shinelyght

Abi sengaja menunggu kedatangan Bella di depan pagar rumah kayu putih yang menjulang tinggi itu, lebih tepatnya di depan rumah Bella. Ia menunggu kehadiran Bella tidak dengan tangan kosong, melainkan ia beli 3 buah bakpao berisi coklat yang menjadi kesukaan Bella, berhubung susah membeli bakpia karena jauh dari tempatnya.

BRRM... BRRMM...

Suara tancapan gas motor CBR150R yang tak asing di matanya membuat Abi langsung menarik tubuhnya dari sandaran tembok.

“Wah kenyang banget jajan sepuasnya, makasih banyak ya, Kak Jo!“sahut Bella girang.

“Hahaha sama-sama, tuan putri...“jawab Jonathan seraya mengacak-acak rambut Bella usil.

“Ish, Kak Jo nih! Jangan di acak-acak dong rambut aku! Yang berantakan bukan rambut aku doang soalnya!”

“Lah? Terus?”

“Hati aku juga ikut berantakan.”

Jonathan tertawa terbahak-bahak dan malah semakin mengacak-acak rambut gadis itu gemas, “Kalo hati kamu berantakan pertanda apa nih?”

“Ya gak pertanda apa-apa, berantakan aja. Siapa sih yang gak baper di gituin sama Kak Jo?” “Kakak adek sama aja nih tukang baperin cewek, bahaya!”

Abi mengepal tangannya erat-erat di dadanya. Dadanya sangat perih melihat tatapan penuh cinta kakak sepupunya itu untuk Bella.

“Lah? Gak juga? Kakak tuh gak pernah baperin cewek sembarangan kecuali sama satu orang.”

“Sama siapa tuh?”

Jonathan tersenyum lembut, “Sama orang yang Kakak sayang,” Pemuda itu langsung mencubit pipi gembul Bella gemas dan mulai menancap gasnya lagi hendak pulang, “Udah ya, habis ini kamu harus kerjain tugasnya terus kumpulin terakhir besok jam 12 siang. Oke? Gak ada lagi alasan.”

“Ish...”

“Dah, Bella...!!”

“Dah, Kak Jo! Makasih yaa!”

Jonathan mengedip satu matanya dan langsung pergi meninggalkan Bella diam mengatup senyumnya sendirian di depan rumahnya.

“Ehem!”

Dehaman bariton itu mengejutkan Bella dari belakang, sosok Abi yang sudah menunggunya sejak lama itu malah meruntuhkan mood baiknya Bella.

“Ngapain lo kesini?!“gertak Bella.

“Apaan sih, cuman lewat abis pulang bimbel!“jawab Abi gak kalah ngegas.

Bella memutar kedua bola matanya malas, “Oh. Yaudah gue mau masuk,” Bella memutar balik badannya meninggalkan Abi.

GREP! Abi menarik tangan Bella hingga tubuh gadis mungil itu terjatuh di pelukannya. Abi memeluk tubuh Bella erat-erat hingga gadis itu sesak.

Bella bisa merasakan detak jantung Abi yang berdegup kencang.

“Maafin Abi ya, jangan cuekin Abi kayak gini...” “Abi gak mau kehilangan Bella...”

Tangan Bella refleks membalas pelukan Abi meskipun kikuk. Amarahnya yang awalnya memuncak pun tiba-tiba mereda seketika...

Kehangatan Abi sukses meluluhkan hatinya.

“A-Abi... lepasin... nanti Papih lihat...”

“Maafin Abi dulu.”

“Iya, udah Bella maafin, lepas makanya.”

Abi melepas pelukannya dan menatap kedua netra cantik Bella lekat-lekat sehingga gadis itu salah tingkah.

“Beneran udah maafin nih?”

“Udah...”

“Kontak Abi jangan di block lagi.”

“Enggak, nanti Bella unblock.”

SRET! Abi menyodorkan satu kantung plastik isi 3 bakpao itu ke Bella, “Nih buat Bella, biar gak bete lagi.”

Bella mengambil kantung plastik berwarna putih itu dan begitu Bella melihat isinya, wajah sumringahnya mencuat sehingga Abi menghela nafas lega.

“Udah ya jangan ngambek lagi, nanti malem Abi telepon.”

Bella mengernyit, “Hah? Mau ngapain telepon Bella?”

Abi tersenyum miring, “Buat nembus semua kangennya Abi sama Bella.”

Wajah Bella tiba-tiba memerah tomat, entah kenapa baru kali ini ia merasakan jantungnya terus berdebar-debar karena perbuatan sahabat sejak kecilnya itu.

Abi udah mulai pinter ngalusin cewek nih, sial... bisa-bisanya gue baper sama dia...

“Dah ah, Bella mau masuk nih, Abi pulang gih!”

“Sana masuk duluan, baru nanti Abi pulang.”

Bella menuruti perkataan Abi dan melambaikan tangannya ke arah Abi.

Begitu Bella sudah tak terlihat lagi di hadapannya, laki-laki itu langsung mendecak kata 'YES' kencang-kencang, saat ini seolah seribu kupu-kupu sedang berterbangan di perutnya. Abi bertingkah kegirangan bahkan ia terus meresapi pelukannya tadi dengan Bella.

“Uh wangi stoberinya itu lho...! Arghh...! Atuhlah, Isabella... Abi pingin peluk lagi...! Aw tapi nanti Abi di gebukin... Hehehe... love you full, Bella! Muach, muach...!“Abi bermonolog girang, berusaha agar suaranya tak terdengar Bella karena bisa-bisa berabe situasinya.

Malam ini, Abi bisa bermimpi dengan indah.

“Eh yang tabel perbedaan bakteri sama protista lihat dong!”

“No 10 masuknya ke Kingdom Animalia gak sih?”

“No 17 Eutrofikasi, Bella! Bukan Nitrifikasi!”

“Persilangan yang terjadi antara...”

Suasana rumah Abi saat ini dipenuhi dengan anak-anak tahun terakhir yang sedang mengerjakan soal-soalnya. Abi terkekeh, ia tak ikut bimbel bersama kakak sepupunya karena pilihan karirnya itu, jadi dia ambil bimbel di tempat lain.

“Bi, daripada bengong mending bantuin kita!” sahut Satria.

“Ogah ah, capek belajar mulu” jawab Abi dengan nada mengejek.

“Dih anjing, gaya bener. Apa yang bisa di harapkan dari kaum murtadin pengkhianat seperti anda?”

PRUK! Abi melempar plastik bekas snack-nya itu ke arah muka Satria. Ia mengintip Bella yang sedang berusaha keras mengerjakan soalnya sendiri. Wajah seriusnya itu membuat Abi merasa gemas sendiri, Bella kalau sudah sungguh-sungguh seperti ini rasanya seperti mempersiapkan diri untuk mengguncang dunia.

“Serius amat Bel,” goda Abi sambil menyender kepalanya ke punggung Bella.

“Minggir, Bi, gue lagi fokus.”

Abi terkekeh, dia malah sengaja gesek-gesek kepalanya ke punggung Bella hingga konsentrasi gadis itu buyar.

GREP! GYUT!! Bella dengan cepat memiting leher Abi keras-keras hingga pemuda itu tersedak-sedak dengan kekuatan lengan gadis itu.

“SIA TEH BOSEN IDUP APA GIMANA ANJING??!! HAH??!!“gertak Bella tiada ampun, Abi seolah sudah sekarat di ujung maut ia terus memukul-mukul lengan Bella namun tiada hasil karena gitu-gitu, Bella jagoan karate sabuk hitam dan sering lomba tingkat nasional. Senjata Bella kalau sudah memiting leher orang, itu tak bisa di tandingi siapapun.

Makanya Abi beneran cari mati sama Bella.

“Eh, eh itu kasihan anak orang! Lepas, Bel, lepas!!“dari kejauhan Jonathan langsung melerai pertikaian Bella dan Abi. Gadis itu langsung melepas lengannya dan Abi langsung bangkit dari posisinya.

“Alah siah, Bel, lu mau bunuh gua apa gimana?! Asli mau mati gua rasanya!”

“Salah sendiri bikin ulah,

“Eh yang tabel perbedaan bakteri sama protista lihat dong!”

“No 10 masuknya ke Kingdom Animalia gak sih?”

“No 17 Eutrofikasi, Bella! Bukan Nitrifikasi!”

“Persilangan yang terjadi antara...”

Suasana rumah Abi saat ini dipenuhi dengan anak-anak tahun terakhir yang sedang mengerjakan soal-soalnya. Abi terkekeh, ia tak ikut bimbel bersama kakak sepupunya karena pilihan karirnya itu, jadi dia ambil bimbel di tempat lain.

“Bi, daripada bengong mending bantuin kita!” sahut Satria.

“Ogah ah, capek belajar mulu” jawab Abi dengan nada mengejek.

“Dih anjing, gaya bener. Apa yang bisa di harapkan dari kaum murtadin pengkhianat seperti anda?”

PRUK! Abi melempar plastik bekas snack-nya itu ke arah muka Satria. Ia mengintip Bella yang sedang berusaha keras mengerjakan soalnya sendiri. Wajah seriusnya itu membuat Abi merasa gemas sendiri, Bella kalau sudah sungguh-sungguh seperti ini rasanya seperti mempersiapkan diri untuk mengguncang dunia.

“Serius amat Bel,” goda Abi sambil menyender kepalanya ke punggung Bella.

“Minggir, Bi, gue lagi fokus.”

Abi terkekeh, dia malah sengaja gesek-gesek kepalanya ke punggung Bella hingga konsentrasi gadis itu buyar.

GREP! GYUT!! Bella dengan cepat memiting leher Abi keras-keras hingga pemuda itu tersedak-sedak dengan kekuatan lengan gadis itu.

“SIA TEH BOSEN IDUP APA GIMANA ANJING??!! HAH??!!“gertak Bella tiada ampun, Abi seolah sudah sekarat di ujung maut ia terus memukul-mukul lengan Bella namun tiada hasil karena gitu-gitu, Bella jagoan karate sabuk hitam dan sering lomba tingkat nasional. Senjata Bella kalau sudah memiting leher orang, itu tak bisa di tandingi siapapun.

Makanya Abi beneran cari mati sama Bella.

“Eh, eh itu kasihan anak orang! Lepas, Bel, lepas!!“dari kejauhan Jonathan langsung melerai pertikaian Bella dan Abi. Gadis itu langsung melepas lengannya dan Abi langsung bangkit dari posisinya.

“Alah siah, Bel, lu mau bunuh gua apa gimana?! Asli mau mati gua rasanya!”

“Salah sendiri bikin ulah,

“Eh yang tabel perbedaan bakteri sama protista lihat dong!”

“No 10 masuknya ke Kingdom Animalia gak sih?”

“No 17 Eutrofikasi, Bella! Bukan Nitrifikasi!”

“Persilangan yang terjadi antara...”

Suasana rumah Abi saat ini dipenuhi dengan anak-anak tahun terakhir yang sedang mengerjakan soal-soalnya. Abi terkekeh, ia tak ikut bimbel bersama kakak sepupunya karena pilihan karirnya itu, jadi dia ambil bimbel di tempat lain.

“Bi, daripada bengong mending bantuin kita!” sahut Satria.

“Ogah ah, capek belajar mulu” jawab Abi dengan nada mengejek.

“Dih anjing, gaya bener. Apa yang bisa di harapkan dari kaum murtadin pengkhianat seperti anda?”

PRUK! Abi melempar plastik bekas snack-nya itu ke arah muka Satria. Ia mengintip Bella yang sedang berusaha keras mengerjakan soalnya sendiri. Wajah seriusnya itu membuat Abi merasa gemas sendiri, Bella kalau sudah sungguh-sungguh seperti ini rasanya seperti mempersiapkan diri untuk mengguncang dunia.

“Serius amat Bel,” goda Abi sambil menyender kepalanya ke punggung Bella.

“Minggir, Bi, gue lagi fokus.”

Abi terkekeh, dia malah sengaja gesek-gesek kepalanya ke punggung Bella hingga konsentrasi gadis itu buyar.

GREP! GYUT!! Bella dengan cepat memiting leher Abi keras-keras hingga pemuda itu tersedak-sedak dengan air liurnya sendiri.

“SIA TEH BOSEN IDUP APA GIMANA ANJING??!! HAH??!!“gertak Bella tiada ampun, Abi seolah sudah sekarat di ujung maut ia terus memukul-mukul lengan Bella namun tiada hasil karena gitu-gitu, Bella jagoan karate sabuk hitam dan sering lomba tingkat nasional. Senjata Bella kalau sudah memiting leher orang, itu tak bisa di tandingi siapapun.

Makanya Abi beneran cari mati sama Bella.

“Eh, eh itu kasihan anak orang! Lepas, Bel, lepas!!“dari kejauhan Jonathan langsung melerai pertikaian Bella dan Abi. Gadis itu langsung melepas lengannya dan Abi langsung bangkit dari posisinya.

“Alah siah, Bel, lu mau bunuh gua apa gimana?! Asli mau mati gua rasanya!”

“Salah sendiri bikin ulah,

“Eh yang tabel perbedaan bakteri sama protista lihat dong!”

“No 10 masuknya ke Kingdom Animalia gak sih?”

“No 17 Eutrofikasi, Bella! Bukan Nitrifikasi!”

“Persilangan yang terjadi antara...”

Suasana rumah Abi saat ini dipenuhi dengan anak-anak tahun terakhir yang sedang mengerjakan soal-soalnya. Abi terkekeh, ia tak ikut bimbel bersama kakak sepupunya karena pilihan karirnya itu, jadi dia ambil bimbel di tempat lain.

“Bi, daripada bengong mending bantuin kita!” sahut Satria.

“Ogah ah, capek belajar mulu” jawab Abi dengan nada mengejek.

“Dih anjing, gaya bener. Apa yang bisa di harapkan dari kaum murtadin pengkhianat seperti anda?”

PRUK! Abi melempar plastik bekas snack-nya itu ke arah muka Satria. Ia mengintip Bella yang sedang berusaha keras mengerjakan soalnya sendiri. Wajah seriusnya itu membuat Abi merasa gemas sendiri, Bella kalau sudah sungguh-sungguh seperti ini rasanya seperti mempersiapkan diri untuk mengguncang dunia.

“Serius amat Bel,” goda Abi sambil menyender kepalanya ke punggung Bella.

“Minggir, Bi, gue lagi fokus.”

Abi terkekeh, dia malah sengaja gesek-gesek kepalanya ke punggung Bella hingga konsentrasi gadis itu buyar.

GREP! GYUT!! Bella dengan cepat memiting leher Abi keras-keras hingga pemuda itu tersedak-sedak dengan kekuatan lengan Abi.

“SIA TEH BOSEN IDUP APA GIMANA ANJING??!! HAH??!!“gertak Bella tiada ampun, Abi seolah sudah sekarat di ujung maut ia terus memukul-mukul lengan Bella namun tiada hasil karena gitu-gitu, Bella jagoan karate sabuk hitam dan sering lomba tingkat nasional. Senjata Bella kalau sudah memiting leher orang, itu tak bisa di tandingi siapapun.

Makanya Abi beneran cari mati sama Bella.

“Eh, eh itu kasihan anak orang! Lepas, Bel, lepas!!“dari kejauhan Jonathan langsung melerai pertikaian Bella dan Abi. Gadis itu langsung melepas lengannya dan Abi langsung bangkit dari posisinya.

“Alah siah, Bel, lu mau bunuh gua apa gimana?! Asli mau mati gua rasanya!”

“Salah sendiri bikin ulah, udah tau dibilang gue lagi fokus jangan di ganggu!”

“Ya kan biar lu rileks dikit maksudnya...”

“Diem atau gue pukul?!”

Jonathan yang melihat kedua insan itu bertengkar hanya bisa tertawa geli. Bagaimanapun mereka masih remaja, emosinya masih meledak-ledak dan salah satu contohnya seperti ini. Dia jadi rindu dengan masa mudanya.


“Makasih, Kak Jo!!”

“Tararengkyu ya, Bang Jo, kita pamit pulang!!”

“Iya, hati-hati!”

Jonathan menghela nafasnya panjang, seluruh muridnya sudah pulang ke rumah masing-masing kecuali satu orang.

“Si bodor, baru belajar gitu aja udah teler,” celetukkan Abi di hadapan Bella yang sedang terlelap di atas meja. Laki-laki itu hendak mengambil jaketnya namun Jonathan menahan Abi pergi.

“Biar gue aja,” tanpa aba-aba, Jonathan langsung membawa tubuh mungil Bella ke punggung besarnya. Abi tersontak di tempat.

“Lah, Bang, bangunin aja itu bocahnya!“sahut Abi.

“Jangan, kayaknya semalem dia juga belajar mati-matian sampe kantung matanya tebel gini.”

Jonathan melangkah keluar dari pintu rumahnya, Abi menggaruk kepala bingung.

“Ah yaudah lah, terserah dia.”


Kira-kira menghabiskan waktu 15 menit jalan kaki ke rumah Isabella. Pria berusia 27 tahun itu dengan susah payah membawa tubuh gadis itu di punggungnya, aroma stroberi manis yang mencuat dari tubuh Bella membuat jantung Jonathan berpacu cepat.

Bagaimanapun Bella ini perempuan.

Mata Jonathan juga sudah lama memerhatikan gadis berambut panjang sepunggung itu.

“Isabella, apa saya punya kesempatan untuk menempati hati kamu kelak?”

Naresh, Jovian dan Aisyah sudah duduk saling berhadapan dengan tumpukan kertas yang di bawa Jovian.

“Gimana, Jov?”

“Gila, bokap lo bener-bener terjun ke dunia mafia anjir. Ini perusahaan dibawahin langsung sama black market-nya ASEAN dan semua obat yang dia beli jenis-jenisnya penemuan terbaru.” “Malahan ada Losartan yang dia racik ulang pake zat adiktif, ini mah beneran mau pengedaran narkotika se-Indonesia.”

Naresh mendecak pinggangnya, “Peran PT. Soetomo Group apa aja, Jov?”

“Dia investor utama Farmasi Yoereum ini bareng bokap lo, mereka kolaborasi untuk membuka pasar obat ini ke rumah sakit lo.”

“Gila ini mau dibuat mati massal apa gimana? Ada campur tangan politik juga gak, Jov?”

“Kurang tahu tapi kayaknya belum sampai sana, ini masih pengenalan obat jenis baru.” “Intinya kalau minat masyarakat tinggi sama obat racikan baru itu, mereka bakal sebarluaskan obat itu sampai ke seluruh penjuru apotik di Indonesia dan meraup banyak keuntungan dari sana, bahkan entah bagaimana caranya mereka juga bisa bebas pajak dari pemerintah, Res.” “Ini mah beneran kriminal kelas kakap kayak di film-film mafia.”

Aisyah masih berusaha mencerna semua ucapan Jovian, sejujurnya ia sendiri tak mengerti kasusnya seperti apa dan apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan kakaknya.

“Terus baiknya apa langkah pertama kita?” tanya Naresh.

“Pertama sih dari pihak yang gampang aja dulu,” Jovian menoleh ke arah Aisyah, “Nama lo Aisyah kan? Tolong bantu cari info tentang semua donatur yang ada di yayasan pondok Bang Haidar dan terus gali informasi tentang gerak-gerik abang lo dan orang terpercaya abang lo.” “Setidaknya kita harus punya 2 suspect untuk kita selidiki lebih lanjut.”

Naresh mengangguk paham dan Aisyah mulai sedikit mengerti dengan tugasnya.

“Jov, kalo untuk clue kode akses nyokap gue gimana? Gak ada anak IT kepercayaan lo gitu? atau kenalan agen intel gitu? sesama detektif kayak lo?“tanya Naresh

“Masalahnya websitenya juga di awasin intel, kalo bentrok yang ada ribut. Belum lagi secanggih apa itu orang buat amanin websitenya.” “Lo harus cari orang dalem dari intel bokap lo langsung.”

“Ah susah, Jov, gue udah gak bisa nyentuh ranah daerahnya lagi sekarang.” “Gue bener-bener harus kerjain semuanya di luar jangkauan dia, Jov.”

Jovian menghela nafas kasar, “Yaudah kalo gitu, kita kerjain dulu aja satu-satu. Urusan itu biar gue coba pelan-pelan.” “By the way, toilet sebelah mana sih? Ini rumah sakit gede banget buset dah.”

“Lurus sampai ke tempat pendaftaran abis itu belok kiri, gitu aja gak bisa lu, Jov.”

“Et iye iye, gua ke toilet dulu ya!”

Naresh mempersilahkan Jovian pergi ke toilet.

“Aisyah, kamu kalo mau lanjut kerja sekarang boleh. Nanti setelah kamu lakuin tugas kamu baru laporan lagi ke saya ya.”

Aisyah mengangguk mantap.

“Aisyah.”

Aisyah menoleh lagi.

”... Kita berjuang sama-sama ya?”

Gadis itu menaikkan satu alisnya, tapi ia tak mau ambil pusing dan mengacung satu jempolnya setuju.

Kenapa gue harus ngomong gitu segala ya ke Aisyah?

Sedangkan Jovian pas di perjalanannya ke toilet...

Jovian baru menyelesaikan urusannya di toilet, namun ia membalik sebentar tubuhnya untuk membeli beberapa cemilan di kantin

“Permisi, saya mau jenguk pasien atas nama Anela Haliza Maryam, jam besuknya masih ada kan?”

DHEG! Jantung Jovian tersentak sejenak, ia mengenal betul nama lengkap itu.

“Anela dirawat disini? Berarti ada Bang Haidar dong?“gumam Jovian sendiri

Kedua netra Jovian menangkap sosok wanita berhijab yang sedang menggandeng tangan seorang anak kecil berusia sekitar 9 tahunan.

“Masih ada, Bu, tapi karena pasien adalah pasien VVIP yang perlu akses khusus silahkan di konfirmasi dulu atas nama siapa dan hubungan dengan pasien apa.”

“Angelina Georgina, saya kerabat dekatnya pasien.”

Mata Jovian terbelelak lebar-lebar...

“A-Angel...?”

Aisyah gemetar begitu ia sudah sampai di depan pintu kayu putih berdesain modern itu. Tulisan nama 'Dr. Naresh Ishaaq, Sp.B-KBR' itu membuat jantungnya tak berhenti berdesir, sudah pasti Aisyah melakukan kesalahan yang fatal meskipun ia tak tahu apa yang tlah ia lakukan.

Tok...tok...

“Masuk!!”

Suara Naresh sungguh menggelegar, Aisyah dibuat bingung kenapa nada suara atasannya itu terdengar seperti orang murka.

Aisyah memasuki ruangan Naresh perlahan dan mendapati sambutan tatapan tajam Naresh yang membuatnya bergedik ngeri. Naresh berdiri dan menutup pintunya cepat sambil menguncinya rapat. Aisyah menelan ludahnya bulat-bulat. Hari ini dia membuat kesalahan fatal sepertinya.

“Duduk”titah Naresh lugas, lalu Aisyah duduk di hadapan Naresh dan menundukkan kepalanya takut.

“Kamu tau kenapa saya manggil kamu sekarang?“tanya Naresh.

“Uh... kayaknya... saya buat kesalahan fatal hari ini...”

“Memang, sangat fatal.”

Duh mampus deh...

“Kamu diam-diam suka gosip ya?”

Mata Aisyah memencak lebar, gadis itu langsung menyadari apa kesalahan yang telah ia perbuat hari ini. Ternyata masalah itu.

“A-Ah bukan gitu, Kak—”

“Ini di rumah sakit, panggil saya Dokter Naresh!“kecam Naresh.

Jantung Aisyah rasanya mau merosot ke bawah, tatapan Naresh saat ini sangat menyeramkan.

“Saya... niatnya bukan mau gosip, tapi... maksud saya tuh biar teman-teman saya gak bicara yang enggak-enggak soal kita, Dok...”

“Bicara yang enggak-enggak gimana? Emang kita habis ngapain, hah?!”

“Mereka tahu saya sakit di rawat sama Dokter Naresh dan mereka langsung ceng-cengin saya dengan Dokter, ya saya kan tahu Dokter itu sudah tunangan jadi saya gak enak di ceng-cengin gitu... maksud saya kayak menegaskan kembali gitu, Dok... eh ternyata mereka gak tahu kalau Dokter itu sudah tunangan...”

Naresh mendecih sinis, “Pertanyaan saya satu, kenapa kamu begitu responsif dengan ejekan-ejekan picisan kayak gitu? Memangnya kamu masih SMA? Kamu tuh paling gak bisa ya bersikap bodo amat?”

“Ya soalnya itu bisa jadi fitnah, Dokter... saya kan gak mau orang-orang mandang kita seperti apa disini. Bukannya Dokter sendiri yang bilang kita harus profesional di tempat kerja?”

Naresh mengusap wajahnya frustasi. Emosinya sudah memuncak ke ubun-ubunnya namun ia masih berusaha untuk menjernihkan kepalanya agar bisa memikirkan strategi yang pas untuk rencananya.

“Kamu tahu, Aisyah? Karena mulut kamu yang ember itu kamu merusak rencana saya. Seharusnya status saya yang sudah bertunangan ini tidak tersebar luas ke tempat kerja saya, karena saya... sedang mengusut suatu perkara besar disini.”

Aisyah mendelik, “Ma-Maksud, Dokter...?”

BRAK!! Naresh menggebrak mejanya, “Kalau gitu, karena kamu sudah mengacaukan semuanya, kamu harus bantu saya menyelesaikannya, Aisyah.”

Naresh langsung mengambil satu file plastik berwarna hijau di atas lacinya dan menghentakkannya di hadapan Aisyah.

“Baca satu per satu, coba pahami.”

Aisyah membuka file itu perlahan dan membaca satu per satu kertas yang berisikan informasi-informasi seperti penjelasan obat dan narkotika, kumpulan koran-koran berita lama, dan juga lembar keuangan yang disitu mencuri perhatian Aisyah.

“Ini apa dok? Kok ada nama Bang Haidar?“tanya Aisyah heran.

“Itu yang sedang saya usut.” “Saya sengaja memanggil kamu kesini untuk membicarakan soal ini, kebetulan juga kamu abis bikin ulah jadi kamu gak bisa nolak permintaan saya, karena ini... menyangkut nasib Abang kamu dan seluruh keluarga Soetomo.”

“Hah? Maksud Dokter apa? Abang saya emangnya kenapa?”

Naresh menghela nafas panjang, “Abang kamu terlibat kasus pengedaran obat ilegal, Syah.”

Jantung Aisyah langsung berhenti berdetak. Bola matanya membesar dan mulutnya bergetar tak mampu berkata-kata.

“Saya tahu abang kamu gak mungkin melakukan itu, tapi untuk membuktikan itu juga kita harus cari pelaku yang sebenarnya, selain Papa tiri saya.”

Aisyah semakin shock, “Hah? Papa tirinya... Dokter Naresh?”

“Iya, Papa tiri saya salah satu dalang dari kasus ini,” Naresh merendahkan tubuhnya, “Dan kasus ini berawal dari kematian Mama saya, Syah.”

Naresh kembali mengambil beberapa lembar kertas yang menampilkan anatomi tubuh beserta coret-coretannya.

“Saya mempelajari semuanya hampir 4 tahun lebih, dan yang saya dapatkan ini...”

Disitu Naresh menunjukkan tulisan merah besar...

PEMBUNUHAN BERENCANA

“Hah... pe-pembunuhan... dok, kok... bisa jadi gini...?”

“Inget gak waktu kamu mukulin saya sampe saya pingsan?”

Aisyah mengangguk cepat, “I-Iya.”

“Itu saya lagi berusaha mencuri kode akses rekam medis Mama saya yang ada di web rumah sakit, karena kode aksesnya cuman bisa di akses oleh Papa tiri saya.” “Disitu gak cuman ada rekam medis, dari riwayat hidupnya sampai surat wasiat Mama saya yang tersembunyi ada di situ semua dan... Dokter Rangga dengan gegabah mencuri semuanya dari saya.”

Naresh menarik kursinya dan duduk di depan Aisyah, “Aisyah, saya butuh bantuan kamu. Jangan sampai abang kamu mendapat nasib yang tidak adil karena kejahatan yang diperbuat dia.” “Gak cuman nasib abang kamu, tapi nasib Anela, kedua anaknya dan orang-orang sekitarnya. Juga nasib saya dan almarhumah Mama saya yang harus mati secara tidak adil.” “Kalau kejahatan Papa tiri saya dibiarkan, semuanya bisa berbuntut panjang, Aisyah, banyak masa depan orang yang dia hancurkan hanya demi uang dan kekuasaan. Kita harus hentikan semuanya, Aisyah.”

Rasa takut yang mendominasi hatinya membuat bibir gadis itu kelu di tempat. Ia masih belum bisa percaya seratus persen dengan semua fakta yang di ungkapkan Naresh.

“Gini aja, Syah, saya tahu kamu masih belum bisa percaya ini semua tapi saya mohon sekali sama kamu. Jangan sampai pembicaraan kita bocor keluar, tolong, tahan diri kamu.”

“Saya tahu dok, saya gak seceroboh itu juga—”

“Bawa semua file-file ini dan tolong pahami sekali lagi. Saya benar-benar butuh bantuan kamu, Aisyah.”

Naresh menyeret file hijau dan tumpukkan kertasnya itu ke hadapan Aisyah, dengan kikuk tangan mungilnya terpaksa harus menerima kertas yang di percayakan Naresh kepadanya.

“Saya harap besok kamu sudah bisa ikut bekerjasama dengan saya.”

Kepala Aisyah tak bisa berhenti berputar.

Kedua pria berusia 29 tahun itu meneguk ludahnya gugup begitu menghadap langsung sosok Haidar yang tak berhenti menatapnya tajam. Naresh benar, abangnya Aisyah benar-benar menyeramkan, pikir Arif.

“Sepenting apa laporan yang mau kalian ambil dari adik saya sampai datang malam-malam gini dan mengganggu waktu istirahat adik saya?“desis Haidar.

“Penting, Pak, soalnya besok saya sudah harus memberikan surat rujuk pulang sesuai kondisi pasien yang ada di laporan itu”jawab Arif berusaha tenang.

“Kenapa gak minta dikirim via ojek online aja?”

Arif skakmat. Ia tak berpikir sampai situ karena keinginannya untuk bertemu Aisyah itu sangat besar.

Tak lama mereka di introgasi, Aisyah dengan jaket tebalnya hadir di hadapan mereka. Wajahnya memerah, matanya sayu dan langkahnya sangat lemas.

“Saya udah print format wordnya, silahkan dokter...“ucap Aisyah purau.

Arif langsung berdiri, “Aisyah, kayaknya kamu gak cuman kecapekan deh. Apa yang kamu rasain sekarang?“tanya Arif khawatir.

“Uh... demam, agak mual juga... suara saya kurang enak juga, terus pusing...”

“Nafsu makan kamu gimana?“sergah Naresh.

“Nafsu makan saya berkurang sih, tapi saya lagi berusaha minum vitamin.”

Naresh tak mau kalah dari Arif, ia langsung menarik tangan Aisyah dan melihat kondisi gadis itu dari telapak tangannya.

“Pola makan kamu gak teratur ya?“tanya Naresh.

“Uh... biasanya teratur tapi memang akhir-akhir ini saya makannya kurang teratur dan kurang dijaga makanannya...”

“Coba kamu baring dulu di kamar, biar saya cek kondisi kamu.”

Naresh menuntun Aisyah ke kamarnya dan kedua pria di belakangnya ikut mendampingi Aisyah dalam proses pemeriksaan kondisi tubuhnya. Begitu Aisyah sudah berbaring di tempat tidurnya, Naresh siap-siap menggunakan sarung tangan lateksnya dan mulai proses pemeriksaannya.

“Permisi ya, saya cek dulu kondisi kamu”ucap Naresh lembut, lalu di balas dengan anggukan kecil Aisyah.

Naresh mulai menggunakan stetoskopnya ke detak jantung Aisyah yang mungkin saat ini sedang berdetak kencang. Jujur saja, kalau mengikuti kata hati, Dokter Naresh di mata Aisyah saat ini masih sama sosok Kak Naresh yang dulu ia kagumi.

Hanya saja sekat realita yang membatasi mereka.

Naresh membuka satu sarung tangannya, “Maaf Aisyah, saya mau cek suhu tubuh kamu. Permisi ya?“tanya Naresh meminta izin, dan Aisyah lagi-lagi membalasnya dengan anggukan kepala kecil. Naresh meletakkan punggung tangannya di kening Aisyah, dan Aisyah bisa merasakan seluruh pembuluh darahnya saat ini sedang meletup-letup kepanasan.

“Gejala tifus, harus bed rest total.”

Naresh langsung merapihkan semua peralatannya.

“Ada dua pilihan untuk kamu, di rawat di rumah sakit dan dapat penanganan khusus disana biar cepat sembuh atau istirahat di rumah selama seminggu tapi kamu benar-benar istirahat gak boleh mikir yang berat-berat.” “Kebetulan staff rumah sakit kami dapat jaminan fasilitas kesehatan disana, jadi ya kalo kamu mau, kamu bisa di rawat di sana. Kamu pilih mana?”

Haidar mendongak kepalanya ke Aisyah, “Terserah kamu, kalau kamu bisa atur diri di rumah juga gapapa.”

Aisyah menghela nafas, “Saya... di rumah aja, Dok, saya memang butuh waktu istirahat yang betul-betul istirahat...”

“Emang di rumah sakit kamu gak istirahat?”

“Ya tapi saya lebih nyaman di rumah aja...”

Naresh mengangguk paham, “Ya sudah, kalau gitu resepnya saya kasih besok gapapa? Sekarang saya kasih obat yang saya bawa dulu.”

Haidar menyergah, “Kirim obatnya via ojek online aja biar kamu gak usah repot-repot ke rumah terus.”

Naresh hanya terkekeh, “Iya, Bang, saya tahu... paling saya cek lagi kondisi Aisyah 2 hari sekali, sisanya via chat bisa ya, Syah?”

“Iya, Dok...”

Naresh memeriksa jam arlojinya, “Sudah malam ya, padahal ada yang mau saya bicarakan sama Aisyah tapi nanti aja kalau gitu. Kita bicara via chat aja ya?”

“Ah iya, baik, Dok...”

Naresh menarik lengan Arif, “Kalau gitu kami permisi ya, Bang, Syah, Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam.”

“Aisyah cepet sembuh ya! Sampai ketemu nanti di rumah sakit!“sahut Arif di tengah ia diseret keluar oleh Naresh. Aisyah membalasnya dengan senyuman pasi, karena menghadapi situasi tadi sangat melelahkan bagi Aisyah.

“Syah... Syah... makin gede saya makin harus jaga kamu dua kali lipat...“celetuk Haidar, “Kalau mereka macem-macem sama kamu atau berusaha modus bilang Abang ya, biar Abang yang kasih batasan sama mereka.”

Aisyah terkekeh, “Iya, Bang... aku juga tahu batasan kok... makanya minta Abang pulang...”

Haidar menghela nafasnya panjang, “Ya sudah, sana kamu masuk ke kamar lagi. Istirahat yang bener.”

“Siap, Bang!”

Aisyah, Aisyah... yang buat saya harus jaga kamu tuh bukan karena laki-lakinya, tapi kepolosan kamu yang tidak peka dengan sinyal laki-laki.

“Bel, selamat ulang tahun ya... semoga kamu bahagia selalu.”

Voice note yang dikirim Jonathan hanya di dengar selewat. Wajah Bella masih muram menatap foto masa kecilnya bersama orang yang ia rindukan. 4 tahun dan ini masih terus berjalan, sampai kapan Bella terus tersiksa dengan perasaan rindu?

Pip!

“Makasih, Kak Jo... Kakak juga sehat-sehat ya, jaga kesehatan juga, kak...”

Beberapa detik Bella mengirim voice note, dengan cepat Jonathan langsung menelpon Bella.

“Halo, Bel?”

“Halo, Kak?”

”... Apa kabar? Akhirnya kamu bales chat aku juga...”

Bella tersenyum kecut, “Yah, kakak kan ngirim ucapan ulang tahun masa aku gak bales?”

“Lama gak ketemu, kamu masih di Jakarta kan?”

“Iya masih.”

“Kapan terakhir kali ke Cimahi?”

“Keluarga aku gak di Cimahi lagi, tapi di Bandung.”

“Oh udah pindah ya...”

“Iya kak.”

Mereka bergeming cukup lama.

“Bel...”

“Ya?”

“Aku belum nikah lho.”

Mata Bella memencak, “O-Oh... kenapa gitu? Udah tua juga...”

“Hahaha nyeletuknya masih sama ya kayak dulu...” “Aku gak bisa nemuin perempuan sebaik kamu, Bel.”

Bella mendecih, “Mau ampe tahun jebot juga gak akan ketemu. Bella kan limited edition.”

“Hahaha gitu ya? Apa sekalian aku gak usah nikah aja, Bel?”

Jantung Bella tersentak.

“Kak, jangan gitu plis...”

“Bercanda, Bella... Aku emang belum nemu pendamping yang cocok aja... soalnya...” ”... Aku kangen sama kamu, Bel...”

Bella menghela nafasnya panjang, ia tak mau menjawab dan membiarkan Jonathan menambah lagi kalimatnya agar tak terdengar canggung.

“Maaf, Bel, aku lupa kalau sekarang kamu lagi nungguin Abi, hahaha...”

Bella mendelik, “Kabar Abi gimana, kak?”

“Udah lama aku gak ketemu dia, Bel, setelah aku lanjutin S2 di Amerika.” “Kalo ketemu Abi nanti aku kabarin kamu ya?”

Bella terdiam sejenak, “.... Makasih, kak.”

“Bel, aku ada jadwal operasi bentar lagi. Udahan dulu ya teleponnya, dah Bella...”

“Iya kak, Dah...”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam...”

Bella menutup teleponnya.

Kini tatapan sendunya tertuju pada langit malam yang mengguyur hujan ke bumi. Kepalanya masih terbayang sosok pemuda yang dulunya membuat hari Bella berwarna, tiap inci fitur wajah pemuda itu terasa melekat di memorinya...

“Aku gak akan pergi ninggalin kamu, Bel...”

Ungkapan itu terus menggema di telinganya.

“Bohong kamu, Bi, dasar pembohong...”

“Bel, selamat ulang tahun ya... semoga kamu bahagia selalu.”

Voice note yang dikirim Jonathan hanya di dengar selewat. Wajah Bella masih muram menatap foto masa kecilnya bersama orang yang ia rindukan. 4 tahun dan ini masih terus berjalan, sampai kapan Bella terus tersiksa dengan perasaan rindu?

Pip!

“Makasih, Kak Jo... Kakak juga sehat-sehat ya, jaga kesehatan juga, kak...”

Beberapa detik Bella mengirim voice note, dengan cepat Jonathan langsung menelpon Bella.

“Halo, Bel?”

“Halo, Kak?”

”... Apa kabar? Akhirnya kamu bales chat aku juga...”

Bella tersenyum kecut, “Yah, kakak kan ngirim ucapan ulang tahun masa aku gak bales?”

“Lama gak ketemu, kamu masih di Jakarta kan?”

“Iya masih.”

“Kapan terakhir kali ke Cimahi?”

“Keluarga aku gak di Cimahi lagi, tapi di Bandung.”

“Oh udah pindah ya...”

“Iya kak.”

Mereka bergeming cukup lama.

“Bel...”

“Ya?”

“Aku belum nikah lho.”

Mata Bella memencak, “O-Oh... kenapa gitu? Udah tua juga...”

“Hahaha nyeletuknya masih sama ya kayak dulu...” “Aku gak bisa nemuin perempuan sebaik kamu, Bel.”

Bella mendecih, “Mau ampe tahun jebot juga gak akan ketemu. Bella kan limited edition.”

“Hahaha gitu ya? Apa sekalian aku gak usah nikah aja, Bel?”

Jantung Bella tersentak.

“Kak, jangan gitu plis...”

“Bercanda, Bella... Aku emang belum nemu pendamping yang cocok aja... soalnya...” ”... Aku kangen sama kamu, Bel...”

Bella menghela nafasnya panjang, ia tak mau menjawab dan membiarkan Jonathan menambah lagi kalimatnya agar tak terdengar canggung.

“Maaf, Bel, aku lupa kalau sekarang kamu lagi nungguin Abi, hahaha...”

Bella mendelik, “Kabar Abi gimana, kak?”

“Udah lama aku gak ketemu dia, Bel, setelah aku lanjutin S2 di Amerika.” “Kalo ketemu Abi nanti aku kabarin kamu ya?”

Bella terdiam sejenak, “.... Makasih, kak.”

“Bel, aku ada jadwal operasi bentar lagi. Udahan dulu ya teleponnya, dah Bella...”

“Iya kak, Dah...”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam...”

Bella menutup teleponnya.

Kini tatapan sendunya tertuju pada langit malam yang mengguyur hujan ke bumi. Kepalanya masih terbayang sosok pemuda yang dulunya membuat hari Bella berwarna, tiap inci fitur wajah pemuda itu terasa melekat di memorinya...

“Aku gak akan pergi ninggalin kamu, Bel...”

Ungkapan itu terus menggema di telinganya.

“Bohong kamu, Bi, dasar pembohong...”