Up

Ibra memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, tak sengaja perhatiannya teralih ke motor scoopy merah yang sudah terparkir di sampingnya. Suara pekik ketawa Mina yang menggelegar mengejutkan Ibra, Girang amat si Mina kedatangan tamu.

Begitu Ibra masuk ke rumahnya, sosok kedua perempuan cantik yang saling bertukar canda tawa menyambut kedatangannya.

“Eh adikku tersayang baru pulang....” sambut Mina dengan senyuman cengirnya, di balas Ibra dengan mata yang membola malas. Disana ada Ayu yang memberikan senyum simpul, ikut menyambut kedatangan Ibra.

“Abi sama umi kemana?” tanya Ibra.

“Abi lagi kontrol ke rumah sakit jadi umi yang nemenin, makanya aku bosen dirumah sendirian,” jawab Mina dengan nada manja.

“Sabar dikit kan gua gak pulang malam.”

“Ya aku bosen lihat muka kamu mulu, mau ketemu muka orang baru.”

Ibra geleng-geleng, lalu matanya teralihkan ke meja tamunya yang kosong.

“Oh, Ayu belum di suguhi apa-apa?” cepat Ibra menggulung lengan kemejanya yang mulai lusuh, “Kamu mau minum apa?”

Mina bangun dari duduknya, “Aduh aku lupa tadi nyuguhin, keasikan ngobrol sama Ayu.”

“Gak usah, biar gue aja yang bikin minumannya,” Ibra menoleh lagi ke Ayu, “Kopi, teh, atau coklat hangat?”

“Gak usah repot-repot, Kak, aku kan cuman—”

“Oke coklat hangat aja ya, kamu duduk aja disitu temenin Mina.”

“Kak Ibra gak usah ih! Bentar lagi aku pulang—”

Ibra mengernyit dahinya, “Siapa suruh kamu cepet pulang? ini masih jam setengah 6 belum jam 7, temenin kakak saya dulu disini. Nanti kamu shalat maghrib sekalian makan disini aja.”

Ayu menganga, tak bisa lagi menolak apa yang di titah oleh laki-laki itu. Mau tak mau, akhirnya ia mengikuti perintah Ibra untuk menetap disana lebih lama.

Sekarang giliran pemuda itu berurusan dengan dapur, ia membuka satu toples yang berisi bubuk coklat lalu menuangkannya di cangkir klasik berwarna putih keemasan itu. Ia juga membuka kulkas, melihat bahan makanan apa yang bisa ia ciptakan jadi hidangan lezat.

Oh ya, Ibra memiliki bakat terpendam soal dunia memasak tapi ia sembunyikan karena masih ingin bermanja-manja dengan masakan ibunda tercinta.

“Kaaak! Tadi umi masak gakk??” sahut Ibra dari dapurnya.

“Tadi cuman masak sayur labu buat aku, kamu bikin aja sendiri!” balas Mina lalu ia membisik lagi ke Ayu, “Adek aku tuh sebenernya jago masak lho, Yu, tapi ketutupan malesnya aja yang edan. Dia tuh gak kayak yang kelihatan di kantor sok-sokan galak, tegas, berwibawa gitu tapi kalau lagi mode manja beuuhh... gleyotan seharian melukin umi...!”

“AMINAH GUE DENGER YA!!!”

Mina menutup mulutnya rapat-rapat, “Dih kuping panjang dia.”

Gelak tawa Ayu pecah melihat tingkah dua insan kakak-adik ini.



“Maaf ya, saya cuman bisa masak ini doang.”

Sajian roti lapis berisi daging sapi tebal yang terpanggang sempurna, lalu telur matang yang tampak rapih bak buatan chef bintang lima membuat Ayu mendecak kagum. Masakannya terlihat begitu berkelas.

“Kak, ini kelihatannya enak banget...” ucap Ayu terkagum-kagum.

“Duduk dulu, terus cobain makanannya baru ngomong enak enggaknya hahaha....”

Ayu mengikuti pinta dari Ibra, lalu ia mengambil pisau dan garpu yang ada di sisi piringnya. Ia memakan satu potongan roti yang tersaji, dan matanya seketika berbinar.

“Hmm... ini enak banget!” decak Ayu.

Ibra tersenyum penuh kemenangan, “Hoho sudah saya duga masakannya gak gagal, yaudah habiskan ya!” dadanya lega begitu tamunya puas dengan makanan yang ia buat. Ibra tanpa ragu juga melahap rotinya dengan tangan, sedangkan Mina disana yang enggan untuk makan hanya terkekeh geli melihat keduanya sedang makan dengan lahap. Mina memandang lemat wajah adiknya yang semakin berisi pasca keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah, perlahan kamu sudah mulai kembali lagi, Ibra....

“Kak Ibra kalau jago masak gini kenapa gak coba bikin sop iga bakar sendiri aja?”

Yang ditanya mencibir, “Ribet, saya males.”

Mina menyanggah, “Tuhkan, malesnya udah gak ketolong banget, Ayu!”

Ayu tertawa terbahak-bahak, “Tapi emang masaknya agak ribet sih, kalau bisa pesen aja kenapa harus masak?”

Ibra mengacungkan jempol setuju, “Beuh saya setuju banget sama kamu, pemikiran yang cerdas!”

Ketiganya berbagi cerita dengan gelak tawa membahagiakan.



“Udah adzan maghrib, saya shalat di masjid ya, kalian jama'ah aja di ruang musholla,” Ibra menyodorkan sepasang mukena yang ada di dekatnya ke Ayu, “Nih pake.”

“Oh iya, makasih, Kak.”

Mina mengambil posisi duduknya tegap sebelum memulai takbiratul ihram. Ayu yang posisinya menjadi imam langsung mengangkat kedua tangannya.

“Allahu Akbar.”

Flashback

Ibra di masa remajanya, pada saat itu ia tengah shalat dhuha sendirian karena yang seharusnya ia ikut bersama-sama di masjid sebelum memulai pelajaran namun karena kali ini ia terlambat masuk kelas, terpaksa ia lakukan itu sendiri.

Ternyata Ibra tak sendiri, seorang gadis mungil yang berlari tergopoh-gopoh dengan tas ransel yang ia jinjing—tampaknya gadis itu memiliki nasib yang sama dengan Ibra.

“Allahu akbar.”

Suara Ibra yang menggema membuat sang gadis itu tersontak. Matanya terbelelak begitu menyadari siapa pemuda di balik punggung luasnya.

“Eh, itu Kak Ibra?” sontaknya dengan nada membisik, jantungnya seketika berdegup kencang tak menentu. Pin nama Ayudistya Ningrum itu menahan jeritan dalam hatinya, bagaimana bisa ia saat ini berada di situasi yang sama dengan laki-laki pujaan hatinya?

Ayu terdiam sejenak menatap punggung Ibra yang masih bersembahyang, benaknya membayangkan bila suatu saat nanti jika takdir merestui, ketika Ibra berdiri di depannya sebagai imam baginya dan juga—

“Ayuu!” sahutan kawannya membuyarkan semua imajinasi Ayu. Gadis itu bergedik, menatap tajam kawannya namun tak di hiraukan, malah kawannya itu menoleh ke depan—arah shaf laki-laki dan menyadari kehadiran Ibra.

“OH ADA KAK IBRA YA???”

Yang disebut namanya menoleh ke sumber suara, cepat-cepat Ayu lari menuju tempat wudhu seraya tangannya menyeret kawannya yang bermulut ember.

“Ih kamu mah kebiasaan, Tyas!”

“Ya aku kelepasan, Ayu....”

“Orangnya ampe nengok gitu ih!!”

Kawan yang dipanggil Tyas tersenyum penuh arti, “Ciee tadi kamu bayangin apa tentang Kak Ibra?”

Ayu menggeleng cepat, ia memfokuskan tujuannya untuk melaksanakan shalat dhuha.

Begitu shalat selesai, Ayu bersalaman dengan Mina. Matanya tertuju ke seluruh ruangan musholla sambil dadanya terhenyak.

Gimana ya, rasanya di imamin shalat sama Kak Ibra....



“Kamu hati-hati di jalan, jangan lewat gang kecil kalau udah malem, bahaya,” tutur pemuda itu yang baru saja pulang dari masjid—melepas Ayu yang akan pulang ke rumahnya.

“Iya, Kak Ibra, Kak Mina, aku pamit ya... Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, dadaah Ayu!” sahut Mina dengan riang. Ibra masih diam di tempatnya, memastikan Ayu aman sampai keluar dari blok rumahnya. Sekarang lelaki itu memicing matanya tajam ke sang kakak.

“Apa lo lihat-lihat gue?!” desis Mina jengkel.

“Lain kali gak usah ketemu Ayu kalau cuman buat gibahin orang, terutama gibahin gue!”

Mina menjulurkan lidahnya, “Emang aku ngegibahin kamu? kan aku nyindir kamu langsung wleek!”

Ibra menarik nafasnya dalam-dalam, “Ya jangan ngejelek-jelekin gue juga dong, gue kan bosnya di kantor.”

Mina tak menggubris, malah bersenandung ria sambil masuk ke rumahnya dengan telinga yang ia tutup rapat-rapat.

Bukan Ibra-Mina kalau seharian tanpa ada keributan.