Dinner — Tentang Keluarga Jingga dan Kehadiran Maya
Maya sejak tadi tak berhenti menghentakkan kakinya gelisah, menatap megahnya sebuah rumah bercat putih dengan imitasi emas lalu kedatangannya disambut oleh dua penjaga security yang membukakan gerbang besarnya bagai istana kerajaan. Dapat dipastikan kalau keluarga Jingga berasal dari keluarga yang sangat terpandang, untuk menarik napas saja Maya rasanya segan.
Kenapa ya Kak Jingga lebih milih tinggal sendiri di kamar apartemen kecil ukuran studio dibandingkan rumah semewah ini yang udah kayak istana? kalo gue sih pasti udah betah banget.
Begitu Jingga sudah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia mengulurkan tangannya sembari memasang senyuman manis.
“Mohon kerjasamanya ya, sayang” Jingga mengedipkan satu matanya semakin membuat Maya berdebar tak karuan. Pemuda itu keluar untuk membukakan pintu untuk Maya, ternyata kedatangan mereka sudah dinantikan oleh sepasang kekasih baya dengan seorang pria menjulang di depan pintu. Tatapan mereka tak terlepas sedikitpun kepada Jingga dan Maya, binar mata yang penuh antusias. Keluarga Alkashya sangat ingin mengenal siapa sosok wanita pilihan Jingga.
“Pah, Mah, kenalin ini Maya....” Jingga menoleh ke Maya, “Pilihan Jingga.”
Maya maju selangkah untuk menjabat tangan kedua orang tua Jingga, ekspresi serius yang begitu menusuk dua mata Maya. Entah kedatangannya disambut atau tidak.
“Sa-Salam kenal, Tante, Saya... Maya,” ucap Maya terbata-bata. Nyonya Alkashya masih menatap dari ujung kepala hingga kaki sosok gadis pilihan putra bungsunya tapi selepasnya terukir senyuman ramah bahkan ia memeluk tubuh mungil Maya dengan penuh suka cita.
“Ini mah geulis pisan, pah! Mama seneng sama pilihan Jingga yang sekarang!” decak Nyonya Alkashya membuat hati Maya melambung tinggi.
“Kelihatannya masih lugu sekali, ini junior kamu?” Tuan Alkashya sudah melontarkan satu pertanyaan introgasinya.
“Bukan, kebetulan kita ketemu di acara pernikahan Farras,” jawab Jingga namun terputus karena Maya sudah dibawa ke ruang makan yang sudah ditata rapih untuk acara makan malam ini. Sepertinya kehadiran Maya membawa kebahagiaan untuk kedua orang tua Jingga, ia tak salah pilih partner kerjasamanya.
Sedangkan kakaknya sejak tadi usil menyikut lengan Jingga penuh arti, “Wah ini mah tinggal diseriusin aja, Ngga, mama gak pernah lho kelihatan sebahagia itu.”
Jingga mendengus, tapi melekukkan sedikit senyuman simpul di sudut bibirnya.
“Oh jadi Maya kerja di wedding organizer company? Wah gampang dong kalo ngebahas soal pernikahan kalian nanti!” dengan penuh antusias Nyonya Alkashya bertanya banyak hal kepada Maya dari nama lengkap, usia, asal, pekerjaan orang tua dan juga pekerjaannya sendiri. Ini hanya pertanyaan basic sebagai awal perkenalan, namanya juga pura-pura jadi pacar.
“Terus gimana hubungan kalian kedepannya? Sudah ada pembicaraan?” berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Tuan Alkashya, dimana pria baya itu tak henti menanyakan soal kejelasan hubungan yang akan mereka bawa.
“Pah, kita omonginnya pelan-pelan gak langsung to the point gitu,” timpal Jingga.
“Pelan-pelan tapi usia kalian sudah tidak muda lagi, meskipun Maya jauh lebih muda dari kamu tapi sebentar lagi dia sudah menginjak tiga puluh tahun.”
“Hubungan kita bukan untuk ngejar waktu menikah, Pah.”
“Maya nanti mau gimana pas sudah menikah? Kamu mau kan jadi istri di rumah untuk Jingga?”
Mata Jingga praktis melotot, “Papa!”
“Dari sekarang Maya sudah harus menentukan bagaimana pekerjaannya nanti setelah menikah dengan kamu, menjadi istri seorang dokter itu gak gampang dan Papa gak mau kamu bersanding dengan wanita penuh ambisi yang bahkan jam kerjanya nanti melebihi jam kerja kamu,” Tuan Alkashya bersikeras dengan prinsipnya.
“Pah, aku bawa Maya kesini bukan untuk dibuat pusing sama hal kayak gitu! Tolonglah bisa baca situasi sedikit!”
Maya terkejut dengan sosok Jingga yang saat ini sedang bicara nada tinggi di hadapan kedua orang tua, ia menepuk pelan bahu pemuda itu guna menenangkan namun justru Jingga menghempas napasnya kasar. Pria lebih tua disamping Jingga tiba-tiba mendeham lalu memposisikan duduknya untuk ikut buka suara.
“Mending kita nikmatin dulu makan malam ini, Jingga kan udah sekian lama gak pulang akhirnya bisa makan bareng kita, jangan sampai kita ngerusak suasana juga,” Angkasa menoleh ke Maya, “Maya maaf ya, kamu jadi harus lihat drama keluarga kayak gini.”
Maya menggeleng cepat, “E-Enggak kok, gapapa, aku ngerti maksud dari Om sama Tante nanti... kita coba diskusikan lebih lanjut, ya, Kak Jingga?” gadis itu benar-benar memposisikan dirinya sebagai seorang kekasih dari Jingga namun sayang kalimat terakhirnya tak direspon. Jingga kalut dengan emosinya.
Sekali lagi Maya melihat sisi lain dari seorang Dokter Jingga Alkashya, yang ia pikir pemuda itu seorang putra sendok emas dengan segala keberuntungannya... menyimpan satu sisi dimana suara ia tak pernah sampai ke telinga dua orang tuanya.
Daripada itu, Jingga seperti jalan tanpa tahu apa kemauannya.
Sekarang Maya tahu alasan Jingga tidak ingin tinggal di istana semegah ini, karena ternyata tak lain... tempat ini adalah sebuah penjara emas.