Tindakan Selanjutnya
Naresh mulai mengatur tempo nafasnya, seketika ia menjadi sangat khawatir dengan diagnosa selanjutnya untuk Anela. Ia berharap bahwa dugaannya ini salah dan akan ada jalan yang lebih mudah untuk Anela sembuh.
“Bismillah, Ya Allah... hamba serahkan semuanya kepada-Mu...” Naresh mulai berdoa dulu sebelum ia membuka pintu kamar VVIP Anela, “Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam, Dokter Nareshh!!!” Kedatangan Naresh disambut oleh si kembar, “Dokter, tadi Umi abis di cek, langsung makan banyak lho saking lapernya!” lapor Ibra semangat.
Naresh terkekeh, “Oh ya? Ibra sama Mina ikutan makan gak?”
“Ibra ikut makan, kalo Mina gak mau ikut makan tuh, Dok!”
“Kok gitu?”
“Soalnya nungguin Dokter Naresh, mau makan bareng Dokter katanya!”
Naresh hanya ketawa gemas sambil menggendong gadis kecil berusia 8 tahun itu, “Wah, Mina nungguin saya? Mau makan bareng sama saya?”
Anela dan Haidar hanya ikut senyum terhenyak melihat tingkah lucu anak-anaknya itu, “Res, anak-anak seneng banget tuh sama lo,” cicir Anela.
Naresh tersenyum lebar sehingga menampilkan gigi putih nan rapihnya, “Hahaha iya, soalnya mereka lucu-lucu sih suka banget bersosialisasi sama orang baru.”
“Itu turunan uminya,” timpal Haidar dengan kekehannya.
Melihat kehangatan keluarga kecil Haidar dan Anela ini malah semakin membuat hati Naresh jadi perih. Bagaimana jika ia menyampaikan kabar buruk untuk mereka? Meskipun seorang dokter disarankan untuk bersikap netral tapi tetap saja sebagai manusia, Naresh tak sanggup membayangkannya.
Naresh jadi teringat ucapan Aisyah tentang keraguannya.
Ah ya, gue harus yakin sama ketentuan Allah... Bismillah.
“Kalau gitu kita lihat ya hasil skriningnya,” Naresh mulai membuka lembaran tipis dari amplop besar milik Anela dan membaca hasilnya satu per satu. Naresh menghela nafas berat, ternyata dugaannya benar.
“Tumornya udah menyebar, Nel, jadi... harus di tindaki dengan operasi pengangkatan tumor secepatnya.”
Anela menaikkan kepalanya dan Haidar memencak kedua matanya kaget seraya mengeratkan pelukannya dengan putri kecilnya itu di pangkuannya.
“Saya gak bisa bilang ini memparah apa tidak, tapi saya sebagai dokter hanya bisa menyarankan cara itu untuk mengatasi penyebaran tumornya sebelum sampai ke otak, karena kalau sudah sampai ke otak, itu sudah sangat fatal sekali.”
Dengan bibir bergetar, Haidar membuka suaranya, “Ka-kalau boleh tahu... persentase... kesembuhannya berapa persen...?”
“Maaf, saya gak bisa jawab pertanyaan itu, tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Anela sebagai seorang dokter.”
Jantung Haidar terasa seperti di sambar petir. Sejujurnya, Naresh tak tega mengatakan hal demikian tapi ia pernah merasakan posisi Haidar dan tak ingin mengulangnya. Ia lebih baik menyampaikan sebuah kenyataan pahit daripada memberi harapan palsu dan merasa bersalah karena hal itu.
“Saya akan berikan formulir perizinan dari pihak keluarga ke Bang Haidar, jadi tolong maksimal 1 minggu ini sudah ada jawaban dari pihak keluarga terkait operasi yang akan kita jalani sehingga bisa cepat di tindaki,” Naresh bergegas berdiri dari tempatnya, “Kalau begitu cukup untuk penjelasan hari ini, tolong untuk terus di minum obatnya dan makanananya di pantau ya.” “Saya permisi...”
“Dokter mau kemana?! Hayuk makan sama Mina disini...”
Naresh tersenyum simpul dan menghampiri gadis kecil berambut panjang itu, “Sekarang Mina makannya sama Umi dulu ya? Kapan-kapan makan bareng lagi sama Dokter, oke?” Tangan besarnya menepuk pucuk kepala gadis mungil itu meskipun Mina memberikan ekspresi cemberut kepada Naresh.
Naresh memercepat langkah kakinya menuju ruangannya, Ia menderu nafas kasar, sejenak ia ingin kembali menata perasaannya yang kacau karena memorinya 6 tahun yang lalu kembali menghantuinya.