I'm Sorry

Sejak tadi Chelsea tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya, dari jemari mungilnya yang sejak tadi bergetar dan keringat dingin bercucuran dari keningnya. Jantungnya seolah naik turun, saat ini adalah pertempuran akhirnya setelah berbulan-bulan ia berkutat dengan skripsi dan tiap goresan merah yang ikut menggores hatinya.

Jemari mungil itu dikaitkan erat oleh jemari besar nan hangat milik Gama. Pria itu dengan lembut mengecup punggung tangan Chelsea, senyumannya yang selalu menjadi penenang—Gama berusaha meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja.

“Inget apa yang aku bilang, just do your best.

Chelsea beruntung bisa melabuhkan semestanya kepada Gama.

Tak lama giliran Chelsea tiba, Gama menyemangati istrinya dan Chelsea meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. Ia yakin, selama ada Gama di sisinya pasti semua akan berjalan baik-baik saja.

“Chelsea Audrey Wijaya,” jantung Chelsea berdetak cepat seiring dosen penguji memanggil namanya, “Judul skripsi kamu cukup menarik perhatian saya, kalau gitu waktu dan tempat silahkan.”

Chelsea mengikuti pinta dosennya, tapi ada satu hal yang sedikit mengganggunya.

Duh perut gue sakit banget....


“Jujur saja, dari judul skripsi saja memang sudah cukup menarik perhatian kami tapi dari beberapa koreksian yang sudah disampaikan tolong lebih diperhatikan lagi ya, good job, Chelsea, dengan ini kamu dinyatakan LULUS sidang skripsi ya!”

Mata Chelsea memencak lebar-lebar dan tak henti mengucap syukur. Ia tak lupa pula berterima kasih sekaligus pamit sebelum keluar dari ruangan. Kakinya melangkah cepat untuk mencari keberadaan suaminya, ia ingin memberitahukan kabar bahagia secepatnya.

“Gamaaaa!!” Chelsea menyahut dari kejauhan, punggung kokoh yang tampak familiar itu membuat senyum bahagia Chelsea semakin mengembang. Begitu langkahnya itu hendak sampai ke tujuan.

“Gama aku lulus—”

BRUK!!!

Chelsea jatuh tak sadarkan diri.

“CHELSEA???!!!”



Rewind, beberapa waktu lalu....

*“May, gue hamil, May!” Pada saat itu Chelsea yang masih berkutat dengan skripsinya merasa aneh dengan kondisinya akhir-akhir ini. Tubuhnya mudah merasa lelah dan juga memiliki ngidam yang tak biasanya, wanita itu belum sempat bicara dengan suaminya karena Gama sendiri sangat sibuk dengan pekerjaannya begitupun dirinya yang sibuk mengerjakan skripsi. Sampai Chelsea berinisiatif sendiri untuk mencoba tes kehamilan ditemani Maya sahabatnya.*

“YA AMPUN CHEL SUMPAH??!! ALHAMDULILLAH, AYO KABARIN KAK GAMA!!” Begitu Maya mengeluarkan ponselnya cepat Chelsea menahan sahabatnya.

“Jangan, nanti Gama gak fokus, biar ini jadi suprise aja.”

“Suprise gimana?! Dia harus tahu kondisi lo dan harus kasih perhatian extra sama lo!”

“Udah, May, gue bisa lakuin semuanya sendiri lagipula kalo gue ngidam tinggal minta aja kok pasti dikasih sama Gama.”

“Chel, ini lo hamil!”

“Iya tau, nanti aja kasih tahunya gapapa setidaknya setelah gue sidang nanti.”

Kini Gama membeku di tempatnya bersama Adam dan Fiona juga Farhan dan Ratna di depan ruangan IGD. Air mukanya menampilkan ekspresi shock bukan main.

“Ha-Hamil anggur? Maksudnya gimana, Dok?”

Dokter menarik napasnya dalam-dalam, “Begini, Pak Gama, perut Ibu Chelsea tampak lebih besar dari usia kandungannya juga kadar hormon kehamilan chronic gonadotropin (HCG) lebih tinggi dari seharusnya. Setelah kami lakukan pengecekan dengan USG, tidak nampak janin di dalam rahim.”

Ratna menutup mulutnya rapat-rapat dan menangis di tempat, begitupun Fiona yang sudah menangis di pelukan Adam.

“Te-terus gimana dok untuk tindakan selanjutnya?” bibir Gama bergetar.

“Untuk tindakan selanjutnya kami harus melakukan operasi pengangkatan jaringan abnormal tersebut, Pak Gama.”

Hancur, hati Gama hancur berkeping-keping. Ia merasa gagal menjadi suami sekaligus pelindung dari wanita tercintanya. Gama meneteskan air matanya dan mengusap wajahnya frustasi.

“Apapun itu, tolong selamatkan istri saya....”



“Gama, aku kepikiran sesuatu deh.”

“Apa tuh?”

“Kita gak ada yang tahu kedepannya, tapi kalau seandainya aku lagi di titik terendah dalam hidup aku, apa yang akan kamu lakukan? Kamu bakal pergi ninggalin aku gak?”

“Heh mana mungkin aku ninggalin kamu! Gak ada sedikitpun niat aku untuk pergi ninggalin kamu, Chel!”

“Yang ada di pikiran aku, titik terendah itu lebih worst dari kepergiannya Ghaza, benar-benar aku tuh ibarat udah gak ada harapan lagi. Kamu gimana?”

Gama menghela napas panjang, lalu mengecup pelan bibir ceri sang istri sambil menatap lekat dua iris legam Chelsea, “Gak gimana-gimana, intinya aku gak akan pergi ninggalin kamu, Chel, kalau aku pergi dari sisi kamu ya aku gak hanya melanggar janji aku sama kamu tapi sama Papa kamu, dan juga Tuhan. Aku udah mengucap janji untuk ada di sisi kamu baik di waktu suka dan duka, dan apapun yang kamu laluin pasti ada aku ada di sisi kamu jadi jangan pernah kamu berpikir aku bakalan pergi ninggalin kamu. Begitupun sebaliknya, Chel, aku mau kamu yang selalu ada di sisi aku apapun yang terjadi, mau itu waktu suka ataupun duka.”

Chelsea perlahan membuka matanya yang begitu berat, cahaya lampu yang cukup menyilaukan dan juga tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Rasanya seperti Chelsea sudah tertidur dalam waktu yang lama, tak terasa orang-orang terkasih sudah mengelilingi ranjangnya.

“Chel?!” Terutama pria kasihnya yang wajahnya tampak sembab, cepat pria itu berlari memanggil dokter dan di sisi lainnya ada Ratna yang masih menangis sesegukan.

“Mama... kok kesini?” lirih Chelsea yang semakin mengiris hati sang ibunda.

“Sayang... kamu harus kuat ya....” Ratna mengusap lembut rambut putri tercintanya. Farhan ikut menggenggam kuat tangan mungil Chelsea sambil tersenyum pahit. Di samping Farhan juga ada Maya yang menatap nanar dirinya, siratan mata rasa bersalah yang begitu nampak membuat Chelsea terheran-heran.

Tak lama kehadiran sosok wanita berjas putih membuat Chelsea semakin ingin tahu jawaban dari ini semua. Suasana duka yang menyelimuti, ada apa sebenarnya?

“Permisi, Ibu Chelsea, saya cek dulu sebentar ya....” Setelah tubuhnya dilakukan beberapa pemeriksaan, akhirnya dengan berat hati sang dokter harus memberitahukan kabar buruk bagi sepasang kekasih muda itu. “Begini, Bu Chelsea, sebelumnya Ibu tahu kalau Ibu sedang dalam kondisi hamil?”

Chelsea mengangguk lemas, dan Gama melotot.

“Mohon maaf saya harus memberitahu satu hal kalau janin yang Ibu kandung itu kosong atau orang biasa bilang kalau Ibu Chelsea mengalami kondisi hamil anggur....”

Bagaikan dadanya diserang ribuan tombak, dunianya runtuh seketika.

“Ha-Hamil anggur? Ma-Maksudnya gimana, Dok?”

“Begini, hamil anggur itu kondisi kelainan kehamilan dimana sel telur yang sudah dibuahi dan plasenta tidak berkembang secara normal sehingga sel-sel abnormal tersebut membentuk sekumpulan kista kalau tidak ditindak cepat itu bisa berkembang menjadi sel kanker, tapi syukur kami sudah melakukan tindakan pengangkatan jaringan abnormal tersebut dan Ibu Chelsea hanya perlu bed-rest total sampai pulih nanti.”

Wanita itu semakin gusar, “Te-terus... bayinya gimana, Dok? Maksudnya ini... bayi saya gak ada atau gimana?”

Sang dokter hanya menggeleng pelan sambil menunduk. Tangisan Chelsea semakin pecah, dibalik sukacitanya setelah melewati sidang skripsi yang dinanti-nanti justru ada malapetaka yang menghantam keras hidupnya. Buah hatinya yang belum menyapa dunia harus direnggut. Chelsea menangis histeris, cepat Gama memeluk erat tubuh istrinya dan menepuk pelan bahunya agar tenang namun hal itu tak dibutuhkan Chelsea sama sekali.

Chelsea hanya menginginkan dunianya kembali.

Buah hatinya.