Meluruskan

Kriet...

“Assalamualaikum...”

Haidar terkejut melihat istrinya yang tengah terpulas di atas sofa.

“Maryam...?”

Anela hanya bergerak sebentar, lalu membuka sedikit matanya dan mendapati wajah suaminya yang membangunkannya dari tidur.

“Maaf ya, kamu jadi harus nungguin saya pulang kayak gini. Lain kali kalau saya pulang malam kamu duluan aja di kamar.”

Anela tak menghiraukan ungkapan Haidar.

“Maryam? Kamu... marah sama saya?”

Anela menggeleng, “Enggak kok, aku ngantuk mas, yuk tidur.”

GREP! Haidar menarik tangan Anela hingga tubuh mungil wanitanya terjatuh di dada bidang milik pria berparas eksotis itu.

“Saya gak mau kita tidur dalam keadaan kayak gini. Ayo kita bicara, Maryam.”

“Mas, besok aku ada kelas pagi, mending kita tidur—”

“Saya dan Nafisa hanyalah rekan kerja sekarang, saya membantu Nafisa dengan anaknya di pondok untuk membalas jasa dia sebagai guru.” “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”

Anela menarik nafasnya panjang, berusaha untuk tidak terbawa dengan segala pikiran negatif yang menghantui kepalanya.

Ya sudah, percaya saja apa kata sang suami.

“Iya aku percaya, tadi... aku agak sensitif aja gara-gara cara Mas memandang Nafisa tuh beda.” “Mungkin akunya aja yang suudzon.”

“Maryam, saya tuh—”

“Udah ya, Mas, saya mau tidur serius deh ngantuk banget, udah jam 12.” “Kalo mau ngomong besok aja.”

Entah kenapa... sorot mata Maryam sekarang jadi sendu sekali, duh saya buat kesalahan besar kayaknya...

“Satu lagi.”

Haidar mendongak.

“Aku akan coba untuk berteman sama Nafisa jadi aku gak akan suudzon lagi sama Mas.” “Boleh kan?”

Haidar menghela nafasnya lega,

“Tentu boleh, kenapa tidak?”