Nafisa dan Anela

Mobil putih berhenti sempurna di depan rumah kayu jati kuno dengan bangunan khas jawa. Haidar masih menatap wajah Anela yang masih terlukis raut bahagianya.

Semoga Maryam masih tersenyum gini setelah bertemu Nafisa...

“Mas Haidar? Kok bengong?”

Pria bersurai bersurai coklat legam itu menggeleng pelan, tangan besarnya mengelus lembut pipi sang istri, “Nggak, saya gapapa. Yuk turun.”

Masih dengan perangai cerianya, Anela membawa bunga dari suami tercintanya itu agar bisa ditunjukkan ke Aisyah sebagai bentuk sukacitanya.

Haidar masih berhenti di tempatnya, kakinya kaku untuk melangkah mengikuti istrinya dari belakang...

Ia takut jika masa kininya berguncang hanya karena masa lalunya datang mampir.

Inilah kenapa setiap kisah harus di selesaikan semuanya baik-baik.

Haidar harap, pertemuan Anela dengan Nafisa ini menjadi jalan untuk benar-benar mengakhiri masa lalu yang sempat mengikat hatinya... dan bekas ikatan ini akan menghilang sempurna.

“Bang Haidar! Kak Anela!”

Sahutan melengking Aisyah menyambut kehadiran pasangan itu, Anela lari memeluk tubuh mungil gadis itu dan memamerkan buket bunga pemberian Haidar ke Aisyah, “Lihat nih, pemberian abangmu!“ujuk Anela dengan bangganya.

“Ciee Bang Haidar bisa juga ya romantis! Dikira... masih harus remedial dulu gitu sama Bang Adit atau Bang Marco...”

Haidar hanya tertawa renyah.

”... Seperti yang kita ketahui, Fatimah Radhiallahu Anhu adalah salah satu sosok wanita inspiratif yang harus kita teladani sifat-sifatnya sebagai seorang mukminin...”

Suara menenangkan ini membuat langkah kaki Haidar langsung terhenti.

“Kalian tahu kisah beliau ketika menyerahkan kalung berharga satu-satunyanya kepada seorang musafir?” “Pada saat itu, ada seorang musafir yang menemui Rasulullah saw di sebuah masjid. Musafir itu kemudian meminta belas kasih Rasulullah karena bekal makanan dan seluruh hartanya telah habis. Bahkan si musafir juga menjelaskan bahwa pakaian yang dimilikinya hanya yang menempel di badannya ketika itu...”

Haidar menatap dari kejauhan, sosok wanita berhijab panjang berwarna biru pastel. Wanita itu dengan penuh pengkhayatan membacakan kisah inspiratif dari sosok putri Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

“Rasulullah saw kemudian meminta maaf kepada si musafir karena saat itu beliau tidak memiliki makanan atau benda lain yang bisa diberikan kepada si musafir. Lantas Rasulullah menyuruh si musafir untuk pergi ke rumah Rasulullah agar meminta bantuan kepada putrinya, Fatimah Az-Zahra...”

“Nafisa.”

Nafisa terkejut bukan main begitu sosok Haidar ada di belakangnya dan melihat dirinya tengah mengajar.

“Haidar...?”

“Ah ini kali kita bertemu di pondok, bukannya... Adit kasih tahu soal hari ini?”

Nafisa terkesiap, “Ah... afwan, Haidar, aku lupa...”

Mereka hanya bisa saling bertukar senyum sapa, Haidar memanggil istrinya yang masih asik berbincang dengan Aisyah,

“Kamu masih ingat kan dengan Maryam, istri saya?”

“Ah iya, Assalamualaikum, Anela...?” “Namanya Anela atau Maryam...?”

Haidar tersenyum, “Maryam itu panggilan sayang dari saya, karena saya suka arti dari nama itu.”

Nafisa tersenyum simpul, “Oh iya, artinya suci, bukan begitu?”

Haidar mengangguk, “Maryam, ini Nafisa, teman SMA saya yang menjadi guru disini. Dia mengajar Fiqih disini tapi tampaknya sekarang lagi sesi dongeng...?”

“Iya, lebih tepatnya sesi membaca cerita inspiratif dari tokoh Islam.”

“Ah iya, maaf, itu maksud saya.”

Anela menjawab oh ria, “Oh ya, salam kenal, Mbak Nafisa...”

“Kalau begitu, Nafisa, silahkan dilanjutkan ceritanya. Saya dengan istri saya disini cuman mau memantau kok kegiatan disini.”

Nafisa mengangguk nurut, kakinya kembali menjadi pembuka cerita yang terpotong, menyambung kembali bait kisah yang akan dijadikan bahan pembelajaran anak-anak pada hari ini... dan juga Anela.

“Oke, kita lanjut lagi ya ceritanya...” “Sesampainya di rumah Rasulullah, si musafir langsung menemui Fatimah dan menjelaskan maksud kedatangannya. Fatimah Az-Zahra yang memiliki kelembutan hati lantas berpikir bagaimana cara agar bisa membantu musafir tersebut meski saat itu Fatimah juga tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada musafir...” “Akhirnya, Fatimah teringat bahwa dirinya masih memiliki kalung pemberian Ali bin Abi Thalib, hadiah spesial pernikahannya. Kalung bersejarah itu pun diberikan kepada si musafir agar dijual dan hasilnya bisa digunakan untuk membeli keperluan perjalanannya.”

Anela sedikit terhenyak dengan pembawaan cerita yang dibawakan Nafisa kepada anak-anak di pondok sana. Keibuan, dan kelembutan yang ia bawa dalam setiap bait penyampaiannya benar-benar meresap dalam hati. Siapapun itu, pasti akan terkesima dengan sosok Nafisa.

Tapi...

Kenapa sekarang Haidar tak bisa melepas pandangannya dari Nafisa?

Tatapan Haidar itu sangat dalam, dan penuh dengan kesedihan. Ada apa dengan Haidar?

“Mas...?”

Haidar langsung membuyarkan lamunan panjangnya, “Ya? Kenapa?”

Anela menatap lagi kedua mata suaminya itu, memberikan sebuah sinyal tanda tanya ada apa dengan dirinya hari ini... tapi Anela sudah mendapat jawabannya sendiri.

“Kamu lapar? Mau pulang aja atau nungguin saya disini sampai pulang—”

“Saya mau pulang.”

Haidar tersontak, “Kamu gak mau denger kisahnya Fatimah...?”

“Lebih baik saya denger di YouTube aja.” “Kalo gitu saya pulang ya.”

“Ya sudah kalau gitu saya antar—”

“Gak usah, saya naik ojek online aja.”

“Naik ojek online gimana?! Kan ada saya—”

“Kalo Mas khawatir, mending saya naik motor sama Aisyah.”

“Kenapa harus naik motor sama Aisyah, Maryam? Kamu ada apa sih?!”

“Saya mau cari udara segar, kalo gitu silahkan di lanjut pekerjaan Mas.”

Anela langsung pergi meninggalkan pria berparas eksotis itu diam terpatung disana, menarik tangan Aisyah agar cepat-cepat membawanya pergi dari tempat ini.

Tempat ini seketika berubah menjadi menyesakkan semenjak kehadiran Nafisa disini.

Entahlah, hanya insting wanita yang sedang bergejolak ketika mata seorang laki-laki itu terlalu dalam pada lamunan...

Anela harus waspada.