shinelyght

CW // Mentioning Sexual Harassment, Toxic Relationship, Sensitive Topic.

“E-E-ERIKA TSABITA???!!!”

Kehadiran Erika di rumah Shashi tentunya disambut sangat antusias oleh Riana dimana ia juga sangat menyukai semua film yang dibintangi sang artis idola. Erika dikenal dengan kemampuan aktingnya yang luar biasa belum lagi kegigihannya, namun bagi Erika sendiri, pencapaiannya saat ini masih belum dikatakan cukup. Ia belum puas dengan sinarnya sebagai seorang bintang.

“SUMPAH AKU SUKA SAMA SEMUA FILM YANG KAKAK BINTANGIN, KEREN TOP MARKOTOP POKOKNYA KAK ERIKA TSABITA THE BEST DEH!” Riana tak henti mendecak kagum sampai Erika sendiri merasa kikuk.

“Udah sana tidur di kamar kakak, besok kamu ada kuliah pagi kan?” titah Shashi.

“Emang aku gak boleh tidur sama Kak Erika?”

“GUA GEBUK LU YA!”

Riana lari terbirit-birit, melihat pertikaian kecil antara dua saudara ini cukup mengundang tawa bagi Erika.

“Sorry ya, emang itu adik saya agak bebel kalo di kasih tahu.”

“Enggak kok gapapa, justru saya makasih banget udah dibolehin numpang tidur di sini, beneran deh Mbak Shashi nolong hidup saya!”

Shashi tersenyum miris.

“Tunggu dulu ya di sini, biar saya rapihin dulu kamarnya setelah itu kita ngobrol,” Shashi mengambil satu kartu nama dan menyodorkannya ke Erika Tsabita, “Saya pengacara, jadi feel free to tell me anything, Mbak Erika.”



Shashi menyuguhkan dua cangkir teh chamomile hangat dengan beberapa kue toples. Erika merasa canggung dilayani seperti ini oleh seorang Shashi Amara, tapi entah kenapa ia dapat merasakan bahwa semua tindakan Shashi ini benar tulus.

“Diminum dulu baru kalau perasaannya udah enakan, cerita pelan-pelan.”

Erika meneguk minumannya, “Terima kasih.”

Mereka hening sejenak sampai Erika mulai menarik napasnya dalam-dalam untuk memulai cerita.

“Hubungan kami berdua memang sudah salah pada awalnya, Mbak Shashi.”

Shashi mendelik.

“Kami bertemu dalam satu project film dan Kak Jordan adalah produsernya, dia memiliki latar belakang yang bagus di dunia perfilman dan ternyata ketika saya terpilih sebagai artis yang membintangi filmnya... itu ada maksud dibaliknya,” Erika mencengkram kuat tiap jemarinya gusar, “Saya dijual oleh perusahaan yang menaungi saya.”

Jantung Shashi seolah berhenti berdetak. Dunia hiburan bisa sekejam itu?

“Karena saya tidak menuruti permintaan pihak manajemen jadi Kak Jordan meminta saya untuk jadi pacarnya, setidaknya itu keringanan tapi justru malapetaka besar,” Erika menitikkan air matanya, “Hubungan kami baru berjalan 3 bulan tapi udah di publikasikan, jadi kalau putus nanti... nama baik saya yang terancam.”

Shashi tak hanya diam mendengarkan, tangannya sejak tadi mencoret-coret sebuah skema dari permasalahan Erika.

“Saya gak tahu harus gimana... mungkin memang ini akhir dari perjalanan karir saya, hahaha....” Erika tertawa miris. Shashi dengan simpati menggenggam telapak tangan Erika yang dingin, memberikan sedikit dukungan emosional agar wanita di sampingnya itu tidak merasa sendiri.

“Saya bantu upayakan agar Mbak Erika dapat keadilan,” ucap Shashi dengan senyum hangatnya. Erika terhenyak.

“Kamu... berubah ya dari 7 tahun yang lalu.”

Shashi tersontak.

“Saya masih ingat betul dulu waktu kamu di reality show bareng Kak Rivan, dari dulu kamu emang keren tapi sekarang kamu makin keren.”

Bola mata Shashi semakin membesar, memori lalu yang seharusnya tak lagi muncul lagi-lagi terbayang di kepala.

“Kamu sama Kak Rivan sama-sama keren.”

Shashi hanya tersenyum tipis.

“Kak Rivan juga dulu melewati hal terberat dalam hidupnya, dia bisa bangkit dari keterpurukannya 7 tahun yang lalu setelah dibuat hancur berkeping-keping sama Om Rafi. Keren banget deh!”

Dibuat hancur berkeping-keping?

“Maksudnya... dibuat hancur berkeping-keping itu gimana?”

Erika kaget, “Lho kamu gak tahu kasusnya Kak Rivan 7 tahun yang lalu?”

Shashi menggeleng cepat.

“Kak Rivan kesandung kasus pelecehan seksual, dan itu semua cuman fitnah belaka yang dibuat Om Rafi buat hancurin karirnya Kak Rivan.”

Semesta seketika berhenti berputar.

Maya sejak tadi tak berhenti menghentakkan kakinya gelisah, menatap megahnya sebuah rumah bercat putih dengan imitasi emas lalu kedatangannya disambut oleh dua penjaga security yang membukakan gerbang besarnya bagai istana kerajaan. Dapat dipastikan kalau keluarga Jingga berasal dari keluarga yang sangat terpandang, untuk menarik napas saja Maya rasanya segan.

Kenapa ya Kak Jingga lebih milih tinggal sendiri di kamar apartemen kecil ukuran studio dibandingkan rumah semewah ini yang udah kayak istana? kalo gue sih pasti udah betah banget.

Begitu Jingga sudah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia mengulurkan tangannya sembari memasang senyuman manis.

“Mohon kerjasamanya ya, sayang” Jingga mengedipkan satu matanya semakin membuat Maya berdebar tak karuan. Pemuda itu keluar untuk membukakan pintu untuk Maya, ternyata kedatangan mereka sudah dinantikan oleh sepasang kekasih baya dengan seorang pria menjulang di depan pintu. Tatapan mereka tak terlepas sedikitpun kepada Jingga dan Maya, binar mata yang penuh antusias. Keluarga Alkashya sangat ingin mengenal siapa sosok wanita pilihan Jingga.

“Pah, Mah, kenalin ini Maya....” Jingga menoleh ke Maya, “Pilihan Jingga.”

Maya maju selangkah untuk menjabat tangan kedua orang tua Jingga, ekspresi serius yang begitu menusuk dua mata Maya. Entah kedatangannya disambut atau tidak.

“Sa-Salam kenal, Tante, Saya... Maya,” ucap Maya terbata-bata. Nyonya Alkashya masih menatap dari ujung kepala hingga kaki sosok gadis pilihan putra bungsunya tapi selepasnya terukir senyuman ramah bahkan ia memeluk tubuh mungil Maya dengan penuh suka cita.

Ini mah geulis pisan, pah! Mama seneng sama pilihan Jingga yang sekarang!” decak Nyonya Alkashya membuat hati Maya melambung tinggi.

“Kelihatannya masih lugu sekali, ini junior kamu?” Tuan Alkashya sudah melontarkan satu pertanyaan introgasinya.

“Bukan, kebetulan kita ketemu di acara pernikahan Farras,” jawab Jingga namun terputus karena Maya sudah dibawa ke ruang makan yang sudah ditata rapih untuk acara makan malam ini. Sepertinya kehadiran Maya membawa kebahagiaan untuk kedua orang tua Jingga, ia tak salah pilih partner kerjasamanya.

Sedangkan kakaknya sejak tadi usil menyikut lengan Jingga penuh arti, “Wah ini mah tinggal diseriusin aja, Ngga, mama gak pernah lho kelihatan sebahagia itu.”

Jingga mendengus, tapi melekukkan sedikit senyuman simpul di sudut bibirnya.


“Oh jadi Maya kerja di wedding organizer company? Wah gampang dong kalo ngebahas soal pernikahan kalian nanti!” dengan penuh antusias Nyonya Alkashya bertanya banyak hal kepada Maya dari nama lengkap, usia, asal, pekerjaan orang tua dan juga pekerjaannya sendiri. Ini hanya pertanyaan basic sebagai awal perkenalan, namanya juga pura-pura jadi pacar.

“Terus gimana hubungan kalian kedepannya? Sudah ada pembicaraan?” berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Tuan Alkashya, dimana pria baya itu tak henti menanyakan soal kejelasan hubungan yang akan mereka bawa.

“Pah, kita omonginnya pelan-pelan gak langsung to the point gitu,” timpal Jingga.

“Pelan-pelan tapi usia kalian sudah tidak muda lagi, meskipun Maya jauh lebih muda dari kamu tapi sebentar lagi dia sudah menginjak tiga puluh tahun.”

“Hubungan kita bukan untuk ngejar waktu menikah, Pah.”

“Maya nanti mau gimana pas sudah menikah? Kamu mau kan jadi istri di rumah untuk Jingga?”

Mata Jingga praktis melotot, “Papa!”

“Dari sekarang Maya sudah harus menentukan bagaimana pekerjaannya nanti setelah menikah dengan kamu, menjadi istri seorang dokter itu gak gampang dan Papa gak mau kamu bersanding dengan wanita penuh ambisi yang bahkan jam kerjanya nanti melebihi jam kerja kamu,” Tuan Alkashya bersikeras dengan prinsipnya.

“Pah, aku bawa Maya kesini bukan untuk dibuat pusing sama hal kayak gitu! Tolonglah bisa baca situasi sedikit!”

Maya terkejut dengan sosok Jingga yang saat ini sedang bicara nada tinggi di hadapan kedua orang tua, ia menepuk pelan bahu pemuda itu guna menenangkan namun justru Jingga menghempas napasnya kasar. Pria lebih tua disamping Jingga tiba-tiba mendeham lalu memposisikan duduknya untuk ikut buka suara.

“Mending kita nikmatin dulu makan malam ini, Jingga kan udah sekian lama gak pulang akhirnya bisa makan bareng kita, jangan sampai kita ngerusak suasana juga,” Angkasa menoleh ke Maya, “Maya maaf ya, kamu jadi harus lihat drama keluarga kayak gini.”

Maya menggeleng cepat, “E-Enggak kok, gapapa, aku ngerti maksud dari Om sama Tante nanti... kita coba diskusikan lebih lanjut, ya, Kak Jingga?” gadis itu benar-benar memposisikan dirinya sebagai seorang kekasih dari Jingga namun sayang kalimat terakhirnya tak direspon. Jingga kalut dengan emosinya.

Sekali lagi Maya melihat sisi lain dari seorang Dokter Jingga Alkashya, yang ia pikir pemuda itu seorang putra sendok emas dengan segala keberuntungannya... menyimpan satu sisi dimana suara ia tak pernah sampai ke telinga dua orang tuanya.

Daripada itu, Jingga seperti jalan tanpa tahu apa kemauannya.

Sekarang Maya tahu alasan Jingga tidak ingin tinggal di istana semegah ini, karena ternyata tak lain... tempat ini adalah sebuah penjara emas.

Dewi fortuna tak berpihak kepada Shashi. Alarm yang sudah diatur jam 7 pagi ternyata tidak berfungsi karena salah tanggal dan berujung wanita itu harus kelabakan sana-sini di kediamannya.

Dan sekarang sudah pukul 9 pagi, kurang lebih 1 jam lagi ia harus menghadiri meeting dengan klien spesialnya itu.

Riana sudah lebih dulu berangkat ke kampus dan dengan penampilan seadanya Shashi juga bergegas pergi (tapi tak lupa Shashi membawa tas daruratnya yang berisi peralatan make-up). Perutnya berbunyi lantang karena kosong sejak malam tapi tak ia hiraukan. Yang terpenting sampai dulu ke kantor sebelum pukul 10 berdentang.

Semoga perjalanan aman sentosa menyertainya.


“Bu Shashi... tumben datengnya pas mepet gini....” kehadiran Shashi yang acak-acakan membuat beberapa pegawai juniornya heran.

“Pak Gunawan udah ke ruang meeting duluan?!” decak Shashi terengah-engah.

“U-Udah, Bu, itu kliennya juga udah nunggu Ibu disana.”

Shashi menepuk jidatnya, hari ini dia memang kena apes. Wanita itu tak ada pilihan selain menghadapi rasa malunya yang datang lebih lambat dari kehadiran atasan sekaligus klien spesial-nya. Sudahlah, manusia memang tidak ada yang sempurna. Shashi tegakkan tubuhnya lagi, berusaha mengumpulkan nyali dan langkah kakinya tetap gagah seperti biasa.

Sampai di ruang meeting, Shashi mengetuk pintu tiga kali dan mendengar sahutan bosnya itu untuk masuk ke ruangan.

“Se-selamat pagi, maaf atas saya datang terlambat—”

Mata Shashi membulat lebar-lebar, kehadirannya disambut oleh pria pemilik senyum manis yang lama tak bersua setelah sekian lamanya...

“Halo, jadi ini pengacara hebat pilihan Gunawan & Partners ya?” suara seraknya bernada licik, dia berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri Shashi yang diam mematung di depan pintu, “Saya Rivandy Nathaniel, selaku CEO dari BraveStar Entertainment yang meminta bantuan hukum anda melalui Pak Gunawan, salam kenal.”

Rivan menarik jemari Shashi yang bahkan kaku untuk berjabat tangan.

“Lho? Shashi?!” decak Valent tak kalah terkejut.

“Wah kalian sudah saling kenal?” tanya Pak Gunawan.

“Iya, kebetulan kami kerabat lama dan udah lama gak berjumpa,” Valent ikut menyusul tempat Shashi dan menjabat tangan gadis itu dengan antusias, “Wah sekarang kamu jadi pengacara keren! Gimana kabarnya?!”

Shashi masih membisu seribu bahasa.

PERTEMUAN REUNI MACAM APA INI??!!


Setelah melewati detik pertama first impression setelah sekian lama tak berjumpa akhirnya mereka kembali fokus pada pembahasan utama terkait kerjasama antara perusahaan Rivan dan Valent dengan Shashi yang ditunjuk menjadi legal advisor mereka.

“Wah kalau soal itu, Shashi adalah pengacara ahli di bidang hukum bisnis, itulah kenapa saya menunjuk pengacara terbaik kami untuk membantu kalian,” Pak Gunawan dengan bangga memperkenalkan Shashi sedangkan yang dibanggakannya tersenyum pasi. Hari ini adalah hari tersial dalam hidup Shashi.

“Sepertinya Ibu Shashi ini pengacara yang sangat bisa diandalkan ya?” Rivan tersenyum miring, “Saya... sangat menantikan kerjasama kita nanti, Ibu Pengacara yang terhormat.”

Nada bicara Rivan yang sarkas menyulut api emosi Shashi yang sudah berkobar sejak tadi namun karena situasi ini tidak memungkinkan untuk baku hantam, Shashi menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan. Shashi tersenyum sinis.

“Tapi anda tahu sendiri kan?” Shashi melipat kedua tangannya di dada, “Karena persoalan bidang entertainment itu cukup berat tekanannya jadi ya perusahaan anda harus siap membayar kami lebih.”

Pak Gunawan membulatkan dua matanya, “Eh kenapa ngomong gitu kamu?”

Shashi tak menggubris, melainkan ia ikut tersenyum miring dengan sangat mantap. Rivan tak mau kalah, ia mengedepankan wajahnya dan menopang dagunya dengan kedua jemari yang ia eratkan sambil membalas tatapan tajam Shashi.

“Gak masalah,” ucap Rivan dingin, “Asalkan harga yang diminta sesuai dengan hasil kerjanya jadi jangan sampai nanti mengecewakan.”

Valent ikut tercengang, “Woy, Rivan...!”

“Oke,” Shashi berdiri dan mengulurkan tangannya, “Saya gak pernah mengecewakan satu klien pun, jadi anda tidak perlu khawatir.”

Rivan membalas jabatan tangan Shashi, dan disitulah mereka membuat ikatan kontrak satu sama lain.



“Shashi! Shashi!” suara Rivan yang terus memanggil nama Shashi seolah tak sampai pada gadis itu namun faktanya jarak mereka hanya terbentang 100 meter. Shashi enggan menoleh, cukup pertemuannya dengan Rivan hanya sebatas pekerjaan bukan yang lain. Sampai masuk ke ruangannya dan tersisa hanya mereka berdua, kehadiran Rivan tak sudi Shashi anggap.

Rivan menangkap lengan mungil Shashi dan ditepis kuat-kuat jemari besar pria itu. Mata Shashi yang menyalak penuh amarah, “Tolong jangan ngelewatin batas, kita cuman bicara soal pekerjaan!”

Rivan menyadari bagaimana kuatnya perasaan benci yang dimiliki Shashi saat ini. Tak ada hak baginya untuk marah atau menolak, Rivan memang pantas dengan semua perlakuan Shashi.

“Shashi....” Rivan menggeleng, “Ah enggak, Shachi—”

“JANGAN PERNAH PANGGIL GUE DENGAN NAMA ITU!” gertak Shashi semakin murka. “Shachi udah lama mati, lo kemana aja?!”

“Shachi please dengerin dulu penjelasan aku—”

“Ini masih jam kerja, gak ada pembahasan soal pribadi di sini, mending sekarang lo pergi dari sini!”

“Shachi sebentar aja—”

“IT'S FUCKING 7 YEARS, RIVAN!!!”

Rivan tersontak, deraian air mata yang tak sadar sudah membasahi pipi wanita cantik itu. Luka yang lama terbenam semakin mencuat dan mencabik-cabik perasaan Shashi, kehadiran Rivan dimana seharusnya tak pernah ada malah Tuhan skenariokan kembali. Jahat, kenapa dunia jahat kepada Shashi, dirinya yang hancur harus terbuka lagi dalam memori usang.

“Semua tentang kita udah basi sejak 7 tahun yang lalu, dan disaat gue mau lupain semuanya tentang kita, LO DENGAN GAK TAHU DIRINYA DATANG LAGI DI KEHIDUPAN GUE!!” Shashi penuh emosi mendorong tubuh Rivan kuat-kuat, “LO KEMANA AJA HAH??!!”

“Shachi, ceritanya panjang dan aku ngerti kamu bisa semarah ini—”

“KALO NGERTI KENAPA LO DATENG LAGI, BRENGSEK?!”

Hati Rivan hancur sejadi-jadinya. Ternyata... di mata Shashi, gue ini brengsek....

“Jangan buat gue makin benci sama lo, dan setidaknya kita harus profesional di sini! setelah urusan kita selesai, please enyah lo dari kehidupan gue!”

Shashi mencengkram kepalanya yang penat setelah semua emosi meledak di tempat. Matanya tak sanggup lagi melihat kehadiran pria yang ada di belakangnya saat ini, Rivan pun akhirnya berjalan mundur.

“Shashi... sekarang aku kasih kamu waktu untuk tenangin diri tapi setidaknya aku mohon sama kamu.... please kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya, tentang semua yang terjadi selama ini sebenarnya, karena aku ngelakuin itu semua bukan karena aku tega nyakitin kamu... banyak hal yang harus aku lindungi di sini,” Jemari besar Rivan gemetar, “Termasuk kamu.”

Anggap Shashi tuli dan enggan mendengar sepatah kata pun dari Rivan, sedangkan pria itu berbalik lalu menghilang dari pandangan Shashi.

Punggung kokoh itu... benar-benar hilang dari hadapan Shashi.

Lututnya jatuh lemas, perasaannya campur aduk hingga meledak jadi tumpahan air mata luka. Semua memori indah dan menyakitkan tentang Rivandy Nathaniel berputar lagi setelah 7 tahun ia kubur dalam-dalam.

Sekali lagi, Shashi menganggap dunia tak berpihak kepadanya.

“Bu Shashi menang pengadilan lagi nih?”

“Wah gila ya emang, susah deh kalo ngelawan Bu Shashi.”

“The power of Shashi Amara emang gak main-main.”

Kasak-kusuk penuh kagum itu sudah bukan persoalan asing bagi wanita berusia 30 tahun yang sedang melangkah dengan gagah menuju ruangan kerja yang bertuliskan secara khusus namanya sebagai Pengacara – Shashi Amara, S.H., LL.M.

Semua terkesima dengan kuatnya kharisma seorang Shashi Amara.

Shashi di masa kini adalah definisi wanita karir yang berhasil, pencapaiannya yang gemilang dan penghasilannya mencapai dua digit per bulan. Setelah semua usaha kerja kerasnya, Shashi mampu membalik situasinya jauh lebih baik seratus delapan puluh derajat.

Wanita itu duduk di kursi kerjanya dan menyeduh chamomile tea di pagi harinya yang hangat. Lekukan senyum dari bibir merah merekahnya, Shashi benar-benar menikmati kehidupannya saat ini.

Tok... tok....

Shashi menoleh ke arah pintu ruangannya, sosok pegawai dari tim litigasi yang membawa sejumlah dokumen untuk Shashi dengan hati-hati meletakkan dua tumpukkan amplop di atas mejanya.

“Ini untuk dokumen-dokumen terkait PT. Dharma, Bu, oh ya tadi juga Pak Gunawan juga nitip pesan sama Bu Shashi... untuk kosongin jadwal tanggal 17 pukul 10 pagi katanya.”

Shashi mengernyit, “Kosongin jadwal?”

“Mau ada pertemuan katanya, kita ada klien spesial.”

Shashi mendecak, “Klien spesial apalagi sih? Dari kemaren ada aja yang disebut klien spesial emangnya saya gak butuh istirahat?” protes wanita itu, mau bagaimanapun berkat prestasi yang dicapai Shashi tentunya ia harus menelan juga efek samping dari gemilangnya... tak ada waktu untuk rebahan.

“A-Anu itu jangan protes sama saya, Pak Gunawan yang bilang gitu.”

Wanita berambut pendek legam itu hanya menghela napas panjang, “Ya sudah kalau begitu, biar saya yang ngomong langsung sama Pak Gunawan nanti.”

Begitu Shashi ditinggal sendiri di ruangannya, wanita itu memencak-mencak kesal.


“Shashi sumpah aku bingung mau konsep outdoor garden party atau indoor kerajaan, bantu aku dong pilihin!”

“Yaelah cowok aja gak punya, lo yakin nanya cewek single umur 30-an?”

“Aku tau seorang Ibu Shashi Amara punya selera yang bagus, ayo dong pilih!”

“Cuaca lagi gak nentu jadi mending indoor aja.”

“Oke, outdoor garden party ya!”

Shashi duduk di kafe sendirian dengan secangkir kopi setelah melewati hari panjangnya. Langit malam saat itu tak begitu cerah tapi tak mendatangkan hujan pula, karena jarum jam sudah menunjuk pukul setengah sembilan jadi jalanan tak begitu ramai dengan lalu lalang orang. Suasana sepi yang hanya bisa dinikmati sepersekian menit sebelum Shashi bertempur sampai pukul tiga pagi di depan laptopnya. Shashi harus menghayati tiap detiknya.

“Udah deh terserah kamu aja, Kate, aku mau pulang dulu banyak kerjaan soalnya.”

“Eh tapi kamu bisa bantu aku cari gaun pengantin kan? Jo mah kalo disuruh milih jawabannya terserah mulu!”

“Iya lihat nanti yaa, Kate....”

“Pokoknya aku tunggu waktu luangnya Ibu Shashi, okay? Byee! Love ya!”

“Hahaha iyaaa, love you too!

Shashi meratap layar ponselnya, menampilkan foto kelulusannya di New York bersama adik tercinta yang memegang figur mendiang ibunda tercinta. Ia terhenyak sejenak, meresapi kerinduan yang tak berujung kepada ibunda yang kini sudah berada di tempat yang terbaik. Seandainya, Tuhan memberikan waktu sedikit lagi untuk sang ibunda menyaksikan pencapaian gemilangnya, dan Shashi akan menepati janjinya untuk membahagiakan keluarga kecil yang selalu ia jadikan alasan untuk berjuang.

Tapi takdir sudah menetapkan dunia Shashi, setidaknya ia bisa menggantikan posisi ibunya untuk membiayai semua keperluan Riana yang sedang mewujudkan mimpinya menjadi seorang Aktris.

Omong-omong soal Riana, gadis berusia 19 tahun itu mengirimnya sebuah gambar dengan sang kekasih yang sedang sibuk latihan drama.

Aku sama Rio lagi latihan buat teater tanggal 14 nanti! Katanya dijadiin penilaian sekaligus ajang audisi BraveStar Entertainment kak! Doain aku yaa aku sama Rio lolos huhuhu mau banget join agensinya Rivandy Nathaniel T_T

Gadis itu sudah beranjak dewasa, rasanya bangga melihat Riana tumbuh dengan sangat baik dibawah tanggung jawabnya.

Shashi sekali lagi menatap nama yang sudah lama tak terdengar di hidupnya... Rivandy Nathaniel.

Sebuah sejarah sekaligus kenangan yang terbenam, dan mau tak mau harus dihadapi dengan lapang dada. Wajah tampannya terpampang dimana-mana meskipun Shashi sudah bersikeras menutup mata dan telinga.

Lukanya 7 tahun yang lalu masih sangat membekas dalam benak.

Dalam ponselnya juga semenjak ia pindah ke Jakarta terus dibanjiri berita tentang Rivan sampai Shashi tak tanggung-tanggung memblokir semua hal yang berkaitan dengan mantan kekasihnya.

Ya sudahlah biarkan Shashi melewati hari demi harinya tanpa harus memikirkan kenangan lama yang hanya membuat sakit.



Bisa-bisanya ya pelaku pelecehan seksual makin bersinar malah bikin kantor agensi besar sekelas BraveStar Entertainment

Menolak lupa sih gimana kasusnya 7 tahun yang lalu, gak ada kejelasan tiba-tiba hilang sekalinya muncul malah makin sukses.

Masih jadi tanda tanya kenapa orang berbondong-bondong mau masuk agensinya Rivandy Nathaniel? Gak takut apa ya dijadiin simpenan? hihihi....

Berita simpang siur dari mulut ke mulut, siapapun yang dulu mengagumi sosok Rivandy Nathaniel lalu berpaling setelah apa yang terjadi 7 tahun silam tentunya tak menghalangi sang bintang untuk bersinar. Rivan juga tak diam saja dengan kejadiannya di masa lampau.

“Buktinya masih belum terkumpul kuat untuk bersihin nama lo, Van, belum lagi backingan Om Rafi juga bukan main-main, 7 tahun kita upayain semuanya masih aja belum ada titik terang,” Jonathan, pria betubuh jangkung itu mengusap wajahnya gusar. Sekumpulan data yang di kumpulkan dari kertas di atas meja tampaknya tak membuahkan hasil, “Bang Valent, detektif bilang apa soal rekaman itu?”

“Emang terbukti rekamannya di crop, tapi untuk dibawa ke pengadilan sebagai bukti harus bawa rekaman aslinya,” ungkap pria berkacamata pemilik nama Valent, kalian pasti mengenalnya sebagai manajer yang mengurusi semua keperluan Rivan dan sekarang dia diangkat sebagai Founder dari agensi yang didirikannya bersama Rivan.

“Bisa-bisanya itu rekaman asli disabotase gitu aja? Secanggih apa itu koneksinya Rafi?” ujar Rivan frustasi.

“Gak tahu, kan itu mantan bos lu,” balas Jo.

“Mantan ayah adopsi malah,” timpal Valent.

“Gak usah deh nyinggung masalah adopsi, bahkan gue cuman dibuat jadi mesin cari duit,” tukas Rivan.

Ketiganya menghela napas panjang, masih stuck di titik yang sama dan tak ada kemajuan. Rivan mau tak mau harus bersabar lagi mendengar semua kabar tak enak menyangkut dirinya. Ya sudahlah, Rivan juga biasa mendengarnya selama 7 tahun.

Rivan membuka ponsel lalu membuka galeri fotonya.

Senyuman cantik dari gadis berambut pendek yang selalu jadi penguat, meskipun itu hanyalah sebuah gambar yang tak bergerak tapi dia adalah dunianya Rivan. Lama tak bersua, rasa rindu yang terus mencengkram dada, ia ingin sekali segera menyusul tempat Shashi setelah semua urusannya selesai.

Setelah kasus 7 tahun silam yang menghantui hidupannya selesai sudah, Rivan berjanji kepada dirinya untuk menjemput Shashi.

Rivan percaya, takdir menggariskan Shashi sebagai bagian dari dirinya dan menjadi happy ending untuk kisah hidupnya.

“Makasih ya, Jo, meskipun lo udah gak kerja sama kita tapi lo tetep bantu gue buat tuntasin kasus ini,” Rivan menepuk bahu Jo, “Dan makasih juga, udah bantu gue untuk jagain Shashi dari jauh.”

Jo terkekeh, “Shashi udah deket gini masih takut juga buat temuin dia?”

Rivan hanya tersenyum miris.

“Sampai kasus ini ada titik terangnya, biarkan Shashi jalanin hidupnya.”

Valent memutar kedua bola matanya malas, “Entar Shashi-nya keburu direbut orang aja, nangis!”

Rivan mendengus sebal.

Entah ini bisa dikatakan sebagai filosofi atau bukan, tapi aku punya makna sendiri terhadap proses kelahiran manusia, dimana aku yang menjadi saksi karena pekerjaanku sebagai dokter.

Manusia adalah makhluk paling kuat sedunia.

Kalian tahu bagaimana beratnya membawa beban nyawa selama 9 bulan dengan rasa sakit yang ditanggung? Tapi guratan senyum tetap terlukis di tiap wajah pasien yang aku jumpa. Aku tak pernah merasakannya jadi aku merasa kagum, bahkan aku tak bisa membayangkan bagaimana ada di posisi itu.

Pandanganku terhadap wanita, tak lain adalah menjunjung tinggi kehormatan. Tubuhnya adalah pilihannya, tapi ada takdir yang tak bisa ia tepik. Mereka jalani itu dengan penuh rasa syukur. Hebat. Sungguh hebat.

Bayi yang baru dilahirkan pada dunia, mereka menangis kencang, dan disambut oleh orang sekitar dengan penuh sukacita. Mereka menangis bukan tanpa alasan, aku percaya dengan apa yang biasa orang ceritakan, kalau kita ini diberi putaran kisah kehidupan kita ketika lahir di dunia entah suka maupun dukanya dan ketika kita bilang SANGGUP maka Tuhan menakdirkan kita untuk lahir. Tangisan itu seperti respon, bahwa ia menghadapi kerasnya dunia seiring dirinya tumbuh.

Itulah kenapa aku bilang, manusia itu makhluk paling kuat.



“Halo, Bunda... sebelumnya mohon izin ya, saya minta bunda untuk atur tempo napasnya dulu, tarik napas dalam-dalam....”

Derasnya keringat bercucuran di kening Chelsea, genggaman tangan Gama seolah memberi kekuatan untuk istri tercinta. Rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh, bawah bibirnya digigit keras-keras sampai luka mengurat, kedua alisnya menyatu penuh tekanan. Chelsea benar-benar bertempur antara hidup dan mati saat ini.

Jingga dengan sabar memandu Chelsea untuk mengatur tempo napasnya yang berantakan, kedua mata gadis itu tak bisa terpejam dan hati pemuda itu tentunya teriris. Meskipun sudah menjadi kewajiban, seorang Jingga yang berhati lembut tentu tak tega melihat pasien di hadapannya sedang kesakitan tapi mau tidak mau ia harus bertanggungjawab sebagai dokter agar proses persalinan dapat dilaksanakan dengan lancar.

“Ayah, saya minta tolongnya untuk terus support bunda ya....” dengan lembut Jingga juga meminta Gama memberikan segenap kekuatan untuk Chelsea. Pria itu berdoa dalam gumamnya, meminta kelancaran kepada Sang Maha Kuasa dan mengecup kening sang istri perlahan.

“Chel sayang, tenang ya, aku udah doain untuk hari ini, aku yakin kamu bisa! Aku ada di sini ya....” ucap Gama gemetar dan dibalas oleh anggukan kepala Chelsea.

Tiap waktu berlalu, dari detik hingga jam ada di ruangan gelap dengan aroma alkohol pekat beserta rasa sakit yang menghujam. Chelsea tak henti menjerit kesakitan dan Gama tak kuasa menahan air matanya yang melihat kondisi sang istri tercinta...

Suara tangisan yang dinanti-nanti, akhirnya terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Semuanya mengulas senyum lebar.

“Wah syukurlah, jagoan kecilnya lahir dengan sehat,” Wajah Gama berubah sumringah, melihat bayi laki-lakinya lahir di dunia. Pria berhati lembut itu meneteskan air mata haru. Jingga menunjukkan bayi laki-lakinya kepada Chelsea yang terengah-engah, mata sayunya melihat rupa sang buah hati sekilas. Hatinya berucap syukur, sampai ia menutup mata untuk beristirahat sejenak. Gama sempat panik, tapi Jingga menenangkannya bahwa Chelsea hanya kelelahan. “Ayah tenang aja, detak jantung bunda masih normal kok cuman lagi kecapekan aja.”

Bayi sehat itu dibawa sebentar oleh dokter asisten Jingga untuk dibersihkan. Setelahnya Gama diminta untuk mengurus beberapa dokumen terutama mengenai nama bayinya...

“Ghazaliel Devano Arkananta,” tulis Gama dengan mantap di atas kertas dokumennya. Nama itu sudah disiapkan matang-matang bersama Chelsea, dan harapannya agar kelak putranya itu menjadi favorit orang-orang terkasih sebagaimana almarhuma adiknya dulu, Ghaza.

Baby Ghaza, selamat datang di dunia ya!


“Pasti deh kalo selesai persalinan langsung mewek gini, jadi cowok jangan cengeng banget apa,” Angkasa menyodorkan sapu tangan birunya kepada Jingga, meskipun sudah menjadi rutinitas biasa tapi ia masih tak habis pikir dengan kebiasaan aneh Jingga. “Dokter tuh gak boleh baperan kayak gini, ama pasien aja sensitif banget gimana kalo nanti persalinan bini lo beneran.”

Jingga mengusap mata sembabnya, “Gak usah dibayangin, gue aja gak sanggup.”

“Itu pasien... sahabatnya Maya yang lo ceritain kan? Terus gimana bro, ada Maya gak?” pertanyaan nyeleneh Angkasa ditepis Jingga.

“Boro-boro kepikiran Maya, gue masih kepikiran yang tadi, Bang.”

“Udahlah jangan baper beneran! Paling sekarang keluarganya lagi ceriwis nyambut bayinya, elo yang gak berhenti nangis dari tadi!” cibir kakaknya itu, “Aduh gue gak kebayang gimana kuatnya Kay ngehadapin cengengnya lo selama 8 tahun.”

Mendengar nama Kay disebut, pemuda berparas langsat itu langsung memutar memorinya ketika bersama mantan. Di momen yang sama saat Jingga menangis setelah membantu persalinan pasiennya, dalam pelukan Kay.

“Udah sayang, everything is okay... malu ih nangis gini, masa dokter cengeng.”

“Biarin, kan sama Kay nangisnya bukan di depan pasien.”

“Tuh lihat pasien kamu lewat!”

“Ah, Kay, jangan ngejek aku kayak gitu!”

“Hahahaha... dasar bayi besar!”

“Aku bukan bayi, jangan panggil aku gitu!”

Jingga mengulas senyum tipisnya. Melihat ekspresi sendu sang adik malahan Angkasa menegup salivanya bulat-bulat.

“Aduh gak sengaja nyebut Kay, jangan sampe lo nangis lagi gara-gara Kay ya!”

Cepat pemuda itu membuyarkan lamunannya, “Berisik lo ah!”

Kira-kira... kalo Maya tahu sisi lemah gue yang ini, apa dia masih mau memandang gue dengan tatapan binar itu?

Jarum jam sudah menunjuk pukul 10 malam, dimana tak ada satu kafe pun yang buka seharusnya namun tidak pada satu kafe yang terletak pada pertigaan jalan, berjarak 500 meter dari rumah sakit tempat Jingga dan Angkasa bekerja. Kafe ini memiliki julukan penyelamat para pejuang malam karena jam operasionalnya sampai pukul 1 dini hari. Kopinya yang patut diberi nilai bintang lima, dan pelayanannya juga top.

Tampak seorang pria berusia 36 tahun sedang meracik kopi pesanan Jingga, yaitu Kopi Susu Pandan dan juga pesanan Angkasa, Cokelat Signature. Angkasa menghindari kafein karena beberapa alasan.

“Udah lama gak lihat Alkashya bersaudara ngopi di sini, gimana kerjaan? Aman semua?” tanya Jason, barista sekaligus owner dari kafe tersebut.

“Biasalah sibuk, kadang-kadang sok sibuk juga,” balas Angkasa nyeleneh dan disambut gelak tawa pria bertato itu.

“Jingga gimana kabarnya? Tumben si cantik gak dibawa ke sini,” pertanyaan yang dilontarkan Jason membuat jantung Jingga tertohok. Ia memaklumi, karena tidak semua orang tahu kabar kandasnya hubungan Jingga dan Kaynara.

“Udah selesai, Bang, telat banget dapet beritanya,” ujar Angkasa mengambil alih dan dibenarkan oleh Jingga melalui senyum tipisnya.

“Wah, sorry banget bro, gue gak tahu! Kalau gitu silahkan nikmati deh kopinya, kebetulan kita ada menu makanan baru kalo mau coba langsung ke meja bar aja ya!” Jason langsung mengambil langkah ke meja barnya dan kalimat terakhirnya barusan juga dibalas oleh anggukan kepala Jingga.

Sepasang lelaki bersaudara itu saling menatap dalam sunyi namun sekejap Jingga memaling dan meneguk minumannya. Angkasa terkekeh, melihat adiknya yang tampak seperti anak kecil meskipun usianya sudah mau pertengahan tiga puluh.

“Ini ada konsultasi apaan soal tetangga, bro?” tanya Angkasa.

“Bentar, minum dulu,” balas Jingga, “Nah oke, gue udah siap.”

Angkasa menegakkan posisi duduknya.

“Tetangga gue cewek, lo inget kan yang waktu awal gue pindah gue ceritain itu?” pertanyaan Jingga membuat Angkasa mengerut satu alisnya.

“Yang mana? Lo gak pernah ceritain cewek selain Kay perasaan.”

“Astaga, yang lagi itu lo mau bantuin gue gak jadi itu, Bang....”

Angkasa langsung mendecak oh ria, “OHHH IYA! Gue inget! Kenapa?”

Jingga meneguk lagi minumannya seraya menarik napasnya dalam-dalam, “Namanya Maya, akhir-akhir ini kita lagi sering komunikasi dan beberapa momen gue seneng ada di deket dia, Bang,” sebelum Jingga melanjutkan kalimatnya dia mengambil ponsel dari sakunya lalu menunjukkan foto Maya kepada Angkasa, “Gimana ya, gue gak bisa deskripsiin perasaan gue gimana tapi entah kenapa apa yang gak pernah Kay kasih ke gua itu gue dapetin dari Maya.”

Angkasa memperjelas kerutan alisnya, “Sebentar, apa hubungan lo sama Maya ini?”

“Um... just a friend? Tetangga, atau lebih deketnya kayak adik buat gue?”

“Kalo beneran kayak adik, kenapa lo bandingin sama Kay?”

Jingga mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Cerita gue belum selesai, lo udah tarik kesimpulan aja,” tukas Jingga.

“Yaudah lo ceritain deh Maya ini siapa, gimana orangnya.”

Setelah mendapat ruang untuk membicarakan sosok Maya kepada kakaknya, pemuda beriris hazel itu membayangkan betapa menggemaskan gadis yang akan menjadi topik cerita. Mata bulat Maya yang tampak berbinar, senyum ceria yang merekah dari bibir merahnya, siapapun akan jatuh sayang kepada sosok Maya.

Termasuk Jingga sendiri, tapi belum di tahap jatuh cinta katanya.

“Maya tuh gimana ya, jujur aja dia cantik dan lucu imut, mungkin karena umurnya dibawah gue ya? Dia lugu, perasaannya pure dan bikin siapapun sayang sama dia. Yang gue perhatiin sih dia sebenernya mandiri, tapi mungkin karena kurang figur dari kakak ya pas dia sama gue jadi lebih manja? Gue seneng aja sih kalo bantuin dia, and the way she said 'Kak Jingga keren' buat gue ngerasa lega, kayak mantra buat gue.”

Angkasa menopang dagunya, menyimak dengan baik cerita sang adik.

“Dia emang ajaib sih, banyak hal gak terduga yang gue rasain, atau gue temuin dari dia... terus juga setiap gue sama dia, gue merasa kalo gue ini dibutuhkan dan gue mau terus dibutuhkan sama dia.”

Pria lebih tua disamping Jingga tertawa puas, “Udah, gue dapet jawabannya.”

Jingga mendelik.

“You already fall for her, Jingga.”

Kedua iris hazel Jingga membulat besar.

“Dari awal gue denger cerita lo bagaimana si Maya ini sama lo aja kebaca banget kalo lo suka sama dia, dari awal pertemuan lo sama Maya sebenarnya udah narik kesan pertama yang lebih dalam sampai lo cancel janji sama gue.”

Jingga masih diam, karena tiap kata dari kakaknya tak ada yang bisa ia tepis.

“Tapi ada satu hal yang harus gue kasih tahu sama lo,” Angkasa menepuk bahu Jingga, “Lo baru putus sama Kay, perasaan lo masih belum stabil. Meskipun lo udah suka sama Maya tapi tetap aja lo belum bisa bedain kalo lo beneran suka apa cuman pelampiasan aja.”

Jingga menghela napas panjang, “Itulah bang, gue juga hati-hati banget makanya bikin batasan sama dia.”

Angkasa cepat menolak kalimat Jingga, “Bukan, bukan dengan bikin batasan yang ada lu makin kangen, tapi let it flow aja.” Angkasa menunjuk lurus dada bidang adiknya, “Daripada lo tahan-tahan coba deh lo jalanin dulu, biar hati lo yang bisa pastiin apa lo beneran suka atau cuman sekedar cari pelampiasan?”

“Kesannya gue jahat banget jadiin anak orang pelampiasan.”

Angkasa mengangkat dua bahunya, “Orang baru putus rentan kesepian, apalagi orang kayak lu yang haus validasi.”

“Emang gue haus validasi?”

“Lah itu, dapet pengakuan dikit dari Maya langsung nge-fly makanya gue bilang jalanin aja dulu, daripada entar lo ngasih harapan palsu?”

Jingga memutar lagi otaknya, dimana ia mendapat satu deskripsi menohok dari Angkasa tentang 'haus validasi'. Mau ngaku tapi malu, tapi ucapan Angkasa gak bisa disalahkan seratus persen. Intinya, Jingga memang bodoh urusan wanita dan percintaan.

Pengalaman percintaan Jingga hanya sebatas hubungan 8 tahunnya bersama Kaynara. Ia mengorbankan hampir seluruh masa mudanya untuk belajar, mengejar cita-cita, dan Kaynara. berbeda dengan Angkasa yang sesama dokter namun setidaknya memiliki pengalaman tentang masa muda lebih banyak dibanding adiknya. Dan itu juga yang menjadi alasan Angkasa masih betah melajang.

“Kalo lo bilang gue harus let it flow, nanti gue jadi mau ketemu sama dia terus.”

Angkasa tergelak, “Yaudah, ikutin aja dulu sampe lu-nya malu sendiri,” wajahnya mendekat, “Ntar lo rasain deh tuh nano-nano pedekate sama cewek lagi, dulu kan waktu sama Kay lo yang ditembak, hahaha....!!”

Jingga menggaruk kepalanya bingung, bagaimana tentang perasaan dan keputusannya nanti soal Maya?

Jantung Maya seketika berdegup kencang. Di hadapannya saat ini adalah sosok pemuda tampan yang rupanya sama persis dengan Ghaza, sang kekasih hati yang begitu membekas dalam benak. Maya sejak tadi merutuk suara jantungnya yang begitu berisik, ini adalah pertemuan pertama sejak beberapa tempo lalu.

Pertemuan antara Jingga dan Maya yang sesungguhnya.

“Kamu udah berapa lama tinggal di sini?” tanya Jingga dengan ramah sembari menyeruput americano coffee-nya.

“Kurang lebih 3 tahun kali ya? Masih baru juga sih,” ujar Maya salah tingkah.

“3 tahun kamu bilang masih baru?”

“Ya menurut saya masih baru, kalau lama nyebutnya udah belasan tahun.”

Jingga tersontak, tak menyangka Maya adalah tipikal gadis yang blak-blakan seperti Chelsea, pasiennya. Ia terkekeh pelan.

“Masuk akal sih,” Jingga tersenyum hangat, “Kamu tinggal di lantai berapa?”

“Lantai 7 sih, kalau Dokter Jingga?”

“Wah sama, saya di kamar 710.”

“Ah lumayan jauh, saya 729 di sebelah kanannya setelah lift.”

Jingga menjawab oh ria panjang, ia menyeruput lagi kopinya setelah hening mengisi suasana keduanya. Mata sayunya menelisik tiap pergerakan Maya dan juga fitur wajah mungilnya. Jujur saja, bagi Jingga, Maya adalah gadis yang imut namun tampak sekali kalau gadis di hadapannya sangat kikuk.

“Boleh kan kita saling mengenal sebagai tetangga? Kamu orang pertama yang saya kenal di sini,” tutur lagi Jingga.

“Ya boleh dong, jujur aja saya juga gak begitu kenal sama tetangga sekitar.”

“Kamu tinggal 3 tahun di sini belum kenal sama tetangga sekitar?”

“Belum hehe....”

Jawaban Maya membuat Jingga tertawa geli.

“Oke anggap aja kita sama-sama beruntung ya, nanti kalau ada apa-apa kamu bisa ke saya begitupun sebaliknya,” Jingga mengulurkan tangannya, “Salam kenal ya, Maya.”

Maya mengangguk seraya mengulum senyum tipisnya, kalau diperhatikan dua sisi pipi gadis cantik itu sudah merah merona.

“Salam kenal juga, Kak Jingga.”

Mendengar panggilan sapa barunya dari Maya, membuat hati pemuda pemilik mata sayu itu menghangat.



“Wah untung aja tadi saya manggilnya 'Kakak' tadi ternyata sama suaminya Chelsea aja lebih tua setahun,” decak Maya dengan polosnya mengundang gelak tawa Jingga. Mereka sudah berbincang banyak selama 2 jam, waktu tak terasa berjalan begitu saja. Bagaimana soal pindahan? Masa bodoh, Jingga sudah meminta kakaknya itu kembali pulang dan melupakan soal avocado coffee yang sudah di janjikan.

“Saya gak tahu kamu ngomong gitu maksudnya ngejek atau kaget tapi gapapa, saya maafin untuk hari ini,” ucap Jingga dengan usil, “Kelihatan banget dari tadi kamu mau nanya soal umur tapi gak enak.”

“Ya saya kan takut salah sebut, entar manggil 'Kakak' tau-taunya kakak lebih muda gimana?”

“Mana ada dokter spesialis umurnya dibawah 30?”

“Ada aja sih kalau jenius kan?”

“Emang muka saya kelihatan jenius?”

“Semua dokter buat saya jenius sih, kalau ada yang lebih jenius berarti jauh jauh lebih jenius itu spek otaknya udah ngalahin Albert Einstein.”

Sekali lagi Jingga terbahak-bahak, berbincang dengan Maya rasanya begitu menyenangkan. Suara lembutnya dan juga isi pikiran anehnya yang tampak sekali bahwa Maya sangat polos. Out of box, Maya adalah tipikal gadis yang penuh kejutan.

“Dokter muda memang jenius, tapi dokter yang gak muda-muda amat juga banyak yang jenius jadi gak harus diukur dengan umur,” Jingga menopang dagunya, “Buat saya kamu juga jenius.”

Maya mengerutkan satu alisnya, “Lah, emang saya jenius kenapa?”

“Isi pikiran kamu buat saya itu penuh kejutan, out of box, jadi bagi saya ya kamu orang yang sangat menyenangkan.”

Hati ingin melambung tinggi, seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya setelah 7 tahun ia tak lagi merasakan kebahagiaan ini. Sebentar, barusan benak Maya mengatakan kalau ini bahagia?

Maya... sudah merasakan bahagia?

“Menurut Kak Jingga, saya menyenangkan?” tanya Maya dengan mata yang sedikit berbinar namun menyiratkan kesedihan di dalamnya. Sontak pemuda itu langsung menambahkan pernyataannya.

“Ma-Maksud saya kamu menyenangkan as a person, jangan salah paham, hahaha....”

Harapan Maya yang melambung langsung jatuh pupus begitu saja.

Sakit sih, tapi entah kenapa Maya menghela napas lega.

“Kayaknya saya sudah harus beres-beres barang di kamar,” Jingga berdiri dari tempat duduknya, “Oh ya, mungkin kita bisa tukeran nomor telepon dulu, boleh tulis nomor kamu di sini?” Pemuda itu menyodorkan ponselnya kepada Maya terlebih dahulu, dengan teliti Maya mengetikkan nomor telepon dan juga nama kontaknya. Citra Maya Septriasa.

“Citra Maya Septriasa....” gumam Jingga, “Nama yang cantik.”

Maya mendelik.

“Ah kalau gitu saya permisi, sampai ketemu lagi nanti.”

Jingga bergegas pergi, sedangkan Maya masih mematung di tempat.

Maya menuntun Chelsea yang tengah berbadan dua—sudah menginjak 7 bulan kandungannya. Sebelumnya Chelsea selalu kontrol kehamilannya di salah satu rumah sakit di Cikarang bersama kedua orang tuanya namun karena Gama meminta Chelsea untuk menetap di Jakarta bersamanya jadi ini adalah kali pertama Chelsea kontrol di tempat yang baru. Jujur saja, Chelsea sedikit kecewa dengan ketidakhadiran suaminya tapi mau bagaimana lagi, untung saja ada Maya yang setia menemani Chelsea di saat Gama sedang berhalangan.

Mereka duduk sambil menunggu giliran Chelsea untuk dipanggil, mereka berbincang ringan. Seperti biasa, Chelsea yang ingin Maya cepat melangkah maju dari masa lalunya selalu menyinggung soal pasangan. Maya tak begitu menginginkan ada sesosok pengganti kekasih hati. Hatinya masih penuh dengan kenangan manisnya bersama Ghaza.

Maya belum siap untuk menghapus semua memori baiknya tentang Ghaza.

“Atas nama Ibu Chelsea Audrey Wijaya, silahkan masuk ke ruangan ya!”

Maya membantu Chelsea untuk bangkit dari tempat duduknya, menuntun sahabatnya itu sampai masuk ke dalam ruangan.

“Selamat siang, Ibu Chelsea....”

Suara bariton itu membuat kedua wanita tersebut memencak lebar matanya.

“Silahkan duduk, kita mulai untuk pengecekannya ya....”

Satu bulir air mata menetes dari pipi Chelsea, “Ghaza....?”

Sang dokter muda dengan ekspresi bingungnya tertegun, ia tersenyum manis dan membuat kedua wanita itu kehabisan kata-kata. Maya pun mematung, wajah pria yang ada di hadapannya... adalah sosok pria yang ia temui di acara pernikahan kliennya beberapa tempo lalu. Tiap fitur wajah pria di hadapannya benar-benar bak pinang dibelah dua dengan Ghazaliel Arkananta.

“Sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Jingga Alkashya, dokter spesialis kandungan yang akan menjadi dokter pendamping Ibu Chelsea untuk kontrol masa kehamilan sampai kelahiran nanti, salam kenal...”

Dokter Jingga katanya, namanya Jingga.

“Ah, iya dok... Ma-Maaf saya—”

“Gapapa bu, silahkan duduk dulu aja diatur napasnya.”

Tatapan Maya bertemu dengan Jingga, siratan penuh arti yang terkunci beberapa saat membuat keduanya memutar ulang memori. Jingga masih ingat betul sosok Maya yang tempo lalu menabraknya sambil menangis begitupun sebaliknya.

Tapi yang membedakan, adalah rasa pilu yang mencabik-cabik dada Maya.

“Kita pernah ketemu kan?” ucap Jingga, dibalas anggukan kepala Maya. “Perkenalkan saya Jingga,” pria itu menyodorkan lagi tangannya ke Maya dan gadis itu menjabat tangan sang pria kikuk.

“Saya... Maya, salam kenal.”

Jingga tersenyum lagi dengan ramah, “Maya dan Ibu Chelsea ya, kalo gitu sekarang kita bisa mulai pengecekannya kan?”

Semuanya bagai deja vu.

Tiap langkah Rivan dengan wajah muramnya kini tak memberikan arti dari hidup. Mendatangi sebuah tempat bar mewah dimana memang menjadi tempat andalan bosnya mengadakan pertemuan, pikirannya kosong tak ada lagi curiga karena memang dirinya juga Rafi sudah lama selesai bahkan hancur. Anggap saja, Rivan sedang berbaik hati untuk memenuhi undangan ayah angkatnya itu.

Bang Valent MG is calling...

Bang Valent MG : RIVAN! Bang Valent MG : LO DIAJAK KETEMUAN KAN SAMA RAFI? PLEASE JANGAN MAU!!! Bang Valent MG : PASTI DIA NGERENCANAIN SESUATU SAMA LO, VAN!!!

Ponselnya terus bergetar tak ia hiraukan, kakinya masih terus melangkah menuju ruangan yang ditujukan Rafi.

“TOLONG, TOLONG!!!”

Rivan mendelik ketika ada jeritan minta tolong datang dari seorang wanita, dengan sigap pemuda itu menuju ke sumber suara. Ia melihat bagaimana seorang wanita cantik dengan gaun pestanya dikerumuni oleh kumpulan laki-laki bertampang sangar. Tanpa gentar, Rivan langsung mendorong semua kerumunan itu dan mengusir mereka agar tidak mengganggu wanita tersebut, semuanya seolah terasa mudah. Rivan datang bagai pahlawan bagi wanita tersebut.

“Mbak, Mbaknya gapapa?! Ada yang luka?! Ayo kita ke kantor polisi!” decak Rivan. Wanita itu hanya diam dengan wajah penuh rayu, dia menarik kerah baju Rivan sehingga tak sengaja bibir pemuda itu menempel di pipi sang wanita. Sontak pemuda itu menjauh hingga tubuhnya terjatuh, sekali lagi wanita itu teriak.

“KYAAA TOLONG!! SAYA DILECEHKANN!!!”

Rivan memencak kedua matanya lebar-lebar. Tak lama kehadiran para laki-laki sangar tadi kembali dan membuat Rivan semakin terkejut, mereka menghajar Rivan habis-habisan tanpa ampun. Semua orang yang ada di sana baik dari tamu, pelayan sampai tim security mendatangi lokasi kejadian dengan tergopoh-gopoh.

“INI ADA APA?!”

“RIVANDY NATHANIEL... RIVANDY NATHANIEL MELECEHKAN SAYA!!!”

Cepat pemuda itu menepis semua perkataan wanita tersebut, “SAYA GAK NGAPA-NGAPAIN!! TADI JUSTRU DIA DIGANGGU SAMA LAKI-LAKI INI!!!”

Seolah tuli justru mereka menyeret tubuh Rivan yang sudah tak berdaya lagi untuk berdiri ke pos security. Pemuda itu benar-benar dipermalukan, banyak orang yang memotret wajah babak belurnya, mereka yang dulu menatap kagum berubah jadi sinis.

Ternyata ya Rivandy Nathaniel itu gak sebaik di kamera...

Dasar artis sok jual mahal, bertindak seenaknya...

Bisa-bisanya dia ngelecehin perempuan gak bersalah, pokoknya dia harus dihukum seberat-beratnya sih.

Rivandy Nathaniel... mending enyah aja dari dunia ini.

Semesta seolah berbalik, sosok Rivandy Nathaniel yang dicintai berubah dalam sekejap menjadi menatapnya penuh kebencian.

Dari keramaian itu, samar-samar Rivan melihat keberadaan seorang pria paruh baya di belakang sana sedang tersenyum miring. Kini ia sudah tahu semuanya.

Rivan dibuat hancur sehancur-hancurnya sampai tak tersisa lagi nama dan kebanggaannya....

7 tahun kemudian....

Wanita berusia 29 tahun itu tengah sibuk mempersiapkan sarapan untuk orang terkasihnya. Perutnya yang membesar itu dengan hati-hati ia menjaga tiap gerakannya.

“MAMIIII!!!!” Sahutan riang dari gadis kecil berusia 6 tahun itu disambut hangat oleh wanita cantik itu, “Mami, semalem Papi bacain aku cerita yang Papi tulis untuk Nadine! Katanya nanti Nadine bakalan ketemu pangeran berkuda putih kayak Mami ketemu sama Papi!”

Chelsea Audrey Wijaya dan keluarga kecilnya, mereka sudah bahagia sekarang.

“Papi mah bukan pangeran berkuda putih,” ucap Chelsea dengan nada mengejek, “Tapi pangeran kodok!”

Gadis kecil pemilik nama Danielle Nadine Arkananta itu tertawa terbahak-bahak mendengar guyonan sang ibunda.

“Enak aja kamu kalo ngomong, hati-hati entar Nadine beneran nganggep aku kodok!” protes Gama dari kejauhan dan dibalas Chelsea dengan melet lidah usilnya.

“Eh tapi bener juga kata Mami, soalnya Papi kalo tidur suara ngoroknya kayak kodok, kayak gini nih! groookkk.... groookkk....” cicir Nadine meniru suara ngorok ayahnya sampai Gama dibuat jengkel.

“Oh Nadine sekarang sekutunya sama Mami ya? Okay, fine, no more story for tonight.

“Ih papi mah ngambekan, tolong dong mami cium papi biar ngambeknya hilang!”

Chelsea geleng-geleng kepalanya lalu mengikuti pinta putrinya itu untuk memberi satu kecupan di pipi sang suami. Senyuman Gama langsung mengembang lebar.

“Oke sip, nanti malam Papi bacain dua buku sekaligus spesial untuk Nadine!”

“YEEEYYY!!!”



Husband : Sayang, kamu gapapa kontrolnya ditemenin Maya dulu? Aku minta maaf banget ini soalnya lagi seleksi audisi cast film aku selanjutnya....

Chelsea : Gapapa santai aja, semangat yaa, paksuuu<3

Husband : Nadine biar aku jemput aja, dia berangkat les bareng Arkan soalnya.

Chelsea : Iya sayang, makasih yaa paksuuuu<3<3<3

Husband : My pleasure, queen<3

“May, maaf ya ganggu waktu lo hehe harusnya lo istirahat weekend gini tapi malah nemenin gue kontrol....”

Maya, kalau kalian ingin tahu kabar Maya sekarang tentunya dia baik-baik saja dengan kondisinya sekarang. 7 tahun Maya bertahan menahan rindu atas jarak yang takkan tergapai dengan Ghaza, meskipun masih seorang diri tapi Maya merasa kehidupannya jauh lebih baik.

“Gapapa, gue juga gabut kok.”

“Nanti balasannya gue kenalin lo deh sama kenalannya Gama, gimana?”

Maya menghela napas, “Mending gak usah sekalian, gue masih belum minat cari pasangan, Chel.”

Chelsea hanya menghela napas seraya mengelus pelan perutnya yang besar, dengan uluman senyum hangat dirinya tentu masih teringat sosok sahabat yang begitu ia rindukan. Bayi yang ada di dalam kandungan Chelsea adalah bayi laki-laki, dan Chelsea dengan Gama sepakat untuk memberikan nama Ghazaliel untuk anaknya agar kelak menjadi sahabat sekaligus kekasih favorit banyak orang, sebagaimana dulu mendiang Ghaza yang dicintai banyak orang dan kepergiannya pun masih dirindukan oleh banyak orang terkasih.

Sebelumnya Chelsea selalu kontrol kehamilannya di salah satu rumah sakit di Cikarang bersama kedua orang tuanya namun karena Gama meminta Chelsea untuk menetap di Jakarta bersamanya jadi ini adalah kali pertama Chelsea kontrol di tempat yang baru. Jujur saja, Chelsea sedikit kecewa dengan ketidakhadiran suaminya tapi mau bagaimana lagi, untung saja ada Maya yang setia menemani Chelsea di saat Gama sedang berhalangan.

“Atas nama Ibu Chelsea Audrey Wijaya, silahkan masuk ke ruangan ya!”

Maya membantu Chelsea untuk bangkit dari tempat duduknya, menuntun sahabatnya itu sampai masuk ke dalam ruangan.

“Selamat siang, Ibu Chelsea....”

Suara bariton itu membuat kedua wanita tersebut memencak lebar matanya.

“Silahkan duduk, kita mulai untuk pengecekannya ya....”

Satu bulir air mata menetes dari pipi Chelsea, “Ghaza....?”

Sang dokter muda dengan ekspresi bingungnya tertegun, ia tersenyum manis dan membuat kedua wanita itu kehabisan kata-kata.

“Sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Jingga Alkashya, dokter spesialis kandungan yang akan menjadi dokter pendamping Ibu Chelsea untuk kontrol masa kehamilan sampai kelahiran nanti, salam kenal...”

Semuanya bagai deja vu.