Arti Kehidupan – Filosofi Jingga

Entah ini bisa dikatakan sebagai filosofi atau bukan, tapi aku punya makna sendiri terhadap proses kelahiran manusia, dimana aku yang menjadi saksi karena pekerjaanku sebagai dokter.

Manusia adalah makhluk paling kuat sedunia.

Kalian tahu bagaimana beratnya membawa beban nyawa selama 9 bulan dengan rasa sakit yang ditanggung? Tapi guratan senyum tetap terlukis di tiap wajah pasien yang aku jumpa. Aku tak pernah merasakannya jadi aku merasa kagum, bahkan aku tak bisa membayangkan bagaimana ada di posisi itu.

Pandanganku terhadap wanita, tak lain adalah menjunjung tinggi kehormatan. Tubuhnya adalah pilihannya, tapi ada takdir yang tak bisa ia tepik. Mereka jalani itu dengan penuh rasa syukur. Hebat. Sungguh hebat.

Bayi yang baru dilahirkan pada dunia, mereka menangis kencang, dan disambut oleh orang sekitar dengan penuh sukacita. Mereka menangis bukan tanpa alasan, aku percaya dengan apa yang biasa orang ceritakan, kalau kita ini diberi putaran kisah kehidupan kita ketika lahir di dunia entah suka maupun dukanya dan ketika kita bilang SANGGUP maka Tuhan menakdirkan kita untuk lahir. Tangisan itu seperti respon, bahwa ia menghadapi kerasnya dunia seiring dirinya tumbuh.

Itulah kenapa aku bilang, manusia itu makhluk paling kuat.



“Halo, Bunda... sebelumnya mohon izin ya, saya minta bunda untuk atur tempo napasnya dulu, tarik napas dalam-dalam....”

Derasnya keringat bercucuran di kening Chelsea, genggaman tangan Gama seolah memberi kekuatan untuk istri tercinta. Rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh, bawah bibirnya digigit keras-keras sampai luka mengurat, kedua alisnya menyatu penuh tekanan. Chelsea benar-benar bertempur antara hidup dan mati saat ini.

Jingga dengan sabar memandu Chelsea untuk mengatur tempo napasnya yang berantakan, kedua mata gadis itu tak bisa terpejam dan hati pemuda itu tentunya teriris. Meskipun sudah menjadi kewajiban, seorang Jingga yang berhati lembut tentu tak tega melihat pasien di hadapannya sedang kesakitan tapi mau tidak mau ia harus bertanggungjawab sebagai dokter agar proses persalinan dapat dilaksanakan dengan lancar.

“Ayah, saya minta tolongnya untuk terus support bunda ya....” dengan lembut Jingga juga meminta Gama memberikan segenap kekuatan untuk Chelsea. Pria itu berdoa dalam gumamnya, meminta kelancaran kepada Sang Maha Kuasa dan mengecup kening sang istri perlahan.

“Chel sayang, tenang ya, aku udah doain untuk hari ini, aku yakin kamu bisa! Aku ada di sini ya....” ucap Gama gemetar dan dibalas oleh anggukan kepala Chelsea.

Tiap waktu berlalu, dari detik hingga jam ada di ruangan gelap dengan aroma alkohol pekat beserta rasa sakit yang menghujam. Chelsea tak henti menjerit kesakitan dan Gama tak kuasa menahan air matanya yang melihat kondisi sang istri tercinta...

Suara tangisan yang dinanti-nanti, akhirnya terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Semuanya mengulas senyum lebar.

“Wah syukurlah, jagoan kecilnya lahir dengan sehat,” Wajah Gama berubah sumringah, melihat bayi laki-lakinya lahir di dunia. Pria berhati lembut itu meneteskan air mata haru. Jingga menunjukkan bayi laki-lakinya kepada Chelsea yang terengah-engah, mata sayunya melihat rupa sang buah hati sekilas. Hatinya berucap syukur, sampai ia menutup mata untuk beristirahat sejenak. Gama sempat panik, tapi Jingga menenangkannya bahwa Chelsea hanya kelelahan. “Ayah tenang aja, detak jantung bunda masih normal kok cuman lagi kecapekan aja.”

Bayi sehat itu dibawa sebentar oleh dokter asisten Jingga untuk dibersihkan. Setelahnya Gama diminta untuk mengurus beberapa dokumen terutama mengenai nama bayinya...

“Ghazaliel Devano Arkananta,” tulis Gama dengan mantap di atas kertas dokumennya. Nama itu sudah disiapkan matang-matang bersama Chelsea, dan harapannya agar kelak putranya itu menjadi favorit orang-orang terkasih sebagaimana almarhuma adiknya dulu, Ghaza.

Baby Ghaza, selamat datang di dunia ya!


“Pasti deh kalo selesai persalinan langsung mewek gini, jadi cowok jangan cengeng banget apa,” Angkasa menyodorkan sapu tangan birunya kepada Jingga, meskipun sudah menjadi rutinitas biasa tapi ia masih tak habis pikir dengan kebiasaan aneh Jingga. “Dokter tuh gak boleh baperan kayak gini, ama pasien aja sensitif banget gimana kalo nanti persalinan bini lo beneran.”

Jingga mengusap mata sembabnya, “Gak usah dibayangin, gue aja gak sanggup.”

“Itu pasien... sahabatnya Maya yang lo ceritain kan? Terus gimana bro, ada Maya gak?” pertanyaan nyeleneh Angkasa ditepis Jingga.

“Boro-boro kepikiran Maya, gue masih kepikiran yang tadi, Bang.”

“Udahlah jangan baper beneran! Paling sekarang keluarganya lagi ceriwis nyambut bayinya, elo yang gak berhenti nangis dari tadi!” cibir kakaknya itu, “Aduh gue gak kebayang gimana kuatnya Kay ngehadapin cengengnya lo selama 8 tahun.”

Mendengar nama Kay disebut, pemuda berparas langsat itu langsung memutar memorinya ketika bersama mantan. Di momen yang sama saat Jingga menangis setelah membantu persalinan pasiennya, dalam pelukan Kay.

“Udah sayang, everything is okay... malu ih nangis gini, masa dokter cengeng.”

“Biarin, kan sama Kay nangisnya bukan di depan pasien.”

“Tuh lihat pasien kamu lewat!”

“Ah, Kay, jangan ngejek aku kayak gitu!”

“Hahahaha... dasar bayi besar!”

“Aku bukan bayi, jangan panggil aku gitu!”

Jingga mengulas senyum tipisnya. Melihat ekspresi sendu sang adik malahan Angkasa menegup salivanya bulat-bulat.

“Aduh gak sengaja nyebut Kay, jangan sampe lo nangis lagi gara-gara Kay ya!”

Cepat pemuda itu membuyarkan lamunannya, “Berisik lo ah!”

Kira-kira... kalo Maya tahu sisi lemah gue yang ini, apa dia masih mau memandang gue dengan tatapan binar itu?