Jakarta, 2029 – Shashi & Rivan
“Bu Shashi menang pengadilan lagi nih?”
“Wah gila ya emang, susah deh kalo ngelawan Bu Shashi.”
“The power of Shashi Amara emang gak main-main.”
Kasak-kusuk penuh kagum itu sudah bukan persoalan asing bagi wanita berusia 30 tahun yang sedang melangkah dengan gagah menuju ruangan kerja yang bertuliskan secara khusus namanya sebagai Pengacara – Shashi Amara, S.H., LL.M.
Semua terkesima dengan kuatnya kharisma seorang Shashi Amara.
Shashi di masa kini adalah definisi wanita karir yang berhasil, pencapaiannya yang gemilang dan penghasilannya mencapai dua digit per bulan. Setelah semua usaha kerja kerasnya, Shashi mampu membalik situasinya jauh lebih baik seratus delapan puluh derajat.
Wanita itu duduk di kursi kerjanya dan menyeduh chamomile tea di pagi harinya yang hangat. Lekukan senyum dari bibir merah merekahnya, Shashi benar-benar menikmati kehidupannya saat ini.
Tok... tok....
Shashi menoleh ke arah pintu ruangannya, sosok pegawai dari tim litigasi yang membawa sejumlah dokumen untuk Shashi dengan hati-hati meletakkan dua tumpukkan amplop di atas mejanya.
“Ini untuk dokumen-dokumen terkait PT. Dharma, Bu, oh ya tadi juga Pak Gunawan juga nitip pesan sama Bu Shashi... untuk kosongin jadwal tanggal 17 pukul 10 pagi katanya.”
Shashi mengernyit, “Kosongin jadwal?”
“Mau ada pertemuan katanya, kita ada klien spesial.”
Shashi mendecak, “Klien spesial apalagi sih? Dari kemaren ada aja yang disebut klien spesial emangnya saya gak butuh istirahat?” protes wanita itu, mau bagaimanapun berkat prestasi yang dicapai Shashi tentunya ia harus menelan juga efek samping dari gemilangnya... tak ada waktu untuk rebahan.
“A-Anu itu jangan protes sama saya, Pak Gunawan yang bilang gitu.”
Wanita berambut pendek legam itu hanya menghela napas panjang, “Ya sudah kalau begitu, biar saya yang ngomong langsung sama Pak Gunawan nanti.”
Begitu Shashi ditinggal sendiri di ruangannya, wanita itu memencak-mencak kesal.
“Shashi sumpah aku bingung mau konsep outdoor garden party atau indoor kerajaan, bantu aku dong pilihin!”
“Yaelah cowok aja gak punya, lo yakin nanya cewek single umur 30-an?”
“Aku tau seorang Ibu Shashi Amara punya selera yang bagus, ayo dong pilih!”
“Cuaca lagi gak nentu jadi mending indoor aja.”
“Oke, outdoor garden party ya!”
Shashi duduk di kafe sendirian dengan secangkir kopi setelah melewati hari panjangnya. Langit malam saat itu tak begitu cerah tapi tak mendatangkan hujan pula, karena jarum jam sudah menunjuk pukul setengah sembilan jadi jalanan tak begitu ramai dengan lalu lalang orang. Suasana sepi yang hanya bisa dinikmati sepersekian menit sebelum Shashi bertempur sampai pukul tiga pagi di depan laptopnya. Shashi harus menghayati tiap detiknya.
“Udah deh terserah kamu aja, Kate, aku mau pulang dulu banyak kerjaan soalnya.”
“Eh tapi kamu bisa bantu aku cari gaun pengantin kan? Jo mah kalo disuruh milih jawabannya terserah mulu!”
“Iya lihat nanti yaa, Kate....”
“Pokoknya aku tunggu waktu luangnya Ibu Shashi, okay? Byee! Love ya!”
“Hahaha iyaaa, love you too!“
Shashi meratap layar ponselnya, menampilkan foto kelulusannya di New York bersama adik tercinta yang memegang figur mendiang ibunda tercinta. Ia terhenyak sejenak, meresapi kerinduan yang tak berujung kepada ibunda yang kini sudah berada di tempat yang terbaik. Seandainya, Tuhan memberikan waktu sedikit lagi untuk sang ibunda menyaksikan pencapaian gemilangnya, dan Shashi akan menepati janjinya untuk membahagiakan keluarga kecil yang selalu ia jadikan alasan untuk berjuang.
Tapi takdir sudah menetapkan dunia Shashi, setidaknya ia bisa menggantikan posisi ibunya untuk membiayai semua keperluan Riana yang sedang mewujudkan mimpinya menjadi seorang Aktris.
Omong-omong soal Riana, gadis berusia 19 tahun itu mengirimnya sebuah gambar dengan sang kekasih yang sedang sibuk latihan drama.
Aku sama Rio lagi latihan buat teater tanggal 14 nanti! Katanya dijadiin penilaian sekaligus ajang audisi BraveStar Entertainment kak! Doain aku yaa aku sama Rio lolos huhuhu mau banget join agensinya Rivandy Nathaniel T_T
Gadis itu sudah beranjak dewasa, rasanya bangga melihat Riana tumbuh dengan sangat baik dibawah tanggung jawabnya.
Shashi sekali lagi menatap nama yang sudah lama tak terdengar di hidupnya... Rivandy Nathaniel.
Sebuah sejarah sekaligus kenangan yang terbenam, dan mau tak mau harus dihadapi dengan lapang dada. Wajah tampannya terpampang dimana-mana meskipun Shashi sudah bersikeras menutup mata dan telinga.
Lukanya 7 tahun yang lalu masih sangat membekas dalam benak.
Dalam ponselnya juga semenjak ia pindah ke Jakarta terus dibanjiri berita tentang Rivan sampai Shashi tak tanggung-tanggung memblokir semua hal yang berkaitan dengan mantan kekasihnya.
Ya sudahlah biarkan Shashi melewati hari demi harinya tanpa harus memikirkan kenangan lama yang hanya membuat sakit.
Bisa-bisanya ya pelaku pelecehan seksual makin bersinar malah bikin kantor agensi besar sekelas BraveStar Entertainment
Menolak lupa sih gimana kasusnya 7 tahun yang lalu, gak ada kejelasan tiba-tiba hilang sekalinya muncul malah makin sukses.
Masih jadi tanda tanya kenapa orang berbondong-bondong mau masuk agensinya Rivandy Nathaniel? Gak takut apa ya dijadiin simpenan? hihihi....
Berita simpang siur dari mulut ke mulut, siapapun yang dulu mengagumi sosok Rivandy Nathaniel lalu berpaling setelah apa yang terjadi 7 tahun silam tentunya tak menghalangi sang bintang untuk bersinar. Rivan juga tak diam saja dengan kejadiannya di masa lampau.
“Buktinya masih belum terkumpul kuat untuk bersihin nama lo, Van, belum lagi backingan Om Rafi juga bukan main-main, 7 tahun kita upayain semuanya masih aja belum ada titik terang,” Jonathan, pria betubuh jangkung itu mengusap wajahnya gusar. Sekumpulan data yang di kumpulkan dari kertas di atas meja tampaknya tak membuahkan hasil, “Bang Valent, detektif bilang apa soal rekaman itu?”
“Emang terbukti rekamannya di crop, tapi untuk dibawa ke pengadilan sebagai bukti harus bawa rekaman aslinya,” ungkap pria berkacamata pemilik nama Valent, kalian pasti mengenalnya sebagai manajer yang mengurusi semua keperluan Rivan dan sekarang dia diangkat sebagai Founder dari agensi yang didirikannya bersama Rivan.
“Bisa-bisanya itu rekaman asli disabotase gitu aja? Secanggih apa itu koneksinya Rafi?” ujar Rivan frustasi.
“Gak tahu, kan itu mantan bos lu,” balas Jo.
“Mantan ayah adopsi malah,” timpal Valent.
“Gak usah deh nyinggung masalah adopsi, bahkan gue cuman dibuat jadi mesin cari duit,” tukas Rivan.
Ketiganya menghela napas panjang, masih stuck di titik yang sama dan tak ada kemajuan. Rivan mau tak mau harus bersabar lagi mendengar semua kabar tak enak menyangkut dirinya. Ya sudahlah, Rivan juga biasa mendengarnya selama 7 tahun.
Rivan membuka ponsel lalu membuka galeri fotonya.
Senyuman cantik dari gadis berambut pendek yang selalu jadi penguat, meskipun itu hanyalah sebuah gambar yang tak bergerak tapi dia adalah dunianya Rivan. Lama tak bersua, rasa rindu yang terus mencengkram dada, ia ingin sekali segera menyusul tempat Shashi setelah semua urusannya selesai.
Setelah kasus 7 tahun silam yang menghantui hidupannya selesai sudah, Rivan berjanji kepada dirinya untuk menjemput Shashi.
Rivan percaya, takdir menggariskan Shashi sebagai bagian dari dirinya dan menjadi happy ending untuk kisah hidupnya.
“Makasih ya, Jo, meskipun lo udah gak kerja sama kita tapi lo tetep bantu gue buat tuntasin kasus ini,” Rivan menepuk bahu Jo, “Dan makasih juga, udah bantu gue untuk jagain Shashi dari jauh.”
Jo terkekeh, “Shashi udah deket gini masih takut juga buat temuin dia?”
Rivan hanya tersenyum miris.
“Sampai kasus ini ada titik terangnya, biarkan Shashi jalanin hidupnya.”
Valent memutar kedua bola matanya malas, “Entar Shashi-nya keburu direbut orang aja, nangis!”
Rivan mendengus sebal.