Brotherhood, It's Only Us.
Gama masih tidak habis pikir dengan penampilan Ghaza yang super acak-acakan. Kaos oblong putih dengan celana training andalannya juga rambut tak beraturan yang ia tutupi dengan topi, wajah baru bangun dari tidur siangnya itupun masih nampak jelas. Tapi sudahlah, mungkin karena Ghaza sering bergaul dengan Chelsea jadi sifat random sudah menjadi alamiah mereka.
“Gak usah nge-judge gitu natapnya, orang-orang prioritas BCA juga biasa pake kutangan kalo ke kantor bank,” cicir Ghaza dengan nyeleneh dan dibalas gelengan kepala kakaknya yang sudah tak bisa berkomentar lagi.
15 menit pertama mereka masih saling diam, belum ada pembuka topik yang bisa dibicarakan karena otak mereka penuh dengan seribu pertanyaan perihal Chelsea. Gama ingin mempertanyakan tentang kebenaran dari isi buku jurnal Ghaza sedangkan Ghaza ingin menanyakan perasaan Gama setelah membaca buku jurnalnya. Rasa sungkan beserta ragu memecah otak keduanya, entah sampai kapan mereka akan diam seperti ini.
“Ghaza,” akhirnya suara Gama memecah kesunyian, “Kenapa... lo banyak berkorban untuk orang-orang di sekitar lo?”
Ghaza memencak kedua matanya, tak lama ia terkekeh geli sambil meneguk matcha latte yang sudah tak lagi hangat.
“Gue gak banyak berkorban ke orang-orang sekitar kok,” Ghaza meletakkan cangkirnya, “Gue cuman berkorban untuk Chelsea aja sejauh ini.”
Gama tersontak, melihat bagaimana Ghaza mengutarakan itu dengan enteng justru membuat dadanya seperti dicabik-cabik. Ghaza adalah adik yang begitu ia sayangi dan lindungi sepenuh hati, sekarang ia harus melihat bagaimana adiknya itu mengorbankan perasaannya demi wanita yang ia cintai pula untuk menikahi dirinya. Kalau saja Gama tahu ini sejak awal, pasti ia sudah menentang keras pernikahannya dengan Chelsea.
“Kenapa lo gak ngomong soal ini, Ghaza?” tanya Gama dengan lirih.
Ghaza mengadah kepalanya, menarik napas panjang sambil mengulas senyum lebarnya seolah ia sudah tak ada rasa, dan tak ada lagi resah perihal Chelsea dan Gama.
“Kalo gue ngomong soal ini dari awal, Chelsea gak akan nemuin kebahagiaannya, Bang,” Ghaza menepuk bahu kakaknya dengan ringan, “Dia jauh lebih bahagia sama lo dibandingkan gue.”
“Kebahagiaan lo gimana? Kenapa lo cuman mikirin orang tapi gak mikirin kebahagiaan lo sendiri?”
“Gue udah melewatkan masa-masa bahagia gue selama 6 tahun sama Chelsea, tiap momen yang gue lewatin sama dia adalah hal yang paling membahagiakan buat gue, tapi gue gak bisa jamin kebahagiaan yang dia dapatkan selama 6 tahun sama gue itu akan berlangsung lama jadi... lebih baik gue mengorbankan setelahnya untuk kebahagiaan Chelsea,” tatapan Ghaza berubah sendu, ia menundukkan kepalanya dan mengusap cepat air matanya yang hendak turun, “Gue gak akan bisa ngebahagiain Chelsea, jadi gue mohon sama lo untuk lupain semua isi jurnal gue dan lanjutin pernikahan kalian, please, gue gak pernah lihat Chelsea sebahagia ini selama dia sama gue, Bang.”
Gama terhenyak, masih menatap lekat bagaimana runtuhnya Ghaza setiap ia menyebut nama Chelsea.
“Setidaknya lo harus marah, Za.”
“Marah untuk apa?”
“Karena gue yang merebut kebahagiaan lo.”
Ghaza mendecih, “Please lah, gak perlu juga gue marah sama lo—”
“Sekarang lo lampiasin aja ke gue, Za, semua rasa kecewa dan sakit hati lo luapin aja. It's only between us, just the two of us,” Gama mengatur lagi tempo napasnya yang mulai tak beraturan, “Karena gue yang bertanggungjawab atas kebahagiaan lo, Za.”
Sejak kecil, ikatan persaudaraan Gama dan Ghaza memang begitu erat dan mereka saling melindungi satu sama lain. Ghaza begitu mengagumi sosok kakaknya yang bertanggungjawab, cerdas dan dapat diandalkan begitupun Gama yang begitu menyayangi adiknya yang manja dan cengeng. Bahkan ketika mereka harus terpisahkan antar benua karena pendidikan Gama, Ghaza adalah orang pertama yang merasa sangat kehilangan. Motivasi Gama untuk cepat lulus dan mencari uang yang banyak pun tak lain ingin mengambil tanggung jawab atas semua biaya hidup Ghaza sampai waktunya.
Tak ada saling melukai, hanya ada saling menyayangi.
“Lo bener, Bang, meskipun gue selalu mendoakan kebahagiaan Chelsea tapi di hati kecil gue, gue selalu berharap agar Chelsea gak jatuh cinta sama yang lain. Ketika dia pacaran sama cowok lain, gue berharap dia terluka terus pulang lagi ke pelukan gue, ketika dia bilang dia gak mau nikah biar kita bisa terus bareng, gue harap itu bisa jadi kenyataan tapi kondisi gue saat ini gak memungkinkan gue untuk egois. Pada akhirnya yang gue mau cuman satu, Chelsea bahagia, udah itu aja...” Ghaza menitikkan satu air matanya, “... Meskipun dia bahagia bukan sama gue....”
Gama mengepal kuat tangannya, ia tak mau terlihat lemah disaat adiknya sedang merasa runtuh. Ia tahu bagaimana sakitnya kehilangan cinta pertama, sebagaimana dulu ia pernah merasa sakit ketika Alex menolaknya.
“6 tahun itu waktu yang panjang, dan lo bisa pendem perasaan itu dalam-dalam selama itu, Za.”
“Ini gak ada apa-apanya dibandingkan lihat Chelsea nangis, dada gue jauh lebih sakit karena itu, makanya dulu gue marah banget sama Abrar karena dia adalah laki-laki pertama yang selalu jadi alasan Chelsea untuk nangis.”
Gama bisa melihat kalimat itu dengan tulus, karena bagaimana cara Ghaza menatap Chelsea memang tampak berbeda hanya saja ia tak menyangka semuanya terjadi seperti saat ini.
“Ghaza, gue minta maaf untuk semuanya.”
“Gak perlu, kan gue juga yang minta kalian untuk menikah makanya gue minta lo janjiin satu hal bisa?” Ghaza mengulurkan kepalan tangannya, “Gantiin posisi gue untuk pastiin dia makan yang bener, kalo sakit perhatiin dia dua kali lipat dari orang tuanya, bahagiain dia seperti lo adalah dunianya dan jangan buat hati dia tergores sedikitpun seolah Chelsea ini permata.”
Gama menghempas tawa kecilnya, soal itu bukan lagi beban melainkan sukacita yang akan Gama laksanakan sepanjang pernikahan ini.
“Gue pegang janji lo,” Gama membalas tos kepalan tangan Ghaza lalu mereka menjabat tangan sebagai tanda bahwa perjanjian sebagai antar laki-laki sudah sah. Mereka sama-sama berikrar demi kebahagiaan wanita yang mereka cintai.
Dengan ini Gama terus melangkah maju untuk pernikahannya, dan Ghaza perlahan mundur untuk merelakan cinta pertamanya.
“Oh ya Bang,” Sebelum beranjak Ghaza menarik bahu kakaknya, “Lo udah baca halaman terakhir jurnal gue?”
Gama menggeleng, “Gak sempet, soalnya baru tiga halaman pertama aja gue udah gak sanggup.”
Ghaza tergelak, lalu ia membuka halaman terakhir jurnalnya dan menunjukkan dua halaman itu kepada Gama.
“Setidaknya kalau baca buku itu harus sampai epilog-nya, lo penulis bukan?”