First Conversation

Jantung Maya seketika berdegup kencang. Di hadapannya saat ini adalah sosok pemuda tampan yang rupanya sama persis dengan Ghaza, sang kekasih hati yang begitu membekas dalam benak. Maya sejak tadi merutuk suara jantungnya yang begitu berisik, ini adalah pertemuan pertama sejak beberapa tempo lalu.

Pertemuan antara Jingga dan Maya yang sesungguhnya.

“Kamu udah berapa lama tinggal di sini?” tanya Jingga dengan ramah sembari menyeruput americano coffee-nya.

“Kurang lebih 3 tahun kali ya? Masih baru juga sih,” ujar Maya salah tingkah.

“3 tahun kamu bilang masih baru?”

“Ya menurut saya masih baru, kalau lama nyebutnya udah belasan tahun.”

Jingga tersontak, tak menyangka Maya adalah tipikal gadis yang blak-blakan seperti Chelsea, pasiennya. Ia terkekeh pelan.

“Masuk akal sih,” Jingga tersenyum hangat, “Kamu tinggal di lantai berapa?”

“Lantai 7 sih, kalau Dokter Jingga?”

“Wah sama, saya di kamar 710.”

“Ah lumayan jauh, saya 729 di sebelah kanannya setelah lift.”

Jingga menjawab oh ria panjang, ia menyeruput lagi kopinya setelah hening mengisi suasana keduanya. Mata sayunya menelisik tiap pergerakan Maya dan juga fitur wajah mungilnya. Jujur saja, bagi Jingga, Maya adalah gadis yang imut namun tampak sekali kalau gadis di hadapannya sangat kikuk.

“Boleh kan kita saling mengenal sebagai tetangga? Kamu orang pertama yang saya kenal di sini,” tutur lagi Jingga.

“Ya boleh dong, jujur aja saya juga gak begitu kenal sama tetangga sekitar.”

“Kamu tinggal 3 tahun di sini belum kenal sama tetangga sekitar?”

“Belum hehe....”

Jawaban Maya membuat Jingga tertawa geli.

“Oke anggap aja kita sama-sama beruntung ya, nanti kalau ada apa-apa kamu bisa ke saya begitupun sebaliknya,” Jingga mengulurkan tangannya, “Salam kenal ya, Maya.”

Maya mengangguk seraya mengulum senyum tipisnya, kalau diperhatikan dua sisi pipi gadis cantik itu sudah merah merona.

“Salam kenal juga, Kak Jingga.”

Mendengar panggilan sapa barunya dari Maya, membuat hati pemuda pemilik mata sayu itu menghangat.



“Wah untung aja tadi saya manggilnya 'Kakak' tadi ternyata sama suaminya Chelsea aja lebih tua setahun,” decak Maya dengan polosnya mengundang gelak tawa Jingga. Mereka sudah berbincang banyak selama 2 jam, waktu tak terasa berjalan begitu saja. Bagaimana soal pindahan? Masa bodoh, Jingga sudah meminta kakaknya itu kembali pulang dan melupakan soal avocado coffee yang sudah di janjikan.

“Saya gak tahu kamu ngomong gitu maksudnya ngejek atau kaget tapi gapapa, saya maafin untuk hari ini,” ucap Jingga dengan usil, “Kelihatan banget dari tadi kamu mau nanya soal umur tapi gak enak.”

“Ya saya kan takut salah sebut, entar manggil 'Kakak' tau-taunya kakak lebih muda gimana?”

“Mana ada dokter spesialis umurnya dibawah 30?”

“Ada aja sih kalau jenius kan?”

“Emang muka saya kelihatan jenius?”

“Semua dokter buat saya jenius sih, kalau ada yang lebih jenius berarti jauh jauh lebih jenius itu spek otaknya udah ngalahin Albert Einstein.”

Sekali lagi Jingga terbahak-bahak, berbincang dengan Maya rasanya begitu menyenangkan. Suara lembutnya dan juga isi pikiran anehnya yang tampak sekali bahwa Maya sangat polos. Out of box, Maya adalah tipikal gadis yang penuh kejutan.

“Dokter muda memang jenius, tapi dokter yang gak muda-muda amat juga banyak yang jenius jadi gak harus diukur dengan umur,” Jingga menopang dagunya, “Buat saya kamu juga jenius.”

Maya mengerutkan satu alisnya, “Lah, emang saya jenius kenapa?”

“Isi pikiran kamu buat saya itu penuh kejutan, out of box, jadi bagi saya ya kamu orang yang sangat menyenangkan.”

Hati ingin melambung tinggi, seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya setelah 7 tahun ia tak lagi merasakan kebahagiaan ini. Sebentar, barusan benak Maya mengatakan kalau ini bahagia?

Maya... sudah merasakan bahagia?

“Menurut Kak Jingga, saya menyenangkan?” tanya Maya dengan mata yang sedikit berbinar namun menyiratkan kesedihan di dalamnya. Sontak pemuda itu langsung menambahkan pernyataannya.

“Ma-Maksud saya kamu menyenangkan as a person, jangan salah paham, hahaha....”

Harapan Maya yang melambung langsung jatuh pupus begitu saja.

Sakit sih, tapi entah kenapa Maya menghela napas lega.

“Kayaknya saya sudah harus beres-beres barang di kamar,” Jingga berdiri dari tempat duduknya, “Oh ya, mungkin kita bisa tukeran nomor telepon dulu, boleh tulis nomor kamu di sini?” Pemuda itu menyodorkan ponselnya kepada Maya terlebih dahulu, dengan teliti Maya mengetikkan nomor telepon dan juga nama kontaknya. Citra Maya Septriasa.

“Citra Maya Septriasa....” gumam Jingga, “Nama yang cantik.”

Maya mendelik.

“Ah kalau gitu saya permisi, sampai ketemu lagi nanti.”

Jingga bergegas pergi, sedangkan Maya masih mematung di tempat.