Selamat Tahun Baru, Ma
Pagi-pagi pukul 7, di temani oleh desiran angin pagi dan mentari hangat di tengah ladang rerumputan hijau. Disana ada satu tempat makam yang bertempat sendiri, menuliskan nama Ibunda dari Abi dan pemuda itu sudah menghabiskan waktunya disana selama sejam.
“Mah, Abi benci banget sendirian kayak gini, sumpah,” Abi mulai bercuap, ia sudah meneguk habis susu coklatnya dan meletakkan di samping susu kotak yang Abi sengaja bawakan seolah itu untuk Mamanya, “Tahun baru hari ini kacau banget, Mah, hahaha... Kayaknya 2020 ini jadi tahun terburuk Abi deh, bayangin aja, Mah, pertama Abi kehilangan Mama dan sekarang Abi kehilangan Bella.” “Sekarang Abi punya siapa lagi, Mah?”
Abi meremas kuat-kuat kotak susu bekasnya, “Abi... sekuat apa sih, Mah?”
Pertahanan pemuda malang itu akhirnya runtuh juga, ia mulai menjatuhkan satu air matanya dan tetes tiap tetesnya berubah jadi mengalir deras. Isakkan kencang Abi mulai terdengar sangat kencang, tapi untungnya disana tak ada siapapun yang mendengar tangisan laki-laki itu. Abi bisa malu setengah mati kalau ada yang menangkap basah dirinya yang sedang melemah ini.
“Mah... gak bisa pulang bentar, Mah...? Sebentar aja, pas Abi mau tidur aja gitu? Abi kangen banget di elus kepalanya sama Mama, sentuhan hangat Mama itu obat bagi segala rasa sakit yang Abi rasain sekarang... Abi mohon, Mah...”
Abi menengkuk wajahnya, menciumi batu nisan Ibundanya sambil terisak-isak, lalu merapihkan lagi 3 buket bunga yang ia bawa.
“Abi sengaja bawa 3 bunga ini, satu untuk Papa, satu untuk Mama, satu untuk cinta Abi yang akhirnya pupus...” Abi terkekeh di tengah tangisnya, “Iya, Mah, cinta Abi sama Bella udah pupus. Sumber kekuatan Abi udah gak ada, sekarang Abi cuman punya diri sendiri aja untuk bertahan hidup disini.”
Abi tak lupa membawa satu lembar fotonya bersama sang Ibunda, lalu Papih Mamihnya Bella bersama Bella juga. Ia letakkan di atas ketiga buket bunga itu perlahan.
“Kalian semua adalah harta yang paling berharga dalam hidup Abi...” “Terima kasih sudah mau menjadi bagian hidup Abi, semoga kalian bahagia selalu...”
Abi berdiri dari tempatnya, ia mengusap cepat wajahnya dan ia bergedik kaget dengan getaran ponselnya yang ada di saku celana jeansnya.
Agus is calling...
“Halo, Gus?”
“Heh koplok, dimana?”
“Di tempat Mama.”
“Sharelock jing, aing kesana.”
“Gausah anjir, bentar lagi gue balik.”
”... Maneh abis nangis, Bi?”
Abi kaget begitu Agus menyadari suaranya yang bergetat, “Kagak, pilek gua. Dingin banget disini.”
Agus bergeming lama di telepon, “Abidzar.”
“Oit?”
“Mulai sekarang, kalo ada apa-apa hubungin gua. Lo gak sendiri.” “Buruan balik, jangan nangis di tempat nyokap lo. Mending kita ngopi di bukit belakang sekolah, terserah maneh sambil mewek disana oge.”
Seketika hati Abi gusar, perhatian kecil Agus sukses menyentuh luka batin Abi yang merasa kosong karena kehilangan banyak orang terkasihnya.
Secercah harapan mulai menyapanya.
Abi sekuat tenaga agar tidak menangis di telepon, “Iya, Gus, urang otw...” “Makasih banyak, udah mau jadi temen urang, Gus...”