shinelyght

“Ayo ajarin Mama juga pakai jilbab panjang kayak gini!”

Gue cukup kaget dengan permintaan Mama yang satu ini, seneng sih tapi kayak gak nyangka aja gitu, secara Mama tuh orangnya sangat fashionable dan kekinian, Alhamdulillah kalau Mama jadi ikut hijrah sama-sama kayak gini.

“Gampang, Ma, beli aja kerudung bergo dulu kayak Anela nih, sama beli pashmina yang panjangnya sekitar 200x75 cm nanti kita belajar model hijab yang syar'i tapi tetep kelihatan cantik.”

Senyuman lebar Mama menyungging sempurna hingga menampilkan lesung pipit manisnya dari sudut pipi, “Anela, jujur aja, Mama... bahagia sekali dengan diri Anela yang sekarang... dan kamu bisa mendapatkan pendamping seperti Haidar” “Sekarang Mama sudah bisa bernafas lega...”

Mama merangkul bahu gue erat,

“Kamu adalah permata kami, Anela.”

Ucapan itu benar-benar menyentuh hati terdalam gue, membuat sedikit berat juga untuk meninggalkan rumah tapi... ini sudah menjadi fase hidup gue.

Gue sudah cukup dewasa untuk di timang-timang lagi.

“Anela... sayang Mama.”

Mama mengecup pipi gue hangat, “Kami jauh lebih sayang kamu, Anela”

Padahal gue gak nyebut Papa disitu 🙄


“Hah? Papa gak tidur 2 hari?”

Mama mengangguk sambil terus melahap ramennya itu, “Iya! Pas Mama tanyain tuh ya... katanya efek obat eh semalem akhirnya Papa cerita kalau dia gak bisa tidur karena mikirin kamu!” “Papa tuh... diem-diem masih gak rela kalau anak gadisnya mau dibawa pergi sama anak orang...! Hihihihi...”

Apaan, tadi pagi juga gak ada nyapa-nyapanya, malahan nyuruh persiapin bahan skripsi dari sekarang biar bisa cumlaude. Aneh tuh orang!

“Enggak tuh, tadi aja Papa cuek sama Anela malahan disuruh nyari bahan skripsi dari sekarang!”

Mama terkekeh kecil, tangannya berhenti menyendok kuah miso di mangkuknya lalu menghadap ke arah gue dengan lurus, “Anela sayang, Mama akan menitipkan satu pesan untuk kamu, sebelum nanti kamu menikah biar kamu gak kaget ketika seandainya kamu melihat cara suami kamu mengungkapkan cintanya dengan cara yang berbeda...” “Memang, Papa itu sangat keras terhadap kamu dan Bang Jeffry, lalu tidak pernah memperhatikan kalian secara langsung tapi... Papa punya cara sendiri untuk mengungkapkan perasaan cintanya.”

Mama merogoh ponsel dari tasnya, lalu membuka layar dan menampilkan sebuah gambar rumah dengan pemandangan yang sangat bagus di sekitarnya, ada danau jernih bersama rerumputan hijau yang asri nan bersih...

Rumah ini bagaikan istana buat gue.

“Papa memberikan rumah ini untuk kamu, beserta pesannya...”

Mama menggeser layar berikutnya, disitu terdapat kertas yang berisi goresan tulisan tangan Papa dan tlah di scan beserta tanda tangan bermaterai Papa...

Untuk putriku, Anela...

Anela malaikat kecilku, sangat menyukai pemandangan hijau yang asri dengan danau biru nan luas. Sepulang dari Sleman, aku selalu mendengar ocehannya mengenai waduk besar yang ada di Pondok Abah Faqih, dan aku menginginkan anakku menikmati itu sebagai miliknya...

Mungkin akan memakan waktu lama untuk menciptakan istana impiannya, tapi aku sebagai Papanya tetap akan mewujudkannya apapun caranya.

Karena senyum bahagianya, lebih berharga dari setumpuk uang yang akan aku keluarkan nanti untuk mewujudkan istananya...

14 Januari 20XX Darren Adi Soetomo

Bulir kristal yang menumpuk di pelupuk mata gue berhasil lolos membasahi pipi, bayangan monster yang selama ini melekat di sosok Papa seketika luruh dengan rasa haru yang menyesakkan dada.

“Semalam Papa bilang sama Mama... dia menyesal karna sempat salah menilai Haidar, calon suamimu...” “Haidar... datang meminangmu bukan hanya sekedar modal cinta dan kata-kata manis, tapi dia sungguh-sungguh ingin mengajak kamu ke syurga bersama... dan itu benar-benar menyentuh hati kami berdua, Anela...” “Kami berdua beruntung sekali, bisa mendapatkan sosok seperti Haidar yang akan menjadi bagian keluarga kami. Tolong ya nak, kamu harus patuh dengan suamimu nanti apapun yang terjadi... tetaplah ada di sisinya, jadilah rumah yang hangat bagi keluarga kecilmu nanti...”

Mama menggenggam tangan gue erat...

“Selamat menempuh kehidupan baru ya, putriku...”

Gue gak bisa sembunyikan lagi perasaan ini, pelukan kami yang masih terkait terus gue peluk erat-erat...

“Mah...”

“Ya sayang?”

“Anela mau ketemu Papa...”

Mama tersenyum lembut, “Coba lihat ke belakang”

Gue tertegun, mata gue sontak melotot begitu melihat Papa dengan kemeja berantakannya itu tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal...

Papa...

“Kamu kenapa nangis sesegukan gini?! Haidar abis ngapain sama kamu?!”

Bukannya tenang, justru tangisan gue semakin pecah. Setelah bayang-bayang buruk itu lepas dari sosok Papa, seketika gue bisa melihat sisi lemahnya yang menatap gue sayu, dengan rambutnya yang terus memutih mengikuti jalannya waktu...

Ya Allah, selama ini hamba berdosa banget bisa memendam perasaan benci sama Papa selama 20 tahun...

“Kamu kenapa, nak? Haidar abis ngapain? Perlu Papa datengin?”

Gue menggeleng kencang, “Enggak... Mas Haidar gak kenapa-kenapa...”

Papa langsung memeluk gue erat, menenggelamkan kepala mungil gue di dadanya yang bidang, aroma maskulin yang menghangatkan ini... sudah berapa lama gue membenci aroma ini?

Bisa-bisanya gue membenci tempat sandaran senyaman ini? Anela lo udah gila emang.

“Papa... Maafin Anela, Pa... Anela sayang Papa...”

Wajah Papa seperti kebingungan, namun Mama memberi sinyal bahwa kita semua baik-baik saja.

Tangan besar Papa menepuk pundak gue lembut, membelai kepala gue yang dibalut hijab...

“Putri sholehah Papa... maafin Papa juga ya...” “Terima kasih, sudah mau menjadi putri kebanggaan kami... Papa... sangat bangga dengan Anela, terutama... soal keputusanmu sekarang... untuk hijrah... terima kasih, nak...”

Seumur-umur...

Selama 20 tahun ini, baru sekarang kalimat itu terucap dari kedua sudut bibir Papa...

Dada gue rasanya remuk, tapi bercampur bahagia. Kapan lagi gue bisa merasakan kehangatan keluarga seperti ini?

“Anela sayang Papa sama Mama... hiks hiks...”

Mama ikut memeluk tubuh ringkuh gue yang masih tenggelam di pelukan Papa.

“Kami juga sangat sayang Anela...” “Jadilah istri yang baik untuk suamimu ya, anakku...”

“Ayo ajarin Mama juga pakai jilbab panjang kayak gini!”

Gue cukup kaget dengan permintaan Mama yang satu ini, seneng sih tapi kayak gak nyangka aja gitu, secara Mama tuh orangnya sangat fashionable dan kekinian, Alhamdulillah kalau Mama jadi ikut hijrah sama-sama kayak gini.

“Gampang, Ma, beli aja kerudung bergo dulu kayak Anela nih, sama beli pashmina yang panjangnya sekitar 200x75 cm nanti kita belajar model hijab yang syar'i tapi tetep kelihatan cantik.”

Senyuman lebar Mama menyungging sempurna hingga menampilkan lesung pipit manisnya dari sudut pipi, “Anela, jujur aja, Mama... bahagia sekali dengan diri Anela yang sekarang... dan kamu bisa mendapatkan pendamping seperti Haidar” “Sekarang Mama sudah bisa bernafas lega...”

Mama merangkul bahu gue erat,

“Kamu adalah permata kami, Anela.”

Ucapan itu benar-benar menyentuh hati terdalam gue, membuat sedikit berat juga untuk meninggalkan rumah tapi... ini sudah menjadi fase hidup gue.

Gue sudah cukup dewasa untuk di timang-timang lagi.

“Anela... sayang Mama.”

Mama mengecup pipi gue hangat, “Kami jauh lebih sayang kamu, Anela”

Padahal gue gak nyebut Papa disitu 🙄


“Hah? Papa gak tidur 2 hari?”

Mama mengangguk sambil terus melahap ramennya itu, “Iya! Pas Mama tanyain tuh ya... katanya efek obat eh semalem akhirnya Papa cerita kalau dia gak bisa tidur karena mikirin kamu!” “Papa tuh... diem-diem masih gak rela kalau anak gadisnya mau dibawa pergi sama anak orang...! Hihihihi...”

Apaan, tadi pagi juga gak ada nyapa-nyapanya, malahan nyuruh persiapin bahan skripsi dari sekarang biar bisa cumlaude. Aneh tuh orang!

“Enggak tuh, tadi aja Papa cuek sama Anela malahan disuruh nyari bahan skripsi dari sekarang!”

Mama terkekeh kecil, tangannya berhenti menyendok kuah miso di mangkuknya lalu menghadap ke arah gue dengan lurus, “Anela sayang, Mama akan menitipkan satu pesan untuk kamu, sebelum nanti kamu menikah biar kamu gak kaget ketika seandainya kamu melihat cara suami kamu mengungkapkan cintanya dengan cara yang berbeda...” “Memang, Papa itu sangat keras terhadap kamu dan Bang Jeffry, lalu tidak pernah memperhatikan kalian secara langsung tapi... Papa punya cara sendiri untuk mengungkapkan perasaan cintanya.”

Mama merogoh ponsel dari tasnya, lalu membuka layar dan menampilkan sebuah gambar rumah dengan pemandangan yang sangat bagus di sekitarnya, ada danau jernih bersama rerumputan hijau yang asri nan bersih...

Rumah ini seperti rumah surga bagiku.

“Papa memberikan rumah ini untuk kamu, beserta pesannya...”

Mama menggeser layar berikutnya, disitu terdapat kertas yang berisi goresan tulisan tangan Papa dan tlah di scan beserta tanda tangan bermaterai Papa...

Untuk putriku, Anela...

Anela malaikat kecilku, sangat menyukai pemandangan hijau yang asri dengan danau biru nan luas. Sepulang dari Sleman, aku selalu mendengar ocehannya mengenai waduk besar yang ada di Pondok Abah Faqih, dan aku menginginkan anakku menikmati itu sebagai miliknya...

Mungkin akan memakan waktu lama untuk menciptakan istana impiannya, tapi aku sebagai Papanya tetap akan mewujudkannya apapun caranya.

Karena senyum bahagianya, lebih berharga dari setumpuk uang yang akan aku keluarkan nanti untuk mewujudkan istananya...

14 Januari 20XX Darren Adi Soetomo

Bulir kristal yang menumpuk di pelupuk mata gue berhasil lolos membasahi pipi, bayangan monster yang selama ini melekat di sosok Papa seketika luruh dengan rasa haru yang menyesakkan dada.

“Semalam Papa bilang sama Mama... dia menyesal karna sempat salah menilai Haidar, calon suamimu...” “Haidar... datang meminangmu bukan hanya sekedar modal cinta dan kata-kata manis, tapi dia sungguh-sungguh ingin mengajak kamu ke syurga bersama... dan itu benar-benar menyentuh hati kami berdua, Anela...” “Kami berdua beruntung sekali, bisa mendapatkan sosok seperti Haidar yang akan menjadi bagian keluarga kami. Tolong ya nak, kamu harus patuh dengan suamimu nanti apapun yang terjadi... tetaplah ada di sisinya, jadilah rumah yang hangat bagi keluarga kecilmu nanti...”

Mama menggenggam tangan gue erat...

“Selamat menempuh kehidupan baru ya, putriku...”

Gue gak bisa sembunyikan lagi perasaan ini, pelukan kami yang masih terkait terus gue peluk erat-erat...

“Mah...”

“Ya sayang?”

“Anela mau ketemu Papa...”

Mama tersenyum lembut, “Coba lihat ke belakang”

Gue tertegun, mata gue sontak melotot begitu melihat Papa dengan kemeja berantakannya itu tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal...

Papa...

“Kamu kenapa nangis sesegukan gini?! Haidar abis ngapain sama kamu?!”

Bukannya tenang, justru tangisan gue semakin pecah. Setelah bayang-bayang buruk itu lepas dari sosok Papa, seketika gue bisa melihat sisi lemahnya yang menatap gue sayu, dengan rambutnya yang terus memutih mengikuti jalannya waktu...

Ya Allah, selama ini hamba berdosa banget bisa memendam perasaan benci sama Papa selama 20 tahun...

“Kamu kenapa, nak? Haidar abis ngapain? Perlu Papa datengin?”

Gue menggeleng kencang, “Enggak... Mas Haidar gak kenapa-kenapa...”

Papa langsung memeluk gue erat, menenggelamkan kepala mungil gue di dadanya yang bidang, aroma maskulin yang menghangatkan ini... sudah berapa lama gue membenci aroma ini?

Bisa-bisanya gue membenci tempat sandaran senyaman ini? Anela lo udah gila emang.

“Papa... Maafin Anela, Pa... Anela sayang Papa...”

Wajah Papa seperti kebingungan, namun Mama memberi sinyal bahwa kita semua baik-baik saja.

Tangan besar Papa menepuk pundak gue lembut, membelai kepala gue yang dibalut hijab...

“Putri sholehah Papa... maafin Papa juga ya...” “Terima kasih, sudah mau menjadi putri kebanggaan kami... Papa... sangat bangga dengan Anela, terutama... soal keputusanmu sekarang... untuk hijrah... terima kasih, nak...”

Seumur-umur...

Selama 20 tahun ini, baru sekarang kalimat itu terucap dari kedua sudut bibir Papa...

Dada gue rasanya remuk, tapi bercampur bahagia. Kapan lagi gue bisa merasakan kehangatan keluarga seperti ini?

“Anela sayang Papa sama Mama... hiks hiks...”

Mama ikut memeluk tubuh ringkuh gue yang masih tenggelam di pelukan Papa.

“Kami juga sangat sayang Anela...” “Jadilah istri yang baik untuk suamimu ya, anakku...”

9 tahun yang lalu, Haidar masih berusia 16 tahun.

Laki-laki muda penuh ambisi, lurus nan kaku, baginya hidup adalah soal kualitas diri, dan mimpi. Haidar tidak pernah mau terusik dengan hal picisan seperti 'cinta monyet'.

Meskipun bersekolah di pesantren, dimana santriwan dan santriwatinya di pisahkan bukan berarti menghalangi jiwa anak muda untuk saling jatuh cinta. Terkadang ada satu momen mereka bisa saling bertukar pandangan sampai akhirnya bisa bertukar surat, Haidar tak pernah merasakannya, tapi ia malahan jadi perantara surat yang ditujukan kepada 2 kawan hitsnya, Aditya dan Marco.

“Dah! Ojo suruh-suruh aku antar suratmu lagi! Aku bukan tukang pos!“protes Haidar kesal, sambil melempar setumpuk surat di atas meja bundar rendah tepat di depan muka Aditya dan Marco

“Yee, Dar, sirik mah bilang”cicir Aditya terkekeh, di ikuti ketawa renyah khas Marco yang receh, Haidar hanya mendengus sebal sambil menarik bukunya pergi mendahului kedua kawannya itu

“Yah jangan ngambek, Dar!”

“Haidar, woy!”

Haidar tak menggubris, langkahnya semakin menghentak keras. Rasanya malas betul kalau sudah bahas cinta picisan yang terjadi di sekolah bak penjara ini, alias gak se-bebas sekolah lainnya, kontak antara laki-laki dengan perempuan benar-benar di babat habis, sangat terbatas bahkan sekalinya ada momen itu dijadikan sebagai kesempatan emas para remaja yang bergejolak itu untuk mengejar cintanya.

Menurut Haidar itu sangat konyol, cinta selewat di masa remaja ini hanyalah sebuah angin lalu nantinya, jadi untuk apa repot-repot melanggar peraturan demi meraih cinta sementara? Bukannya memberi kebahagiaan, malahan nambah kenangan pahit.

“Cinta yang berkualitas hanya untuk orang yang berkualitas, jadi lebih baik kita fokus meningkatkan kualitas diri, nanti juga cinta akan datang pada waktunya”

Itulah prinsip yang di pegang teguh Haidar,

Sampai akhirnya...

Haidar bertemu dengan dia, sosok gadis pendatang yang di kenal cantik nan meneduhkan, kecerdasannya dan suara merdunya ketika melantunkan Al-Qur'an...

Pertemuan mereka yang tak di sengaja pada saat acara pondoknya, menjadi awal mula Haidar mulai membuka hatinya untuk menyambut kisah cinta remajanya...

“Nafisa Nurul Habsyi...”

Aditya menoleh kaget, bersama Marco yang ikut tersontak begitu mendengar momen langka, dimana Haidar, si bocah kaku bak kanebo kering menggumamkan nama seorang gadis.

“Psst, psst, Marco!”

Marco mendongak, “Iya..!”

“Haidar nyebut nama Nafisa tadi?”

“Iya jir!”

“Woilah... kita pantau dia, bro.”

“Yoi.”

Tangan Haidar tengah menggores tiap bait puisi yang ia buat, meskipun tidak akan tersampaikan nanti kepada sang pujaan hati tapi setidaknya... buku ini sudah menjadi saksi cinta pertamanya seorang Haidar El Fatih.

Setelah ini, ia akan menjalani kehidupan remajanya seperti biasa.


“Surat untuk saya?”

Tiba-tiba ada seorang santriwati menghampirinya setelah acara selesai, dengan secarik kertas yang disodorkan untuk Haidar.

“Kamu beruntung, dari sekian banyak laki-laki yang kirim surat, cuman kamu yang dibales.”

“Tapi saya gak kirim surat?”

“Ojo nyangkal, Dar, jelas-jelas Nafisa dapet puisi dari kamu kemarin kok.”

Mata Haidar membulat sempurna, Sejak kapan saya kirim puisi ke Nafisa?! Saya kan cuman nulis di buku harian saya— owalah cok, pasti kerjaannya Aditya sama Marco ini! Bocah gembleng!

“Na-Nafisa responnya gimana?!”

“Mana aku tahu, lihat aja sendiri, nih!”

Haidar menerima surat itu gemetar, tak menyangka isi hatinya akan mendapat balasan secepat ini.

Terimanya aja udah gugup gak karuan gini, mana sanggup Haidar buka dan baca suratnya. Bisa-bisa tewas di tempat dia.

Tapi dengan bismillah, Haidar perlahan membuka suratnya itu dengan hati-hati...

Untuk, Haidar El Fatih

Terimakasih untuk puisinya, saya suka dengan tiap bait yang kamu tulis. Maaf sebelumnya, bagi saya, saat ini kita belum cukup umur untuk ke jenjang serius, alias, dalam menjalani hubungan pun saya masih belum bisa karena itu melanggar syariat bukan? tapi saya hargai perasaanmu, terima kasih ya, Haidar

Haidar meringis, “Siapa juga yang ngajak kamu menjalani hubungan?! Argh, awas aja nih Adit sama Marco!” “Saya udah gak ada muka lagi ini mah—”

Saya punya mimpi, Haidar...

Mata Haidar memencak.

Saya ingin melanjutkan pendidikan saya ke Kairo, tepatnya Universitas Al-Azhar, saya mau belajar Ilmu Fiqih lebih dalam disana...

Jadi maaf ya sekali lagi, saya tidak bisa membalas perasaanmu sekarang, tapi gak tahu nanti. Kalau kamu bersedia menunggu saya pulang dari Kairo, saya bisa pertimbangkan lebih lanjut soal hubungan kita... Karena saya juga jatuh cinta dengan puisi romantismu, Haidar

Dari situlah Haidar bertekad...

Ia harus menaklukkan kota Kairo.

Untuk Nafisa Nurul Habsyi

Baik kalau begitu,

Sampai ketemu nanti di Kairo, Nafisa Saya janji, begitu saya dapat Kairo di tangan saya, saya akan meminang kamu. Karena saya tidak main-main dengan perasaan saya.


Semesta seolah tak berpihak pada Haidar, pemuda itu dinyatakan tidak lolos seleksi masuk universitas yang ia mau, yakni Universitas Al-Azhar, bersama ribuan peserta lainnya yang dinyatakan gugur.

tapi Nafisa, Allah mengizinkan gadis itu berangkat kesana mengejar mimpinya.

Nafisa... saya minta maaf, sepertinya belum rejeki saya untuk pergi ke Kairo sekarang. Saya terpaksa harus kuliah di Indonesia, tapi bukan berarti saya menyerah disini. Tunggu S2 nanti, Nafisa, saya akan menyusul kamu dan saya benar-benar akan meminang kamu disana...

Rasa kecewa yang begitu dalam berkecamuk hebat di dada pemuda itu. Menggapai mimpi dan cinta dalam satu paket, tak jua jatuh di tangannya. Mungkin memang Haidar harus bersabar sedikit lagi, tapi rasanya sulit jika ia benar-benar harus terpisah beribu-ribu kilometer dengan sang wanita kasih.

Bertukar pesan seperti ini saja sudah membuat rindu menggerogoti jantungnya.

Nafisa : +20-2-xxxx-xxxx

Itu nomor waliku di Kairo, Dar, tapi kalau sewaktu-waktu mau hubungi boleh meskipun akan jarang aku angkat... setidaknya kalau ada kabar penting kamu boleh kabari aku lewat nomor itu Kita tetap komunikasi lewat surat seperti ini ya? Saya akan menunggu kamu di Kairo, sampai jumpa disana

Nafisa, saya benar-benar memegang janji saya, saya tetap mengejar cintamu ke negeri Kairo

Semua itu tetap dipegang teguh oleh sosok pemuda berparas eksotis itu, dengan ambisi dan ketekunannya yang berusaha mengejar negeri Piramida itu sampai akhirnya...

“Maaf, Haidar, aku sudah gak bisa menunggu kamu lagi disini”

Jantung Haidar pada saat itu rasanya seperti disambar petir, nafasnya tersekat di tengah kerongkongannya hingga laki-laki itu tak sanggup berkata-kata. Telepon yang ia terima dari sang pujaan hati seharusnya menjadi kabar gembira tapi ini justru... sebaliknya.

“Ke-Kenapa, Nafisa?”

“Saya... akan menikah dengan pria lain disini”

Menikah dengan pria lain? Nafisa, bukankah kamu janji akan menunggu saya? Kenapa kamu mengingkarinya?

“Terlalu lama saya menunggu kamu, Haidar, saya sudah gak sanggup menanti kamu dalam ketidakpastian”

“Saya memberimu kepastian, Nafisa, begitu saya sampai kesana, saya akan menikahi kamu”

“Tapi kapan, Haidar? Berapa lama lagi?”

“Bersabarlah, saya masih berusaha...”

“Maaf, Haidar, saya udah gak bisa bersabar lagi...” “Hati saya sudah berpindah ke lain hati yang lebih pasti...”

Sekujur tubuh Haidar lemas di tempat, entah kata-kata apalagi yang ingin ia utarakan selain rutukan terhadap semesta...

Hatinya hancur bukan main.

Nafisa, kamu adalah manusia terkejam dalam soal menyakiti. Pergi bersama janji lalu meninggalkan sepah janji tak bermakna, seharusnya Haidar tidak senaif itu untuk mempertahankan cinta yang memang akan menjadi kisah sementara.

Sebagaimana prinsipnya dulu dalam persoalan cinta masa remaja.

Ini tak ada bedanya dengan kisah cinta monyet yang akan menjadi angin lalu.

Sayangnya ini terlalu dalam untuk menjadi sekedar kisah cinta monyet.

Dan ini, adalah perpisahan kedua Haidar bersama wanita yang sangat ia cintai dalam hidupnya.

Pertama, Ibunya, kedua, Nafisa.

Oh, takdir yang sangat pahit.

Dosa apa yang Haidar buat hingga pantas menerima semua ini?

“Maaf dan terima kasih untuk semuanya, Haidar...” “Kamu tlah mengajarkan saya bahwa menunggu tak selamanya pahit, tapi bagi saya, bersamamu itu adalah memori yang indah...”

Haidar mengulum senyum pasi, “Dan kamu tlah mengajarkan saya, bahwa perpisahan bersama janji itu jauh lebih sakit daripada di campakkan tanpa rasa...” “Terima kasih, sudah membuat saya patah hati se-hebat ini, Nafisa, dan maaf... saya tidak bisa menjaga kamu dari dekat.”

Sejak saat itu pula, Haidar mulai menata hatinya sekali lagi dengan tetap mengejar mimpinya untuk kuliah di Kairo, kalau dulu ada Nafisa sebagai prioritas utama...

Sekarang hanyalah ambisi semata yang menjadi prioritasnya.

Sampai akhirnya Haidar bertemu kembali dengan sosok Anela Maryam, yang akan menjadi skenario takdir selanjutnya...

Pukul 07.45

Haidar mengait erat jam arlojinya dengan gagah, merapihkan kerah kemejanya, ia berkaca menatap wajahnya lekat...

Bismillahirrahmanirrahim... Rabbishrahli sadri. Wayassirli amri. Wahlul uqdatam millisani. yafqahu qauli... Ya Allah, jadikan lisan hamba ini menyampaikan hal-hal menggembirakan bagi keluarga Maryam nanti... sehingga mereka dapat memberi restu atas pernikahan kami, berilah hamba-Mu ini kekuatan, Ya Allah, Bismillah...

“Bang Haidar udah siap?”

Aisyah dengan balutan gamis merah muda berimitasi putih terlihat sangat cantik, gadis itu masih sibuk melihat intens penampilan kakaknya dari atas hingga ke bawah...

“Wuih, ganteng betul abangku ini...”

Haidar mendecak begitu adiknya melempar pujian selewat itu, “Bisa aja kamu, sudah ah ayo kita siap-siap!”

“Nanti rombongan kita ikut mobil siapa, Bang?”

“Satu mobil cukup kan.”

“Hah yakin, Bang? 6 orang cukup gitu?!”

“Cukup kok, kan Abang yang bawa mobilnya nanti.”

“Bukannya Bang Adit yang nyetir?”

“Dia gak ikut dulu, ada keperluan lain katanya.”

Dari belakang terlihat sosok Marco, teman SMA Haidar yang turut ikut menjadi rombongan Haidar membawa hantaran lamaran yang akan Haidar persembahkan nanti untuk Anela, calon istrinya.

“Ayo berangkat sekarang!”


Anela dengan balutan kebaya muslim berwarna putih, kerudung pashmina yang menjulur panjang menutupi dadanya kini duduk dengan seribu rasa yang bercampur aduk di dadanya. Setelah sekian lama penantian, akhirnya hari ini datang juga.

Tinggal selangkah lagi.

“Nona, semuanya sudah pada datang apa nona siap?”

Anela tertegun gugup, anggukan kecilnya sudah menjadi jawaban bagi Pak Romi dan Anela kembali dipersilahkan untuk mengambil waktu sejenak di kamarnya.

Duh, kenapa pas hari H lamaran gue deg-degan gini sih? Gimana nanti pas nikah? duh, apa ya yang harus gue bilang nanti? Takut banget... aduh, jantung gue rasanya mau meledak...!!

Tok...tok...

“Nel?”

Sosok gadis berpostur tinggi 172 cm itu muncul dari balik pintu, “Udah siap?”

Anela menghela nafasnya panjang, “Sumpah, Kak Indry, gue deg-degan banget...”

Sang pemilik nama Indry Larasati itu mendekat, memeluk pelan kepala gadis mungil itu guna memenangkan sahabatnya yang tengah gugup karena hari sakralnya, “Udah, Anela... biarkan semuanya mengalir aja... Lo gak perlu mikirin ini-itu, yang penting lo jadi diri sendiri aja...” “Sekarang giliran lo yang keluar, tuh”

Anela memejam matanya sejenak, membiarkan perasaan gugupnya luluh hingga lenyap tak terasa, ia mulai menarik nafasnya dalam-dalam, Bismillah, Anela... Bismillah...

“Ayo kak, kita keluar.”

Indry mengangguk mantap, perlahan menggandeng tangan sahabatnya dan menuntunnya keluar dari kamar...

“Ini dia calon mempelai wanita kita... nona Anela Haliza Maryam Soetomo, putri bungsu dari Bapak Darren Adi Soetomo dengan Ibu Rebecca Yuliana Sari...”

Sekejap mata Haidar terpaku dengan sosok Anela saat ini yang berada di 3 meter dari hadapannya, kalo boleh bilang, Anela dengan balutan hijabnya itu... sungguh cantik.

“Lihatinnya biasa aja kali, Bang... belom halal inget...“goda Aisyah, dengan ketawa cekikikan karena melihat kakaknya itu yang sedang terpana dengan kecantikannya sang calon istri yang akan ia pinang.

“Apa sih kamu, saya biasa aja kok,“Haidar cepat menepik ciciran adiknya.

Acara inti dari lamaran akan segera dimulai dengan di bukanya sang pemandu acara, lalu ia mempersilahkan keluarga dari pihak laki-laki untuk menyampaikan sepatah dua kata sambutan sebelum akhirnya Haidar sendiri yang menyampaikan maksud dari kedatangannya hari ini...

“Silahkan, Haidar,”

Pemuda itu mulai menarik nafasnya perlahan, mencoba mengatur tempo nafasnya yang kian tak beratur saking gugupnya...

Bismillah.

“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...”

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh....!”

Mata Haidar sekelibat melirik sosok gadis yang akan segera ia pinang, matanya tertunduk teduh, membuat hati pemuda berparas eksotis itu semakin mantap dengan niatnya untuk segera menjadikan Anela sebagai bagian dari hidupnya.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu beserta hadirin sekalian yang tlah menyambut kehadiran keluarga kami... saya disini hendak menyampaikan maksud dari kedatangan kami hari ini, tepatnya di rumah keluarga Bapak Darren Adi Soetomo...”

Haidar mencoba untuk menghayati tiap katanya,

“Saya, Haidar El Fatih, dengan niat tulus lillahi ta'ala hendak meminang saudari Anela Haliza Maryam Soetomo sebagai istri saya, dimana saudari Maryam nanti... akan menjadi bagian penting dalam hidup saya...” “Kehadiran Maryam... sangat penting bagi saya untuk menyempurnakan ibadah saya yang tak bisa dilakukan sendirian, melainkan saya butuh seorang istri sebagai makmum dan saya menginginkan Maryam yang akan menjadi sosok tersebut untuk saya.”

Rasanya seperti mimpi bagi Anela, melihat seorang laki-laki yang datang meminangnya dengan segenap hati yang tulus disampaikan niat baiknya untuk menjadikan Anela sebagai bagian dari hidupnya... dan orang itu tak lain ialah Haidar, sang pujangga cinta yang selama ini ia perjuangkan.

Skenario semesta memang tak pernah terduga.

“Bagaimana, nona Anela?”

Sebelum Anela membuka suara, sang Ayahanda mengambil alih bicara, “Sebelumnya saya ingin bertanya dengan saudara Haidar.”

Anela memencak matanya, Argh, please, Pa, jangan ngomong yang enggak-enggak....

“Apa yang membuat kamu yakin untuk menjadikan anak saya sebagai bagian dari hidup kamu?”

Sorot mata Papa Anela kian menajam, hingga menusuk kedua pandangan sayu Haidar yang sedang berusaha tenang dengan situasi.

Ternyata ucapan Pak Romi malam itu benar.

“Awalnya, Maryam bagi saya adalah seorang tuan putri kecil yang hadir sebagai adik saya. Maryam kecil yang ceria dan polos membuat hari-hari saya lebih berwarna... seiring berjalannya waktu, sosok Maryam saat ini tumbuh sebagai seorang wanita yang ceria, penuh dengan energi positif.. dan yang membuat saya mantap untuk menjadikannya sebagai bagian dari hidup saya adalah... tekadnya untuk menjadi orang yang lebih baik. Dengan tekadnya itu, saya yakin saudari Maryam bisa menjadi penyempurna ibadah saya... dan sama-sama kita bisa meraih ridho Allah Azza Wa Jalla menuju syurga-Nya...”

Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Anela, suasana lamaran kini berubah menjadi penuh haru dengan uraian kata-kata yang di sampaikan oleh Haidar.

Eyang Indra pun disana, semakin merasa lega, Aku tlah menitipkan cucuku di tangan yang tepat...

“Bagaimana dengan saudari Anela?”

Anela menatap penuh harap kepada sang pria kasih yang barusan meminangnya...

“Inshaa Allah... saya bersedia...” “Saya bersedia untuk menjadi bagian dari hidup Mas Haidar dan menjadikan Mas Haidar... sebagai imam saya...”

Semua serentak mengucapkan syukur atas diterimanya pinangan Haidar. Dengan diterimanya seserahan dan rangkaian acara lainnya, akhirnya acara lamaran Haidar-Anela selesai dengan lancar dan penuh khidmat...

Bismillah menuju halalnya ya guys 😚😚😚

Jujur, perasaan gue saat ini rasanya campur aduk. Makan malam berempat, berhadapan dengan kedua orang tua gue yang sudah lama gak berjumpa, mereka masih sama...

“Apa yang bisa kita harapkan dari calon suamimu nanti?”

Masih sama dengan pandangan sepihaknya yang menyebalkan.

“Banyak”

“Seberapa banyak? Apa dia bisa mengembangkan perusahaan keluarga kita? Sebaik apa dia—”

“Bukan masalah bisnis ataupun duniawi, tapi dia yang akan bawa Anela ke syurga!”

PFFFFTTTT!!! Jeffry, si abang mahakampret luar biasa malahan menyembur air minumnya seolah mengejek ungkapan gue barusan.

“Buset, calon laki lo panitia surga apa gimana?”

“Ish! Bukan gitu!”

Tuk...tuk..!

Papa dengan tatapan tajamnya mengetuk meja makan, “Fokus, Anela, meskipun ini laki-laki pilihan Eyang tapi setidaknya Papa harus tahu laki-laki macam apa yang akan menjadi bagian dari keluarga kita.” “Setidaknya dia memang pantas untuk kita tunjukkan sebagai suami kamu.”

Ukh... not again, Papa...

“Udah ya, Pah, Anela capek harus siap-siap untuk besok. Anela tidur duluan.”

Gue udah muak banget untuk debat kusir sama Papa, serius, dengan berbagai kalimat yang udah gue susun serapih apapun itu pasti bakalan di tepis mentah-mentah! Papa tuh gak pernah mau dengerin anaknya, intinya dia selalu benar di keluarga ini!

Udah gak pernah pulang, sekalinya pulang cuman bikin orang naik pitam!

Tok... tok...

Gue terkejut dengan kehadiran Mama dari balik pintu kamar, ia melambai tangan riang sambil berlari memeluk gue erat-erat layaknya anak balita yang sangat ia rindukan.

“Ukh... Mama kangen banget sama putri kecil Mama...”

Mama, adalah penetralisir dari perasaan benci gue dengan Papa. Meskipun Mama gak berdaya apa-apa di hadapan Papa, tapi Mama selalu berusaha yang terbaik untuk menghibur gue.

Mama gak bakal bisa manja-manja kayak gini depan Papa.

“Males ah! Kenapa sih Mama pake ikut Papa ke Manhattan segala?! Mana dia balik-balik ngomong yang enggak-enggak soal Mas Haidar!!“gerutu gue kesel.

“Yah abisnya gimana dong, Nel... soalnya Papa kecewa banget waktu Eyang bilang mau mewarisi perusahaannya sama calon suamimu itu... seolah-olah Papa tuh gak bisa dipercaya lagi sama Eyang...”

“Ya emang gak bisa dipercaya! Papa tuh serakah tau gak, dia maunya dapet semua sampai-sampai waktu sama keluarganya tuh gak ada! Kebanyakan nuntut doang sih! Giliran gak dapet apa yang dia mau malahan nyalahin orang!”

“Eh... gak boleh gitu... masa udah belajar agama sampai ke pondok ngomongnya gitu sama orang tua...?”

“Abisnya Anela lama-lama kesel di tuntut ini itu sama Papa, Anela gak mau nanti Mas Haidar juga di tuntut macem-macem sama Papa!” “Awas aja, pokoknya Mas Haidar itu punya Anela! Jadi gak boleh ada yang berani ngatur Mas Haidar ini itu tanpa seizin Anela!”

Mama tertawa geli, seolah Mama memang tahu betul betapa muaknya gue dengan semua aturan yang mencekik gue selama di rumah ini. Kami adalah wanita yang tak berdaya apa-apa disini, hanya bisa saling berbagi keluh kesah dalam rahasia dan keluar kamar seolah tak terjadi apa-apa.

“Eh ya, nanti Mama bagi ya fotonya Haidar, mau Mama pamerin ke temen-temen squad Mama hihihi...”

Emang deh, hobi gosipnya Mama tuh gak ketolong banget.

“Ih aku gak mau calon suami aku di gosipin!”

“Yee bukan di gosipin yang aneh-aneh kok...”

“Gak mau!”

“Yaudah deh, kalau gitu... ceritain dong selama ini di pondok kamu ngapain aja, ah terutama tentang Haidar...” “Mama mau tahu, kamu udah belajar apa aja selama di pondok dan... kira-kira seperti apa sih sosok laki-laki pilihan tuan putri kesayangan Mama ini, hihihi...”

Gue rindu dengan sentuhan hangat ini, kasih sayang Mama yang meresap dalam relung hati gue dan malam ini bisa jadi akan menjadi terakhir kalinya gue bermanja-manja sebagai tuan putrinya.

Sosok Mas Haidar yang menjadi topik hangat kami berdua... tanpa terasa akan menjadi dongeng pengantar tidur gue disini.

Anela putri Mama... seandainya ini adalah pelukan terakhir kita berdua, maka izinkan Mama untuk memelukmu sedikit lebih erat lagi hingga kamu merasa sesak...

Mama masih mau berharap, bahwa pelukan malam ini bisa membawa dirimu kembali yang masih kecil dulu...

Karena sebentar lagi, kamu akan berada di pelukan orang pilihanmu nanti...

Mama gak berharap banyak dengan laki-laki pilihanmu, asalkan kamu bahagia bersamanya itu cukup untuk Mama... biarlah Papa nanti jadi urusan Mama, karena sesungguhnya, kebahagiaan kamu adalah yang utama...

Kamu adalah permata milik kami berdua...

Bulan purnama yang terang benderang seolah menutup semua cahaya bintang yang menghias langit malam kota Jakarta, tepatnya di tempat kediaman pemuda bersurai coklat legam itu.

Haidar kini tengah merenung dengan rindunya kepada sang Ayahanda.

“Abang sekarang kan udah 20 tahun... apa sudah ada gambaran untuk pernikahanmu nanti?”

Haidar yang masih seorang mahasiswa Aceh dan tengah pulang demi menikmati kopi senja bersama Abi, terkekeh begitu mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Abinya.

“Saya mau S2 dulu, Bi, belum ada pikiran kesana...”

“Lho? Memang kenapa kalau kamu mau S2? Kalau memang jalanmu akan pergi S2 pasti kamu akan pergi juga, Bang, tapi... kalau Allah menghendaki kamu untuk menikah dulu, kamu mau gimana?”

Haidar tertegun dengan ungkapan Abi, meskipun ia tak menolak, tapi karena pada saat itu dirinya masihlah seorang pemuda ambisius yang sangat bermimpi untuk mengenyam pendidikan di negeri Piramida, tepatnya kota Kairo.

“Enggak, Bi, saya tetap mau S2 dulu baru menikah. Itu sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil.”

Abi hanya tertawa pelan, sambil meneguk habis langsung kopi susunya.

“Kalau begitu biarkan takdir yang berkata, Haidar, sebaik-baiknya manusia dalam menyusun rencana tetaplah Allah yang menentukan semuanya.” “Abi hanya berharap, seandainya hari pernikahanmu itu tiba... pertama, gadis yang akan kamu nikahi itu adalah seorang calon istri yang bisa membawamu ke syurga-Nya, dan kamu mencintai gadis itu dengan segenap hatimu karena Allah... yang kedua, Abi harap... Abi masih bisa mendampingi kamu, Bang.”

Haidar cepat menepik ucapan Abinya, “Abi..! Kenapa ngomongnya gitu?!”

“Kan takdir gak ada yang tahu, Haidar... Momen membahagiakan yang paling Abi nantikan adalah pernikahanmu, Bang...”

“Abi kan masih harus menikahkan Aisyah juga.”

Abi mengulum senyum simpul, “Pernikahan Aisyah... sepertinya akan menjadi tanggung jawabmu nanti, Bang...”

Haidar masih terlalu muda untuk paham, sehingga waktu berlalu dan membiarkan takdir yang mengungkap semuanya... ternyata yang terjadi hari inilah yang dimaksud Abinya.

Abi... saya tidak tahu kenapa Abi harus memberitahu saya hal itu 5 tahun yang lalu, dan saya juga tidak tahu kenapa saya bisa tidak begitu pekanya menyadari ungkapan Abi pada saat itu...

Besok saya sudah lamaran, Bi... jujur saja saya gugup, meskipun ini acara tertutup dan hanya sekedar perkenalan dengan orang tua Maryam tapi entah kenapa sejak tadi keringat dingin terus bercucuran dari dahi saya...

Abi benar, tidak ada yang tahu perihal takdir manusia. Kita hanya bisa membuat rencana bahkan serapih apapun rencana itu, tapi tetap Allah yang menentukan takdirnya...

Bahkan takdir saya saat ini, masih menjadi misteri. Entah kenapa akhirnya Allah menakdirkan Maryam hadir menjadi bagian dari hidup saya. ternyata hidup bisa selucu ini...

Abi, banyak hal yang ingin saya ceritakan sebenarnya.

Tapi saya tahu, mungkin Abi juga sudah melihat semuanya bersama Umi dari atas sana kan?

Doakan saya, Abi, Umi...

Doakan saya dan Maryam dari atas sana, agar kami bisa menjadi pasangan sehidup semati seperti Abi dan Umi...

Doakan kami pula... agar bisa beribadah bersama dalam satu ikatan pernikahan ini, dan meraih ridho Allah Azza Wa Jalla untuk mencapai syurga-Nya...

Bismillah...

“Bang Haidar?”

Haidar tersontak dengan kehadirannya Aisyah dengan satu toples kue kering yang dibawakan adiknya itu, “Ah, Aisyah kenapa belum tidur?”

“Yang harusnya nanya gitu aku, Bang, besok kan Abang lamaran!”

Haidar terkekeh dengan senyuman pasinya itu, “Ah... saya lagi cari angin aja, besok kan saya harus benar-benar siap—”

“Abang gugup ya?”

Pemuda itu cepat menepis ungkapan adiknya, “E-Enggak, saya gak gugup kok.”

Gadis berusia 15 tahun itu hanya menjawab oh ria penuh arti, “Oh... yaudah kalau gitu, Aisyah mau tidur duluan ya, Abang juga jangan malem-malem tidurnya!“Aisyah beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan laki-laki itu sendirian bersama waktu sunyinya. Aisyah paham kalau kakaknya masih perlu waktu berbenah diri untuk besok.

Abi, Umi... tolong doakan kebahagiaan Abang dari atas sana... Semoga kehadiran Kak Anela, bisa menjadi tempat pulang Abang dari beratnya beban yang dia pikul selama ini...

Kelas hari ini ternyata Aisyah gak jadi guru bagi kami, malahan dia juga ikut belajar disini bersama kami.

“Hehe, Aisyah kan masih SMA juga, kak...“ucapnya cengengesan, gue langsung mempersilahkan Aisyah duduk di samping gue lalu sosok wanita yang mungkin usianya sekitar 30-40 an, beliau mulai menggores spidolnya di atas papan tulis, menuliskan kalimat WANITA besar-besar nan tebal membuat mata kami semua seketika ikut memencak nyala.

“Pria maupun wanita, masing-masing memiliki perannya. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan itu tidak semerta-merta seperti kita membuat boneka-bonekaan, tapi Allah menciptakan manusia untuk menjadi PEMIMPIN alam semesta, dengan peran mereka yang sudah di tentukan dalam firman-Nya di Al-Qur'an.” “Sebelum itu saya mau tanya, apa yang kalian ketahui tentang peran wanita?“Bu Ratih, itulah nama beliau, kini mengajukan pertanyaan yang cukup membuat kami gagap, “Gak usah takut salah, keluarkan semua isi kepala kalian.”

Angel mengacung jarinya, “Wanita itu sangat penting karena akan berperan sebagai ibu...?”

Ustadzah Aliyah bergeming, “Hmm... betul, tapi bisa kamu uraikan kira-kira peran Ibu itu bagaimana bagi kita?”

“Melahirkan...?”

“Terus?”

Angel skakmat, dia menyerah untuk menjawab lagi.

“Yang tadi kamu sebutkan itu benar kok, gak salah, tapi kalau kita cuman tahu satu peran tanpa memaknai peran tersebut, maka semua jasa Ibu akan terasa lewat begitu saja. Padahal gak mudah lho untuk menjadi seorang Ibu.” “Saya akan uraikan ya satu per satu, pertama, peran wanita itu adalah sebagai seorang Ibu. Sistem dunia tidak akan berjalan kalau tanpa adanya seorang Ibu kenapa? karena Ibu yang melahirkan manusia-manusia hebat disini, dan Nabi bahkan Rasul pun memiliki seorang Ibu kan? berarti bayangkan, betapa hebatnya sosok wanita, yang bisa kita sebut... Ibu.” “Dan kalian, adalah calon seorang Ibu dari orang-orang hebat selanjutnya nanti, maka itu, penting sekali bagi wanita untuk terus menimba ilmu, baik itu ilmu umum dan tentu yang utama adalah ilmu agama.” “Karena akar dari putaran kehidupan kita itu adalah keteguhan agama yang di ajarkan ibunya, kalau tidak ada keteguhan agama yang dipegang karena tak diajarkan ibunya, maka goyah juga batangnya untuk menghadapi dunia.”

Kembali menggores spidolnya membentuk peta konsep dari penjelasannya, Ustadzah Aliyyah menggambarkan sebuah rumah dengan tulisan di atasnya JANTUNG BAGI RUMAH.

“Kalian kan mahasiswa modern, pernah dengar istilah 'Men make houses, women make homes'??”

Tentu kita semua mengangguk, kecuali Aisyah. Buat gue istilah itu sangat akrab di telinga kita karena yaa... gimanapun juga kan di seumuran kita kan pernah lah sekali dua kali ngebahas tentang pernikahan dan rumah tangga.

“Dalam kehidupan rumah tangga, wanita juga sangat berperan penting disini. Menikah itu bukan hanya persoalan menyatukan dua insan dalam ikatan pernikahan lalu tinggal satu atap, tapi disini kalian harus kembali menempuh kehidupan baru dengan menyatukan visi misi bersama, salah satunya menuju syurga Allah.” “Makanya sangat penting untuk bisa memilih calon pasangan yang paham dengan agama ketimbang mereka cerdas soal ilmu pengetahuan, kaya tujuh turunan tapi sangat miskin soal ilmu agama.”

Kak Indry menyenggol siku gue, “Ciee beruntung banget sih lo...”

Gue cuman mengulum senyum malu.

“Wanita itu ibarat jantung bagi rumah, sangat penting dan di butuhkan sehingga kalau kehilangan peran mereka tuh rasanya sangat fatal. Kita ambil fenomena dalam sehari-hari, kalau ada seorang anak yang di tinggal kerja oleh Ibunya, sang anak akan merasa sangat kehilangan ketimbang di tinggal kerja Ayahnya, kenapa? karena jantung rumahnya barusan pergi dari rumahnya, sehingga kalau sang Ibu melupakan anaknya dan sibuk bekerja, bisa-bisa anaknya tak tahu arah dan terbawa arus yang salah.” “Ini bukan permasalahan pembatasan kemampuan wanita, tapi ini dimana soal peran wanita yang sudah Allah tetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti yang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sabdakan, HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829 bahwa 'Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka..'.”

Giliran Eliza yang angkat tangan, “Bu! Mau nanya dong!”

“Iya boleh?”

“Terus... pendapat Ibu tentang kesetaraan gender tuh gimana? Karena Ibu tahu sendiri kan di Indonesia itu mereka rata-rata lebih superior ke laki-laki dibandingkan perempuan.” “Mereka lebih menganggap laki-laki itu bisa melakukan apa saja dibandingkan perempuan. Perempuan itu seolah-olah tidak berdaya, kerjaannya yaudah di dapur aja gak usah ngapa-ngapain, padahal kalau perempuan sudah beraksi, beuh, dunia hancur, Bu!”

Mendengar ungkapan Eliza yang berapi-api membuat Ustadzah Aliyyah tertawa geli.

“Wah, menarik nih pertanyaannya, oke saya akan jabarkan lagi jawabannya.” “Dalam Islam, tidak ada istilah superior hanya saja Allah pernah bersabda dalam surat An-Nisa ayat 34, 'Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka' disini Allah tlah membuat laki-laki itu memiliki kemampuan yang sebagian lebih di atas dibandingkan perempuan sehingga mereka bisa berjihad untuk mencari nafkah bagi keluarganya TAPI... jangan lupakan soal kedudukan perempuan yang sangat Allah muliakan, bagaimana tidak? Dalam Al-Qur'an saja ada surat An-Nisa yang artinya Wanita, di surat tersebut Allah jelaskan semuanya tentang wanita, hak dan kewajiban dan kemuliaan seorang wanita. Islam itu sangat menghargai wanita, maka salah kalau misalnya masih banyak orang yang memiliki pola pikir bahwa laki-laki itu lebih superior dibandingkan perempuan tapi lebih tepatnya, Allah menciptakan laki-laki untuk memimpin perempuan, dan perempuan di ciptakan untuk melahirkan seorang pemimpin.” “Jadi kedua-duanya sama-sama mulia dengan perannya masing-masing kan?”

“Coba dong buuu jelasin lagi bagaimana cara Islam memuliakan wanita...”

Ustadzah Aliyah tersenyum, “Islam memuliakan wanita itu dengan banyak sekali cara, yang pertama, dengan kita di anugrahkannya rahim dan perut yang kokoh untuk mengangkut satu nyawa saja... itu merupakan sebuah kodrat yang mulia, yang tlah Allah turunkan kepada kaum wanita... bayangkan saja, melahirkan bayinya aja sudah terhitung jihad lho, kalau kita mati karena melahirkan, matinya kita terhitung syahid dan kita akan masuk syurga-Nya. Belum lagi kita diberikan air susu untuk menyusui anak-anak kita dan air susu ini sangatlah bermanfaat bagi kesehatan dan kecerdasan anak kita. Betapa Maha Besarnya Allah ketika menciptakan sosok wanita, kan?” “Maka itu, wanita itu sangat berharga, saking berharganya... Allah itu menurunkan banyak aturan agar kita tetap terawat dan terjaga, salah satunya adalah dalam berpakaian.”

Otomatis kita semua saling melirik, “Kayaknya baju yang memenuhi syarat baru Aisyah sama Anela deh...“celetuk Angel cengengesan.

“Iya betul, dalam Islam, seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tangan itu adalah aurat, yang artinya harus di tutup rapat-rapat dan tidak boleh terlihat sama sekali, terutama oleh laki-laki bukan mahramnya.” “Dan juga tidak boleh terbentuk ya, makanya lebih baik pakai gamis seperti Anela dan Aisyah...”

Anjay, for the first time of my life gue dijadiin contoh ama guru, mantaapp..., gumam gue sambil tersenyum bangga

”...tapi di iringi dengan menjaga sikap dan perilaku.”

Senyuman gue praktis memudar.

“Terhadap lawan jenis yang bukan mahram, kita punya beberapa adab dalam bergaul...” “Yang pertama, tidak boleh bersentuhan bahkan hanya karena salaman sekaligus, kenapa? Karena setruman sentuhan lawan jenis dan sesama jenis itu berbeda, kalian bisa merasakannya sendiri, kalo di pegang cowok tuh kan kayak agak gimana gitu... beda kalau sama cewek...” “Nah itu yang harus di hindari, karena kembali ke poin saya sebut di awal, wanita itu berharga. Jadi saking berharganya itu, yang boleh menyentuhnya cuman orang-orang terpilih, terutama suami.”

Kami semua menjawab oh ria, gue juga baru tahu sih ternyata begitu ya cara Islam menjaga perempuan tuh.

“Terus kenapa sih bu gak boleh sama mas pacar gitu?”

“Pacaran itu kan ikatan tidak sah, sewaktu-waktu laki-laki itu ingin meninggalkan perempuannya, rugi dong kita...” “Allah saking Maha Baiknya, Dia tidak pernah membiarkan hambanya di rugikan salah satu pihak, makanya ikatan yang sah itu cuman satu dalam Islam yaitu pernikahan. Kalau pacaran sebelum menikah itu dilarang, nah kalau pacaran setelah menikah itu justru dapet pahala...”

Mata gue memencak, “SERIUS BUU???”

“Iyaa, dong...”

“Kalo gini mah udah, syurga di tangan gue!”

Tangan Angel mendarat menoyor kepala gue seenaknya, “Yeee pede lu!”

“Ngapa noyor sih?!”

“Abisnya bukan fokus, sibuk nge-haluin Kak Haidar mulu lu! Dosa lho gak fokus daritadi...”

“I-Ih apaan sih siapa yang sibuk nge-halu, sotoy!”

“Anela... Anela... udah baju panjang gitu akhlaknya masih bobrok juga, kasihan gue ama Kak Haidar nanti banyak PR-nya...” — Eliza

“Sudah, sudah... ini kan namanya proses... wajar kalau masih ada kesalahan, nanti pasti kalian semua bisa kok berubah menjadi lebih baik...”

“Aamiin...”

DRRRTTTT....!!!

“Ah pas nih, saya harus ngajar juga ke kelas... kelas ini belum selesai ya, nanti kita selesaikan minggu depan. Oke?”

“SIAP BU ALIYAAAHH!!!”

“Kalau begitu saya pamit ya, Wassalamu'alaikum...”

“Waalaikumsalam, MAKASIH BU MATERINYAA!!”

Meskipun terputus tengah jalan, tapi buat gue materi hari ini cukup precious. Gue seneng banget bisa terus belajar lebih banyak lagi ilmu agama.

Semakin lama gue merasa... hidup gue lebih berarti dari sebelumnya...

Sepulang gue dari belanja (ya akhirnya gue memilih untuk cepat-cepat beli baju gamis dan kerudung biar gak minjem baju Aisyah terus), Aisyah menyambut kedatangan gue lalu langsung mengambil alih belanjaan gue dengan tubuh mungilnya yang tergopoh-gopoh mengangkut kantung belanja gue.

“Udah, Syah... gak usah repot-repot...”

“Gapapa kak, abis ini kakak langsung aja ke kelas D1 situ, gurunya udah nungguin tuh.” “Eh kak maaf, itu rambutnya... masih keluar-keluar, hehe..”

Gue cepat-cepat merapihkan ciput yang terbenam di dalam jilbab gue ini agar kembali menutup seluruh helaian rambut, menyisipkan semua anak-anak rambut yang masih bandel, begitu Aisyah mengacungkan jempolnya, gue melanjutkan langkah kaki gue menuju kelas D1 yang ditunjuk Aisyah barusan.

“Assalamualaikum—”

“WAALAIKUMSALAM SISTAAAHHH!!!”

Shock. pake. banget.

Ternyata...

“ANGEL?! KAK INDRY?? ELIZAA??!! KO-KOK BISA DISINI???!!”

“Oh gitu ya lo sekarang, pantesan aja udah gak mau ngejalanin misi kita buat dapetin nomer WA-nya Kak Haidar, eh wong ternyata dia calon istrinya!”

Gue tersontak, “Hah?! Lo tahu darimana?!”

Eliza maju, “Jadi gini, tuan putri Soetomo yang terhormat... maafin kita ya! hehehe, sebenernya kita tuh curiga banget sama lo semenjak pemakamannya almarhum Pak Eko. Gimana ya, lo tuh beda banget aja gitu, ya gak sih girls?!”

“Iya, Nel, terus si Angel tuh yang ngerencanain buat mampir ke rumah Kak Haidar buat ngucapin belasungkawa dari anak-anak kelasan lo, pas kita sampai kesana, EHH KITA GAK SENGAJA NGUPING PEMBICARAAN EYANG LO SAMA KAK HAIDAR SOAL PERJODOHAN KALIAN!” “Sumpah sih, kita bertiga speechless banget, udah gitu lo gak cerita lagi sama kita! Yaudah, kita pantau aja nih sampai mana lo bisa sembunyi-sembunyi kayak gini.”

Memang deh, paling gak bisa ngerahasiain sesuatu sama sobat-sobat gue yang satu ini nih! Ujung-ujungnya keciduk juga, haduh...

“Btw rencana nikah kapan emang?“tanya Angel

“I-Itu... Mas Haidarnya lagi pergi ke Sleman jadi nunggu dia pulang dulu baru lamaran...“jawab gue kikuk

“HAH?! BELUM LAMARAN?! KOK BISA?!”

“Ya soalnya kan banyak yang harus dia urus, gue harus sabar nungguin dia... makanya sekalian aja gue belajar agama disini bareng Aisyah, adiknya Mas Haidar”gue menggandeng lengan Aisyah, gadis mungil itu hanya menunduk malu sambil tersenyum kecil.

“Wah bahaya juga tuh cowok, lo gak di ghosting kan, Nel?”

“IH AMIT-AMIT JANGAN DONG..!!”

“Hahahaahahaha...!!”

Emang deh bukan Angel dkk kalo bukan hobinya bikin gue overthinking hahaha...

“Ya tapi tetep selamat dong untuk kawan kita ini, siapa sangka? the most-wanted imam seantero kampus Neo bakalan jadi suaminya! perjuangannya gak sia-sia yah bun hahaha”

“Iya, gue masih inget banget lo berjuang dapetin nomer WA-nya aja ampe nanya ke base, bikin form palsu, eh tau-taunya dijodohin! Emang deh, skenario Tuhan tuh gak ada yang bisa tebak ya!”

Yah begitulah...

“Eh omong-omong, kalian kesini tuh cuman mau ketemu gue atau gimana?”

Eliza bergedik, “Dih? Ngapain ketemu lo doang ampe kesini segala? Ya enggak lah!! Kita juga mau belajar agama disini! Emangnya lo doang yang boleh berubah jadi lebih baik??” “Ya gak, girlss??!!”

Angel mengangguk semangat, “Yoi dong, lama-lama gue mikir juga coy kalo gak cepet-cepet taubat, sedangkan waktu kan terus berjalan, gue takut ntar mati dalam keadaan belum taubat.” “Kita kan janji, satu grup ini harus taubat, ya gak?!”

“Iya, kita juga capek kali hidup tanpa pencerahan kayak gini, jadi ya kita juga mau ikutan belajar agama dari awal, boleh kan kita gabung? SUMPAH NEL KITA GAK MODUS KOK KE KAK HAIDAR!”

Gue gak tahu mau bilang apa, tapi entah kenapa rasanya tuh lega banget bahkan mau nangis terharu. Ketiga temen gue yang tadinya sangat menentang keinginan gue untuk berubah, entah keajaiban apa yang terjadi, tiba-tiba hati mereka berbalik untuk ikut melangkah bersama gue, kita sama-sama ingin memperbaiki diri, dan momen ini adalah momen yang paling membahagiakan bagi gue.

“Bismillah girls, pokoknya kita harus sama-sama bisa masuk surga...!”

“Aamiin...!!!”

Meanwhile Aisyah dari balik pintu...

“Gimana, Syah, mereka sudah ketemu Maryam?”

“Udah bang, tapi ini serius mereka...mau belajar sama-sama disini?”

“Iya, mereka sungguh-sungguh mau belajar kok.”

“Abang...mempercayakan amanah ini sama Aisyah?”

“Iya, saya titip mereka ya.” “Saya mau kamu yang menjadi jalur mereka untuk mencapai syurga, karena gak ada manusia yang terlahir buruk, Aisyah. Hati nurani mereka sudah terbuka, jadi tolong bimbing ya.”

”...Baik, bang, Inshaa Allah Aisyah akan bimbing dengan baik...”

Kurang lebih 15 tahun yang lalu, kita pernah menguntai banyak kenangan disini. Kenangan manis dimana saya pertama kalinya bertemu dengan seorang gadis mungil, pita besar yang mengikat kuda rambutnya, berparas cantik dan sangat menggemaskan, saya sempat berpikir gadis itu adalah putri keraton yang sedang berkunjung ke pondok.

Ternyata gadis itu adalah kamu, Anela Haliza Maryam Soetomo.

“Selamat ya atas kelahiran cucunya, Pak Faqih...“sosok pria paruh baya yang menggandeng tangan gadis cantik itu memberikan satu bingkisan besar ke Abah. Pasti mahal banget tuh hadiahnya, enak banget sih Aisyah,pikir saya pada saat itu.

Kamu yang masih kecil pada saat itu tiba-tiba menggandeng tangan saya erat, “Kak, kata Eyang disini ada kebun ya? Anela mau kesana dong!”

Saya kembali bergumam dalam hati, meskipun saat itu kamu masih berusia 5 tahun, tapi nada bicara kamu itu sudah sangat bossy dan seenaknya. Pasti kamu hidup enak layaknya seorang putri sungguhan.

“Iya, ayo kita kesana...”

Tapi saya senang menemani kamu.

***

“Nama kamu Anela?”

“Iya!”

“Kok lucu? Artinya apa tuh?”

Kamu ikut terkekeh, “Kata Eyang, Anela itu artinya malaikat, terus kan nama aku Anela Haliza Maryam, Eyang bilang... Eyang memberi nama itu untuk aku agar kelak aku menjadi malaikat suci yang cakap dan membawa keberuntungan bagi orang di sekitarnya!”

Saya menjawab oh ria, namamu itu memang terdengar sangat indah bagi saya, tapi entah kenapa, saya ingin sekali memanggil namamu dengan sebutan yang lain dari orang-orang...

“Kakak suka nama Maryam”saya berucap pelan.

“Suka... apa?”

“Kakak mau panggil kamu Maryam, karena itu terdengar lebih bagus.”

Senyuman lebarmu itu, benar-benar menggambarkan arti dari nama Maryam yang kamu miliki. Senyuman yang hanya dimiliki hati murni nan suci, dan jujur saja, saya sangat suka senyuman itu.

“Kalo gitu, aku panggil Kakak apa dong? Nama Kakak gak asik soalnya!”

Saya tersinggung sih, tapi udah buta karena kamu sangat menggemaskan.

“Nama Haidar sudah cukup jadi kebanggaan kakak, Maryam.”


Berapa purnama kita tlah menghabiskan waktu bersama, Maryam? Tiap detik kebersamaan kita terasa sangat menyenangkan, saya sangat menikmatinya. Meskipun saya harus mengawasi tiap tingkah nakal kamu terhadap santri, ayam saya yang kamu tarik-tarik ekornya dan menenangkan tangisan kencang kamu karena susah dapetin cheesecake favoritmu, tapi yang jelas... hari-hari saya berwarna karena kamu.

Sehingga perpisahan kita saat itu benar-benar membekas dalam hati saya.

Tahun demi tahun saya lewati, kami sekeluarga pindah ke Jakarta dan disitu ada sedikit harapan bahwa saya bisa bertemu dengan kamu lagi...

Allah mendengar suara hati saya, tepat di pemakaman Abah, kamu datang lagi.

Saya terkejut, usia kamu yang mungkin pada saat itu sekitar 11-12 tahun, terlihat sangat cantik bahkan dewasa dibandingkan anak seusia kamu.

Tapi sayangnya kamu lupa dengan saya. Kamu tidak menyapa saya pada saat itu, saya juga gak mau nanggung malu sendirian, jadi saya ikut nengacuhkan kehadiran kamu.

Malam setelah pemakaman Abah, saya melihat kamu yang sedang memeluk adik saya dengan penuh kehangatan. Kamu membiarkan adik saya itu menangis di bahumu, membasahi gaun hitam mahal itu dengan sukarela...

Saya terhenyak,

Saya salah menilai tentang kamu selama ini, ternyata kamu memiliki satu sisi lembut yang sangat saya suka.

Jujur saja, saya jadi tidak sabar melihat kamu tumbuh menjadi wanita dewasa kelak. Pasti kamu akan menjadi sosok yang sangat mengagumkan.

Sampai akhirnya... Allah lagi-lagi mendengar suara hati saya.

Entah semesta menjalankan skenario seperti apa untuk saya dengan kamu, tiba-tiba kita kembali di pertemukan.

Tidak ada yang berubah dari kamu, Maryam.

Suara melengking penuh dengan derai kebahagiaan, gaya kamu yang centil khas itu, dan juga sifat terus terangnya itu... masih sama.

Hanya saja saya tidak suka gaya hidup kamu yang bebas.

Makanya saya berusaha menjaga jarak dan bersikap dingin sama kamu, agar kamu tahu bahwa kamu itu masih harus di bimbing oleh seorang imam yang baik.

Saat itu saya belum jatuh hati, hanya perasaan rindu terhadap kawan lama yang memiliki kesan bagi saya, karena hati saya masih terkait dengan masa lalu yang belum usai...

tapi siapa sangka? pertemuan kita kali ini yang menentukan garis takdir kita?

Saya gak pernah menyangka kalau selama ini Abah berhutang budi besar sekali dengan Eyang, sehingga Abah menginginkan saya yang membalas semua jasa Eyang dengan membimbing kamu dan melahirkan generasi Qur'ani bersama.

Saya berani bersumpah, tak ada perasaan terpaksa sedikitpun dari hati saya.

Dengan ikhlas dan senang hati, saya menerima perjodohan kita dan akan membimbing kamu dari awal menuju wanita syurga yang di ridhoi Allah.

Maryam...

Meski begitu, saya juga adalah seorang manusia yang tak luput dari kesalahan. Saya punya kelemahan. Bahu saya tidak sekuat yang orang kira.

Saya harap kamu bisa memapah saya ketika bahu ini mulai runtuh...

Karena saya yakin, hanya kamu orangnya yang bisa menjadi sosok itu untuk saya.

Tegurlah saya kalau saya buat salah.

Beritahu saya apa yang saya tidak ketahui.

Bismillah, semoga Allah menghendaki kita sebagai pasangan yang sakinah mawadah warahmah, Aamiin.

Haidar El Fatih Sleman, 16 April 2021

Gue tengah melihat-lihat satu tas penuh seluruh baju Aisyah yang dia kasih pinjam ke gue.

“Sementara ini kakak pakai baju Aisyah dulu, kakak harus inget ya, baju yang harus kakak pakai mulai saat ini adalah baju yang tertutup seperti ini. Tidak melekuk bentuk badan dan gak tipis bahannya. Jilbabnya harus menjulur panjang ke dada, sekarang kakak biasain dulu aja pake kerudung bergo setelah udah terbiasa, aku akan ajarin kakak cara pakai jilbab pashmina.”

Ternyata untuk jadi orang baik di mata Allah itu prosesnya panjang ya, kalo untuk orang kayak gue yang harus mulai semuanya dari nol... berat juga.

Eh, gak boleh gitu, Anela, masa iya lo mau maksiat terus??

Emang di kata di surga nanti ada orang dalem??

Ayo semangat! Lo udah bertekad sampai sejauh ini! Pasti lo bisa kok!

Gue menoleh ke arah cermin panjang yang ada di samping, menelisik hijab panjang yang kini membalut kepala sampai dada gue dengan sempurna, kalau boleh jujur, rasanya adem banget dan menenangkan. Hati gue terasa lebih secure, gue jadi inget kelasnya Mas Haidar pada saat itu.

Memang Allah itu selalu tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya, salah satunya dengan menurunkan perintah memakai pakaian tertutup kayak gini.

Pokoknya balik dari pondok, gue mau borong semua gamis sama kerudung panjang kayak gini.

“Kak Anela?”

Gue praktis merespon, “Iya, Syah?”

“Ayo kita ke kelas depan, kita belajarnya disana.”

Gue mengangguk mengikuti aba-abanya, “Oh iya.”


Aisyah menulis kalimat 'SHALAT' besar-besar dengan gaya tulisannya yang hampir sama dengan milik abangnya, “Step paling awal dan paling utama untuk memperbaiki diri kita adalah, dengan memperbaiki shalat! Kalau kita sudah memperbaiki shalat, maka Allah juga akan memperbaiki hidup kita,” “Shalat itu merupakan tiang dari agama dan juga amal ibadah pertama yang akan di hisab hari kiamat nanti! Jadi sepenting itu shalat bagi kita sebagai seorang mukmin.”

“Di hisab... di hari kiamat? kayak di film 2012 itu?”

“Iya, tapi hari kiamat yang sebenarnya tuh jauh lebih dahsyat dari film 2012, mana ada manusia yang masih hidup di hari kiamat.”

Gue meneguk ludah bulat-bulat, Wah kalo pas kiamat gue belum tobat-tobat juga bisa mampus gue...

“Dalam Islam, kita punya dua macam shalat yaitu shalat wajib dan sunnah. Nah, shalat yang wajib itu adalah shalat yang harus kita laksanakan dan gak boleh di tinggal sama sekali, kalo kita berani meninggalkan shalat wajib itu dosa! dan dosa meninggalkan shalat itu gak main-main lho...” “Oke, shalat wajib itu di bagi 5 waktu. Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Shubuh itu dikerjakan sebelum matahari terbit kisaran jam 4 sampai jam 5 kurang, sesuai waktu adzan yang di tentukan...” “Ayo, Kak Anela, di catet!”

Gue mencatat seluruh penjelasan Aisyah baik yang di lisan ataupun yang ada di papan tulis.

“Dzuhur itu dikerjakan ketika matahari berada di tengah, atau bisa dibilang tengah hari ya, kisaran jam 12 kurang sampa jam setengah 1 kurang, sesuai waktu adzan yang ditentukan...” “Ashar dikerjakan ketika sudah mulai memasuki waktu sore, biasanya di kisaran jam 3 ampe jam setengah 4...”

Aisyah hebat ya, dia bisa ngafalin waktu shalat sampai se-detail itu... sedangkan gue, boro-boro inget waktu shalat, inger harus shalat aja gak pernah terlintas di otak gue... duh, Anela, Anela...

”...Dah, kira-kira segitu untuk detail waktu shalatnya tapi yang paling penting itu, adzan. Kalo adzan sudah berkumandang berarti itu sudah waktunya kita untuk shalat, jadi pastikan kita harus siap sedia mendengar adzan.”

“Aku mau nanya dong, Syah”

“Apa?”

“Kira-kira dosa meninggalkan shalat tuh apa aja ya?”

Wajah Aisyah seketika menegang di tempat, dia meletakkan buku tipisnya beserta spidol di atas meja kotak rendah disampingnya, melangkah mendekati gue dengan penuh misterius.

Tapi yang jelas, aura Aisyah jadi berubah gelap.

“A-Aisyah...?”

“Jangankan 5 waktu... ninggalin shalat 1 waktu aja... dosanya itu bener-bener menyeramkan, kak...” “Bayangin aja... Kakak meninggalkan shalat shubuh aja, dosanya itu harus di tembus dengan di siksa selama 60 tahun di dalam Neraka, sedangkan 1 hari di Neraka itu rasanya seperti 1000 tahun di dunia...”

Oke, gue bergedik ngeri dengernya...

“Kalo kakak meninggalkan 1 waktu shalat dzuhur, dosanya itu setara dengan membunuh 100 jiwa orang Islam, ngebunuh 1 orang aja dosanya gede banget... kalau meninggalkan 1 waktu shalat ashar, dosanya itu sama seperti menghancurkan Ka'bah... terus kalau kakak-”

“Cukup, aku gak kuat dengernya... berarti dosa aku gak kebayang betapa besarnya selama ini.” “Kamu bisa ajarin aku shalat yang benar, Aisyah?”

Senyuman lebarnya langsung terlukis hingga menampilkan lesung pipit manisnya itu.

“Dengan senang hati, kakakku tersayang!!”