About Her
Jarum jam sudah menunjuk pukul 10 malam, dimana tak ada satu kafe pun yang buka seharusnya namun tidak pada satu kafe yang terletak pada pertigaan jalan, berjarak 500 meter dari rumah sakit tempat Jingga dan Angkasa bekerja. Kafe ini memiliki julukan penyelamat para pejuang malam karena jam operasionalnya sampai pukul 1 dini hari. Kopinya yang patut diberi nilai bintang lima, dan pelayanannya juga top.
Tampak seorang pria berusia 36 tahun sedang meracik kopi pesanan Jingga, yaitu Kopi Susu Pandan dan juga pesanan Angkasa, Cokelat Signature. Angkasa menghindari kafein karena beberapa alasan.
“Udah lama gak lihat Alkashya bersaudara ngopi di sini, gimana kerjaan? Aman semua?” tanya Jason, barista sekaligus owner dari kafe tersebut.
“Biasalah sibuk, kadang-kadang sok sibuk juga,” balas Angkasa nyeleneh dan disambut gelak tawa pria bertato itu.
“Jingga gimana kabarnya? Tumben si cantik gak dibawa ke sini,” pertanyaan yang dilontarkan Jason membuat jantung Jingga tertohok. Ia memaklumi, karena tidak semua orang tahu kabar kandasnya hubungan Jingga dan Kaynara.
“Udah selesai, Bang, telat banget dapet beritanya,” ujar Angkasa mengambil alih dan dibenarkan oleh Jingga melalui senyum tipisnya.
“Wah, sorry banget bro, gue gak tahu! Kalau gitu silahkan nikmati deh kopinya, kebetulan kita ada menu makanan baru kalo mau coba langsung ke meja bar aja ya!” Jason langsung mengambil langkah ke meja barnya dan kalimat terakhirnya barusan juga dibalas oleh anggukan kepala Jingga.
Sepasang lelaki bersaudara itu saling menatap dalam sunyi namun sekejap Jingga memaling dan meneguk minumannya. Angkasa terkekeh, melihat adiknya yang tampak seperti anak kecil meskipun usianya sudah mau pertengahan tiga puluh.
“Ini ada konsultasi apaan soal tetangga, bro?” tanya Angkasa.
“Bentar, minum dulu,” balas Jingga, “Nah oke, gue udah siap.”
Angkasa menegakkan posisi duduknya.
“Tetangga gue cewek, lo inget kan yang waktu awal gue pindah gue ceritain itu?” pertanyaan Jingga membuat Angkasa mengerut satu alisnya.
“Yang mana? Lo gak pernah ceritain cewek selain Kay perasaan.”
“Astaga, yang lagi itu lo mau bantuin gue gak jadi itu, Bang....”
Angkasa langsung mendecak oh ria, “OHHH IYA! Gue inget! Kenapa?”
Jingga meneguk lagi minumannya seraya menarik napasnya dalam-dalam, “Namanya Maya, akhir-akhir ini kita lagi sering komunikasi dan beberapa momen gue seneng ada di deket dia, Bang,” sebelum Jingga melanjutkan kalimatnya dia mengambil ponsel dari sakunya lalu menunjukkan foto Maya kepada Angkasa, “Gimana ya, gue gak bisa deskripsiin perasaan gue gimana tapi entah kenapa apa yang gak pernah Kay kasih ke gua itu gue dapetin dari Maya.”
Angkasa memperjelas kerutan alisnya, “Sebentar, apa hubungan lo sama Maya ini?”
“Um... just a friend? Tetangga, atau lebih deketnya kayak adik buat gue?”
“Kalo beneran kayak adik, kenapa lo bandingin sama Kay?”
Jingga mengatup bibirnya rapat-rapat.
“Cerita gue belum selesai, lo udah tarik kesimpulan aja,” tukas Jingga.
“Yaudah lo ceritain deh Maya ini siapa, gimana orangnya.”
Setelah mendapat ruang untuk membicarakan sosok Maya kepada kakaknya, pemuda beriris hazel itu membayangkan betapa menggemaskan gadis yang akan menjadi topik cerita. Mata bulat Maya yang tampak berbinar, senyum ceria yang merekah dari bibir merahnya, siapapun akan jatuh sayang kepada sosok Maya.
Termasuk Jingga sendiri, tapi belum di tahap jatuh cinta katanya.
“Maya tuh gimana ya, jujur aja dia cantik dan lucu imut, mungkin karena umurnya dibawah gue ya? Dia lugu, perasaannya pure dan bikin siapapun sayang sama dia. Yang gue perhatiin sih dia sebenernya mandiri, tapi mungkin karena kurang figur dari kakak ya pas dia sama gue jadi lebih manja? Gue seneng aja sih kalo bantuin dia, and the way she said 'Kak Jingga keren' buat gue ngerasa lega, kayak mantra buat gue.”
Angkasa menopang dagunya, menyimak dengan baik cerita sang adik.
“Dia emang ajaib sih, banyak hal gak terduga yang gue rasain, atau gue temuin dari dia... terus juga setiap gue sama dia, gue merasa kalo gue ini dibutuhkan dan gue mau terus dibutuhkan sama dia.”
Pria lebih tua disamping Jingga tertawa puas, “Udah, gue dapet jawabannya.”
Jingga mendelik.
“You already fall for her, Jingga.”
Kedua iris hazel Jingga membulat besar.
“Dari awal gue denger cerita lo bagaimana si Maya ini sama lo aja kebaca banget kalo lo suka sama dia, dari awal pertemuan lo sama Maya sebenarnya udah narik kesan pertama yang lebih dalam sampai lo cancel janji sama gue.”
Jingga masih diam, karena tiap kata dari kakaknya tak ada yang bisa ia tepis.
“Tapi ada satu hal yang harus gue kasih tahu sama lo,” Angkasa menepuk bahu Jingga, “Lo baru putus sama Kay, perasaan lo masih belum stabil. Meskipun lo udah suka sama Maya tapi tetap aja lo belum bisa bedain kalo lo beneran suka apa cuman pelampiasan aja.”
Jingga menghela napas panjang, “Itulah bang, gue juga hati-hati banget makanya bikin batasan sama dia.”
Angkasa cepat menolak kalimat Jingga, “Bukan, bukan dengan bikin batasan yang ada lu makin kangen, tapi let it flow aja.” Angkasa menunjuk lurus dada bidang adiknya, “Daripada lo tahan-tahan coba deh lo jalanin dulu, biar hati lo yang bisa pastiin apa lo beneran suka atau cuman sekedar cari pelampiasan?”
“Kesannya gue jahat banget jadiin anak orang pelampiasan.”
Angkasa mengangkat dua bahunya, “Orang baru putus rentan kesepian, apalagi orang kayak lu yang haus validasi.”
“Emang gue haus validasi?”
“Lah itu, dapet pengakuan dikit dari Maya langsung nge-fly makanya gue bilang jalanin aja dulu, daripada entar lo ngasih harapan palsu?”
Jingga memutar lagi otaknya, dimana ia mendapat satu deskripsi menohok dari Angkasa tentang 'haus validasi'. Mau ngaku tapi malu, tapi ucapan Angkasa gak bisa disalahkan seratus persen. Intinya, Jingga memang bodoh urusan wanita dan percintaan.
Pengalaman percintaan Jingga hanya sebatas hubungan 8 tahunnya bersama Kaynara. Ia mengorbankan hampir seluruh masa mudanya untuk belajar, mengejar cita-cita, dan Kaynara. berbeda dengan Angkasa yang sesama dokter namun setidaknya memiliki pengalaman tentang masa muda lebih banyak dibanding adiknya. Dan itu juga yang menjadi alasan Angkasa masih betah melajang.
“Kalo lo bilang gue harus let it flow, nanti gue jadi mau ketemu sama dia terus.”
Angkasa tergelak, “Yaudah, ikutin aja dulu sampe lu-nya malu sendiri,” wajahnya mendekat, “Ntar lo rasain deh tuh nano-nano pedekate sama cewek lagi, dulu kan waktu sama Kay lo yang ditembak, hahaha....!!”
Jingga menggaruk kepalanya bingung, bagaimana tentang perasaan dan keputusannya nanti soal Maya?