Welcome, baby Rafif!

Đức Thịnh · Horang Suwolga

Ibra berlari secepat kilat menuju ruang bersalin yang sudah di arahkan. Pria itu tak sendiri, ada Hasan, sahabatnya di Turki yang turut menemani Ibra dan saat ini keduanya sama-sama berharap cemas akan kelahiran Ayu hari ini.

“Ibrahim! pelan-pelan larinya ini rumah sakit!” seru Hasan.

“Mana bisa!! Istri saya kondisinya tak sadarkan diri!!” decak Ibra panik.

“Tenangin diri dulu, nanti kan kamu harus dampingi istri kamu!”

Ibra menoleh ke belakang, “Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa, saya gak mau kehilangan orang terkasih saya lagi jadi tolong JANGAN CEGAH SAYA SEKARANG!!!” gertak pria itu, karena memang jantungnya sedang naik-turun mengkhawatirkan kondisi sang istri yang sedang memperjuangkan buah hatinya. Hasan mematung, ia hanya bisa mengikuti apa yang di katakan Ibra dan menghentikan langkahnya.

“Ya sudah, memang tidak ada yang bisa mencegah anak itu.”



Sekarang Ibra sampai di depan ruang bersalin dengan penampilannya yang sudah acak-acak. Perawat yang ada di dalam mempersilahkan Ibra untuk masuk dan menyaksikan istrinya sedang terbaring lemas. matanya setengah memejam namun ia bisa melihat tubuh tegap Ibra ada di sisinya. Ayu membuka sedikit mulutnya, “Kak... sakit....”

Ibra meneteskan air matanya, “Iya, sayang, kuat ya? saya ada disini,” pria itu menggenggam erat jemari lesu Ayu yang mendingin. Jantung Ibra terasa di cabik-cabik, begitu banyak pikiran negatif yang menghantui kepalanya namun dengan tegar pria itu membesarkan harapannya. Ayu, dan buah hatinya, mereka akan selamat.

“Baik, bunda, sekarang tarik nafasnya pelan-pelan, gapapa kalau masih lemas... untuk ayahnya, tolong beri kekuatan untuk bundanya ya....”

Pria itu mengangguk patuh atas pinta sang dokter, Ayu menarik nafasnya pelan-pelan dan di detik ia memulai perjuangannya....

“Oke kita mulai, satu... dua.... tiga!”

“UH! UKHHHHH!!! SAKIIIITTTTT!!!!!!”

Dengan kekuatan penuh Ayu menggenggam keras lengan suaminya, Ibra tak menghiraukan rasa sakit dari genggaman istrinya karena ia lebih fokus memberikan kekuatan untuk istri tercintanya.

“HUWAAAAA!!! SAKIIIITTTTTTT!!!!”

“Ayo kamu bisa, sayang, kuat yaa!”

“SAKITTT KAKKKK, HUWAAAA!!!”

“Istighfar sayang, istighfar....!”

“Astaghfirullah hal... ADZIM!!!”

Tak sengaja tangan Ayu meraih rambut Ibra dan menjambaknya keras hingga pria itu ikut merintih kesakitan, “ADUDUDUDUHH SAYANG JANGAN DI JAMBAK RAMBUT SAYAA!!!”

“UKHHHH!!! KAK IBRAAA HUWAAAA!!!”

“I-Iya sayang, saya disini! adududuh!!”

Ayu mengatur nafasnya lagi yang tersengal-sengal. Entah apa yang ia rasakan namun seketika ada yang lepas, dari perjuangannya ini. Matanya memejam sejenak, menitikkan satu tetes air matanya... seketika semuanya gelap.

Ayu tak sadarkan diri.

“Yu? Ayudia? Sayaang?” Ibra yang panik menggoyangkan tubuh Ayu yang tergolek lemas.

“Selamat, Pak, atas kelahiran putranya, alhamdulillah lahir dengan sehat....”

Mata Ibra membulat sempurna, tangannya yang meraih tubuh mungil malaikat kecilnya, sekali lagi ia meneteskan air mata harunya bahkan sudah menangis tersedu-sedu. Hatinya menghangat, memerhatikan tiap inci wajah putranya yang sekilas menyerupai dirinya.

“Dokter, ini... kenapa istri saya tak sadarkan diri? ini kenapa?!”

Dengan cepat sang dokter melakukan tindakan lanjut untuk Ayu yang tergolek lemas. Detak jantung wanita itu melemah membuat dada Ibra gusar bukan main, ia tak ingin ada sebuah tragedi lagi dalam hidupnya.

“Kondisi istri bapak hanya sedang keletihan, bapak bisa tunggu di luar dulu ya biar kami bawa ke ruangan intensif terlebih dahulu.”

Ibra di arahkan untuk keluar dari ruangan bersalin, dengan hati yang tak rela meninggalkan sisi istri tercintanya. Di luar ruangan ternyata sahabat Ibra sudah menunggu, “Bra, gimana kondisi Ayu?!”

Ibra menganga gagap, dengan mata sembabnya ia mencengkram erat lengan Hasan menahan sakit yang merujam dadanya.

“Ini gara-gara saya... harusnya saya langsung pulang nemenin Ayu... harusnya saya ada di samping dia tadi....”

“Kenapa, Bra?!”

“Ayu kondisinya lemah banget....”

Hasan menepuk-nepuk pundak sahabatnya, memeluk pelan untuk menenangkan ketakutan Ibra, “Enggak, emang melahirkan itu sangat melelahkan, istri kamu baik-baik aja, Bra.”

“Tapi setidaknya kalau ada saya, pasti cepat penanganannya, dia gak akan dibawa kesini dalam kondisi pingsan!”

“Percaya sama saya, semuanya baik-baik saja....”

Hasan yang berusia di atas 3 tahun dari Ibra tentu pernah merasakan posisi sahabatnya ini ketika dulu sang istri melahirkan anak pertamanya. Ia yakin betul bahwa takdir baik berpihak kepada pasangan muda ini. Ibra masih menangis menggaungkan nama Ayu berulang-ulang, sambil dalam hatinya itu berdoa agar istrinya itu kembali dengan sehat.

“Bra... lebih baik kita shalat aja ya? Sampaikan doa melalui sujud kamu.” ajakan Hasan membuat Ibra tersadar sejenak, pria itu langsung bangkit dan mengiyakan ajakan sahabatnya.

Serahkan semuanya sama Allah, Ibrahim... Ayu pasti baik-baik saja.



Mata Ayu perlahan terbuka dan mendapati ruangan serba putih di sekitarnya, dengan cairan infus yang sudah menjulur di tangan kirinya. Kepalanya masih terasa melayang, namun ia merasakan ada sebuah kehangatan yang terus mencengkram sebelah tangannya yang kosong.

Jemari besar Ibrahim bersama lelapnya, semalaman pria itu tidak melepas tangannya setelah Ayu di pindahkan ke ruangan perawatan VVIP-nya. Wanita itu mendelik, tangan kirinya berusaha menggapai surai coklat legam suaminya dan mengelus pelan.

Ibra langsung terbangun dari tidurnya, ia langsung terkesiap dan menggenggam bahu lemah istrinya, “A-Ayu?! kamu... kamu udah enakan?!”

Ayu mengangguk pelan, “Iya, cuman... masih agak capek aja....” lalu pria itu membenarkan posisi bantalnya dan menyandarkan punggung Ayu dengan lembut agar mendapatkan posisi nyaman. Ibra tersenyum simpul, jemarinya menyelipkan anak rambut sang istri di telinganya lalu mengecup kening Ayu dengan hangat.

“Terima kasih sudah mau berjuang, istriku....” Ibra menatap dalam netra sayu sang istri, dan Ayu membalasnya dengan kekehan kecil. Ayu mengelus pipi Ibra dengan lembut, lalu menyandarkan kepalanya di bahu lebar suami tercinta.

“Saya panggil dokter dulu ya, kamu tiduran lagi aja kalau mau.”

Ayu mengangguk lemah, dan cepat pria itu keluar dari kamar. Ayu menatap punggung besar Ibra dengan kemeja lusuh yang sudah ia pakai 2 hari berturut-turut, saking khawatirnya, Ibra sampai lupa untuk pulang hanya sekedar membersihkan diri bahkan ia hanya makan sekali. Mata Ayu beralih ke arah keranjang yang di dalamnya sudah ada sosok bayi mungil yang tertidur pulas.

Ahmad Rafif El-Fatih

Wanita itu melekukkan senyum bahagianya, “Nama yang indah, terdengar sangat pemberani...”

“AYUUUUU!!”

Suara melengking dari ibu mertuanya, yakni Anela juga Haidar yang baru saja mendarat tadi siang begitu mendengar kabar Ayu melahirkan hari ini, mereka bergegas pesan tiket malamnya dan memesan taksi untuk berangkat ke rumah sakit.

“U-Umi kapan kesininya?! kok??!!”

“TAU GAK SIH?! BEGITU UMI DAPET KABAR DARI IBRA, ABI SAMA UMI LANGSUNG CUUUUSSS NGUEEEENGGG NAIK PESAWAT KARENA KHAWATIR SAMA KAMUU!!!” Anela memeluk erat tubuh putri menantunya itu, “Gimana keadaan kamu? masih lesu nak?”

“Masih agak capek... tapi udah enakan kok.”

Haidar menatap lemat-lemat tubuh mungil cucunya disana, bahkan pria baya itu sudah menjatuhkan satu bulir air matanya.

“Masha Allah... Rafif....” ucap Haidar sambil menggendong bayinya.

Anela tertawa pelan, “Kamu tau gak? kemaren tuh sambil panik nungguin kamu sadar, Ibra telepon abinya buat minta saran nama bayi kamu.”

Ayu mendecak, “Oh ya?”

“Iya! mana pake debat segala, si Ibra mau nama anaknya yang simpel dan mudah di ingat sedangkan abinya ya gitu, suka ribet sendiri.”

Ayu mendengarnya tertawa geli, perutnya masih sakit terutama di bagian bekas jahitannya namun tetap, rasa bahagia yang tak terbendung ini menyembuhkan sebagian besar rasa sakit yang ia rasakan.

Hari ini, Ibrahim dan Ayu sudah resmi menjadi orang tua dari seorang putra tampan yang penuh harapan dan doa keduanya!

Selamat untuk kalian berduaa!