mata kamu?”

Alisya mengangguk semangat, “Iya! Dokter hebat dan terkeren yang pernah Aisyah lihat!”

“Kalo gitu mau ya bantu Kak Aisyah?”

“Oke!”

Pagi-pagi pukul 7, di temani oleh desiran angin pagi dan mentari hangat di tengah ladang rerumputan hijau. Disana ada satu tempat makam yang bertempat sendiri, menuliskan nama Ibunda dari Abi dan pemuda itu sudah menghabiskan waktunya disana selama sejam.

“Mah, Abi benci banget sendirian kayak gini, sumpah,” Abi mulai bercuap, ia sudah meneguk habis susu coklatnya dan meletakkan di samping susu kotak yang Abi sengaja bawakan seolah itu untuk Mamanya, “Tahun baru hari ini kacau banget, Mah, hahaha... Kayaknya 2020 ini jadi tahun terburuk Abi deh, bayangin aja, Mah, pertama Abi kehilangan Mama dan sekarang Abi kehilangan Bella.” “Sekarang Abi punya siapa lagi, Mah?”

Abi meremas kuat-kuat kotak susu bekasnya, “Abi... sekuat apa sih, Mah?”

Pertahanan pemuda malang itu akhirnya runtuh juga, ia mulai menjatuhkan satu air matanya dan tetes tiap tetesnya berubah jadi mengalir deras. Isakkan kencang Abi mulai terdengar sangat kencang, tapi untungnya disana tak ada siapapun yang mendengar tangisan laki-laki itu. Abi bisa malu setengah mati kalau ada yang menangkap basah dirinya yang sedang melemah ini.

“Mah... gak bisa pulang bentar, Mah...? Sebentar aja, pas Abi mau tidur aja gitu? Abi kangen banget di elus kepalanya sama Mama, sentuhan hangat Mama itu obat bagi segala rasa sakit yang Abi rasain sekarang... Abi mohon, Mah...”

Abi menengkuk wajahnya, menciumi batu nisan Ibundanya sambil terisak-isak, lalu merapihkan lagi 3 buket bunga yang ia bawa.

“Abi sengaja bawa 3 bunga ini, satu untuk Papa, satu untuk Mama, satu untuk cinta Abi yang akhirnya pupus...” Abi terkekeh di tengah tangisnya, “Iya, Mah, cinta Abi sama Bella udah pupus. Sumber kekuatan Abi udah gak ada, sekarang Abi cuman punya diri sendiri aja untuk bertahan hidup disini.”

Abi tak lupa membawa satu lembar fotonya bersama sang Ibunda, lalu Papih Mamihnya Bella bersama Bella juga. Ia letakkan di atas ketiga buket bunga itu perlahan.

“Kalian semua adalah harta yang paling berharga dalam hidup Abi...” “Terima kasih sudah mau menjadi bagian hidup Abi, semoga kalian bahagia selalu...”

Abi berdiri dari tempatnya, ia mengusap cepat wajahnya dan ia bergedik kaget dengan getaran ponselnya yang ada di saku celana jeansnya.

Agus is calling...

“Halo, Gus?”

“Heh koplok, dimana?”

“Di tempat Mama.”

“Sharelock jing, aing kesana.”

“Gausah anjir, bentar lagi gue balik.”

”... Maneh abis nangis, Bi?”

Abi kaget begitu Agus menyadari suaranya yang bergetat, “Kagak, pilek gua. Dingin banget disini.”

Agus bergeming lama di telepon, “Abidzar.”

“Oit?”

“Mulai sekarang, kalo ada apa-apa hubungin gua. Lo gak sendiri.” “Buruan balik, jangan nangis di tempat nyokap lo. Mending kita ngopi di bukit belakang sekolah, terserah maneh sambil mewek disana oge.”

Seketika hati Abi gusar, perhatian kecil Agus sukses menyentuh luka batin Abi yang merasa kosong karena kehilangan banyak orang terkasihnya.

Secercah harapan mulai menyapanya.

Abi sekuat tenaga agar tidak menangis di telepon, “Iya, Gus, urang otw...” “Makasih banyak, udah mau jadi temen urang, Gus...”

Di detik-detik jam 12 hendak berdentang, Satria dan Agus sudah siap dengan stick petasan yang akan mereka tarik untuk menyambut malam tahun baru.

“Bel, karena bentar lagi ulang tahun maneh... maneh yang teriak HAPPY NEW YEAR gitu yah,” pinta Satria.

“Iya santai—”

Kalimat Bella terpotong dengan dering telepon panjang yang bergetar di saku celananya.

Kak Jonathan is calling...

PIP!

“Halo, Kak Jo?”

“Kamu dimana?”

“Di rumah nih sama temen-temen.”

“Bisa keluar sebentar? Aku sebentar doang kok.”

“Oh yaudah atuh, Bella keluar dulu.”

“Iya aku tunggu ya.”

Jonathan mematikan teleponnya sepihak, lalu Bella menoleh ke belakang memastikan teman-temannya itu sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Gadis itu mengendap-endap keluar dari gerbang rumahnya dan di ujung sana dekat lampu jalan, sosok Jonathan bersama mobilnya itu sudah berdiri menunggu wanita kekasihnya.

“Ah, Bel!” Jonathan melambaikan tangannya gembira, lalu Bella berlari kecil menyusul pria berpostur tubuh tegap atletis itu yang dibalut dengan kaos hitam andalannya.

“Kenapa gak masuk aja, Kak? Kita bakar-bakaran bareng di dalem,” tanya Bella.

“Ah, aku harus ikut riset penelitian dulu ke daerah Cianjur 2 minggu, abis ini langsung mau pergi ke sana,” Jonathan mencubit kedua pipi pacarnya itu gemas, “Mau puas-puasin lihat muka mbak pacar dulu sebelum pergi, hehehe...” ucapnya sambil cengengesan.

Bella mengerucut bibirnya manja, lalu Jonathan langsung melepas kedua tangannya dan segera membuka mobilnya untuk mengambil satu kantung berisi tas bermerk Chanel yang membuat Bella melongo.

“A-Apaan nih?!”

“Tas.”

“Mereknya...”

“Hm? Chanel, kenapa?”

Bella terkesiap, “Kak...! Ini tas mahal banget!”

Jonathan terkekeh geli, lalu ia meraih tengkuk kepala gadis kekasihnya dan memeluknya erat-erat memberikan kehangatannya di tengah angin malam yang dingin ini terus menerpa mereka.

“Bel...”

“Hm?”

Jonathan mengulum senyum simpul, “1... 2... 3...”

PIUUTT... DUARR!! DARR!!

Suara kembang api dari dalam rumah Bella langsung menyerbu langit, suara ledakan yang berdampingan dengan tampilan cahaya warna-warni cantik di atas sana membuat pelukan mesra mereka semakin melekat di relung jiwa.

“Selamat ulang tahun, sayang...” bisik Jonathan di tengah bisingnya suara ledakan kembang api. Bella tersenyum malu sambil mengeratkan kembali pelukannya.

Mereka sama-sama tenggelam dengan kehangatan yang mereka buat, tanpa mereka sadari...

Di ujung sana ada Abi yang menyaksikan momen itu sambil menelan kembali patah hatinya yang ke sekian kali.

1 Januari 2021,

Tanggal itu tercatat sebagai hari menyerahnya sang pejuang cinta.

Ya, Abi sudah memutuskan untuk benar-benar menyerah untuk cintanya.

Hari ini benar-benar selesai kisah kita, Bel... Selamat tinggal, 17 tahun kita, selamat tinggal, 17 tahun cintaku... semoga kamu bahagia selalu.

“Tau gak sih kenapa gue gak bisa hidup tanpa lo, Bi?”

“Kenapa...?”

“Kalo gak ada lo, hari ulang tahun gue bakalan hampa banget gak dapet hadiah dari siapa-siapa.” “Papih aja kalo kasih hadiah suka telat seminggu, cuman lo doang yang ngasih hadiah tepat waktu sama gue.”

Kebersamaan Abidzar dan Isabella selalu memberikan momentum khusus bagi keduanya, salah satunya adalah cara mereka merayakan ulang tahun mereka masing-masing.

Abi yang kelahiran 23 April, dan Isabella 1 Januari.

Mereka mencatat tanggal itu sebagai tanggal yang bersejarah, karena kelahiran sosok belahan jiwa mereka yang selama ini mereka habiskan waktu bersama. Mereka juga merayakannya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sekarang, 31 Desember 2020...

Suasana ramai di malam pukul 23.30 menuju dentangnya jam dinding di rumah Bella, tepat pada pukul 00.00 nanti, ramai-ramai Bella dan kawan-kawannya saling memanggang makanannya masing-masing sambil bertukar canda tawa.

Momen itu juga tak kalah membahagiakan, tapi... bagi Bella seperti ada yang kurang kalau tak ada Abi disini.

“Bel, besok maneh ulang tahun ya? Mau hadiah apa dari urang? Akun Netflix mau?” tiba-tiba Satria bercuap sambil melahap jagung bakarnya itu.

“Wih mantep, boleh tuh!”

“Besok yah, belum urang proses soalnya.”

“Santuy... makasih, Satria!”

Bella menghela nafas lega begitu satu kawannya mengingat hari ulang tahunnya. Ia membiarkan momen bahagia ini terus berlangsung dengan meriah. Apapun perayaannya, dengan siapapun kita merayakannya, bagi Bella itu semua momentum berharga bagi dirinya.

Tapi... tetap, Abi punya tempat spesial di tiap momen Isabella.


Sekarang Abi, Jesslyn dan Evelyn, adik dari Jesslyn yang masih duduk di kelas 6 sekolah dasar itu juga tengah menikmati momen malam tahun baruannya. Ini kali pertamanya Abi menghabiskan malam tahun barunya tanpa kehadiran sosok Isabella.

Rasanya aneh, tapi ia harus terbiasa mulai sekarang.

“Kak Abi, ini dagingnya!” sodor Jesslyn.

Abi menoleh dan matanya memencak lebar begitu ia melihat dagingnya itu terdapat banyak lemak-lemak daging yang sangat ia benci.

“Ah, Bel, lu mau bunuh gua apa gimana kasih lemak daging sebanyak ini—” Abi mengatup bibirnya rapat-rapat, ia terkejut begitu wajah yang ada di hadapannya ini adalah Jesslyn, bukan Isabella, “So-Sorry, Jes... ma-maksud aku... itu dagingnya banyak lemaknya... aku... gak suka lemak daging...”

TUK, Jesslyn meletakkan piringnya dengan wajah muram.

“Jes, maaf, aku—”

“Kakak suka sama Kak Bella?”

Abi diam membeku.

“Jawab, Kak, Kak Abi suka sama Kak Bella?!”

Pemuda itu mengutuk dirinya dalam hati. Bisa-bisanya ia mengacaukan suasana malam tahun baru pertamanya bersama Jesslyn, hanya karena sosok satu gadis yang ia cintai selama ini masih terlintas di kepalanya.

“Maaf, Jes... aku...”

“Jawab, suka apa enggak?!”

“Iya! Aku suka sama Bella! Aku cinta sama Bella, Jes!”

Kedua netra gadis cantik itu melotot lebar dengan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. Abi mengusap wajahnya frustasi, ia meraih tangan mungil Jesslyn dan menggenggamnya erat.

“Maaf, Jes... Maafin aku karena terus membuat kamu menunggu kayak gini karena... selama ini hati aku masih terkait sama Bella... aku gak bisa lepasin Bella...”

“Jesslyn kurang apa sih, Kak?”

“Kamu gak kurang apa-apa, emang aku aja yang bego, Jes.”

Jesslyn mengusap cepat air matanya, “Gila ya, cowok-cowok lain berlomba-lomba untuk bisa dapetin gue tapi cuman Kak Abi yang bisa bikin Jesslyn kayak gini demi cewek modelan Kak Bella doang!”

Abi mengernyit dahinya, “Cewek modelan Bella? Maksud kamu apa ngomong gitu?”

“Iya! Cewek udik, kampungan, tomboy dan rese kayak Kak Bella! Kakak tahu gak?! Dia tuh di karate mentang-mentang jadi ketua selalu merasa sok paling berkuasa, songong, dan sok iya banget! Padahal cakep juga enggak, cewek apaan cuman jago nendang sama miting leher orang kayak gi—”

“Jaga mulut lo, Jesslyn.”

Jesslyn kaget begitu ia di tatap geram oleh Abi. Pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya lalu menyambar kunci motornya untuk segera pergi dari rumah Jesslyn.

“Kalau gitu, hubungan kita sampai sini aja. Makasih buat jamuan malam ini,” desis Abi tanpa memedulikan gadis bersurai panjang coklat itu yang hendak meraihnya namun motor yang di kendarai Abi sudah jauh dari jangkauannya.

Meskipun Abi harus menelan sakit karena patah hatinya dengan Isabella,

tapi pemuda itu tidak akan pernah menerima siapapun yang menghina sahabat kecilnya itu.

Bella duduk terdiam menatap lampu yang berderang redup di luar jendela mobil, setelah akhirnya Jonathan mendaparkan izin dari Papih Isabella untuk mengajak putri semata wayangnya itu pergi ke tempat yang mereka tuju.

Suasana antara mereka sunyi nan dingin, Bella tak ada keinginan untuk mengucap satu patah kata pun, dan Jonathan sendiri tak mau mengusik kesunyian yang sedang Bella nikmati.

“Bel, udah sampe,” ucap Jonathan setelah ia memarkirkan mobilnya itu dengan sempurna. Ia keluar dari mobilnya duluan, lalu membukakan pintu untuk Bella agar gadis itu tak perlu susah payah membuka pintu.

“Disini kita bisa sewa tenda, Bel, kakak sewa dulu ya satu buat kita.”

Bella mengangguk lesu, lalu Jonathan berlari kecil menuju stand yang menuliskan SEDIA SEWA TENDA, lalu Jonathan bersama satu orang pria yang berjasa memasang tenda itu datang menghampiri Bella untuk menuntunnya ke atas bukit.

Mangga, A, disini teh spot terbagus untuk lihat langit cerah kayak gini,” tutur pria berkaos merah itu sambil memasang tendanya, lalu Isabella berjalan perlahan menatap langit malam dan bintang-bintang bersama bulan yang bersinar terang, gadis itu mendecak kagum.

“Woah... Kak Jo! Ini keren banget sih! Bella baru pertama kali lihat langit seindah ini!” sahut Bella girang.

“Hahaha iya, makanya kakak ajak kamu kesini karena emang sebagus ini pemandangannya, Bel,” balas Jonathan seraya terkekeh geli.

“Tau gak sih, aku juga pernah ke bukit sama Abi—”

Bella langsung menghentikan kalimatnya. Nama panggilan 'Abi' saat ini menjadi luka bagi hatinya.

“Kamu pernah ke bukit sama Abi? Bukit mana?” tanya Jonathan.

Bella tak menjawab, ia malahan tenggelam dengan memori lalunya bersama Abi ketika ia di ajak ke bukit juga, tepatnya bukit di belakang sekolah.

“Gimana, Bel? Las Vegas aja kalah kan? Hahaha...”

“Teriakin aja uneg-unegnya disini.”

*“Banyak kok, Bel, yang sayang sama lo.”* *“Gue... sayang banget sama lo, Bel.”*

Tes... tes...

Satu bulir kristal akhirnya lolos dari pelupuk mata Bella, rasa perih yang merujam dada gadis itu semakin membuatnya ingin menjerit kesakitan. Kenapa semudah itu Abi ingin memutuskan persahabatannya? Kenapa kehadiran Jesslyn menjadi akhir bagi mereka, pikir gadis itu.

Bella tak menyangka akan secepat ini sahabatnya pergi meninggalkannya.

Bukankah Abi janji akan selalu ada di sisi Bella apapun yang terjadi?

“Bel...?” Jonathan yang shock melihat Bella menangis hanya bisa menepuk-nepuk pelan bahu gadis pemilik tinggi 161 cm itu. Rasanya pria itu ingin memeluk Bella dan mendekap tubuh gadis disampingnya erat-erat, membiarkan kaosnya itu dibasahi oleh air mata sang kekasih hati yang sedang bersedih, Jonathan hanya ingin menjadi pelipur lara dari sakit hatinya Bella.

Bella berdiri dari tempatnya, lalu ia siap-siap menarik nafasnya dalam-dalam dan menangkup kedua mulutnya untuk berteriak.

“AAAAAAAAAAAAA!!!!!”

Jonathan sontak kaget, untung saja tak ada siapa-siapa disana. Ini bukan jam malam minggu yang akan di penuhi oleh para pasangan muda, apalagi ini mendekati puncak bukit.

“ABIDZAAARRRRR!!! DASAR SIALAN LOOOO!!!” “SEGAMPANG ITU LO BILANG KITA UNTUK HIDUP MASING-MASING DEMI JESSLYN???!!! HUWAAAA ANAK SETAN EMANG LO BIADAAABBBB!!!” “LO LUPA YAH??? KITA NI TUMBUH BARENG LHO, BII!!! KITA INI SALING MENGISI SATU SAMA LAIN DARI BAYII, NGARTI TEU SIAH ANJINGGG???!!!! DARI JAMAN OROKKK KOPLOKKK!!!” “AING TEH HAPAL KAPAN MANEH PERTAMA KALI MIMPI BASAH, MANEH GE HAPAL KAN KAPAN AING PERTAMA KALI 'DAPET'??!! BAYANGIN BI, ADA GAK SIH HUBUNGAN PERSAHABATAN YANG SE-SPESIAL KITA??!! KITA TUH SPESIAL BANGET TAU GAK SIHH??!!” “Dan lo... lebih memilih dia, Bi... lo lebih memilih Jesslyn...”

Lutut Bella langsung melemas hingga tubuhnya pun runtuh. Tangisan Bella semakin menjadi-jadi, bayang-bayang wajah Abi yang terus melukai hatinya itu seolah sukses meruntuhkan semua pertahanannya. Bella tak pernah merasakan momen sepahit ini sepanjang hidupnya. Kehidupan Bella penuh warna karena ada Abi di sisinya.

Tapi Abi sudah tak ada, lalu siapa yang bisa mewarnai hari-hari Bella kembali?

GREP!!

Bella tersontak begitu tubuhnya itu di peluk dari belakang oleh sosok pria berpostur tubuh 180 cm itu. Jonathan mengeratkan pelukannya itu seolah hatinya berharap bahwa kehangatan yang ia bawa ini, cukup menjadi obat dari rasa sakit yang diberikan Abi untuk Bella.

“Ka-Kak Jo?!”

“Bel... kamu boleh sedih karena Abi pergi dari kehidupan kamu, tapi kamu juga berhak bahagia karena ada laki-laki yang lebih menyayangi kamu dan bersedia untuk terus ada di sisi kamu apapun yang terjadi.” “... dan itu saya, Bel...”

Jonathan terus memeluk erat tubuh ringkuh milik Bella, “Isabella, patah hati terbesar seorang laki-laki itu bukan hanya sekedar putus cinta atau cinta bertepuk sebelah tangan... tapi patah hati terbesar bagi kami adalah... ketika melihat wanita yang kita cintai itu menangis hingga jatuh tak berdaya karena laki-laki lain...” “Dan saat ini, saya merasakan itu ketika melihat kamu sekarang...”

Bella bisa merasakan betapa kencangnya suara detak jantung Jonathan dari belakang. Pria itu membalik tubuh mungil Bella dan menatap lekat-lekat kedua netra cantik gadis berparas oriental itu.

“Bella, izinkan saya untuk menggantikan posisi Abi untuk menjadi pewarna hari-hari kamu... saya janji, saya akan menjadikan kamu wanita yang paling bahagia di muka bumi ini.”

Bibir Bella kelu dan tubuhnya membeku di tempat, uluran tangan besar Jonathan yang menggenggam erat tangan Isabella itu terus membuat jantung gadis itu tak berhenti berdesir.

Ia tak mampu menjawabnya.

Namun akalnya seolah memberi sinyal bahwa Bella... harus menerima uluran tangan Jonathan.

“Bella, kamu mau kan jadi wanita satu-satunya dalam hidup saya?”

Tanpa gadis itu sadari, Bella reflek mengangguk mau, wajah sumringah Jonathan langsung mengembang dan pria itu kembali memeluk erat tubuh Bella.

Mulai hari ini, Jonathan dan Bella resmi memulai sejarah barunya sebagai sepasang kekasih.

Langsung ke ruangan saya, Alisya udah di ruangan saya.

Aisyah berlari kecil menuju ruangan Naresh dan begitu ia sampai di depan pintu kayu modern itu. Aisyah menarik nafasnya dalam-dalam.

Kriet...

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam, telat 5 menit ngapain aja?”

Naresh sudah duduk dengan melipat tangannya di dada, disana ada Alisya dengan gaya modisnya sedang asyik membaca buku kedokteran milik Naresh.

“Uh... tadi si kembar agak rewel gak mau di tinggal jadi di tenangin dulu...” ujar Aisyah.

“Hm, padahal mah di ajak aja gapapa.”

Aisyah merutuk dalam hati, Gimana sih kenapa lo gak bilangg, saipuuuuullll...!!!!

“Dokter, dokter! Ternyata kalo kita pidato itu biar suaranya bagus, kita dianjurkan untuk pakai suara perut ya?!” tanya Alisya sambil menunjuk salah satu gambar di buku tersebut.

“Iya, karena kalo pakai suara perut, suara kita akan terdengar lebih jelas dan tidak melengking kalau di mikrofon.”

“Dokter pernah pidato gak?”

“Bukan pidato, tapi ngisi acara seminar dan harus bicara lewat mikrofon juga, jadi saya juga biasa pakai suara perut.”

“Coba dong, dok! Alisya mau lihat!”

Naresh mendeham, “Ehem, ini suara saya yang biasa ya... kalau suara perut tuh gini, test... test... Alisya...”

“Ih beda ya! Hahahaha mendingan suara dokter yang biasa!”

“Kalau di mikrofon bagusan suara perut kayak gini, Alisya... Alisya...”

“Hahahaha enggak ah! Aneh!”

Seketika Aisyah yang tadinya jengkel setengah mati dengan keberadaan Naresh, berubah menjadi perasaan lega. Meskipun kelihatannya Naresh adalah pria kaku yang dingin, ternyata kalau sedang bersama pasien, Naresh bisa menjadi orang yang sangat lembut dan penyayang.

Apalagi dengan anak-anak, rasanya Naresh berubah menjadi orang lain, tapi itu bukan perubahan yang buruk.

Justru Aisyah sangat menyukainya.

“Yaudah yuk, kalau gitu kita pergi sekarang ya, Alisya?” pinta Naresh.

“Hayuk! Yey! Ayo, Kak Aisyah!” Alisya menggenggam tangan Aisyah erat-erat, gadis berusia 24 tahun itu hatinya ikut menghangat melihat senyum ceria Alisya.

Syukurlah kalau Alisya udah ceria seperti ini... semoga dia bisa lebih optimis dengan harapan hidupnya...


“Dokter, Kak Aisyah! Yuk kita main jet coaster yang ada disana!! Seru banget tuh kayaknya!!”

Aisyah mengangguk mengiyakan permintaan Alisya, tapi tidak dengan Naresh.

“Saya gak ikut, saya tunggu disini aja,” kata Naresh sambil meneguk minumannya cepat.

“Eh kok gitu sih, Dok... ayo main jet coaster sama Alisya...” rengek gadis kecil itu sambil terus menarik tangan Naresh.

“Udah saya disini aja, kamu sama Kak Aisyah kalau mau naik ya naik aja.”

Aisyah tersenyum remeh ke arah Naresh, “Udah, Alisya, kayaknya Dokter Naresh takut naik jet coaster, huuuu, payah! Kita berdua kan jagoan, mending kita aja yang naik!”

Merasa tersindir, Naresh langsung menahan lengan Aisyah pergi dari tempatnya.

“Apa kamu bilang, payah?”

“Iya, dokter payah! penakut! weekk...!” ejek Aisyah tak kapok-kapok, akhirnya karena Naresh merasa tertantang dengan ejekan Aisyah, ia langsung ikut jalan berdampingan menuju counter jet coaster yang ada di depan sana.

“Saya tuh bukan penakut, tapi pasti disana berisik sama orang-orang yang teriak! Saya gak suka suara bising!”

“Kalau gitu bisa gak, Dok, naik jet coaster tanpa teriak?”

Aisyah lagi-lagi menantang pria itu, gadis itu seperti ingin sekali melihat Naresh itu menangis menderita tapi sayangnya, bukan Naresh namanya kalau mau mengalah.

“Kalo saya bisa melakukan itu, apa reward-nya?”

Aisyah bergeming, “Hmm apa aja asal sesuai kemampuan saya dan gak macem-macem! Awas aja minta yang macem-macem, mau saya buat pingsan lagi kayak waktu itu?!”

Naresh tertawa terbahak-bahak, “Hahahahaha, oke! Siapa takut?! Deal ya, kamu harus turutin apapun permintaan saya.”

“Deal.”

Aisyah dan Naresh saling mengadu tinjunya menandakan mereka sudah deal dengan taruhannya.

Sedangkan Alisya, menikmati pertikaian kedua insan itu yang baginya sangat menggemaskan seperti pasangan-pasangan di drama korea.


“Huwaaa seru banget dehh!! Makasih banyak ya, Kak Aisyah, Dokter Naresh! Hari ini Alisya bahagiaaaa banget bisa main kesini!! Hehehe...” “Sekarang Alisya gak sedih lagi, Alisya mau berjuang untuk sembuh biar bisa main kesini sepuasnya!!”

Aisyah ikut tersenyum lebar sambil merangkul erat bahu gadis mungil itu, “Iya sayang... sekarang gak bolos minum obat lagi yaa?”

“Siap, Kak Aisyah!”

“EHEM!!”

Dehaman Naresh membuat Aisyah dan Alisya terperanjat di tempatnya.

“Kamu lihat? Tadi saya benar-benar diam sepanjang permainan. Berarti saya menang kan?” ucap Naresh menagih janji Aisyah ketika pria itu bisa memenangkan taruhannya barusan. Aisyah mengerucut bibirnya sebal, salah besar ia menantang si laki-laki kepala batu itu apalagi dengan tantangan kecil seperti itu. Kalau sudah kalah begini, Aisyah sendiri yang repot.

“Yahh, Kak, bisa-bisanya kalah dari Dokter Naresh, hahaha...” Alisya ikut menertawakan kekalahan Aisyah.

Naresh tersenyum penuh kemenangan, dan Aisyah berusaha untuk sportif dengan permainannya sendiri.

“Yaudah, Dokter mau apa?!”

“Kenapa cetus gitu ngomongnya? kamu yang nantangin juga, ya kamu harus ikhlas dengan hukuman kamu sendiri.”

Aisyah mendengus sebal.

“Permintaan saya gak susah tapi untuk jangka panjang,” ujar Naresh lalu dia menatap wajah gadis itu, “Tutup dulu mata kamu.”

“Ih ngapain sih?!”

“Gak usah protes, buruan tutup mata kamu!”

Dengar gertakan Naresh yang lebih galak, akhirnya Aisyah menurut untuk menutup matanya di hadapan Naresh.

“Sekarang buka.”

Begitu Aisyah membuka matanya,

PUK

Sebuah boneka kelinci kecil menepuk pucuk kepalanya sehingga Aisyah kaget dengan kejutan kecil itu.

“Permintaan saya adalah... saya minta kamu untuk terus ada di samping saya apapun yang terjadi,” Naresh mencolek hidung Aisyah dengan perantara boneka itu, “Bisa kan?”

Bibir Aisyah kelu, matanya tak mampu menatap kedua netra pria berparas tampan itu dan terus tertuju kepada boneka yang ada di hadapan wajahnya.

“Jawab bukannya bengong, kamu janji nurutin permintaan saya.”

Aisyah tersontak, “E-Eh, i-iya dok...”

Alisya menatap curiga kedua insan di hadapannya, “Kak Aisyah sama Dokter Naresh tuh pacaran apa gimana sih?”

Aisyah langsung kaget, cepat-cepat ia menukas ungkapan pasien kecilnya itu agar tidak timbul salah paham.

“Astagfirullah enggak, Alisya... ma-maksud Dokter Naresh tuh biar kakak terus bantuin Dokter Naresh kalau periksa pasien lagi... jadi Kakak harus ada di samping Dokter Naresh terus, ya kan, Dok?!”

Naresh hanya tertawa geli, ia tak memberi jawaban apa-apa hanya memberikan smirk penuh artinya ke Aisyah.

Lagi-lagi pria itu sukses membuat Aisyah salah tingkah.

“Yah kalo gitu kenapa gak langsung nikah aja? Kak Aisyah sama Dokter Naresh cocok banget soalnya, hehehe...”

Aisyah terus menepis ungkapan Alisya yang membuatnya tak berhenti salah tingkah sampai akhirnya Aisyah kesal sendiri dan berjalan menghentakkan kakinya ke bumi mendahului keduanya, “Ihh, au ah! Alisya mah gitu godain Kakak mulu!”

Alisya tertawa terpingkal-pingkal karena puas menggoda Aisyah.

“Alisya,” tiba-tiba Naresh datang membisik, “Emang menurut kamu... saya dengan Kak Aisyah cocok ya?”

Alisya mengangguk semangat, “Cocok banget! Kayak pasangan-pasangan di drakor gitu, Dok, hehehe... kok tiba-tiba nanya gitu sama Alisya?”

Naresh memberi isyarat Alisya untuk mendekatkan lagi telinganya ke bibir Naresh, “Buat bahan pertimbangan.”

Alisya mengerut satu alisnya heran, ia tak begitu paham apa maksud Naresh tapi pria itu tampak sangat menikmati momen hari ini.

“Mereka bener-bener gak ada hubungan apa-apa kan?”

Meanwhile di belakang momen bahagia mereka, tanpa sepengetahuan ketiganya...

“Aisyah... kamu itu... milik aku...”

Naresh mulai mengatur tempo nafasnya, seketika ia menjadi sangat khawatir dengan diagnosa selanjutnya untuk Anela. Ia berharap bahwa dugaannya ini salah dan akan ada jalan yang lebih mudah untuk Anela sembuh.

“Bismillah, Ya Allah... hamba serahkan semuanya kepada-Mu...” Naresh mulai berdoa dulu sebelum ia membuka pintu kamar VVIP Anela, “Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam, Dokter Nareshh!!!” Kedatangan Naresh disambut oleh si kembar, “Dokter, tadi Umi abis di cek, langsung makan banyak lho saking lapernya!” lapor Ibra semangat.

Naresh terkekeh, “Oh ya? Ibra sama Mina ikutan makan gak?”

“Ibra ikut makan, kalo Mina gak mau ikut makan tuh, Dok!”

“Kok gitu?”

“Soalnya nungguin Dokter Naresh, mau makan bareng Dokter katanya!”

Naresh hanya ketawa gemas sambil menggendong gadis kecil berusia 8 tahun itu, “Wah, Mina nungguin saya? Mau makan bareng sama saya?”

Anela dan Haidar hanya ikut senyum terhenyak melihat tingkah lucu anak-anaknya itu, “Res, anak-anak seneng banget tuh sama lo,” cicir Anela.

Naresh tersenyum lebar sehingga menampilkan gigi putih nan rapihnya, “Hahaha iya, soalnya mereka lucu-lucu sih suka banget bersosialisasi sama orang baru.”

“Itu turunan uminya,” timpal Haidar dengan kekehannya.

Melihat kehangatan keluarga kecil Haidar dan Anela ini malah semakin membuat hati Naresh jadi perih. Bagaimana jika ia menyampaikan kabar buruk untuk mereka? Meskipun seorang dokter disarankan untuk bersikap netral tapi tetap saja sebagai manusia, Naresh tak sanggup membayangkannya.

Naresh jadi teringat ucapan Aisyah tentang keraguannya.

Ah ya, gue harus yakin sama ketentuan Allah... Bismillah.

“Kalau gitu kita lihat ya hasil skriningnya,” Naresh mulai membuka lembaran tipis dari amplop besar milik Anela dan membaca hasilnya satu per satu. Naresh menghela nafas berat, ternyata dugaannya benar.

“Tumornya udah menyebar, Nel, jadi... harus di tindaki dengan operasi pengangkatan tumor secepatnya.”

Anela menaikkan kepalanya dan Haidar memencak kedua matanya kaget seraya mengeratkan pelukannya dengan putri kecilnya itu di pangkuannya.

“Saya gak bisa bilang ini memparah apa tidak, tapi saya sebagai dokter hanya bisa menyarankan cara itu untuk mengatasi penyebaran tumornya sebelum sampai ke otak, karena kalau sudah sampai ke otak, itu sudah sangat fatal sekali.”

Dengan bibir bergetar, Haidar membuka suaranya, “Ka-kalau boleh tahu... persentase... kesembuhannya berapa persen...?”

“Maaf, saya gak bisa jawab pertanyaan itu, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Anela sebagai seorang dokter.”

Jantung Haidar terasa seperti di sambar petir. Sejujurnya, Naresh tak tega mengatakan hal demikian tapi ia pernah merasakan posisi Haidar dan tak ingin mengulangnya. Ia lebih baik menyampaikan sebuah kenyataan pahit daripada memberi harapan palsu dan merasa bersalah karena hal itu.

“Saya akan berikan formulir perizinan dari pihak keluarga ke Bang Haidar, jadi tolong maksimal 1 minggu ini sudah ada jawaban dari pihak keluarga terkait operasi yang akan kita jalani sehingga bisa cepat di tindaki,” Naresh bergegas berdiri dari tempatnya, “Kalau begitu cukup untuk penjelasan hari ini, tolong untuk terus di minum obatnya dan makanananya di pantau ya.” “Saya permisi...”

“Dokter mau kemana?! Hayuk makan sama Mina disini...”

Naresh tersenyum simpul dan menghampiri gadis kecil berambut panjang itu, “Sekarang Mina makannya sama Umi dulu ya? Kapan-kapan makan bareng lagi sama Dokter, oke?” Tangan besarnya menepuk pucuk kepala gadis mungil itu meskipun Mina memberikan ekspresi cemberut kepada Naresh.

Naresh memercepat langkah kakinya menuju ruangannya, Ia menderu nafas kasar, sejenak ia ingin kembali menata perasaannya yang kacau karena memorinya 6 tahun yang lalu kembali menghantuinya.

Naresh mulai mengatur tempo nafasnya, seketika ia menjadi sangat khawatir dengan diagnosa selanjutnya untuk Anela. Ia berharap bahwa dugaannya ini salah dan akan ada jalan yang lebih mudah untuk Anela sembuh.

“Bismillah, Ya Allah... hamba serahkan semuanya kepada-Mu...” Naresh mulai berdoa dulu sebelum ia membuka pintu kamar VVIP Anela, “Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam, Dokter Nareshh!!!” Kedatangan Naresh disambut oleh si kembar, “Dokter, tadi Umi abis di cek, langsung makan banyak lho saking lapernya!” lapor Ibra semangat.

Naresh terkekeh, “Oh ya? Ibra sama Mina ikutan makan gak?”

“Ibra ikut makan, kalo Mina gak mau ikut makan tuh, Dok!”

“Kok gitu?”

“Soalnya nungguin Dokter Naresh, mau makan bareng Dokter katanya!”

Naresh hanya ketawa gemas sambil menggendong gadis kecil berusia 8 tahun itu, “Wah, Mina nungguin saya? Mau makan bareng sama saya?”

Anela dan Haidar hanya ikut senyum terhenyak melihat tingkah lucu anak-anaknya itu, “Res, anak-anak seneng banget tuh sama lo,” cicir Anela.

Naresh tersenyum lebar sehingga menampilkan gigi putih nan rapihnya, “Hahaha iya, soalnya mereka lucu-lucu sih suka banget bersosialisasi sama orang baru.”

“Itu turunan uminya,” timpal Haidar dengan kekehannya.

Melihat kehangatan keluarga kecil Haidar dan Anela ini malah semakin membuat hati Naresh jadi perih. Bagaimana jika ia menyampaikan kabar buruk untuk mereka? Meskipun seorang dokter disarankan untuk bersikap netral tapi tetap saja sebagai manusia, Naresh tak sanggup membayangkannya.

Naresh jadi teringat ucapan Aisyah tentang keraguannya.

Ah ya, gue harus yakin sama ketentuan Allah... Bismillah.

“Kalau gitu kita lihat ya hasil skriningnya,” Naresh mulai membuka lembaran tipis dari amplop besar milik Anela dan membaca hasilnya satu per satu. Naresh menghela nafas berat, ternyata dugaannya benar.

“Tumornya udah menyebar, Nel, jadi... harus di tindaki dengan operasi pengangkatan tumor secepatnya.”

Anela menaikkan kepalanya dan Haidar memencak kedua matanya kaget seraya mengeratkan pelukannya dengan putri kecilnya itu di pangkuannya.

“Saya gak bisa bilang ini memparah apa tidak, tapi saya sebagai dokter hanya bisa menyarankan cara itu untuk mengatasi penyebaran tumornya sebelum sampai ke otak, karena kalau sudah sampai ke otak, itu sudah sangat fatal sekali.”

Dengan bibir bergetar, Haidar membuka suaranya, “Ka-kalau boleh tahu... persentase... kesembuhannya berapa persen...?”

“Maaf, saya gak bisa jawab pertanyaan itu, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Anela sebagai seorang dokter.”

Jantung Haidar terasa seperti di sambar petir. Sejujurnya, Naresh tak tega mengatakan hal demikian tapi ia pernah merasakan posisi Haidar dan tak ingin mengulangnya. Ia lebih baik menyampaikan sebuah kenyataan pahit daripada memberi harapan palsu dan merasa bersalah karena hal itu.

“Saya akan berikan formulir perizinan dari pihak keluarga ke Bang Haidar, jadi tolong maksimal 1 minggu ini sudah ada jawaban dari pihak keluarga terkait operasi yang akan kita jalani sehingga bisa cepat di tindaki,” Naresh bergegas berdiri dari tempatnya, “Kalau begitu cukup untuk penjelasan hari ini, tolong untuk terus di minum obatnya dan makanananya di pantau ya.” “Saya permisi...”

“Dokter mau kemana?! Hayuk makan sama Mina disini...”

Naresh tersenyum simpul dan menghampiri gadis kecil berambut panjang itu, “Sekarang Mina makannya sama Umi dulu ya? Kapan-kapan makan bareng lagi sama Dokter, oke?” Tangan besarnya menepuk pucuk kepala gadis mungil itu meskipun Mina memberikan ekspresi cemberut kepada Naresh.

Naresh memercepat langkah kakinya menuju ruangannya, Ia menderu nafas kasar, sejenak ia ingin kembali menata perasaannya yang kacau karena memorinya 6 tahun yang lalu kembali menghantuinya.

“Permisi, dok...”

“Mari masuk.”

Aisyah memasuki ruangan Naresh dan perlahan menutup pintu dengan hati-hati. Naresh dan Jovian sudah duduk menantikan kehadiran Aisyah, Naresh mempersilahkan Aisyah duduk di hadapan mereka lalu menyodorkan ponsel Jovian.

“Aisyah, coba foto barcode ini,” pinta Naresh.

Aisyah meraih ponsel berwarna hitam itu dan tanpa ba-bi-bu ia menuruti perintah Naresh dengan memotret barcode itu melalui ponselnya.

“Ini barcode untuk apa, Dok?“tanya Aisyah.

Jovian mengambil alih bicara, “Itu aplikasi penyadap suara. Nanti kamu tolong ya cari cara untuk bisa scan barcode ini ke hapenya Bang Haidar atau Pak Romi.” “Lebih baik ke Pak Romi sih.”

Aisyah memencak matanya, “Hah? Gimana caranya?! Saya gak begitu deket sama Pak Romi!”

“Pak Romi sering dateng kerumah?”

Aisyah mengangguk ragu, “Ya-ya iya sih... ta-tapi paling duduk di taman belakang sama Bang Haidar ngobrol berdua aja,” jawab Aisyah.

Naresh bergeming cukup banyak, “Hmm... kayaknya terlalu susah dan riskan kalau kita jangkau langsung ke Pak Romi, setidaknya kita bisa jangkau dari Bang Haidar dulu aja kali ya, Jov?”

“Yaa gak ada pilihan lagi, cuman gue yakin informasinya sedikit kalau dari Bang Haidar.”

“Gapapa, setidaknya ada sedikit clue untuk kasus kita.” “Lagipula kan kita ada sumber informan intinya dari Rangga.”

Jovian mengangkat kedua bahunya, “Terserah kalian.”

Akhirnya mereka memutuskan untuk menjalankan misinya masing-masing.

Bismillah, Aisyah, mungkin ini kurang sopan tapi ini semua demi keselamatan Abang dan Kak Anela...


“Hah? Scan barcode untuk giveaway?”

Aisyah dengan mata berbinar-binar memohon kepada Haidar untuk meminjamkan ponselnya, “Please, Bang... Aisyah lagi ikutan giveaway nih cuman harus scan barcode. Hape Aisyah gak support mulu...”

Tanpa curiga sedikitpun, Haidar merogoh ponselnya dan memberikan ponselnya itu kepada Aisyah. Gadis itu mendecak YES kegirangan sambil cepat-cepat melancarkan aksinya itu.

“Udah belum? Saya buru-buru nih mau ngajar.”

“Abang gak nemenin Kak Anela skrining lanjutan?”

“Maunya sih nemenin, tapi saya harus hadir di kelas besar nih.”

Aisyah menjawab oh ria, “Yaudah nih hapenya! Aisyah udah dapet kode giveaway-nya hehe...” “Makasih ya, Bang, hati-hati di jalan!”

Aisyah berbalik jalan dengan senyum penuh kemenangan.

Ternyata gampang kerjaan gue gitu doang, hihihi...

Tanpa di ketahui Aisyah dari belakang...

Ada sosok pria bertopi hitam yang sejak tadi terus mengintai keberadaan Aisyah dengan intens, senyuman liciknya itu seolah memiliki rencananya sendiri terhadap gadis berusia 24 tahun itu...

“Aisyah...”

Di tengah perjalanannya, Aisyah mendengus sebal waktu supir taksi onlinenya itu tak bisa masuk ke dalam gang alamat pernikahan Juned. Terpaksa dengan gaunnya itu, Aisyah harus jalan kaki sekitar 400-500 meter lagi ke alamatnya Juned.

“Ish, ini si Juned gak nyediain apa transportasi khusus ke dalemnya? Tukang ojek gak ada, hadeuh, kan tamunya pasti pake gaun-gaun kayak gini!“keluh Aisyah.

“Ehem!”

Dehaman itu mengejutkan Aisyah, ternyata di belakang Aisyah ada sosok Naresh dengan setelan jas berwarna abu-abu dan kemeja hitam rapihnya. Mata Aisyah memencak lebar-lebar.

“Oh kamu pakai gaun pilihan saya?” tanya Naresh dengan smirk-nya itu.

Aisyah mendelik, “E-Enggak kok, Kak Anela juga milih baju ini!” jawab Aisyah berbohong.

Iya juga ya, kenapa gue pake baju pilihannya Kak Naresh sih...

“Kayaknya hak sepatu kamu tinggi, hati-hati banyak bebatuan disini nanti kesandung,” ujar laki-laki itu yang terus memerhatikan Aisyah.

“Enggak juga, ini sepatu andalan saya— KYAA!!”

Aisyah tersandung akibat sepatu haknya yang kesangkut di bebatuan. Dengan cepat Naresh menahan lengan Aisyah agar tidak jatuh, lalu menariknya sehingga tubuh mereka berjarak sejengkal.

Dari jarak sedekat ini, Aisyah bisa mencium aroma parfum maskulin milik Naresh.

“Baru aja tadi saya ingetin soal sepatu,” cicir Naresh.

Naresh langsung menawarkan lengannya ke Aisyah, “Pegangan sama jas saya, biar kamu gak kesandung.” “Tempatnya masih jauh soalnya.”

Wajah Aisyah mulai memerah bak kepiting rebus. Jantungnya itu terus berdetak kencang bahkan cenderung berisik sekali. Aisyah bisa merasakan aliran darahnya sedang mengalir panas.

“Kenapa malah merah muka kamu? Saya gak nawarin gandengan apa gimana, ini karena kamu gak nyaman pake sepatu itu,” ujar Naresh lugas.

Dengan gampangnya lelaki itu meruntuhkan harapan Aisyah, gadis itu langsung cemberut dan meraih lengan Naresh cepat, “Ya.. saya tahu kok!”

Mereka bersanding berdua bak pasangan. Sepanjang jalan mereka cuman diam dengan canggung yang memenuhi suasana mereka berdua sampai ke lokasi undangan.

Begitu mereka sampai, ramai-ramai rekan ners Aisyah lari menghampiri Aisyah dan Naresh.

“Aisyah! Kamu—”

Mereka tersontak dengan kehadiran Naresh di samping Aisyah.

“Kalian... kondangan berdua ini?“tanya Juwita heran.

Kedua insan itu cepat-cepat melepas tangannya dan bersikap normal seolah-olah tak terjadi apa-apa, “Ah enggak! Tadi ketemu di jalan, ya kan, Dok?!“decak Aisyah.

“Ah, iya...”

Juwita dan Lia hanya tersenyum penuh arti melihat tingkah mereka berdua, “Yaudah deh, yuk sini masuk! Si Juned di dandanin ala pengantin jawa gitu jadi makin ganteng tau gak sih?! Hahahahaha...”

“Ah masa? ayuk lihat!”

“Di deket sini juga ada waduk cantik deh, sekalian kita foto-foto disana!”

“Hayuk! hayuk!”

Begitu Aisyah ditarik pergi oleh teman-temannya, gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Naresh yang masih terus menatapnya. Aisyah mengulum senyum teduhnya.

“Makasih ya dok!” sahut Aisyah dengan suaranya yang teredam keramaian, meski begitu Naresh bisa menangkap apa yang di ucapkan Aisyah.

Naresh tersenyum lebar sambil mengangguk pelan.


“Bener ya kata Abang, kalo kondangan sendiri tuh gak enak...”

Aisyah berdiri di samping gagang pembatas waduk dan menatap lesu pemandangan indah disana, bagaimana tidak? ternyata teman-temannya membawa pasangan dan keluarganya masing-masing, sedangkan Aisyah datang sendiri dan berakhir meratapi kesendiriannya.

“Tau gitu ajak Abang aja ya...”

“Kalo kamu ajak abang kamu lebih canggung lagi sih.”

Tiba-tiba Naresh muncul entah darimana, laki-laki itu ikut berdiri di samping Aisyah sambil menikmati pemandangan disana.

“Udah tahu abang kamu sekarang udah dikenal banyak orang, pasti orang-orang bakal sibuk minta foto sama Bang Haidar,” lanjut Naresh sambil meneguk jus jeruknya.

Aisyah mengerucut bibirnya, “Ya iya sih... tapi kondangan sendiri tuh gak enak, Dok...”

“Saya sendiri biasa aja tuh, banyak disini yang kondangan sendiri mereka fine, fine aja kenapa harus dibawa pusing?”

“Ya tapi temen-temen saya pada bawa pasangan sama keluarganya masing-masing, Dok...” Aisyah sudah mulai jengkel dengan ungkapan Naresh yang tak bersimpati dengan keadaannya, “Ah gak tahu deh, saya kan cuman memenuhi undangan temen.”

“Kalo gitu jangan jauh-jauh dari saya.”

Mata Aisyah terbelelak lebar, “Hah?”

“Anggep aja kita kondangan bareng, jadi jangan jauh-jauh dari saya.”

Aisyah menatap kedua netra Naresh lekat-lekat, dengan senyum miring khas Naresh itu, ia menuntun Aisyah untuk jalan bersanding dengannya.

Lagi-lagi pria itu sukses membuat Aisyah salah tingkah.