She's My Blue
Flashback, seminggu sebelum Ibra berangkat ke Turki, di kediaman Ayu....
Ibra menegup salivanya bulat-bulat, kali ini ia datang tidak sendirian melainkan ada ayahnya juga kakak iparnya yang ikut mendampingi Ibra.
“Deg-degan ya?” goda Husein.
“Berisik lu, Bang.” cetus Ibra menutupi rasa gugupnya.
Akhirnya pemuda itu melangkahkan kakinya ke sebuah rumah yang akan memberikan jawaban dari takdir. Berharap namun cemas bahwa kali ini yang baik-baik berpihak padanya.
“Assalamualaikum...” Ibra duluan yang mengucap salam, kedatangannya langsung di sambut oleh pria baya yang ternyata juga sudah menantikan kehadiran Ibra.
“Waalaikumsalam, nak Ibra, Haidar, nak Husein, silahkan masuk.”
Ketiga tamu di persilahkan untuk duduk dan tak lama suguhan teh jahe hangat sudah ada di atas meja tamu. Kaki Ibra gemetar bukan main, ia takut sekali kedatangannya ini tak akan diterima, mengingat ia pernah datang untuk sesuatu yang menyakitkan seolah ia menarik kembali semua kata-katanya dengan mudah. Tapi bagaimana? itulah yang namanya takdir takkan ada yang tahu.
“Bagaimana Ayu di kantor, Bra?” tanya Ustadz Fadhil.
“Bagus kok, Pak, Ayu sekarang sudah semakin bagus pekerjaannya, lebih gesit dan sabar,” jawab Ibra.
“Saya dengar kamu baru resign ya? sudah matang semua persiapan kuliah kamu?”
“Sudah, Pak, Alhamdulillah.”
“Saya doakan yang terbaik untuk kamu.”
Ibra menegup salivanya lagi, jantungnya sudah berpacu cepat bahkan tangannya berkeringat. Ia mulai mengatur tempo nafasnya, di kepal kuat tangannya, inilah saatnya Ibra membuka suara.
“Um, Pak Fadhil, sebelumnya kedatangan saya kesini ingin meminta izin, Pak....”
“Izin apa?”
“Melamar putri bapak.”
Suasana ruang tamu semakin menegang bahkan Haidar dan Husein yang posisinya hanya mendampingi ikut was-was. Pokoknya mereka sudah siap menanggung malu kalau niat baiknya di tolak.
“Ibrahim...” Fadhil tertawa kecil, “Kamu lupa terakhir kalinya kamu datang kesini karena apa?”
Pertanyaan yang sangat menggoncangkan hati, Ibra benar-benar pasrah dengan hasil akhirnya.
“Tidak, saya masih ingat, Pak.”
“Setelah kamu datang untuk memutus, sekarang kamu datang lagi untuk kembali?”
Ibra menahan nafasnya.
“Saya... memohon maaf apabila pada saat itu melukai hati bapak dan juga putri bapak, butuh pemikiran panjang bagi saya untuk bisa sampai di tahap ini, Pak, karena selama saya bersama putri bapak... ada rasa yang ingin saya wujudkan dalam hidup saya.” “Saya hanya bisa melihat masa depan saya bersama Ayudia, Pak, dan saya ingin Ayudia terus ada di sisi saya.”
Fadhil masih tak ingin menjawab cepat permintaan Ibra, ia meneguk teh jahenya lalu mengajukan satu pertanyaan lagi sebagai penentu dari keseriusan Ibra.
“Saya ingin bertanya satu kali lagi.” “Apa alasan kuat kamu hingga akhirnya kembali memilih Ayu sebagai wanita pilihan kamu, Ibrahim?”
Ibra sudah menyiapkan jawabannya.
“Karena Ayudia, adalah definisi hangatnya sebuah rumah bagi saya, Pak. Setiap saya ada di samping Ayu, entah kenapa semua beban yang saya pikul hilang. Ayu seolah memberikan ruang bagi saya, untuk menjadi diri saya sendiri di saat orang-orang menaruh harapan dan ekspetasi tinggi terhadap saya.”
Fadhil masih terus bergeming, tak akan habis kalau ia terus bertanya karena sejujurnya sang ayah dari gadis yang ingin di pinang Ibra ini masih belum sepenuhnya rela.
Tapi ia teringat, bahwa putrinya juga masih mengharapkan kisah cinta 8 tahunnya terwujud.
“Ayu bagaimana? sudah tahu kamu ingin meminangnya?”
“Saya ingin meminta izin terlebih dahulu sama Bapak sebelum saya melamar Ayu-nya langsung.”
Fadhil menghela nafas panjang, “Percuma kalau saya bilang iya tapi Ayu-nya gak mau. Saya sih bagaimana putri saya.”
Mata Ibra membulat sempurna, “E-Eh, jadi... boleh nih, Pak?”
“Ya monggo, kalau di terima anak saya syukur, kalau enggak yaudah kamu yang sabar ya.”
Ibra mendecak YES kencang-kencang tanpa melihat situasinya yang masih di rumah 'calon mertua'. Fadhil terkekeh geli, sedangkan Haidar langsung berdiri dan memeluk kawannya sebagai ucapan terima kasih, di ikut Husein juga sebagai awal mula mengikat tali kekerabatan.
Sekarang satu langkah lagi, Ibra akan menemukan 'rumah' yang sesungguhnya.