Saya Jingga

Maya menuntun Chelsea yang tengah berbadan dua—sudah menginjak 7 bulan kandungannya. Sebelumnya Chelsea selalu kontrol kehamilannya di salah satu rumah sakit di Cikarang bersama kedua orang tuanya namun karena Gama meminta Chelsea untuk menetap di Jakarta bersamanya jadi ini adalah kali pertama Chelsea kontrol di tempat yang baru. Jujur saja, Chelsea sedikit kecewa dengan ketidakhadiran suaminya tapi mau bagaimana lagi, untung saja ada Maya yang setia menemani Chelsea di saat Gama sedang berhalangan.

Mereka duduk sambil menunggu giliran Chelsea untuk dipanggil, mereka berbincang ringan. Seperti biasa, Chelsea yang ingin Maya cepat melangkah maju dari masa lalunya selalu menyinggung soal pasangan. Maya tak begitu menginginkan ada sesosok pengganti kekasih hati. Hatinya masih penuh dengan kenangan manisnya bersama Ghaza.

Maya belum siap untuk menghapus semua memori baiknya tentang Ghaza.

“Atas nama Ibu Chelsea Audrey Wijaya, silahkan masuk ke ruangan ya!”

Maya membantu Chelsea untuk bangkit dari tempat duduknya, menuntun sahabatnya itu sampai masuk ke dalam ruangan.

“Selamat siang, Ibu Chelsea....”

Suara bariton itu membuat kedua wanita tersebut memencak lebar matanya.

“Silahkan duduk, kita mulai untuk pengecekannya ya....”

Satu bulir air mata menetes dari pipi Chelsea, “Ghaza....?”

Sang dokter muda dengan ekspresi bingungnya tertegun, ia tersenyum manis dan membuat kedua wanita itu kehabisan kata-kata. Maya pun mematung, wajah pria yang ada di hadapannya... adalah sosok pria yang ia temui di acara pernikahan kliennya beberapa tempo lalu. Tiap fitur wajah pria di hadapannya benar-benar bak pinang dibelah dua dengan Ghazaliel Arkananta.

“Sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Jingga Alkashya, dokter spesialis kandungan yang akan menjadi dokter pendamping Ibu Chelsea untuk kontrol masa kehamilan sampai kelahiran nanti, salam kenal...”

Dokter Jingga katanya, namanya Jingga.

“Ah, iya dok... Ma-Maaf saya—”

“Gapapa bu, silahkan duduk dulu aja diatur napasnya.”

Tatapan Maya bertemu dengan Jingga, siratan penuh arti yang terkunci beberapa saat membuat keduanya memutar ulang memori. Jingga masih ingat betul sosok Maya yang tempo lalu menabraknya sambil menangis begitupun sebaliknya.

Tapi yang membedakan, adalah rasa pilu yang mencabik-cabik dada Maya.

“Kita pernah ketemu kan?” ucap Jingga, dibalas anggukan kepala Maya. “Perkenalkan saya Jingga,” pria itu menyodorkan lagi tangannya ke Maya dan gadis itu menjabat tangan sang pria kikuk.

“Saya... Maya, salam kenal.”

Jingga tersenyum lagi dengan ramah, “Maya dan Ibu Chelsea ya, kalo gitu sekarang kita bisa mulai pengecekannya kan?”

Semuanya bagai deja vu.