shinelyght

Aisyah dengan langkah canggungnya memasuki lobi rumah sakit dan membuat rekan-rekan nersnya itu terkejut bukan main dengan penampilan Aisyah yang hendak kondangan.

“Syah...? Kamu mau kemana?” sontak Juwita tercengang.

“Aisyah... kamu cantik banget, mau kemana?” imbuh Mbak Shinta tak kalah melongo, di ikuti Brian yang ikut menganga terpukau dengan pesona Aisyah.

Tak lama kehadiran Aisyah disana, sosok Naresh dengan jas merah maroon dan kemeja hitam di dalamnya, pesona Naresh tak kalah mengguncangkan hati rekan-rekan ners di sana. Perpaduan Naresh dengan Aisyah yang bak pasangan serasi dari kisah dongeng itu membuat mereka tak berhenti mendecak kagum.

“Duh, Dokter, kenapa janjian dulu ke rumah sakit segala sih? Kenapa gak di tempat lain aja, kan saya malu di lihatin gini...” keluh Aisyah.

“Kalo saya jemput kamu ke rumah berlawanan arah dan jauh, lagipula kenapa kamu harus malu? Saya aja cuek pake jas kayak gini di lihatin banyak orang,” jawab Naresh, “Dan hari ini kamu tampil cantik, apa yang harus di permasalahkan?”

Wajah Aisyah langsung memerah padam mendengar kalimat pujian itu terlontar dari bibir Naresh.

“Ish... Dokter mah sempet-sempetnya...”

Naresh hanya menghempas senyum miring, ia lanjut mendorong kursi roda Bu Winda dan menuntun Bu Winda ke dalam mobil ambulans.

“Kita kesana pake ambulans sesuai prosedur medis. Nanti pulangnya juga pake mobil ambulans,” ujar Naresh, dan Aisyah mengangguk paham sambil terus memeriksa isi oksigen yang Bu Winda pakai dan berbagai alat medis lainnya. Memastikan semuanya aman agar perjalanan Bu Winda tidak ada kendala sedikitpun.

“Bu Winda... kalau ada yang kurang nyaman atau apa bilang aja sama Aisyah ya? Karena kita harus mengikuti prosedur medis yang sudah di arahkan Dokter Arif.”

Bu Winda tersenyum lembut, “Iya, terima kasih ya nak... untung aja Ibu bisa ketemu suster yang baik hati, penyabar dan berjiwa besar seperti kamu... terima kasih banyak ya nak sudah mau bantu Ibu untuk mewujudkan keinginan Ibu...” “Ibu janji ini permohonan terakhir Ibu, setelah itu Ibu gak nakal lagi kalo disuruh terapi, atau minum obat... Serius deh...”

Aisyah terkekeh, lalu jari kelingking Bu Winda mengacung dan dibalas Aisyah dengan kaitan jari kelingking mungilnya sambil terkekeh geli bersama.

Kalo gak salah, si Arif bilang pasien 446 ini pasien yang problematic kan? Memang Aisyah itu wanita yang unik dan penuh kejutan. Mustahil kalo semua orang gak sayang dengan anak ini.


Aisyah dan Naresh membawa Bu Winda ke dalam ruangan resepsi yang sudah di penuhi oleh banyak orang. Wanita paruh baya itu seketika mencoba berdiri dari tempatnya, namun dengan cekatan Naresh menahan tubuh ringkuh Bu Winda agar tetap duduk di kursi rodanya.

“Kita lihat dari sini ya, Bu...” bisik Naresh lembut, lalu Bu Winda hanya bisa menghela nafasnya pasrah dan membiarkan dokter muda di belakangnya itu menuntun kursi rodanya pergi sesuai arahannya sendiri.

“Ah, itu pengantinnya kan? Mbak Laras cantik banget ya pake baju adat Jawa gitu!” decak Aisyah sambil menunjuk sepasang kekasih yang sudah saling mengikat janji sah dan kini tengah berdiri di pelaminan menyambut tamu-tamu yang berdatangan, hati Bu Winda seketika terenyuh melihat anak gadisnya itu di balut dengan gaun pernikahan adat Jawanya yang begitu cantik dan anggun.

“Laras anakku...” ucap Bu Winda dengan tatapan sendunya, Naresh langsung membawa Bu Winda menuju pelaminan putrinya, dan begitu sepasang ibu-anak itu saling bertukar tatapan, satu tetes air mata seketika lolos dari pelupuk mata keduanya deras.

“Ibu...?”

“Laras....”

“Ibuu...!!!”

Wanita pemilik nama Laras itu langsung berlari menuju bawah pelaminan, menghampiri tempat Ibunya yang tak bisa menjangkau putrinya di atas pelaminan sana, Laras memeluk erat tubuh Ibunya yang sudah lama tak ia jumpai.

“Ibu kangen anak gadisku, Laras... Ibu mau lihat Laras pakai baju pengantin...”

“Ya ampun, Ibu... Setelah ini Laras sama Mas Dimas mau jenguk Ibu di rumah sakit... Kok Ibu bisa kesini?”

Bu Winda menunjukkan telapak tangannya kearah dua insan yang jauh ada di belakangnya, “Ibu di dampingi sama dua orang baik disini, yang satu itu namanya Aisyah, dia perawat yang sangat baik dan penyabar, kalo yang satu itu dokter temennya Dokter Arif... pacarnya Aisyah.”

Laras hanya menjawab oh ria sambil terus memasang wajah senyum suka citanya setelah bertemu sang Ibunda.

Dari kejauhan sana, Aisyah dan Naresh ikut terhenyak dengan suasana haru antara Bu Winda dengan putrinya, Laras. Meskipun sang Ibunda hanya bisa datang sebagai tamu resepsi, tapi bisa terlihat jelas bahwa Bu Winda sangat bahagia dengan momen hari ini.

“Alhamdulillah ya, Dok, meskipun... Bu Winda hanya bisa menghadiri pernikahan anaknya sebagai tamu resepsi tapi bisa terlihat sangat jelas bahwa Bu Winda bahagia sekali bisa bertemu anaknya, Mbak Laras juga ternyata lebih ramah daripada kemarin waktu saya telepon,” kata Aisyah sambil menghayati momen haru antara Bu Winda dengan Laras disana.

Naresh ikut tersenyum teduh, “Iya, mereka sedang sama-sama bahagia, Syah.”

Tak lama mereka bercakap singkat, sosok Laras dengan balutan gaun pengantinnya menghampiri kedua insan itu dengan hati-hati.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak sudah mendampingi Ibu saya sampai mau repot-repot kesini, mohon maaf kalau sebelumnya... saya sempat tidak sopan dengan Mbak Aisyah...”

“Ah, iya, gapapa Mbak Laras... saya paham kok, syukurlah kalau Mbak Laras senang dengan kehadiran Bu Winda disini...”

Laras tersenyum simpul, “Iya... pada hari itu, memang saya... agak sedikit gegabah dengan Ibu saya. Saya terlalu mengikuti emosi sampai berani memusuhi Ibu saya berbulan-bulan, tapi begitu malamnya sebelum saya menikah... tiba-tiba hati saya sakit sekali karena tak ada Ibu di sisi saya. Saya malu untuk menelpon Ibu duluan, jadi saya berencana mau jenguk Ibu dengan suami ke rumah sakit setelah resepsi selesai tapi ternyata Ibu datang kesini dengan Mbak dan Masnya...”

Keduanya hanya mengangguk sopan dan mengulum senyum tipisnya sambil membalas jabat tangan Laras.

“Ah iya, kalau begitu... ini saya berikan buket bunganya khusus untuk Mbak Aisyah, semoga kalian cepet nyusul yah!”

Senyuman mereka seketika pudar dan berubah menjadi wajah canggung satu sama lain.


Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka setengah 7, dan acara resepsi pernikahan Laras sudah hampir selesai. Aisyah dan Naresh menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam setengah dengan perasaan canggung yang luar biasa, mereka tak bisa saling menikmati acara kondangan seperti biasanya, seolah ada pikiran lain yang mengganggu keduanya.

Bisa-bisanya kita dikira pasangan sama Mbak Laras, emang gue lengket banget apa gimana sih sama Kak Naresh? Duh jadi canggung gini deh. — Aisyah

Duh gimana cara ngomongnya ya soal Arif? Dari tadi gue pengen ngomongin soal itu sama Aisyah tapi... kalo terus di situasi kayak gini mana bisa? Masa sih harus lewat chat? Kalau ngomongin soal itu di rumah sakit, kesannya gue gak profesional banget. — Naresh

Mereka hanya kalut dengan pikirannya masing-masing dalam bisu.

DRRT...DRRRT

Ponsel Naresh bergetar menandakan alarm pulang.

“Maaf, Bu Winda, sudah waktunya pulang...” Naresh mencolek bahu Bu Winda yang masih asyik berbincang dengan keluarganya, sekelibat ekspresi wajah Bu Winda langsung kecewa namun tak ada pilihan lagi selain menuruti perkataan sang dokter yang kini bertanggung jawab atas keselamatannya.

15 menit setelah Naresh menghubungi pihak rumah sakit, tak lama mobil ambulansnya mendarat di depan gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Laras itu. Bu Winda melambaikan tangannya ke arah anaknya, namun begitu Naresh hendak menutup pintunya, Aisyah cepat menahan tangan kokoh itu agar membiarkannya keluar sebentar.

“Hape saya ketinggalan di toilet, Dok! Saya ambil dulu, kalo mau duluan ya duluan aja biar saya hubungi kakak saya untuk jemput!” sergah Aisyah.

“Lah kamu gimana sih? Bisa-bisanya barang sepenting itu ketinggalan!” decak Naresh kesal.

“Makanya duluan aja, Dok, nanti saya pulangnya sama Bang Haidar kok!”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Aisyah langsung turun dari mobil ambulans dan berlari cepat menuju dalam gedung untuk mengambil barang pentingnya yang tertinggal di toilet. Lokasi gedung depan ke toilet cukup jauh, penuh tenaga ektra untuk lari sampai kesana, tapi kalo bukan karena ponselnya itu, Aisyah juga ogah bersusah payah seperti ini.

“Hah... untung aja masih ada nih hapenya, langsung aja telpon Bang Haidar ah—”

*GREP!!!

Tiba-tiba ada yang membekap mulut Aisyah dari belakang hingga gadis itu kelimpungan membebaskan dirinya, namun sayang tenaga orang di belakangnya itu jauh lebih kuat dari gadis malang itu.

Begitu Aisyah sukses membebaskan mulutnya itu...

“KYAAAAAAAAAA!!!”

Dari luar sana, Naresh bisa mendengar jelas jeritan yang ada di dalam gedung tersebut. Pada akhirnya, Naresh juga ikut turun dari ambulans menyusul Aisyah dan membiarkan Bu Winda itu pergi bersama mobilnya agar cepat di tempatkan pada kamarnya. Untung saja mobil ambulans itu berangkat bersama dokter IGD yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya itu.

Naresh langsung tergopoh-gopoh lari ke dalam gedung, menyahut nama Aisyah berkali-kali dan mencari sosok gadis berbalut gaun pink pastel yang seharusnya sudah kembali dari urusannya.

“Aisyah!!! Kamu lagi apa—”

Mata Naresh melotot begitu melihat Aisyah gemetaran di sudut ruangan sambil menggenggam erat dompet berliannya itu, dan di hadapannya ada sosok pria yang di tutup masker hitam tengah tersungkur kesakitan karena hantaman hebat di kepalanya yang tentunya itu berasal dari jurus pukulan maut Aisyah.

“AISYAH!!”

Aisyah mendongak lalu cepat ia lari menyusul Naresh, namun sayangnya pria bermasker itu lebih cekatan dan menarik paksa tangan Aisyah hingga gadis itu terjatuh di dekatnya.

“Aisyah... kok kamu gitu sih sama aku... kamu lupa ya kalo kamu itu milik aku, Syah?”

Naresh geram melihat wanita kasihnya itu jatuh kesakitan, pemuda itu langsung menendang jauh wajah pria itu hingga kepalanya terpental membentur pintu toilet.

“Kyaaa!” jerit Aisyah kaget.

“JANGAN SENTUH CEWEK GUA ANJING!!!” gertak Naresh dengan darah yang meletup-letup di ubun-ubunnya.

Aisyah kaget dengan amukan Naresh barusan, umpatannya itu tak pernah ia duga akan keluar dari sosok dokter muda yang ia kenal sangat menjunjung tinggi sopan santun.

Pria bermasker itu berusaha bangkit, lalu ia melepas masker yang mengganggu saluran nafasnya...

“Le-Leon?!” Naresh dan Aisyah shock bukan main dengan sosok pria yang baru saja membahayakan nyawa Aisyah.

“Ah... gimana nih, bukannya menyakiti pasien itu melanggar etika dokter ya, Dokter Naresh yang terhormat...?”

Senyuman psycho yang dimiliki pria bersurai coklat terang itu membuat Aisyah bergedik ngeri, ia tak menyangka bahwa sosok Leon yang dulunya adalah pasien yang ia layani itu berubah menjadi monster menyeramkan yang hendak menculiknya barusan.

“Leon, jangan sentuh Aisyah!!!” gertak Naresh sekali lagi.

“Saya gak akan sentuh Aisyah kok...”

SYUT!!

Leon menampilkan pisau lipatnya di hadapan Naresh.

“Gimana kalo kita main-main sebentar...” mata Leon beralih ke arah sampingnya, “...Aisyah sayang?”

Mata Naresh terbelelak lebar setelah Leon melayangkan pisaunya ke arah Aisyah cepat...

GREP!! CRRTTT!!!

“AAAAAKKKKK!!!!!”

Tes... tes...

Darah segar mengalir deras dari pisau yang menancap dalam ke perut sebelah kanan Naresh. Tubuh pemuda itu langsung rubuh di pangkuan Aisyah bahkan malangnya Naresh langsung terkulai memejam matanya tak sadarkan diri.

“DOK?! DOKTER NARESH??!! ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”

Tak ada garis penyesalan sedikitpun yang tergambar di wajah Leon, dan parahnya, ternyata Leon punya satu pisau lipatnya lagi untuk menargetkan sasaran utamanya yakni Aisyah.

“Aisyah pilih... Aisyah mau ikut nyusul Dokter Naresh atau ikut aku—”

DUAAKKKK!!!!!

Layangan kaki sosok pria berparas eksotis tiba-tiba mendarat ke pipi Leon hingga tubuhnya terpental jauh hingga ke ujung ruangan.

“A-ABANG?!” Aisyah memekik lagi, sosok Haidar dan Adit di belakangnya langsung menghampiri Naresh yang sudah tak sadarkan diri bersama aliran darah yang sejak tadi tak berhenti mengalir deras.

“Dit, gua udah panggil ambulans, sebentar lagi dateng jadi tolong bawa Naresh sama Aisyah keluar dulu, sekalian hubungin polisi terdekat untuk dateng kesini...” “... sebelum cecunguk ini beneran mati di tangan gue...” kecam Haidar dengan tatapan tajamnya yang membunuh kedua netra Leon.

Haidar mengambil pisau lipatnya yang sempat mengacung ke hadapan adik kesayangannya itu lalu melemparnya jauh-jauh hingga keluar ruangan toilet itu.

“Kamu siapanya Aisyah?”

“Aisyah itu punya gua—”

BUAKK!! Haidar mendaratkan lagi kepalan tinjunya hingga Leon tersungkur dan batuk mengeluarkan darah dari kerongkongannya.

“Kamu pikir adik saya barang, HAH??!!!”

Haidar benar-benar murka dengan peristiwa hari ini yang menimpa Aisyah, belum lagi Naresh menjadi korban jiwa karena kebengisan Leon, pemuda itu hanya mati rasa dengan pukulan Haidar yang barusan mendarat di pipinya.

“Mau lo bunuh gua disini pun... Aisyah tetap punya gua—”

“Kamu bosen hidup ya?”

“JUSTRU LO YANG NYARI MATI SAMA GUA BANGSAT—”

DOR!!

Leon sontak bangkit begitu melihat wanita berjas hitam yang kini mengacung pistolnya ke arah wajahnya mantap. Wanita itu sengaja menarik pistolnya ke atap sebagai peringatan pertama.

“Leon Adhiaksa Jaya, anda resmi kami tangkap terkait kasus percobaan penculikan dan pembunuhan dengan senjata tajam sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa.” “Kurang lebih sih sanksinya bisa 15 tahun penjara, tapi kita bisa lihat nanti di pengadilan. Siapa tahu bisa nambah.”

Kalian masih ingat Eliza kan?

“Kak Haidar, coba mundur dulu ke belakang, biar aku yang urus bocah sialan satu ini,” Eliza cepat menancapkan pistolnya itu dalam keadaan ngambang di bawah tengkuk Leon, “Ah... bagaimana bisa ya anak tunggal dari direktur perusahaan tekstil terbesar satu Surabaya ini bisa jadi pelaku kriminal hanya karena satu perempuan? Bodoh gak sih? Bodoh banget ya?” Eliza mendekat ke telinganya, “Dan salahnya, kamu mengusik orang yang salah, nak... kamu bener-bener nyari mati karena udah berani nyentuh Aisyah.”

Eliza mentiarap kuat-kuat tangan Leon kebawah dan memborgol kedua tangannya hingga terkunci sempurna, “SIGIT! EZRA! CEPET BANTU GUE BAWA CURUT INI MASUK KE MOBIL!! GUE BELUM PUAS NYIKSA INI ANAK SATU!!!”

Kedua pria berseragam coklat itu bergegas menarik tubuh Leon dan membawanya ke dalam mobil sesuai perintah Eliza sebagai pimpinan detektif polisi wanita.

“Kamu serius mau siksa anak itu, Liz?” Haidar mengernyit dahi.

“Pengennya sih gitu, ah tapi kasihan deh, anak manja gitu di geplak sekali ntar langsung gegar otak,” balas Eliza sambil tertawa renyah, “Ah iya, Aisyah mana? Udah di bawa pulang ya? Soalnya aku mau minta keterangannya dulu.”

“Aisyah... kayaknya tadi dia pergi duluan ikut ambulans.”

Aisyah di dalam ambulansnya, gadis itu meraung-raung menangisi tubuh Naresh yang tersungkur lemah dan tak sadarkan diri akibat kelalaiannya. Aisyah tentu menyalahkan dirinya atas peristiwa ini, situasi yang membahayakannya seketika menjadi malapetaka pula bagi orang sekitarnya...

Dan kenapa harus Naresh yang terkena malapetaka itu...?

“Dok... bangun, Dok... maafin Aisyah...”

Aisyah dengan langkah canggungnya ia memasuki lobi rumah sakit dan membuat rekan-rekan nersnya itu terkejut bukan main dengan penampilan Aisyah yang hendak kondangan.

“Syah...? Kamu mau kemana?” sontak Juwita tercengang.

“Aisyah... kamu cantik banget, mau kemana?” imbuh Mbak Shinta tak kalah melongo, di ikuti Brian yang ikut menganga terpukau dengan pesona Aisyah.

Tak lama kehadiran Aisyah disana, sosok Naresh dengan jas merah maroon dan kemeja hitam di dalamnya, pesona Naresh tak kalah mengguncangkan hati rekan-rekan ners di sana. Perpaduan Naresh dengan Aisyah yang bak pasangan serasi dari kisah dongeng itu membuat mereka tak berhenti mendecak kagum.

“Duh, Dokter, kenapa janjian dulu ke rumah sakit segala sih? Kenapa gak di tempat lain aja, kan saya malu di lihatin gini...” keluh Aisyah.

“Kalo saya jemput kamu ke rumah berlawanan arah dan jauh, lagipula kenapa kamu harus malu? Saya aja cuek pake jas kayak gini di lihatin banyak orang,” jawab Naresh, “Dan hari ini kamu tampil cantik, apa yang harus di permasalahkan?”

Wajah Aisyah langsung memerah padam mendengar kalimat pujian itu terlontar dari bibir Naresh.

“Ish... Dokter mah sempet-sempetnya...”

Naresh hanya menghempas senyum miring, ia lanjut mendorong kursi roda Bu Winda dan menuntun Bu Winda ke dalam mobil ambulans.

“Kita kesana pake ambulans sesuai prosedur medis. Nanti pulangnya juga pake mobil ambulans,” ujar Naresh, dan Aisyah mengangguk paham sambil terus memeriksa isi oksigen yang Bu Winda pakai dan berbagai alat medis lainnya. Memastikan semuanya aman agar perjalanan Bu Winda tidak ada kendala sedikitpun.

“Bu Winda... kalau ada yang kurang nyaman atau apa bilang aja sama Aisyah ya? Karena kita harus mengikuti prosedur medis yang sudah di arahkan Dokter Arif.”

Bu Winda tersenyum lembut, “Iya, terima kasih ya nak... untung aja Ibu bisa ketemu suster yang baik hati, penyabar dan berjiwa besar seperti kamu... terima kasih banyak ya nak sudah mau bantu Ibu untuk mewujudkan keinginan Ibu...” “Ibu janji ini permohonan terakhir Ibu, setelah itu Ibu gak nakal lagi kalo disuruh terapi, atau minum obat... Serius deh...”

Aisyah terkekeh, lalu jari kelingking Bu Winda mengacung dan dibalas Aisyah dengan kaitan jari kelingking mungilnya sambil terkekeh geli bersama.

Kalo gak salah, si Arif bilang pasien 446 ini pasien yang problematic kan? Memang Aisyah itu wanita yang unik dan penuh kejutan. Mustahil kalo semua orang gak sayang dengan anak ini.


Aisyah dan Naresh membawa Bu Winda ke dalam ruangan resepsi yang sudah di penuhi oleh banyak orang. Wanita paruh baya itu seketika mencoba berdiri dari tempatnya, namun dengan cekatan Naresh menahan tubuh ringkuh Bu Winda agar tetap duduk di kursi rodanya.

“Kita lihat dari sini ya, Bu...” bisik Naresh lembut, lalu Bu Winda hanya bisa menghela nafasnya pasrah dan membiarkan dokter muda di belakangnya itu menuntun kursi rodanya pergi sesuai arahannya sendiri.

“Ah, itu pengantinnya kan? Mbak Laras cantik banget ya pake baju adat Jawa gitu!” decak Aisyah sambil menunjuk sepasang kekasih yang sudah saling mengikat janji sah dan kini tengah berdiri di pelaminan menyambut tamu-tamu yang berdatangan, hati Bu Winda seketika terenyuh melihat anak gadisnya itu di balut dengan gaun pernikahan adat Jawanya yang begitu cantik dan anggun.

“Laras anakku...” ucap Bu Winda dengan tatapan sendunya, Naresh langsung membawa Bu Winda menuju pelaminan putrinya, dan begitu sepasang ibu-anak itu saling bertukar tatapan, satu tetes air mata seketika lolos dari pelupuk mata keduanya deras.

“Ibu...?”

“Laras....”

“Ibuu...!!!”

Wanita pemilik nama Laras itu langsung berlari menuju bawah pelaminan, menghampiri tempat Ibunya yang tak bisa menjangkau putrinya di atas pelaminan sana, Laras memeluk erat tubuh Ibunya yang sudah lama tak ia jumpai.

“Ibu kangen anak gadisku, Laras... Ibu mau lihat Laras pakai baju pengantin...”

“Ya ampun, Ibu... Setelah ini Laras sama Mas Dimas mau jenguk Ibu di rumah sakit... Kok Ibu bisa kesini?”

Bu Winda menunjukkan telapak tangannya kearah dua insan yang jauh ada di belakangnya, “Ibu di dampingi sama dua orang baik disini, yang satu itu namanya Aisyah, dia perawat yang sangat baik dan penyabar, kalo yang satu itu dokter temennya Dokter Arif... pacarnya Aisyah.”

Laras hanya menjawab oh ria sambil terus memasang wajah senyum suka citanya setelah bertemu sang Ibunda.

Dari kejauhan sana, Aisyah dan Naresh ikut terhenyak dengan suasana haru antara Bu Winda dengan putrinya, Laras. Meskipun sang Ibunda hanya bisa datang sebagai tamu resepsi, tapi bisa terlihat jelas bahwa Bu Winda sangat bahagia dengan momen hari ini.

“Alhamdulillah ya, Dok, meskipun... Bu Winda hanya bisa menghadiri pernikahan anaknya sebagai tamu resepsi tapi bisa terlihat sangat jelas bahwa Bu Winda bahagia sekali bisa bertemu anaknya, Mbak Laras juga ternyata lebih ramah daripada kemarin waktu saya telepon,” kata Aisyah sambil menghayati momen haru antara Bu Winda dengan Laras disana.

Naresh ikut tersenyum teduh, “Iya, mereka sedang sama-sama bahagia, Syah.”

Tak lama mereka bercakap singkat, sosok Laras dengan balutan gaun pengantinnya menghampiri kedua insan itu dengan hati-hati.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak sudah mendampingi Ibu saya sampai mau repot-repot kesini, mohon maaf kalau sebelumnya... saya sempat tidak sopan dengan Mbak Aisyah...”

“Ah, iya, gapapa Mbak Laras... saya paham kok, syukurlah kalau Mbak Laras senang dengan kehadiran Bu Winda disini...”

Laras tersenyum simpul, “Iya... pada hari itu, memang saya... agak sedikit gegabah dengan Ibu saya. Saya terlalu mengikuti emosi sampai berani memusuhi Ibu saya berbulan-bulan, tapi begitu malamnya sebelum saya menikah... tiba-tiba hati saya sakit sekali karena tak ada Ibu di sisi saya. Saya malu untuk menelpon Ibu duluan, jadi saya berencana mau jenguk Ibu dengan suami ke rumah sakit setelah resepsi selesai tapi ternyata Ibu datang kesini dengan Mbak dan Masnya...”

Keduanya hanya mengangguk sopan dan mengulum senyum tipisnya sambil membalas jabat tangan Laras.

“Ah iya, kalau begitu... ini saya berikan buket bunganya khusus untuk Mbak Aisyah, semoga kalian cepet nyusul yah!”

Senyuman mereka seketika pudar dan berubah menjadi wajah canggung satu sama lain.


Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka setengah 7, dan acara resepsi pernikahan Laras sudah hampir selesai. Aisyah dan Naresh menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam setengah dengan perasaan canggung yang luar biasa, mereka tak bisa saling menikmati acara kondangan seperti biasanya, seolah ada pikiran lain yang mengganggu keduanya.

Bisa-bisanya kita dikira pasangan sama Mbak Laras, emang gue lengket banget apa gimana sih sama Kak Naresh? Duh jadi canggung gini deh. — Aisyah

Duh gimana cara ngomongnya ya soal Arif? Dari tadi gue pengen ngomongin soal itu sama Aisyah tapi... kalo terus di situasi kayak gini mana bisa? Masa sih harus lewat chat? Kalau ngomongin soal itu di rumah sakit, kesannya gue gak profesional banget. — Naresh

Mereka hanya kalut dengan pikirannya masing-masing dalam bisu.

DRRT...DRRRT

Ponsel Naresh bergetar menandakan alarm pulang.

“Maaf, Bu Winda, sudah waktunya pulang...” Naresh mencolek bahu Bu Winda yang masih asyik berbincang dengan keluarganya, sekelibat ekspresi wajah Bu Winda langsung kecewa namun tak ada pilihan lagi selain menuruti perkataan sang dokter yang kini bertanggung jawab atas keselamatannya.

15 menit setelah Naresh menghubungi pihak rumah sakit, tak lama mobil ambulansnya mendarat di depan gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Laras itu. Bu Winda melambaikan tangannya ke arah anaknya, namun begitu Naresh hendak menutup pintunya, Aisyah cepat menahan tangan kokoh itu agar membiarkannya keluar sebentar.

“Hape saya ketinggalan di toilet, Dok! Saya ambil dulu, kalo mau duluan ya duluan aja biar saya hubungi kakak saya untuk jemput!” sergah Aisyah.

“Lah kamu gimana sih? Bisa-bisanya barang sepenting itu ketinggalan!” decak Naresh kesal.

“Makanya duluan aja, Dok, nanti saya pulangnya sama Bang Haidar kok!”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Aisyah langsung turun dari mobil ambulans dan berlari cepat menuju dalam gedung untuk mengambil barang pentingnya yang tertinggal di toilet. Lokasi gedung depan ke toilet cukup jauh, penuh tenaga ektra untuk lari sampai kesana, tapi kalo bukan karena ponselnya itu, Aisyah juga ogah bersusah payah seperti ini.

“Hah... untung aja masih ada nih hapenya, langsung aja telpon Bang Haidar ah—”

*GREP!!!

Tiba-tiba ada yang membekap mulut Aisyah dari belakang hingga gadis itu kelimpungan membebaskan dirinya, namun sayang tenaga orang di belakangnya itu jauh lebih kuat dari gadis malang itu.

Begitu Aisyah sukses membebaskan mulutnya itu...

“KYAAAAAAAAAA!!!”

Dari luar sana, Naresh bisa mendengar jelas jeritan yang ada di dalam gedung tersebut. Pada akhirnya, Naresh juga ikut turun dari ambulans menyusul Aisyah dan membiarkan Bu Winda itu pergi bersama mobilnya agar cepat di tempatkan pada kamarnya. Untung saja mobil ambulans itu berangkat bersama dokter IGD yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya itu.

Naresh langsung tergopoh-gopoh lari ke dalam gedung, menyahut nama Aisyah berkali-kali dan mencari sosok gadis berbalut gaun pink pastel yang seharusnya sudah kembali dari urusannya.

“Aisyah!!! Kamu lagi apa—”

Mata Naresh melotot begitu melihat Aisyah gemetaran di sudut ruangan sambil menggenggam erat dompet berliannya itu, dan di hadapannya ada sosok pria yang di tutup masker hitam tengah tersungkur kesakitan karena hantaman hebat di kepalanya yang tentunya itu berasal dari jurus pukulan maut Aisyah.

“AISYAH!!”

Aisyah mendongak lalu cepat ia lari menyusul Naresh, namun sayangnya pria bermasker itu lebih cekatan dan menarik paksa tangan Aisyah hingga gadis itu terjatuh di dekatnya.

“Aisyah... kok kamu gitu sih sama aku... kamu lupa ya kalo kamu itu milik aku, Syah?”

Naresh geram melihat wanita kasihnya itu jatuh kesakitan, pemuda itu langsung menendang jauh wajah pria itu hingga kepalanya terpental membentur pintu toilet.

“Kyaaa!” jerit Aisyah kaget.

“JANGAN SENTUH CEWEK GUA ANJING!!!” gertak Naresh dengan darah yang meletup-letup di ubun-ubunnya.

Aisyah kaget dengan amukan Naresh barusan, umpatannya itu tak pernah ia duga akan keluar dari sosok dokter muda yang ia kenal sangat menjunjung tinggi sopan santun.

Pria bermasker itu berusaha bangkit, lalu ia melepas masker yang mengganggu saluran nafasnya...

“Le-Leon?!” Naresh dan Aisyah shock bukan main dengan sosok pria yang baru saja membahayakan nyawa Aisyah.

“Ah... gimana nih, bukannya menyakiti pasien itu melanggar etika dokter ya, Dokter Naresh yang terhormat...?”

Senyuman psycho yang dimiliki pria bersurai coklat terang itu membuat Aisyah bergedik ngeri, ia tak menyangka bahwa sosok Leon yang dulunya adalah pasien yang ia layani itu berubah menjadi monster menyeramkan yang hendak menculiknya barusan.

“Leon, jangan sentuh Aisyah!!!” gertak Naresh sekali lagi.

“Saya gak akan sentuh Aisyah kok...”

SYUT!!

Leon menampilkan pisau lipatnya di hadapan Naresh.

“Gimana kalo kita main-main sebentar...” mata Leon beralih ke arah sampingnya, “...Aisyah sayang?”

Mata Naresh terbelelak lebar setelah Leon melayangkan pisaunya ke arah Aisyah cepat...

GREP!! CRRTTT!!!

“AAAAAKKKKK!!!!!”

Tes... tes...

Darah segar mengalir deras dari pisau yang menancap dalam ke perut sebelah kanan Naresh. Tubuh pemuda itu langsung rubuh di pangkuan Aisyah bahkan malangnya Naresh langsung terkulai memejam matanya tak sadarkan diri.

“DOK?! DOKTER NARESH??!! ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”

Tak ada garis penyesalan sedikitpun yang tergambar di wajah Leon, dan parahnya, ternyata Leon punya satu pisau lipatnya lagi untuk menargetkan sasaran utamanya yakni Aisyah.

“Aisyah pilih... Aisyah mau ikut nyusul Dokter Naresh atau ikut aku—”

DUAAKKKK!!!!!

Layangan kaki sosok pria berparas eksotis tiba-tiba mendarat ke pipi Leon hingga tubuhnya terpental jauh hingga ke ujung ruangan.

“A-ABANG?!” Aisyah memekik lagi, sosok Haidar dan Adit di belakangnya langsung menghampiri Naresh yang sudah tak sadarkan diri bersama aliran darah yang sejak tadi tak berhenti mengalir deras.

“Dit, gua udah panggil ambulans, sebentar lagi dateng jadi tolong bawa Naresh sama Aisyah keluar dulu, sekalian hubungin polisi terdekat untuk dateng kesini...” “... sebelum cecunguk ini beneran mati di tangan gue...” kecam Haidar dengan tatapan tajamnya yang membunuh kedua netra Leon.

Haidar mengambil pisau lipatnya yang sempat mengacung ke hadapan adik kesayangannya itu lalu melemparnya jauh-jauh hingga keluar ruangan toilet itu.

“Kamu siapanya Aisyah?”

“Aisyah itu punya gua—”

BUAKK!! Haidar mendaratkan lagi kepalan tinjunya hingga Leon tersungkur dan batuk mengeluarkan darah dari kerongkongannya.

“Kamu pikir adik saya barang, HAH??!!!”

Haidar benar-benar murka dengan peristiwa hari ini yang menimpa Aisyah, belum lagi Naresh menjadi korban jiwa karena kebengisan Leon, pemuda itu hanya mati rasa dengan pukulan Haidar yang barusan mendarat di pipinya.

“Mau lo bunuh gua disini pun... Aisyah tetap punya gua—”

“Kamu bosen hidup ya?”

“JUSTRU LO YANG NYARI MATI SAMA GUA BANGSAT—”

DOR!!

Leon sontak bangkit begitu melihat wanita berjas hitam yang kini mengacung pistolnya ke arah wajahnya mantap. Wanita itu sengaja menarik pistolnya ke atap sebagai peringatan pertama.

“Leon Adhiaksa Jaya, anda resmi kami tangkap terkait kasus percobaan penculikan dan pembunuhan dengan senjata tajam sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa.” “Kurang lebih sih sanksinya bisa 15 tahun penjara, tapi kita bisa lihat nanti di pengadilan. Siapa tahu bisa nambah.”

Kalian masih ingat Eliza kan?

“Kak Haidar, coba mundur dulu ke belakang, biar aku yang urus bocah sialan satu ini,” Eliza cepat menancapkan pistolnya itu dalam keadaan ngambang di bawah tengkuk Leon, “Ah... bagaimana bisa ya anak tunggal dari direktur perusahaan tekstil terbesar satu Surabaya ini bisa jadi pelaku kriminal hanya karena satu perempuan? Bodoh gak sih? Bodoh banget ya?” Eliza mendekat ke telinganya, “Dan salahnya, kamu mengusik orang yang salah, nak... kamu bener-bener nyari mati karena udah berani nyentuh Aisyah.”

Eliza mentiarap kuat-kuat tangan Leon kebawah dan memborgol kedua tangannya hingga terkunci sempurna, “SIGIT! EZRA! CEPET BANTU GUE BAWA CURUT INI MASUK KE MOBIL!! GUE BELUM PUAS NYIKSA INI ANAK SATU!!!”

Kedua pria berseragam coklat itu bergegas menarik tubuh Leon dan membawanya ke dalam mobil sesuai perintah Eliza sebagai pimpinan detektif polisi wanita.

“Kamu serius mau siksa anak itu, Liz?” Haidar mengernyit dahi.

“Pengennya sih gitu, ah tapi kasihan deh, anak manja gitu di geplak sekali ntar langsung gegar otak,” balas Eliza sambil tertawa renyah, “Ah iya, Aisyah mana? Udah di bawa pulang ya? Soalnya aku mau minta keterangannya dulu.”

“Aisyah... kayaknya tadi dia pergi duluan ikut ambulans.”

Aisyah di dalam ambulansnya, gadis itu meraung-raung menangisi tubuh Naresh yang tersungkur lemah dan tak sadarkan diri akibat kelalaiannya. Aisyah tentu menyalahkan dirinya atas peristiwa ini, situasi yang membahayakannya seketika menjadi malapetaka pula bagi orang sekitarnya...

Dan kenapa harus Naresh yang terkena malapetaka itu...?

“Dok... bangun, Dok... maafin Aisyah...”

“HAH?! KAMU DITEMBAK SAMA TEMENNYA NARESH??!!”

Aisyah mengangguk lesu, dengan kedua tangan dan kakinya yang sedang di mani-pedi, gadis itu tak berhenti mengeluh kesah soal hatinya.

“Kaget banget tau gak sih, kak... ya emang sih kalo Dokter Arif tuh sering banget kayak deket-deket sama Aisyah gitu tapi Aisyah gak expect dia bakal suka sama Aisyah!! Kenapa sih cowok-cowok kayak gitu tuh bikin hati Aisyah gelisah gini?! Dokter Naresh juga sering banget baperin Aisyah!” celoteh Aisyah.

Anela yang sibuk membaca isi chat Aisyah dengan Dokter Arif itu hanya geleng-geleng kepala, “Wah sengit banget nih jadinya, antara Naresh sama Dokter Arif... kira-kira mereka bisa gak ya taklukin hatinya Mas Haidar...”

“Ih, Kak Anela mah! Sebelum ngelewatin Bang Haidar kan harus Aisyah dulu yang pastiin perasaan Aisyah!”

“Kalo gitu, perasaan kamu gimana?”

“Apanya?”

“Hati kamu, lebih memilih Dokter Naresh atau Dokter Arif?”

Aisyah langsung termenung lama. Gadis itu tak bisa menjawab cepat pertanyaan kakak iparnya, ia sendiri tak tahu hatinya ingin berlabuh kepada siapa tapi... Aisyah jadi ingat perkataan almarhum Abinya dulu ketika Aisyah masih SMA, lebih tepatnya di pertemuan terakhirnya sebelum akhirnya mereka terpisah selama-lamanya.

“Aisyah... suatu saat nanti kamu akan menikah, boleh Abi titip satu pesan sama kamu?”

“Apa, Bi?”

“Jika seandainya, Abi gak bisa mendampingi kamu sampai menikah nanti... Abi titip pesan untuk kamu perihal dalam memilih laki-laki yang akan mendampingi kamu kelak...” “Aisyah, cinta itu bisa membuat kita buta dengan kenyataan, cinta itu... terkadang bisa menjebak kita dalam suatu hubungan yang salah... maka itu, terus minta perlindungan sama Allah agar diberikan pendamping yang terbaik dari sisi-Nya. Apapun pilihan Allah, itu semuanya baik, Aisyah...” “Tapi Rasulullah sendiri sudah memberikan kita beberapa cara jika ingin mendapat pasangan yang baik untuk mendampingi kita.”

“Gimana tuh, Bi?”

“Yang pertama, perbaiki diri sebaik mungkin agar Allah memantaskan jodohmu kelak yang terbaik pula, lalu kedua, niatkan hatimu itu untuk menikah karena ibadah kepada Allah, dan yang ketiga... bila ada laki-laki baik yang datang melamarmu... terimalah dia, Aisyah.” “Sebaik-baiknya laki-laki perihal mencintai, ialah laki-laki yang berani melamar wanita kasihnya langsung di hadapan keluarganya. Inshaa Allah, itu adalah jodoh yang Allah kirim sebaik-baiknya untuk kamu, nak...”

Aisyah hanya mengangguk menuruti wejangan terakhir sang Ayahanda...

dan sekarang Aisyah sedang berada di situasi yang almarhum Abi-nya sebutkan dulu.

“Kak Anela... dulu Abi pernah bilang, kalau ada laki-laki baik yang datang melamar Aisyah langsung... itu adalah jodoh yang Allah kirimkan untuk Aisyah, apa sebaiknya Aisyah terima aja pernyataan cinta Dokter Arif?” ucap Aisyah bimbang.

Anela bergeming, “Hmm... gimana ya, kalo kata aku, Dokter Arif belum melamar kamu, Syah, dia baru nyatain perasaan ke kamu untuk memastikan lagi perasaan kamu sama dia...” “Dan kalau kamu masih ragu dengan Dokter Arif, kamu masih bisa tolak dia.”

“Serius? Dokter Arif juga orang baik sebenarnya...”

Anela menghela nafas panjang, “Aisyah sayang... begini ya, menikah itu bukan soal kamu menikahi orang baik lalu pernikahan kamu berjalan mulus. Tidak, yang namanya manusia pasti ada kekurangan. Kamu akan hidup bersama pasangan kamu itu selamanya, dan tentunya kamu perlu yang namanya mengikuti suara hati nurani kamu... kira-kira kamu ingin hidup dengan siapa?” “Ya kecuali kalau orang itu susah di gapai dan jelas banget dia bukan orang baik ya, baru kamu harus mempertimbangkan orang baik di sekitar kamu.” “Coba pikir-pikir lagi deh, dan resapin lagi hati terkecil kamu yang sejujur-jujurnya... Kamu yakin ingin menerima Dokter Arif?” “Lalu bagaimana dengan Dokter Naresh?”

Aisyah tersentak begitu dengar nama Naresh.

“Aku... bukannya berpihak sama Naresh, tapi kemarin waktu makan malam kita, aku bisa melihat jelas mata Naresh ketika menatap kamu, Syah. Dia juga suka sama kamu, bahkan sangaaatt suka sama kamu. Dia ingin sekali bisa hidup bersama kamu, tapi ada sesuatu yang janggal di hatinya.” “Aku gak tahu itu, tapi mungkin Mas Haidar tahu, karena Mas Haidar cerita sama aku kalau dia harus segera mempersiapkan diri untuk melepas kamu sama Naresh nanti.”

Mata Aisyah memencak lebar, “Ma-Maksudnya?!”

Anela tersenyum simpul, “Naresh... udah ngakuin perasaannya sama Mas Haidar. Dia suka sama kamu, Syah.”

Perasaan Aisyah langsung campur aduk karena ungkapan kakak iparnya itu perihal pemuda pemilik nama Naresh, Kak Naresh... udah ngomong sama Abang? Berarti... dia udah melamar Aisyah lewat Abang bukan sih? Kok dia diem-diem aja ya?

“Eh tapi kamu jangan bilang-bilang dulu ya ke Naresh ataupun Mas Haidar, mungkin Naresh masih banyak pertimbangan sebelum benar-benar melamar kamu, ya kamu harus sabar aja dulu.” “Aku ngasih tau gini tuh sebagai bahan pertimbangan kamu untuk jawaban confession-nya Dokter Arif, kalau kamu memang lebih yakin sama Dokter Arif ya gapapa. Itu kan pilihan hati kamu.” “Menikah itu sekali seumur hidup, Syah, jangan sampai kamu salah memilih pendamping.”

Percakapan mereka tertunda begitu Anela berdiri untuk menjalani treatment rambut selanjutnya. Aisyah masih di landa galau yang justru semakin membuatnya pusing tujuh keliling.

Aisyah masih perlu waktu untuk merenungi lagi perihal masalah hatinya.

Siapa sangka akan ada dua laki-laki yang datang secara bersamaan untuk mengacak-acak hati gadis tersebut?

Bismillah, Aisyah... yuk bisa yuk, Bu Winda gak seserem itu kok...

Aisyah masuk ke ruangan 446 itu dengan mantap dan matanya terbelelak begitu mendapati sosok wanita paruh baya itu menangis sendirian sambil mendekap sebuah figura erat-erat.

“Laras... Laras... Pulanglah ke Ibu, nak...”

Hati Aisyah langsung terenyuh melihatnya. Bagaimana bisa Aisyah membiarkan air mata rindu dari seorang Ibu untuk anaknya itu terus mengalir dari pipi pasiennya? Refleks, gadis itu menghampiri Bu Winda dan menepuk pelan bahunya bersimpati. Bu Winda tersontak dengan kehadiran Aisyah.

“A-Ah, kamu sejak kapan disini?” tanya Bu Winda tersontak.

Aisyah hanya mengulum senyum simpul, “Maaf, Ibu kalau terkesan lancang... tapi... hati saya sakit kalau melihat Ibu menangis seperti ini karena merindukan anaknya...”

Bu Winda menunduk, ia memperlihatkan foto dari figura yang ia dekap barusan, disana terlihat foto kebersamaannya dengan seorang gadis yang kelihatannya masih berusia sekitar 20 an.

“Laras... Ibu kangen, nak...”

Tangisan Bu Winda semakin menjadi-jadi, Aisyah pun tak sadar ikut menitikkan air matanya. Ia memeluk bahu Bu Winda pelan dan kembali memberikan tepukan agar wanita paruh baya itu tenang.

“Maafin, Ibu, nak... Jangan marah sama Ibu... Ibu cuman mau yang terbaik untuk kamu, tapi kalau kamu bahagia dengan pilihan kamu... Ibu ikhlas, nak... Jangan buang Ibu, Laras...”

Suasana sendu semakin mencuat di kamar 446 tersebut. Aisyah membiarkan Bu Winda menangis meraung-raung di bahunya, ia pun tak bisa menahan tangisnya karena ikut merasa sakit. Bagaimana ada seorang anak yang sengaja memberikan luka untuk seorang Ibu? Dia membiarkan perpisahan itu lebih awal dan memilih orang yang bahkan baru ia temui? Aisyah bisa merasakan betapa sakitnya luka dari sosok Bu Winda.

“Ibu mau telepon anaknya...?”

“Dia pasti gak mau angkat telepon dari saya, sus...”

“Pake hape saya aja, siapa tau di angkat.”

Aisyah mengambil ponsel dari sakunya dan meminta Bu Winda untuk memijit nomornya di layar ponsel Aisyah.

“Biar saya dulu yang bicara, nanti baru Ibu bicara ya.”

Bu Winda mengangguk menuruti pinta Aisyah.

“Halo?”

Aisyah mendelik, “Halo, apa benar ini dengan Bu Laras?”

“Iya betul, ada apa ya? Ini siapa?”

Aisyah menarik nafasnya dalam-dalam, “Kami dari Rumah Sakit Kasih Keluarga hendak menginfokan terkait kondisi Ibu Winda—”

“Maaf, Mba, kalau gitu lain kalo aja.”

“A-Ah, tunggu dulu, Bu Laras!”

Bu Winda langsung menyambar ponsel Aisyah, “Laras! Laras! Ini Ibu nak...! Maafin Ibu ya, Laras! Laras!!”

TUT!

Telepon Aisyah di matikan sepihak, membuat Bu Winda kembali menderu desahnya kasar.

“Saya udah bilang kan, dia gak mau bicara lagi sama saya...” “Sebentar lagi dia akan menikah dengan pria pilihannya, sedangkan saya masih di rawat di sini... bayangkan bagaimana tidak hancur hati saya ketika seorang Ibu tidak bisa mendampingi anaknya menikah.” “Sebagai tamu pun saya gapapa, yang penting saya bisa melihat anak saya menikah...”

Aisyah terdiam kelu saking ia sakit hatinya mendengar ungkapan itu keluar dari bibir seorang Ibu, Hatinya sudah di hancurkan berkeping-keping tapi tetap yang namanya seorang Ibu... kalau soal rindu kepada anak tak kenal lagi yang namanya luka... Ya Allah, bahkan aku sendiri ingin sekali menikah di dampingi oleh kedua orang tuaku langsung tapi apa daya kalau takdir berkata lain... kenapa Mbak Laras ini begitu jahat dengan Ibunya sendiri...?

“Ah, kamu jangan pikir macem-macem soal anak saya ya. Memang ini semua berawal dari kesalahan saya, saya sudah gagal menjadi orang tua Laras. Dengan pecahnya rumah tangga saya dengan mantan suami, itu sudah menghancurkan istana berlindungnya Laras, dan parahnya saya tidak pernah memerhatikan kebahagiaan Laras sebelumnya.” “Anak itu melalui banyak hal karena perceraian orang tuanya. Keegoisan orang tuanya sudah menghancurkan banyak mimpi indahnya, jadi saya ikhlas menerima semuanya. Ini adalah hukuman bagi saya dari Allah.”

Aisyah cepat menggeleng, “Enggak, Bu... meskipun orang tua pernah berlaku salah kepada anaknya bukan berarti anak tersebut punya hak untuk menyakiti kembali orang tuanya. Di bandingkan dengan jasa Ibu yang sudah mengandung 9 bulan dan melahirkannya dengan taruhan nyawa, Mbak Laras... tidak sepatutnya berlaku seperti tadi... apalagi Ibu sudah meminta maaf dengan Mbak Laras berkali-kali...” “Kehilangan seorang Ibu pun... adalah patah hati terhebat seorang anak, Bu... saya yakin hati nurani Mbak Laras juga menangis karena memperlakukan Ibunya seperti ini. Dia hanya terlalu kalut dengan nafsu amarahnya... “

Bu Winda kembali menangis tersedu-sedu di bahu mungil milik Aisyah.

“Laras... huhuhu...”


“Hah? Kamu minta izin biar Bu Winda hadirin pernikahan anaknya?”

Aisyah mengangguk mantap, ia memutuskan untuk meminta izin kepada Dokter Arif agar mengizinkan Bu Winda keluar sebentar untuk menghadiri acara pernikahan anaknya.

“Tanggal berapa?”

“Kata Bu Winda minggu depan.”

“Ya tanggal berapa?”

“8 Oktober.”

Dokter Arif menghela nafas panjang, “Duh, gimana ya... sebenarnya Bu Winda gak boleh keluar rumah sakit kayak gitu, Syah, cuman... kalau itu memang demi kebaikan psikisnya...” “Kenapa harus tanggal 8 Oktober sih? Saya harus ngisi seminar itu! Ah, kan kalo kosong, kita bisa kondangan berdua...”

Aisyah tertawa renyah.

“Kalo bisa kamu jangan sendiri, Syah, harus ada dokter yang dampingin kamu.” “Dia juga pasiennya Dokter Alma sih sebelumnya, ah tapi dia ikut saya seminar.”

Tiba-tiba terlintas satu ide di kepala Aisyah.

“Kalo... saya ajak Dokter Naresh gimana?”

Dokter Arif terkejut, lalu ia tertawa terbahak-bahak seolah hal itu sangat mustahil terjadi, “Duh, kamu kayak gak tahu aja si Naresh tuh orang paling sibuk sedunia! Hahahaha...! Gak bakal mau dia, Syah!”

Sedangkan Dokter Naresh sendiri...

“Boleh aja.”

Dokter Arif menganga selebar-lebarnya.

“Beneran, Dok?!” sahut Aisyah sumringah.

“Iya, 8 Oktober saya lowong kok.”

Dokter Arif langsung menyergah, “Heh, Res, lu kesambet apaan kok mau di ajak pergi keluar?! Lu kan orang paling sibuk di dunia!”

“Ya emang kenapa? 8 Oktober gue lowong kok.”

“Bahkan hari libur lo tetep kerja?!”

“Yaudah, terus?”

“8 Oktober itu hari biasa lho, Res, bukannya pasien selalu nomor satu?”

“8 Oktober gue lowong, kenapa?”

Dokter Arif geleng-geleng tak percaya, “Res lo kesambet apa sih? Kok bisa-bisanya... lo berubah gini?”

“Berubah apaan sih?!”

“RES GUE KENAL LO DARI JAMAN KULIAH YA?!”

“Ya terus?!”

Dokter Arif cuman memicing matanya sinis ke Naresh, “Gila, temen gue udah berubah... lo bukan Naresh lagi... fix banget sih...”

Naresh gak menggubris celotehan ngaco rekannya itu dan masuk ke ruangannya tanpa permisi. Aisyah juga hanya bisa diam mematung di tengah keduanya, “Ini dua orang kenapa sih?!” gumam Aisyah sendiri.

Di belakang Aisyah tanpa di sadari ketiganya, ada sosok pria bertopi hitam lagi yang sejak lama memerhatikan Aisyah dari jauh sambil mengepal tangannya keras...

“Aisyah malaikatku... kamu milikku...”

Aisyah dengan gugup mengetuk pintu kamar 446,

“GAK MAU!! KELUAR SANA KELUAARRR!!!”

Gadis itu langsung terperanjat dan betapa kagetnya ia begitu melihat Juwita yang lari terbirit-birit dari ruangan 446.

“Juwita?!”

“Duh, Aisyah, pas banget! Tolongin aku dong, huhuhu...”

Aisyah mengangguk mantap, dan Juwita langsung menyodorkan kereta dorong tingkat dimana disana ada alat-alat medis seperti suntikan, beberapa kantung dan tabung kecil yang sudah steril. Gadis itu hanya bisa menderu nafas pasrah.

“Permisi...” ucap Aisyah perlahan memasuki kamar kelas 1 itu.

“Siapa lagi nih curut?!” gertak wanita paruh baya yang usianya mungkin sudah sekitar 50 tahun, Aisyah hanya bisa mengelus dada begitu dirinya dikatain 'curut'.

“Maaf mengganggu waktunya, Bu... tapi sekarang sudah waktunya untuk ambil sampel darah—”

“GAK MAU!!!”

“Tapi—”

“Keluar!!!”

Aisyah menghela nafasnya panjang, “Oke deh kalo gitu... kita tunda dulu ya—”

“SAYA BILANG KELUAR!!! KELUAR GAK???!!!”

Tak segan-segan wanita paruh baya itu melempar bantalnya ke wajah Aisyah sampai Aisyah terdorong keluar dari kamar 446.

Ternyata memang sulit menghadapi pasien satu ini, Aisyah mau marah tapi sayangnya pasien tersebut sudah berusia senja. Bisa-bisa lisensi sumpah perawatnya bisa di cabut saat itu juga.

“Aisyah?”

Dokter Arif dari belakang kaget begitu melihat Aisyah yang berdiri mematung di depan ruangan pasiennya.

“Kamu abis dari kamar 446 sini?” tanya Dokter Arif.

“I-Iya, Dok...”

Dokter Arif terkekeh, “Dapet apa dari Bu Winda? Tinju? Air?”

“Serangan bantal di muka, Dok...”

Spontan, Dokter Arif langsung tertawa terbahak-bahak, “Maaf ya, pasien saya rada bandel dikit. Dia punya ceritanya sendiri sih sebenarnya, tapi saya sendiri gak bisa menghadapi amukannya itu.” “Kamu... mau bantuin saya, Aisyah?”

Aisyah terdiam sejenak, Duh, kalo gue tolak... rasanya gak pantes sebagai perawat, kalo gue iya-in... energi gue bakal terkuras banyak lagi...

“Diemnya perempuan itu artinya iya, lho, Syah.”

Aisyah tersontak, “E-Eh, tapi...”

“Iya atau enggak?”

Gadis itu gelagapan, “A-Aduh...”

“1...2...”

“Dok, sebentar—”

“Oke, saya anggap kamu mau bantu saya! Kalo gitu kamu ikut saya ya sekarang, gimana kalo kita ngomongin soal pasien ini di kantin? atau di taman?”

Gadis malang itu hanya bisa menelan ludahnya bulat-bulat.

Aisyah... kamu bego banget.


“Bu Winda... punya hubungan yang kurang baik sama anaknya?”

Dokter Arif mengangguk kepalanya sambil lanjut melahap salad buahnya, “Iya, Bu Winda bercerai sama suaminya udah lama dan anak perempuannya itu tinggal sama Bu Winda, tapi... begitu anak perempuannya itu mau nikah sama laki-laki yang gak direstuin dia, hubungannya langsung runyam dan anaknya itu kabur cari pembelaan ke ayahnya.” “Kasihan sih, mana sekarang pas dia sakit, anaknya gak mau jenguk sama sekali. Kalau lagi tidur, sering banget Bu Winda nyebut nama anaknya.”

Hati Aisyah perih mendengarnya, bagaimana bisa ada seorang anak yang tega memperlakukan Ibunya sejahat itu hanya karena seorang laki-laki?

Dia gak tahu rasa sakitnya kehilangan seorang Ibu...

“Saya sudah kasih penanganan secara khusus untuk masalah psikisnya sih dengan bantuan Fira, tapi dianya aja bandel gitu susah minum obat dan gak mau ikut terapi,” Dokter Arif mendekat ke telinga Aisyah, “Saya mah mikirin duit buat biaya rumah sakitnya—”

“EHEM!!”

Keduanya tersontak dengan suara dehaman bariton yang menyergah kalimat Dokter Arif.

“Perlu ya nempel-nempel gitu di kantin umum? Kalian gak sadar kalo sekarang kalian lagi di gibahin sama orang-orang disini?” desis laki-laki bersurai hitam itu dengan jas putih yang terpasang name tag Dr. Naresh Ishaaq, Sp-KBD.

Dokter Arif tersenyum miring, “Di gibahin apa sih? Gue pacaran sama Aisyah? Kalo bisa ya kenapa enggak?”

Aisyah langsung melotot ke arah Dokter Arif.

“Bercanda, Aisyah...” Dokter Arif tak berhenti tertawa geli. Pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya sambil mengedip satu matanya ke arah Aisyah, “Kalo gitu, mohon bantuannya ya Aisyah...”

Aisyah hanya tersenyum pasi lalu menghela nafasnya lega setelah sosok Dokter Arif kian menghilang dari pandangannya.

TAK!!

Naresh menghentakkan nampan makanannya di hadapan Aisyah sontak membuat gadis itu kaget.

“Seneng ya? Bisa di halusin sama dokter ganteng kayak Arif gitu?”

Aisyah mendecak, “Apaan sih, siapa yang seneng?!”

“Gak usah bohong, mata kamu berbinar-binar tuh abis dibaperin sama Arif.”

“Enggak! Sotoy banget sih jadi orang?!”

TAK! Naresh menghentakkan sendoknya kencang, “Denger ya, Aisyah, ini lingkungan rumah sakit. Saya paling gak suka kalau ada adegan seperti tadi yang mengganggu pemandangan moral disini jadi tolong jaga sikap kamu!”

Aisyah menganga, Kok jadi kesannya gue yang godain Dokter Arif sih?! Jelas-jelas dia yang bertingkah!

“Gak usah melototin saya kayak gitu. Kamu bikin saya gak nafsu makan.”

Ya Allah... pengen mukul aja nih orang sampai metong boleh gak sih...

Aisyah dengan gugup mengetuk pintu kamar 446,

“GAK MAU!! KELUAR SANA KELUAARRR!!!”

Gadis itu langsung terperanjat dan betapa kagetnya ia begitu melihat Juwita yang lari terbirit-birit dari ruangan 446.

“Juwita?!”

“Duh, Aisyah, pas banget! Tolongin aku dong, huhuhu...”

Aisyah mengangguk mantap, dan Juwita langsung menyodorkan kereta dorong tingkat dimana disana ada alat-alat medis seperti suntikan, beberapa kantung dan tabung kecil yang sudah steril. Gadis itu hanya bisa menderu nafas pasrah.

“Permisi...” ucap Aisyah perlahan memasuki kamar kelas 1 itu.

“Siapa lagi nih curut?!” gertak wanita paruh baya yang usianya mungkin sudah sekitar 50 tahun, Aisyah hanya bisa mengelus dada begitu dirinya dikatain 'curut'.

“Maaf mengganggu waktunya, Bu... tapi sekarang sudah waktunya untuk ambil sampel darah—”

“GAK MAU!!!”

“Tapi—”

“Keluar!!!”

Aisyah menghela nafasnya panjang, “Oke deh kalo gitu... kita tunda dulu ya—”

“SAYA BILANG KELUAR!!! KELUAR GAK???!!!”

Tak segan-segan wanita paruh baya itu melempar bantalnya ke wajah Aisyah sampai Aisyah terdorong keluar dari kamar 446.

Ternyata memang sulit menghadapi pasien satu ini, Aisyah mau marah tapi sayangnya sudah tua. Bisa-bisa lisensi sumpah perawatnya bisa di cabut saat itu juga.

“Aisyah?”

Dokter Arif dari belakang kaget begitu melihat Aisyah yang berdiri mematung di depan ruangan pasiennya.

“Kamu abis dari kamar 446 sini?” tanya Dokter Arif.

“I-Iya, Dok...”

Dokter Arif terkekeh, “Dapet apa dari Bu Winda? Tinju? Air?”

“Serangan bantal di muka, Dok...”

Spontan, Dokter Arif langsung tertawa terbahak-bahak, “Maaf ya, pasien saya rada bandel dikit. Dia punya ceritanya sendiri sih sebenarnya, tapi saya sendiri gak bisa menghadapi amukannya itu.” “Kamu... mau bantuin saya, Aisyah?”

Aisyah terdiam sejenak, Duh, kalo gue tolak... rasanya gak pantes sebagai perawat, kalo gue iya-in... energi gue bakal terkuras banyak lagi...

“Diemnya perempuan itu artinya iya, lho, Syah.”

Aisyah tersontak, “E-Eh, tapi...”

“Iya atau enggak?”

Gadis itu gelagapan, “A-Aduh...”

“1...2...”

“Dok, sebentar—”

“Oke, saya anggap kamu mau bantu saya! Kalo gitu kamu ikut saya ya sekarang, gimana kalo kita ngomongin soal pasien ini di kantin? atau di taman?”

Gadis malang itu hanya bisa menelan ludahnya bulat-bulat.

Aisyah... kamu bego banget.


“Bu Winda... punya hubungan yang kurang baik sama anaknya?”

Dokter Arif mengangguk kepalanya sambil lanjut melahap salad buahnya, “Iya, Bu Winda bercerai sama suaminya udah lama dan anak perempuannya itu tinggal sama Bu Winda, tapi... begitu anak perempuannya itu mau nikah sama laki-laki yang gak direstuin dia, hubungannya langsung runyam dan anaknya itu kabur cari pembelaan ke ayahnya.” “Kasihan sih, mana sekarang pas dia sakit, anaknya gak mau jenguk sama sekali. Kalau lagi tidur, sering banget Bu Winda nyebut nama anaknya.”

Hati Aisyah perih mendengarnya, bagaimana bisa ada seorang anak yang tega memperlakukan Ibunya sejahat itu hanya karena seorang laki-laki?

Dia gak tahu rasa sakitnya kehilangan seorang Ibu...

“Saya sudah kasih penanganan secara khusus untuk masalah psikisnya sih dengan bantuan Fira, tapi dianya aja bandel gitu susah minum obat dan gak mau ikut terapi,” Dokter Arif mendekat ke telinga Aisyah, “Saya mah mikirin duit buat biaya rumah sakitnya—”

“EHEM!!”

Keduanya tersontak dengan suara dehaman bariton yang menyergah kalimat Dokter Arif.

“Perlu ya nempel-nempel gitu di kantin umum? Kalian gak sadar kalo sekarang kalian lagi di gibahin sama orang-orang disini?” desis laki-laki bersurai hitam itu dengan jas putih yang terpasang name tag Dr. Naresh Ishaaq, Sp-KBD.

Dokter Arif tersenyum miring, “Di gibahin apa sih? Gue pacaran sama Aisyah? Kalo bisa ya kenapa enggak?”

Aisyah langsung melotot ke arah Dokter Arif.

“Bercanda, Aisyah...” Dokter Arif tak berhenti tertawa geli. Pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya sambil mengedip satu matanya ke arah Aisyah, “Kalo gitu, mohon bantuannya ya Aisyah...”

Aisyah hanya tersenyum pasi lalu menghela nafasnya lega setelah sosok Dokter Arif kian menghilang dari pandangannya.

TAK!!

Naresh menghentakkan nampan makanannya di hadapan Aisyah sontak membuat gadis itu kaget.

“Seneng ya? Bisa di halusin sama dokter ganteng kayak Arif gitu?”

Aisyah mendecak, “Apaan sih, siapa yang seneng?!”

“Gak usah bohong, mata kamu berbinar-binar tuh abis dibaperin sama Arif.”

“Enggak! Sotoy banget sih jadi orang?!”

TAK! Naresh menghentakkan sendoknya kencang, “Denger ya, Aisyah, ini lingkungan rumah sakit. Saya paling gak suka kalau ada adegan seperti tadi yang mengganggu pemandangan moral disini jadi tolong jaga sikap kamu!”

Aisyah menganga, Kok jadi kesannya gue yang godain Dokter Arif sih?! Jelas-jelas dia yang bertingkah!

“Gak usah melototin saya kayak gitu. Kamu bikin saya gak nafsu makan.”

Ya Allah... pengen mukul aja nih orang sampai metong boleh gak sih...

Aisyah dengan gugup mengetuk pintu kamar 446,

“GAK MAU!! KELUAR SANA KELUAARRR!!!”

Gadis itu langsung terperanjat dan betapa kagetnya ia begitu melihat Juwita yang lari terbirit-birit dari ruangan 446.

“Juwita?!”

“Duh, Aisyah, pas banget! Tolongin aku dong, huhuhu...”

Aisyah mengangguk mantap, dan Juwita langsung menyodorkan kereta dorong tingkat dimana disana ada alat-alat medis seperti suntikan, beberapa kantung dan tabung kecil yang sudah steril. Gadis itu hanya bisa menderu nafas pasrah.

“Permisi...” ucap Aisyah perlahan memasuki kamar kelas 1 itu.

“Siapa lagi nih curut?!” gertak wanita paruh baya yang usianya mungkin sudah sekitar 50 tahun, Aisyah hanya bisa mengelus dada begitu dirinya dikatain 'curut'.

“Maaf mengganggu waktunya, Bu... tapi sekarang sudah waktunya untuk ambil sampel darah—”

“GAK MAU!!!”

“Tapi—”

“Keluar!!!”

Aisyah menghela nafasnya panjang, “Oke deh kalo gitu... kita tunda dulu ya—”

“SAYA BILANG KELUAR!!! KELUAR GAK???!!!”

Tak segan-segan wanita paruh baya itu melempar bantalnya ke wajah Aisyah hingga Aisyah terdorong ke belakang hingga keluar dari kamar 446.

Ternyata memang sulit menghadapi pasien satu ini, Aisyah mau marah tapi sayangnya sudah tua. Bisa-bisa lisensi sumpah perawatnya bisa di cabut saat itu juga.

“Aisyah?”

Dokter Arif dari belakang kaget begitu melihat Aisyah yang berdiri mematung di depan ruangan pasiennya.

“Kamu abis dari kamar 446 sini?” tanya Dokter Arif.

“I-Iya, Dok...”

Dokter Arif terkekeh, “Dapet apa dari Bu Winda? Tinju? Air?”

“Serangan bantal di muka, Dok...”

Spontan, Dokter Arif langsung tertawa terbahak-bahak, “Maaf ya, pasien saya rada bandel dikit. Dia punya ceritanya sendiri sih sebenarnya, tapi saya sendiri gak bisa menghadapi amukannya itu.” “Kamu... mau bantuin saya, Aisyah?”

Aisyah terdiam sejenak, Duh, kalo gue tolak... rasanya gak pantes sebagai perawat, kalo gue iya-in... energi gue bakal terkuras banyak lagi...

“Diemnya perempuan itu artinya iya, lho, Syah.”

Aisyah tersontak, “E-Eh, tapi...”

“Iya atau enggak?”

Gadis itu gelagapan, “A-Aduh...”

“1...2...”

“Dok, sebentar—”

“Oke, saya anggap kamu mau bantu saya! Kalo gitu kamu ikut saya ya sekarang, gimana kalo kita ngomongin soal pasien ini di kantin? atau di taman?”

Gadis malang itu hanya bisa menelan ludahnya bulat-bulat.

Aisyah... kamu bego banget.


“Bu Winda... punya hubungan yang kurang baik sama anaknya?”

Dokter Arif mengangguk kepalanya sambil lanjut melahap salad buahnya, “Iya, Bu Winda bercerai sama suaminya udah lama dan anak perempuannya itu tinggal sama Bu Winda, tapi... begitu anak perempuannya itu mau nikah sama laki-laki yang gak direstuin dia, hubungannya langsung runyam dan anaknya itu kabur cari pembelaan ke ayahnya.” “Kasihan sih, mana sekarang pas dia sakit, anaknya gak mau jenguk sama sekali. Kalau lagi tidur, sering banget Bu Winda nyebut nama anaknya.”

Hati Aisyah perih mendengarnya, bagaimana bisa ada seorang anak yang tega memperlakukan Ibunya sejahat itu hanya karena seorang laki-laki?

Dia gak tahu rasa sakitnya kehilangan seorang Ibu...

“Saya sudah kasih penanganan secara khusus untuk masalah psikisnya sih dengan bantuan Fira, tapi dianya aja bandel gitu susah minum obat dan gak mau ikut terapi,” Dokter Arif mendekat ke telinga Aisyah, “Saya mah mikirin duit buat biaya rumah sakitnya—”

“EHEM!!”

Keduanya tersontak dengan suara dehaman bariton yang menyergah kalimat Dokter Arif.

“Perlu ya nempel-nempel gitu di kantin umum? Kalian gak sadar kalo sekarang kalian lagi di gibahin sama orang-orang disini?” desis laki-laki bersurai hitam itu dengan jas putih yang terpasang name tag Dr. Naresh Ishaaq, Sp-KBD.

Dokter Arif tersenyum miring, “Di gibahin apa sih? Gue pacaran sama Aisyah? Kalo bisa ya kenapa enggak?”

Aisyah langsung melotot ke arah Dokter Arif.

“Bercanda, Aisyah...” Dokter Arif tak berhenti tertawa geli. Pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya sambil mengedip satu matanya ke arah Aisyah, “Kalo gitu, mohon bantuannya ya Aisyah...”

Aisyah hanya tersenyum pasi lalu menghela nafasnya lega setelah sosok Dokter Arif kian menghilang dari pandangannya.

TAK!!

Naresh menghentakkan nampan makanannya di hadapan Aisyah sontak membuat gadis itu kaget.

“Seneng ya? Bisa di halusin sama dokter ganteng kayak Arif gitu?”

Aisyah mendecak, “Apaan sih, siapa yang seneng?!”

“Gak usah bohong, mata kamu berbinar-binar tuh abis dibaperin sama Arif.”

“Enggak! Sotoy banget sih jadi orang?!”

TAK! Naresh menghentakkan sendoknya kencang, “Denger ya, Aisyah, ini lingkungan rumah sakit. Saya paling gak suka kalau ada adegan seperti tadi yang mengganggu pemandangan moral disini jadi tolong jaga sikap kamu!”

Aisyah menganga, Kok jadi kesannya gue yang godain Dokter Arif sih?! Jelas-jelas dia yang bertingkah!

“Gak usah melototin saya kayak gitu. Kamu bikin saya gak nafsu makan.”

Ya Allah... pengen mukul aja nih orang sampai metong boleh gak sih...

Di kediaman Haidar, suasana hangat keluarga mereka kini kembali. Meskipun Anela sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi ia harus istirahat total dan menjaga ketat makanannya, tentu saja Haidar sang suami yang akhirnya mengambil alih sementara semua pekerjaan rumah disini dengan bantuan Aisyah dan Mpok Yati.

“Mas... ngopi dulu sini udah aku buatin,” sahut Anela dengan suara lembutnya. Yang dipanggil kaget begitu istrinya malah membawa kopi untuknya di saat ia harusnya beristirahat.

“Maryam, kamu jangan banyak gerak dulu! Duduk sini!” ujar Haidar sambil menepuk kursi di sampingnya dan Anela otomatis duduk disana lalu menyandarkan kepalanya di bahu lebar sang suami.

Aisyah dari belakang terhenyak dengan momen romantis antara Haidar dan Anela disana. Hatinya berbisik bahwa ia juga menginginkan momen itu terjadi pada dirinya...

Sekelibat bayangan wajah Naresh hadir di kepalanya.

Cepat-cepat Aisyah menepis pikirannya dan kembali fokus menata meja makan, Kok bisa-bisanya sih gue ngebayangin dia?! Argh, kacau banget!!

“Aisyah, sini biar Mama yang bawa ayamnya,” Mama Anela langsung mengambil makanan yang di bawa Aisyah, “Kamu kok bengong gitu, ada apa nak?”

Keluarga Anela memang sudah seperti keluarga Aisyah juga. Papa-Mama Anela yang mengetahui Aisyah ini anak yatim-piatu, mereka berusaha memposisikan dirinya sebagai orang tua Aisyah juga, bahkan mereka menghadiri wisuda Aisyah dari kelulusan SMA sampai Sarjana.

“A-Ah enggak, Mah...”

Mama Anela tersenyum penuh arti, “Kamu cantik sekali hari ini, kok pake dandan segala mau makan malam keluarga?” “Karena ada Dokter Naresh ya?”

Aisyah langsung menganga kaget begitu Mama Anela menebak situasi dirinya, “E-Enggak, kok! Ya-ya... Aisyah mau dandan aja, Ma!”

“Masa? Mama denger dari Anela, kamu deket sama Dokter Naresh, makanya Mama berani undang Dokter Naresh karena dia deket sama kamu. Jadi gak canggung-canggung amat lah, ada topik sedikit, ya gak, Syah? Hihihi”

Oh ternyata ini semua karena mulut embernya Anela.

“Mama ih... Aisyah deket sama Dokter Naresh sebagai rekan kerja aja, bukan yang lain...”

“Kalo yang lain juga gapapa, toh kamu udah cukup usianya untuk menikah. Anela aja menikah di usia 20, Syah.”

“Mama...!!”

Mama Anela terpingkal-pingkal melihat reaksi Aisyah yang terus di buat salah tingkah karena topik Naresh.

“Assalamualaikum...”

Suara bariton dari pintu depan membuat Aisyah terperanjat di tempat. Cepat-cepat gadis itu menyelesaikan pekerjaannya dan bersembunyi dulu di kamarnya. Sosok Naresh dengan setelan jas hitam dan kemeja biru dongker di dalamnya itu berjalan gagah sambil membawa satu cake besar untuk keluarga Anela.

“Wah, Dokter... repot-repot bawa cake segala nih...” sambut Mama Anela.

“Iya, Tante... gak enak kalo saya tangan kosong kesini, hahaha...”

“Sebentar ya, Aisyah sayang... keluar nak, ini Dokter Naresh udah dateng...!” Mama Anela ketawa cekikikan, “Dokter silahkan duduk disitu, sebentar lagi semuanya udah siap dan kita bisa mulai makan malamnya!”

“Ah iya, baik, Tante, terima kasih...”

Mama Anela pergi lagi ke dapur belakang, dan begitu Naresh menoleh ke arah belakang, matanya terbelelak lebar dengan kehadiran Aisyah dengan gamis cantik berwarna putih dan kerudung pashmina berwarna pink pastel modis. Gadis itu terlihat sangat cantik di matanya.

“Ehem.”

Dehaman singkat Haidar langsung menyadarkan Naresh dari lamunannya. Seperti biasa, sang kakak yang siap siaga itu sudah mencium niat lelaki ini terhadap adik perempuan semata wayangnya itu.

“Wah, Res, rapih betul kamu padahal cuman casual dinner kayak gini,” cicir Haidar.

“Hahaha, buat saya mah casual dinner tetep harus rapih, Bang,” Naresh mendekat ke Haidar, “Cuman kurang seserahan aja, Bang.”

“Naresh saya gak segan-segan pukul kamu disini jangan bikin saya naik pitam.”

Naresh tertawa terbahak-bahak.

“Ih, Mas Haidar! Kok kamu galak gitu sih sama Naresh?!” dari kejauhan sana Anela bisa melihat suaminya itu sedang mengecam Naresh, “Kasihan Aisyah, nanti kalo dia susah nikah, kamu yang repot lho!”

“Lho, justru disini saya uji mentalnya, kalau dia bisa menghadapi saya dan datang melamar langsung Aisyah di hadapan saya, berarti dia udah lolos dari penyeleksian saya.”

Dengan ketawa miringnya, Naresh menjawab, “Yah gawat, Bang, kalau gitu mah, saya udah dapet free pass langsung. Saya kan udah ngadepin galaknya Bang Haidar bertahun-tahun.”

Haidar mendecih, “Kalau gitu kita adu fisik aja, mau di belakang?”

Naresh tertawa lagi sampai menepuk bahunya Haidar dan Haidar sendiri juga menanggapinya dengan bercanda. Segalak-galaknya Haidar memperlakukan Naresh, pria berusia 34 tahun itu sangat bangga memiliki murid seperti Naresh. Di memorinya ia masih ingat betul bagaimana pemuda itu berusaha keras untuk belajar membaca Al-Qur'an, menghafalnya hingga tamat lalu mengkajinya sama-sama. Pemuda ini memiliki sedikit kesamaan dengan sosok istrinya, yaitu gigih dalam berhijrah. Haidar pikir, dulu Naresh hanya main-main mau belajar Al-Qur'an karena ingin menggoda adiknya tapi ternyata dia salah.

Bisa jadi hafalan Naresh sekarang sudah jauh lebih banyak di banding Aisyah.

Akhirnya acara makan malam di mulai, Haidar seperti biasa yang memimpin doa sekaligus memberikan sedikit sambutan kepada Naresh sebagai tamu disana, lalu setelah selesai akhirnya Aisyah dan Mama Anela menyajikan nasinya satu per satu.

“Ah, Maaf, Aisyah... saya gak banyak makan nasi kalau malam. Satu centong aja cukup,” pinta Naresh, diikuti oleh anggukan Aisyah dan gadis itu langsung menyajikan sepiring nasi sesuai permintaan Naresh.

Anela sejak tadi gak berhenti tertawa geli melihat kebersamaan adik iparnya bersama pemuda di sampingnya. Aisyah dengan telitinya mengambil lauk pauk untuk Naresh bak pasangan suami-istri baru menikah.

“Kamu kenapa sih, dek? Ketawa-ketawa sendiri gitu,” bisik Haidar.

“Lihat deh, Mas, lucu banget gak sih, Naresh sama Aisyah? Aku gemes banget...” balas Anela.

Haidar ikut menatap momen kebersamaan Aisyah bersama Naresh, memang pria itu bisa merasakan aura kasmaran antara mereka itu sangat kuat, tapi tetap saja... jangan pikir dia bisa melaluinya dengan mudah untuk mendapatkan hati adik kesayangannya itu.

“Dokter Naresh,” panggil Papa Anela.

“Iya, Om?” yang dipanggil menyahut.

“Kamu sudah menikah?”

Ohok! Naresh langsung tersedak kecil dan cepat meneguk minumnya, “Be-belum, Om...”

“Punya gandengan? Pacar?”

“E-Enggak, Om...”

“Serius?”

“Iya...”

Papa Anela menoleh ke Aisyah, “Kalau gitu, sedekat apa hubungan kamu sama Aisyah?”

Aisyah melotot ke arah Papa Anela, “Pa-Papa...!”

Naresh memandang kedua netra gadis cantik di sampingnya itu penuh arti, “Sedekat apa ya? Aisyah itu perawat junior di rumah sakit kami dan kebetulan kita sering kerja bareng jadi ya hubungan kita memang lebih dekat dari yang lainnya, Om.”

Papa Anela hanya menjawab oh ria, Mama Anela yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik keduanya itu tak puas dengan jawaban Naresh barusan, tapi biarlah waktu yang menjawab nanti. Siapa tahu jawaban itu akan berubah menjadi lebih spesial dari sebelumnya.

Setelah makan malam selesai, Naresh di ajak ngobrol oleh Haidar di taman belakang rumahnya dengan secangkir kopi susu yang di hidangkan Mpok Yati.

“Alhamdulillah, sekarang istri saya sudah sehat dan sedikit lagi menjalani pengobatan untuk penyakitnya. Terima kasih, Res, untuk bantuannya selama ini,” Mereka saling menjabat tangan.

“Sama-sama, Bang, semoga Anela sehat selalu ya.”

Mereka tertawa kecil bersama.

“Res.”

“Ya, Bang?”

“Kamu suka sama Aisyah?”

Naresh tersontak dengan pertanyaan to-the-point Haidar.

“Jawab aja yang jujur, saya gak mood mukulin orang kok.”

Naresh terkekeh, “Hmm... gimana ya,” Naresh menggaruk kepalanya bingung.

“Jawab iya apa enggak, susah amat sih.”

Pemuda itu menghela nafas panjang, “Iya, Bang... saya... suka sama Aisyah.”

Haidar memposisikan tubuhnya, “Mau bagian mana dulu, Res?”

“Apanya?”

“Yang mau saya pukul.”

Keduanya tertawa renyah, “Bercanda, saya paham” lanjut Haidar sambil meneguk kopinya, “Kalau gitu banyak hal yang harus saya kasih tahu soal Aisyah.” “Aisyah itu... adik saya yang ceroboh dan tidak peka. Dari kecil, anak itu di manja oleh orang tuanya beda dengan saya yang di didik untuk menjadi punggung harapan keluarga, tapi semenjak kedua orang tua kami meninggal dunia... Aisyah berusaha kuat sendirian dan menjadi mandiri dengan kekuatannya sendiri. Saya ingat betul, dulu Aisyah tuh ikut acara pentas seni waktu kelas 5 SD jadi harus menampilkan karya seni di atas panggung dan kebetulan itu bertepatan dengan hari ibu, maka karya seninya itu harus bertemakan kasih sayang seorang ibu. Semua teman-temannya mengajak ibunya untuk naik di atas panggung dan menampilkan betapa sayangnya mereka kepada ibu mereka tapi Aisyah, dia gak bisa. Dia cuman bawa selembar foto kebersamaannya waktu kecil dengan Umi, lalu melantunkan surat Ar-Rahman dengan merdu. Begitu selesai, dia lari memeluk saya dan menangis meraung-raung karena merindukan Ibunya. Dia bilang, dia gak bisa mempersembahkan puisi atau sajak untuk Ibunya tapi ia hanya bisa mempersembahkan hafalannya di atas panggung untuk kebahagiaan Ibunya di syurga.” “Sejak saat itu Aisyah bertekad, bahwa ia harus kuat bertahan hidup menjadi anak yang mandiri, gak banyak rewel bahkan dia suka memendam kesedihannya sendiri. Kamu inget kan waktu dulu Aisyah di sakit di IGD rumah sakit waktu itu?”

“Oh iya, inget, Bang...”

“Itu karena dia berantem sama saya dan kebetulan sekali, saya dapat SMS dari pesantrennya bahwa Aisyah itu habis terkena masalah dengan kawan sekamarnya. Seharusnya Aisyah gak libur dulu pada saat itu, tapi gurunya yang minta Aisyah untuk menenangkan diri di rumahnya. Jadi sebenarnya tuh dia bawa masalah dari pondok ke rumah, tapi dia pendam sendiri dulu, mana lagi itu bertepatan Abi saya meninggal.” “Ya ternyata adik saya melalui banyak hal berat selama ini, jadi... saya sebagai Abang harus bertanggung jawab melindungi adik saya agar tidak tersakiti sedikit pun apalagi oleh laki-laki.” “Saya paling gak mau adik saya merasakan sakitnya patah hati, makanya saya pantau terus laki-laki yang dekat dengan Aisyah. Setidaknya saya harus tahu siapa orang itu, kalau misalnya adik saya kenapa-kenapa karena laki-laki itu, saya bisa langsung gebukin dia.”

Wah, gila... kalau cowok lain yang deketin Aisyah mah bisa dibuat ketar-ketir gara-gara Bang Haidar.

“Saya ngomong gini bukan untuk menakut-nakuti kamu, Res, tapi kalau seandainya kamu memang suka dengan adik saya dan punya niat serius dengan adik saya, saya mohon dengan sangat... jaga hatinya. Aisyah itu kelihatannya aja kayak cuek bebek, tapi aslinya dia sangat sensitif. Dia sering sekali mendahulukan orang dibandingkan dirinya.”

Naresh menarik nafasnya panjang.

“Iya, Bang... saya paham.”

“Jadi kapan?”

“Kapan... apanya?”

“Datang kesini lagi untuk melamar?”

Pertanyaan Haidar lagi-lagi menohok dada pemuda bermata hazel itu.

“Sebentar lagi, begitu semua urusan saya selesai, saya akan langsung datang kesini untuk melamar, Bang.”

“Kira-kira urusan apa itu yang lebih penting daripada urusan hati adik saya?”

Naresh tersenyum simpul, “Saya harus mengusut satu dua hal menyangkut masa depan rumah sakit keluarga saya dan juga... ibu saya.” “Ah ya, Bang, kalau boleh... kita diskusi bisa? Maksudnya, banyak hal yang ingin saya diskusikan sama Bang Haidar soal bisnis karena kebetulan rumah sakit saya kerjasama dengan perusahaan farmasi milik Pak Indra sejak lama.”

Haidar langsung menderu desahnya, “Hah... justru itu, Res, kondisi perusahaan kacau karena ada transaksi tak terduga dari orang kepercayaan saya. Jadi saya masih harus menstabilkan dulu kondisi perusahaan sebelum terima proyek-proyek lain.”

“Ah bukan, Bang, ini bukan minta kerjasama tapi ada sesuatu yang di usut.”

“Apa itu?”

“Abang tahu Perusahaan Farmasi Yeoreum dari Korea kan?”

Mata Haidar langsung membulat sempurna, “Ka-Kamu tahu perusahaan itu?!”

“Iya, saya lagi mengusut perusahaan itu jadi... banyak hal yang mau saya diskusikan dengan Bang Haidar nanti.” “Sekarang sudah malam soalnya jadi saya harus pulang.”

Haidar langsung menatap jam arlojinya, “Ah iya, sudah pukul 10 malam lagi. Yaudah kalau gitu hubungi saya aja kalo perlu sesuatu.”

Mereka saling menjabat tangan, “Iya, Bang, terima kasih banyak.”

“Kamu harus camkan betul kata-kata saya tadi soal Aisyah.”

“Iya, Bang, Inshaa Allah saya akan selalu inget kata-kata Bang Haidar.” “Kalau gitu saya pamit ya, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Naresh mempercepat langkahnya menuju ruangan utama dan berpamitan dengan orang-orang disana.

“Syah, saya pamit pulang, sampai ketemu besok di rumah sakit.”

“Iya, Dok, hati-hati.”

Pemuda itu mengulum senyum leganya, satu per satu urusannya mulai tertangani. Haidar bisa ia ajak kerjasama untuk mengusur kasusnya, semoga dengan itu, seluruh tikus yang mengusik hidupnya selama ini terbrantas sempurna sampai ke akar-akarnya.

Rangga... sebentar lagi tamat riwayat lo...

Dalam sujudnya, satu bulir air mata Naresh jatuh membasahi sajadahnya. Hatinya mengaduh bahwa ia memiliki ketakutan yang besar untuk operasi hari ini.

”... Assalamualaikum... Warrahmatullahi... Wabarakatuh...”

Naresh mengusap wajahnya, dan di detik ia memejam matanya untuk berdoa.

”... Aisyah disini.”

Pemuda itu memencak matanya, bayang-bayang senyuman lebar Aisyah yang seolah memberinya kekuatan, suara lembutnya yang jika ia ingat kembali itu dapat menenangkan hatinya.

Banyak sekali senyuman orang-orang sekitarnya yang selalu mengatakan bahwa Naresh adalah dokter hebat. Kalimat itu seolah muncul lagi di kepalanya, dan menguatkan hatinya untuk menghadapi ketakutannya.

Bismillah, Naresh, lo punya Tuhan yang selalu ada di samping lo, apapun itu asalkan Allah bersama kita, semuanya bisa kita hadapi.

Naresh berdiri dan menarik sajadahnya itu pergi.

Ia keluar dengan langkah gagah dan wajah lurusnya.


“Aisyah, kamu disini ya dampingi aja Bang Haidar dan si kembar, mereka sangat khawatir dengan Anela jadi tolong tenangin mereka.”

“Baik, Dokter.”

Detik-detik menuju operasi, Naresh dengan pakaian serba hijaunya ia membersihkan tangannya terlebih dahulu dan mempersiapkan dirinya untuk melakukan operasi.

“Dok, pasien sudah siap di bawa ke ruang operasi.”

Naresh mengangguk mantap. Ia menghampiri Anela yang kini masih terbaring menatap langit-langit ruangannya.

“Nel, siap ya?”

“Siap, Dokter Naresh.”

Naresh terkekeh, “Siap banget suaranya, bagus, bagus pertahankan ya optimisnya.”

Anela ikut tertawa pelan, “Iya dong, karena di bayangan gue sekarang itu bagaimana nanti gue sembuh... terus masakin makanan lagi yang banyak untuk keluarga gue... gue harus optimis sembuh, Res.” “Ah, kalo gue udah sembuh nanti, mau ya gue undang buat makan malem sama-sama? Gue pastiin deh menunya spesial khusus Dokter Naresh.”

Naresh terhenyak dengan sifat optimis yang dimiliki pasien sekaligus kawan lamanya itu, rasanya tidak adil kalau optimisnya Anela ini harus runtuh karena ketakutan sang dokter yang akan menanganinya. Harapan itu harus Naresh jadikan sebagai dorongan untuk dirinya melawan rasa takut yang berkecamuk di dadanya.

“Bener ya, Nel, lo harus sembuh... karena gue bakal tagih janji lo nanti,” ujar pemuda itu lirih.

Anela tertawa cengir, “Siap.”

Tak lama kemudian, Naresh bersama rekan medis lainnya membawa tubuh Anela ke dalam ruang operasi untuk melangsungkan operasinya. Dalam hati, pria itu berdoa untuk kelancarannya hari ini.

Ia yakin, Allah akan senantiasa selalu melancarkan segala urusannya.


Aisyah bersama Haidar dan kedua buah hatinya, gadis itu duduk termenung mengkhawatirkan kondisi kakak iparnya yang sedang di tindak operasi. Haidar di sampingnya juga tak bisa berhenti menghela nafas kasarnya, bibirnya terus mengucap kalimat istigfar dan kakinya bergetar hebat.

“Bang...” lirih Aisyah sambil menepuk bahu Abangnya.

“Syah, Maryam baik-baik aja kan di dalam sana? Maryam pasti sembuh kan?” Haidar menggenggam erat kedua tangan adiknya itu, Aisyah hanya bisa mengatup bibirnya, ia tak bisa jawab pasti pertanyaan kakaknya itu.

Sudah berapa jam mereka disini, dan Dokter Naresh masih belum keluar juga dari ruangannya.

Ibra dan Mina, mereka memeluk mainannya masing-masing untuk menghilangkan keresahan hatinya. Anak seusianya sudah paham kalau saat ini sang Ibunda sedang berjuang melawan penyakit ganasnya.

“Mina...”

“Kenapa, Bra?”

“Umi sembuh kan...”

Mina mengangguk, “Umi pasti sembuh kok...”

“Kalo Umi sembuh, Ibra janji makan sayur buatan Umi lagi, gak nakal jajan ramen terus...”

“Iya, Ibra... Mina juga janji nanti Mina gak nakal lagi sama Umi... Nurut sama Umi...”

Mereka saling mengaitkan jari kelingkingnya, berjanji bahwa mereka akan lebih memperlakukan Ibundanya dengan baik ke depannya.

DREK!

Naresh dari ujung pintu sana membuka maskernya dan menyeka keningnya yang berkeringat. Haidar langsung mempercepat langkahnya menghampiri Naresh dan rekan medis di belakangnya itu.

“Re-Res, Maryam... gimana?”

Naresh menghela nafas panjang.

“Alhamdulillah, operasi lancar, semuanya lancar, sekarang Anela masih di bawah pengaruh biusnya jadi mungkin sejam dua jam lagi dia baru bisa bangun. Kalo udah stabil kondisinya, nanti baru bisa di bawa ke ruangan biasa.” “Jujur aja, ini mukjizat besar dari Allah, sebelumnya saya belum pernah melakukan operasi sampai selancar ini... saya harap ini memperbesar harapan Anela untuk sembuh bahkan kalau bisa sembuh total. Semoga Allah mengizinkan.”

Haidar mengucap syukur sampai air matanya mengalir deras. Aisyah juga ikut menangis haru, ia memeluk si kembar erat-erat dan keduanya juga ikut ramai mengucapkan kalimat hamdalah.

Naresh ikut tersenyum lebar melihat keluarga di hadapannya ini mendapat harapan baru untuk Anela. Netranya tertuju ke arah Aisyah, “Aisyah bisa ikut saya sebentar?”

Aisyah mendelik dan ia mengikuti aba-aba Naresh untuk pergi mengikutinya.

“Kenapa, Dok?”

Naresh masih tak melepas senyum lebarnya, tangan besarnya itu meraih pucuk kepala Aisyah yang di balut hijab hijau pastelnya.

“Terima kasih sudah membantu saya banyak hal.”

Wajah Aisyah langsung memerah tomat, matanya berbinar-binar begitu ia merasakan tangan besar Naresh terus menepuk pelan kepalanya. Gadis itu tak mampu membalas tatapan lembut pria di hadapannya.

“Ah enggak... saya gak banyak bantu apa-apa kok sama Dokter...”

“Kamu banyak bantu saya, Aisyah... saya bersyukur kamu bisa hadir di kehidupan saya sekarang.”

Jantung Aisyah lagi-lagi berdegup kencang tak karuan.

Begitu Naresh membalik badan dan pergi meninggalkannya. Aisyah sudah hampir tak bisa bernafas karena tempo detakkan jantungnya yang terus merujam dadanya.

Ya Allah... kenapa sih Kak Naresh hobi banget bikin Aisyah deg-degan gini sih?!

“Nih totalnya ada 30 rekaman, gede-gede ukuran filenya sampai 150 GB sendiri. Mending lo dengerinnya pake headphone terutama rekaman bokap lo, Res.” ujar Jovian panjang lebar.

“Lo udah dengerin semuanya, Jov? Kira-kira apa kesimpulannya?” tanya Naresh.

“Mending dengerin dulu, nanti lo simpulkan sendiri aja.”

Naresh memakai headphone-nya dan matanya melotot begitu tangan usil Jovian sengaja memakaikan headphone ke kepala Aisyah seolah sengaja membuat pemuda itu hatinya panas.

“Heh, emang dia masih bayi apa? Segala harus dipakein headphone,” cetus Naresh jengkel.

Jovian tersenyum miring, “Aisyah kan disini jadi tuan putri, Res, harus di layani baik-baik.”

Ingin sekali rasanya Naresh memukul wajah usil Jovian yang terus menggodanya sampai ingin darah tinggi. Naresh yang emosian dan Jovian yang usil adalah perpaduan yang pas untuk memulai perang dunia.

Akhirnya untuk mengalihkan perhatian Naresh dari topik Aisyah, tanpa aba-aba Jovian langsung menyalakan rekaman suara di laptopnya.

“SUDAH SAYA BILANG SAYA GAK MAU INVESTASI KE PERUSAHAAN FARMASI ITU KAN???!!!”

Naresh dan Aisyah tersontak begitu mendengar suara Haidar yang terekam sempurna disana, Haidar yang tak pernah marah sedikitpun, terdengar dari suara rekaman itu ia sedang menggertak seseorang.

“Maaf, nak Haidar, kalau kita terus stuck di pasar—”

“DISINI ATASANNYA SIAPA?! ANDA ATAU SAYA?!” “Pak Romi, saya memang bukan lulusan sekolah bisnis tapi setidaknya saya tahu mana perusahaan yang pantas untuk di ajak kerjasama mana yang tidak! Saya sudah menerapkan sistem syariah itu UNTUK MENGHINDARI JENIS TRANSAKSI GELAP SEPERTI INI! Anda ingin menjatuhkan perusahaan Eyang yang sudah di bangun berpuluh-puluh tahun ke dalam jurang?!”

“Nak Haidar, saya sudah bekerja dengan almarhum Eyang berpuluh-puluh tahun dari nona Anela kecil sampai detik ini saya bekerja untuk nak Haidar. Saya sudah membaca fluktuasi harga saham perusahaan dan mempelajarinya agar bisa mencapai nilai pasar tertinggi dan keuntungannya pun untuk memajukan perusahaan ini! Apa nak Haidar ingin menjatuhkan julukan 'Macan Asia' almarhum Pak Indra yang sudah beliau bangun berpuluh-puluh tahun?!”

“Saya bukan mau menaikkan atau menjatuhkan julukan itu tapi saya di amanahkan oleh almarhum Eyang untuk menstabilkan perusahaan dengan CARA SYARIAH, beliau sudah tak mau perusahaannya terlibat dengan politik kotor.”

“Nak Haidar, ini bukan sekedar politik biasa untuk meluaskan pasar—”

“Istri saya sedang sakit, saya harus fokus mendampinginya dan itu juga bagian dari amanah saya, Pak Romi, anda tahu betapa beratnya amanah yang saat ini ada di punggung saya? Menjadi direktur dalam perusahaan itu bukan keinginan saya seutuhnya, saya salah gerak sedikit saja itu bisa mengancam saya dan keluarga saya, Pak Romi.”

Percakapan Haidar dan Pak Romi terhenti lama. Naresh dan Aisyah menahan nafasnya saking tegang terbawa suasana mencekam antara Haidar dan Pak Romi.

“Tolong pisahkan urusan bisnis dengan keluarga, nak Haidar.”

Percakapan terhenti disitu. Naresh dan Aisyah termenung lama, ternyata benar Haidar di jebak oleh orang terpercayanya, yaitu Pak Romi.

“Bang Haidar udah tahu soal kasus itu jadinya, Jov?”

“Belum, Res, dari Bang Haidar sendiri belum banyak informasi di rekamannya. Karena dia cuman ngajar, ngobrol sama istrinya dan bicara bisnisnya sama Papanya Anela, bukan Pak Romi.” “Sebenarnya kesalahan Bang Haidar satu, dia terlalu mempercayakan tugasnya dengan orang terpercaya, ya Pak Romi soalnya udah kayak keluarga sendiri kan buat keluarganya Anela. Ternyata, Pak Romi bisa berkhianat.”

Jovian kembali mencari rekaman lainnya, “Tapi, Res, lo harus denger yang ini sih.”

KLIK! Jovian mengklik rekamannya.

“Ikutin arahan saya kalau kamu mau bersih, Romi.”

Mata Naresh memencak begitu nada suara Rangga muncul di headphone.

“Semua pihak hukum sudah berpihak dengan kita, kekuatan Haidar tidak sebesar itu untuk melawan kita.” “Dia hanya pemuda naif yang mematok segalanya dengan agama, sampai lupa kalau dunia terlalu jahat untuk itu.” “Soal Haidar akan menjadi urusan saya, sekarang kita fokus untuk menyalurkan dana anggaran untuk para peneliti agar mereka membungkam mulutnya.” “Tenang saja, Romi, sebentar lagi percobaan obat kita akan segera terlaksana...”

Naresh membulatkan matanya.

“Kita akan mencobanya langsung dari pihak direktur...” “Sebentar lagi istrinya Haidar akan di operasi anak saya kan?”

DUAKK!!! Naresh membanting headphone itu keras hingga hancur di atas lantai. Wajahnya memerah geram dengan nafasnya yang tersengal-sengal, pria itu mengumpat bahkan mengutuk Papa tirinya, “Rangga brengsek...!!!”

Aisyah sendiri masih tidak menyangka dengan kejahatan yang di perbuat Pak Romi dan Dokter Rangga, “Do-Dokter... Kak Anela gimana, Dok?! Kenapa mereka jadi targetin Kak Anela?!”

Naresh masih tak menjawab, seluruh aliran darahnya memanas sampai ke kepalanya, rasanya pria itu ingin segera menghampiri Papa tirinya dan menghabisinya detik itu juga.

“Gue udah buat beberapa rangkuman dari semua rekamannya, sampai detik ini, data yang bisa kita dapetin cuman sampai sini aja.” “Mulai sekarang lo harus waspada dengan obat-obat yang ada di bagian farmasi, bokap lo masih menargetkan pengedaran obatnya melalui obat bius untuk bedah jadi pastiin jenis obatnya jangan sampai kita kelolosan, Res.”

Naresh hanya bergeming dengan sejuta strategi yang ia pikirkan dalam otaknya.

Terutama soal operasinya nanti untuk Anela.

Gue gak boleh lengah, keadilan harus segera kita tegakkan.